Senin, 28 Mei 2012

Article#59 - Quote for Today

"Perbedaan utama orang sukses dan orang gagal adalah pola pikir, dan pola pikirnya dapat dilihat dari caranya menjalani hidup. Hidup orang sukses dihiasi semangat, sementara hidup orang gagal dihiasi keluhan."

~quoted from Sam Wan, though this quote is quite popular in a bit different word used, and also inspired from Article#36, resurrected at Monday, May 28th, 2012, 21:48 (UT+7)


Lanjutkan baca »

Kamis, 24 Mei 2012

Article#58 - 4000 pengunjung...

Saya sering mengambil waktu di tengah waktu istirahat saya (yang sebenarnya cukup banyak) untuk mengamati perkembangan hidup blog tidak jelas ini dan mengamatinya sedikit-sedikit seiring waktu, dengan juga memasukkan artikel baru, yang meskipun terkadang tampak tidak banyak berbobot, tetap saja ada yang membaca. Ya sudahlah, saya mau protes juga sebenarnya saya nggak mau, kok. Apalagi, nampaknya (bukan sih, memang nyatanya begitu) saya memasang beberapa artikel yang menjadi topik hangat saat ini, seperti topik mengenai penyatuan zona waktu dan tentang pesawat, yang bahkan saya tambahkan tautannya di artikel kali ini.
Disini, saya juga ingin mencatat bahwa saya kembali memasang artikel sejenis ini sejak saya terakhir melakukannya hampir 2 bulan yang lalu, tepatnya 28 Maret 2012. Dan dengan perkembangan yang jauh lebih mengejutkan, kini, 24 Mei 2012 pukul 12:25, blog saya yang super tidak jelas ini dikunjungi seribu lagi orang, dan saya hanya bisa terheran-heran. Kok bisa..?!
Yah, mungkin, sekarang waktunya untuk kembali merumuskan artikel rusak selanjutnya. Saya undur diri dulu...



Lanjutkan baca »

Selasa, 22 Mei 2012

Article#57 - Ironi Sistem Pendidikan Masa Kini?

Saya sedang berkelana seperti biasa, ketika saya menemukan suatu gambar yang cukup menarik minat saya. Berikut ia..
Gambar ini menunjukkan secara tersirat bagaimana kakunya sistem sekolah yang ada di seluruh dunia saat ini.
(Pembahasan lebih lanjut akan menyusul, entah dalam beberapa waktu ke depan. Jangan lewatkan, jika kau tidak ingin terus terjebak dalam kekacauan sistem pendidikan) (:g)
Lanjutkan baca »

Rabu, 16 Mei 2012

Article#56 - Ketika Pemancing Melanggar Lalu Lintas

Seorang pria pulang dari perjalanan memancing. Dia senang sekali, karena berhasil membawa tujuh ikan segar dari tempat memancing. Sebelumnya, yah, paling banyak dua. Karena begitu tak sabarnya ia pulang untuk meminta istrinya memasak ikan-ikan tersebut, dia mengemudi terlalu cepat di jalan raya. Dia merasa aman karena di sekitarnya banyak mobil yang juga melaju melebih batas kecepatan. Namun, tidak lama kemudian ia melihat lampu sirene polisi berkedip di spion. Sebagai seorang warga yang patuh hukum, ia pun kemudian menepi.

Tanpa basa-basi, petugas menyerahkan surat tilang, menerima tanda tangannya, dan ketika polisi itu hendak pergi ketika orang itu menghentikannya. "Pak Polisi, saya tahu saya ngebut," ia memulai, "tapi aku tidak berpikir itu adil. Ada banyak mobil lain di sekitar saya sama cepatnya, jadi mengapa saya saja yang mendapatkan tilang?"

Petugas itu mengangkat kepalanya dan menunjuk ke alat pancing di kursi penumpang. "Saya melihat Anda hobi memancing," katanya.

"Ummm, ya saya senang memancing... Lalu kenapa?" pria itu menjawab sambil kebingungan.

Petugas itu tersenyum sambil berpaling pergi, "Pernah menangkap semua ikan?"

Sang pemancing hanya terdiam melongo.
Lanjutkan baca »

Minggu, 13 Mei 2012

Article#55 - Quote for Today

"The superior man blames himself. The inferior man blames others." 

~quoted from Donald Francis "Don" Shula, a former American football cornerback and coach, in Twitter at Sunday, May 13th, 2012, 12.02 (UT+7)


Lanjutkan baca »

Sabtu, 12 Mei 2012

Article#54 - Penemuan di sore hari

Disini, saya hanya akan menampilkan sebuah kutipan dalam gambar yang saya temukan ketika berkelana di situs 9GAG. Silakan dilihat..


Lanjutkan baca »

Sabtu, 05 Mei 2012

Article#53 - Just read...Part.8

Setelah sebelumnya menceritakan sekelumit kisah mengenai masa lalu Anton, kini kembali ke cerita.

Sinar lampu balkon membangunkan Anton dari tidurnya yang penuh dengan lika-liku. Silau. Rupanya angin berhembus dan mengayun gorden jendela kamarnya, mengirimkan beberapa berkas cahaya lampu langsung ke matanya. Cahaya yang menembus bola matanya masih terlalu terang untuk dapat diterima oleh sel-sel kerucut matanya, yang masih sibuk bergelut dengan mimpi indah di tempatnya masing-masing. Dengan susah payah, Anton mulai membuka mata, dan bangkit dari tidur panjang yang sudah dia jalani sejak selesai bermain game di malam harinya. Pukul 4.53, waktunya sholat subuh. Ia baru beranjak dari tempat tidurnya ketika menyadari ada yang berbeda pada hari itu, dalam tidurnya yang biasa.
Sensasi dingin itu. Sensasi yang hadir dari celananya itu sungguh tidak biasa. Dan kesadaran Anton pun kembali, menghantamnya dengan cepat seperti cahaya lampu membangunkannya tadi.
Ini tidak mungkin terjadi. Terakhir kali Anton mengalaminya adalah ketika Anton masih kelas 2 SD. Masa' sih ini terjadi lagi, Anton tak habis pikir. Rasa malu pun perlahan hinggap dan merayapi tubuhnya. Sial! Anton pun segera melepas seprainya yang juga basah, dan menggiringnya ke kamar mandi untuk dicuci. Begitu pula dengan celananya, yang basah sekali seolah bisa diperas.


***

Singkat cerita, semua sudah dicuci. Anton bernafas lega seusai mencuci seprai serta celana yang dibasahi kejadian yang tak akan ia ceritakan pada keluarganya. Malu, oi. Sekarang pukul 5.08. Biasanya jam segini kehidupan sudah bermula dalam dapur, ditandai dengan dentingan pisau dan (terkadang) bunyi air mendidih dalam ketel. Untuk mandinya Ayah. Si Ayah sejak dulu senang sekali mandi dengan air hangat, dan Anton tidak pernah habis pikir membayangkannya. Si Ayah hampir pasti menolak ketika air mandinya tidak sehangat air minum yang biasa disajikan di restoran Padang, yah, sekitar 40 derajat Celsius.
Tetapi pagi ini, sekali lagi, berbeda.
Rumahnya terasa sepi. Hening.
Tetapi Anton tidak peduli. Ia memutuskan untuk membersihkan kasur yang ikut dilumuri noda kejadian memalukan yang baru saja dialaminya. Ia mengambil kain pel, dan membasahinya dengan air sabun. Ketika ia kembali untuk menghilangkan 'label najis' pada kasurnya, kembali ia dikejutkan dengan pemandangan yang tidak biasa.
Sekumpulan semut berbaris mendekati sisa kejadian tersebut. Anton pun terkesiap. Semut? Kenapa sisa-sisa ini dikerubuti semut? Anton pun bergidik ketika menyadari sisa-sisa itu pastilah mengandung gula. Ada diabetes dalam dirinya. "Ah, tidak mungkin lah, aku baru 14 tahun. Mana mungkin?", pikir Anton, coba menenangkan diri. Tetapi fakta yang ada di depan matanya itu membantah setiap sugesti yang coba ia tanamkan di dalam kepalanya. Bagaimana mungkin..?!
Belum sempat Anton kembali pada kesadarannya yang utuh atas apa yang baru saja terjadi, terdengar teriakan dari kamar di bawah. Suara kakaknya.
"AAAAHHHHH, SEMUUUUUTTTT!! SEMUT DI KASURKU!!!"
Anton hanya bisa melongo. Benar-benar ada yang salah di hari ini.

~bersambung

(:g)
Lanjutkan baca »

Jumat, 04 Mei 2012

Article#52 - Quote for Today

"Jangan semata-mata mengejar kesuksesan. Jadilah orang mulia, dan kesuksesan akan mengejarmu."

~dikutip dari celoteh Phunsukh Wangdu dalam film 3 Idiots, Kamis, 19 April 2012, 22:45 (UT+7)


Lanjutkan baca »

Selasa, 01 Mei 2012

Article#51 - Senukil Kisah dari Dunia Kedokteran

disadur dari sebuah artikel milik Farhan Aly As Tsaqofie dengan judul:

Sebagian Alasan Kenapa Dokter Dokter Di Negara Maju "pelit" Kasih Obat ke Anak yg Sakit


** Dimana Salahnya?**

Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku ...tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.
Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.
"Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku menderita begitu?" batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.
"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary if the fever is below 40 C."
Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku tunggu dan amati saja. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.
"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"
Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku.
Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih sirup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."
Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran?! Batinku meradang.
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku. "Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
"Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!"
Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?"
Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep sajian senior!

Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii… kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.
"Just drink a lot," katanya ringan.
Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.
"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.
"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotic," jawabnya lagi.
Ggrh… gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin! omelku dalam hati.
"Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku ngeyel.
Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak."
Hmm… lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu. 
"Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi dokternya kayak begini." Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.
"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?
Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya, huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."
Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagi lagi aku sebal.
"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel seperti biasa.
Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times normally children get sick every year?"
Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.
"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.
Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm… apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah… barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.

Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.
"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.
Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun."

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh… duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.
Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.
Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.
Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu berorientasi ke dokter dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
Tapi yang pasti kini aku sadar… telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.

Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.
Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

Dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum, dengan sedikit pengubahan. Semoga dapat bermanfaat untuk saudara sekalian. (:g)
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...