Bintang kecil, di langit yang biru
Amat banyak, menghias angkasa
Aku ingin, terbang dan menari
Jauh tinggi, ke tempat kau berada
(Daljono. Bintang Kecil)
Langit, sejak manusia mulai mengamati apa yang ada di sekitarnya, selalu menjadi teman setia bagi mereka, para perenung yang mencoba memaknai hidup. Ketika manusia merasa jenuh akan rutinitas kehidupan yang seolah tiada akhir, beberapa dari mereka akan memilih untuk menyegarkan kepala mereka dengan sedikit pemandangan. Dan, setelah mereka melihat keindahan yang terhampar di muka Bumi, akan ada saatnya mereka melihat ke atas. Langit yang seolah diam tanpa batas, baik dengan warna biru dan hiasan arak-arakan awan, atau warna hitam kelam yang dihiasi kerlipan bintang.
Tunggu. Tadi dibilang 'bintang kecil di langit biru'? Yah, mungkin terjadi sedikit salah paham mengenai hal ini. Karena, seingat saya, bintang yang dapat dilihat ketika langit biru hanya Matahari. Tetapi sudahlah.
Tetapi kemudian kemudian muncul pertanyaan baru, "Mengapa langit siang berwarna biru?".
Pertanyaan yang amat sederhana ini hampir selalu ada di berbagai buku pengetahuan untuk anak-anak, namun manusia dulu belum mampu menjelaskan fenomena ini. Pendapat yang terkadang masih populer, adalah bahwa cahaya biru langit adalah 'pantulan dari warna laut'. Padahal, kalau dipikir, jika memang warna biru langit itu pantulan warna laut, kenapa pulau-pulau dan daratan nggak ikut terpantul ya...?
Pada akhirnya, pertanyaan ini baru bisa mendapat penjelasan yang memuaskan pada tahun 1871, saat seorang ilmuwan bernama John William Strutt, atau dikenal juga sebagai 3rd Baron Rayleigh, memberikan penjelasan akan sebuah efek yang disebut Rayleigh scattering, atau persebaran Rayleigh.
Gambar digabungkan dari sini |
Kenapa biru? Bukankah ungu lebih pendek panjang gelombangnya? Sayangnya (atau untungnya?), porsi cahaya biru dalam cahaya Matahari jauh lebih banyak daripada cahaya ungu. Sehingga, meskipun cahaya ungu lebih mudah tersebar, jumlah cahaya biru yang lebih banyak membuat pengaruh cahaya ungu tak terlihat.
Cahaya yang tersebar berwarna kebiruan; dan cahaya yang terus melaju berwarna oranye. Sumber disini |
Tunggu. Mengapa langit malam gelap?
Pertanyaan yang nyaris sama sederhananya dengan pertanyaan sebelumnya, tetapi jauh lebih jarang dibahas di buku-buku pengetahuan anak SD. Pertanyaan ini, meski sudah dikemukakan berbagai macam ilmuwan seperti Thomas Digges, Kepler, Halley, atau Cheseaux sejak abad ke-17 hingga ke-18, tetapi pada akhirnya, kenampakan ini lebih dikenal dalam kemasan Paradoks Olbers. Namanya diambil dari nama seorang fisikawan Jerman, Heinrich Wilhelm Matthias Olbers (1758-1840), dan dalam tulisannya, Olbers memaparkan fenomena ini sebagai bukti bahwa alam semesta tidak statis, membantah keyakinan banyak astronom masa itu.
Lalu apa hubungannya langit gelap dengan alam semesta?Kita bisa ikuti penjelasan Olbers untuk jawaban dari pertanyaan “mengapa langit malam terlihat gelap” dengan pertama-tama membayangkan sebuah alam semesta yang tanpa batas, bintang-bintangnya tersusun secara merata di semua daerah. Bisa diartikan, jarak antara tiap bintang selalu sama sehingga jumlah bintang bertambah secara teratur dengan bertambahnya jarak.
Ilustrasi sudut pandang paradoks Olbers. Dari Wikipedia. |
Perhatikan bahwa baik cahaya dan “luas bidang” bintang sama-sama mengecil 4 kali. Inilah yang disebut “kecerlangan permukaan”, kuat pancar cahaya per unit luas bidang. Besaran ini tetap untuk bintang dengan warna serupa.
Meski 'luas bidang' sebuah bintang seringkali amat kecil, dan selalu terlihat sebagai sebuah titik cahaya meski diamati dengan teleskop tercanggih, kecerlangan permukaan ini nilainya cukup besar. Buktinya, bintang yang sekecil itu cahayanya masih bisa diamati oleh si penggalau yang sebelumnya memandangi matahari terbenam. Ia kini bisa menikmati semilir angin malam dengan langit berhiaskan bintang.
Nah sekarang, dengan asumsi sebagaimana ditulis sebelumnya, bayangkan bintang yang sedemikian banyaknya itu bersinar di langit malam. Meskipun masing-masingnya lemah, bersama mereka akan saling menguatkan, sehingga seharusnya malam hari cerah.
Tetapi nyatanya, gelap.
Mengapa demikian? Sekarang, bayangkan bintang yang sedemikian banyaknya itu bersinar di langit malam. Meskipun masing-masing bintang bersinar lemah, jika mereka bersama-sama tentu cahayanya akan saling menguatkan dan seharusnya langit malam hari terlihat cerah. Nyatanya, langit tetap terlihat gelap. Ini bisa terjadi setidaknya karena dua hal, yaitu cahaya yang terlalu lemah untuk diproses oleh mata atau memang tak sampai ke mata.
Ilmuwan modern menjelaskan cahaya yang tak terproses mata ini, dengan memaparkan bahwa selama cahaya menjelajahi alam semesta, alam semesta ini berubah dan mengembang. Jarak dalam ruang terus meluas sehingga cahaya harus menempuh jarak yang lebih jauh daripada jarak sebenarnya antara sumber cahaya dan pengamat. Hal ini tak mungkin terjadi jika alam semesta bersifat statis.
Paradoks Olbers memicu para astronom berpikir ulang mengenai model alam semesta yang seharusnya. Di antaranya yang diakui para ilmuwan saat ini adalah penelitian Georges Lemaître dan Edwin Hubble seputar pengembangan alam semesta melalui Hukum Hubble yang terkenal itu. Bukti pengembangan alam semesta kemudian ditemukan tahun 1964 oleh Arno Penzias dan Robert Wilson, berupa pancaran gelombang mikro yang seragam dari seluruh penjuru semesta.
Kini banyak orang sudah memahami bahwa alam semesta mengembang, melalui teori Dentuman Besar (“Big Bang”). Akan tetapi, teori Dentuman Besar ini menimbulkan pertanyaan baru terkait paradoks Olbers. Menurut teori Dentuman Besar, alam semesta muda adalah alam semesta yang amat panas, dan juga terang. Jika dulu alam semesta terang, mengapa kini kita melihat alam semesta yang gelap di malam hari?
Untuk menjelaskan ini, bayangkan alam semesta yang terang oleh cahaya. Setiap pancaran cahaya ini berbentuk gelombang sehingga ia mempunyai panjang gelombang tertentu yang saat itu besarnya cukup untuk terlihat oleh mata manusia (biasa disebut cahaya tampak). Seiring mengembangnya alam semesta, ruang di dalamnya ikut mengembang. Cahaya di dalamnya juga ikut mulur sebagai akibat dari mengembangnya ruang.
Sebagai akibat dari “pemuluran” gelombang cahaya, panjang gelombangnya mulur menjadi lebih dari 1100 kali panjangnya semula. Alhasil, “gelombang cahaya tampak” ini sekarang telah “berubah wujud” menjadi “gelombang mikro”, gelombang tak kasat mata yang biasa dipakai untuk menghangatkan makanan dalam oven jenis tertentu. Pancaran gelombang mikro inilah yang ditemukan Penzias dan Wilson dan menjadi bukti kuat akan teori Dentuman Besar.
Sebelumnya, telah disampaikan dua jawaban atas pertanyaan Olbers: cahaya yang terlalu lemah untuk diproses oleh mata, atau cahaya yang memang tak sampai ke mata. Dari penemuan Penzias dan Wilson, rupanya ada jawaban ketiga: memang betul-betul ada cahaya yang dipancarkan, tetapi tak lagi kasat mata!
Menarik, bukan? Ternyata pertanyaan yang begitu sederhana dan terdengar “bodoh” seputar warna langit bisa menyimpan pengetahuan yang begitu mendalam jika kita teliti lebih jauh. Oleh karena itu, mari terus bertanya! Mungkin suatu saat nanti kita sendiri yang menghasilkan penemuan penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengatakan, bahwa terkadang pertanyaan yang begitu sederhana dan terdengar 'bodoh', ternyata bisa menyimpan pengetahuan yang begitu mendalam. Seperti kata sebuah pepatah Arab, "Jangan memperhatikan siapa yang mengatakan, perhatikan apa yang dikatakan."
Sampai jumpa di artikel selanjutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar