Kamis, 28 Februari 2013

Article#140 - Secuplik Pemurnian: Ketika Yang Biasa Tak Lagi Ada

Come close to me, oh companion of my full life;
Come close to me and let not Winter's touch
Enter between us. Sit by me before the hearth,
For fire is the only fruit of Winter.
Speak to me of the glory of your heart, for
That is greater than the shrieking elements
Beyond our door.
Bind the door and seal the transoms, for the
Angry countenance of the heaven depresses my
Spirit, and the face of our snow-laden fields
Makes my soul cry.

(Kahlil Gibran. Winter - The Life of Love)
Seiring bergulirnya jarum jam yang seolah tak bosan berputar-putar entah berapa lama, kalender perlahan-lahan merangsek untuk membuka lembaran baru, sembari senantiasa mempertahankan daur pembaruan dalam hidup. Begitu pula mengenai kisah dimana sang 'bola api' yang tadinya terus merendah malu oleh cuaca dingin yang begitu berwibawa, perlahan mulai berani untuk menggapai langit yang lebih tinggi.
Februari. Bulan dimana rakyat Romawi dahulu kala menyambutnya sebagai bulan terakhir dalam setahun, dan memberinya nama pemurnian, sebagai simbol untuk memurnikan diri menuju tahun baru. Hingga kini, masih nampak sisa tindakan serampangan yang dilakukan oleh sang kaisar Julius serta keponakannya Augustus, yang merombak jumlah hari dalam tiap bulan, seperti merenggut hari dari bulan Februari ini sehingga bulan yang mereka namai sesuai nama mereka tepat berjumlah 31. Berkat perombakan itulah, kini Februari kehilangan 2 harinya, sehingga satu bulan ini hanya berlangsung selama 28 hari (29 di tahun kabisat). Meskipun begitu, dalam kebudayaan Romawi Kuno, Februari menjadi bulan dimana diadakan perayaan menyambut musim semi.

Hah, musim semi? Bocah-bocah tengil mungkin akan tertawa mendengarnya. Bagi mereka, Februari masih identik dengan musim dingin. Si putih masih sesekali muncul menggantikan si basah yang turun membasuh daratan, dan tentu saja, udara yang masih bersuhu satu digit, diperparah oleh angin yang cukup dahsyat. Seperti disinggung sedikit di edisi sebelumnya, dengan ditambah efek pembekuan uang (tidak disebutkan secara eksplisit sih), musim dingin yang sedang mereka lalui jadi terasa lebih dingin mencekam. Seolah ada penagih utang yang terus mengejar mereka. Meskipun nyatanya merekalah yang sedang diutangi. Wajar sih, dengan semua ini mereka ingin musim semi cepat sampai, karena selain lebih hangat, uang yang membeku itu akhirnya bisa kembali cair. Sayangnya, musim semi nggak bisa di-pre order.

Yang membuat halaman kedua kalender berbeda dengan halaman pertamanya, tentu saja, hal yang selama ini diidam-idamkan banyak siswa maupun mahasiswa. Libur. Meskipun, tetap saja namanya sedikit menyiratkan harapan palsu. Tajuknya, libur musim semi. Lagi-lagi, bocah tengil menertawakan kalian. Hah, apa yang bersemi? Salju? Cinta? Buka jendela sedikit, masih ada onggokan sisa-sisa salju yang tak jua mencair. Mengenai cinta, emang siape yang mau ama lu? Kira-kira itu salah satu dari sekian banyak celetukan yang akan ditawarkan kepada kalian. Sayangnya, tidak pakai embel-embel coba gratis ataupun angsuran bulanan rendah. Iyalah, kau kira cicilan bank.
Seperti disebut sebelumnya, kebanyakan mereka sudah menanti datangnya musim semi, akibat sudah jenuhnya mereka dengan suhu satu digit yang berkepanjangan. Tetapi masih ada saja dari mereka yang merasa jumlah si keping putih yang menggenangi kota timur laut tersebut masih terlalu sedikit. "Nggak ada gregetnya," kata anak yang satu ini.
Apa bagi dia salju sebanyak ini sudah greget? Entahlah.
Ia memang mengherankan. Mungkin dia pengen diet salju? Mana saya tahu, saya tak mengurusi dia. Makan sendiri saja masih mikir-mikir... Fiuuh, kerasnya hidup, lebih keras dari kepala para dosen.

Eh, ada kata dosen yang keluar. Tabu nggak ya? Peduli lah, lanjut saja. Bicara dosen jadi ingat nilai. Dan dibanding dosen, nilai adalah kata yang kadang-kadang jauh lebih tabu untuk dibicarakan secara serius antar sesama mahasiswa. Ingat, secara serius. Tebalkan dan garisbawahi.
Tetapi sudahlah, sekarang bukan waktunya lagi membicarakan nilai. Toh semester satu telah berakhir. Daripada terpekur tanpa arah layaknya orang kerasukan jin Tomang, lebih baik menikmati libur yang ada kan. Kalau liburannya bahkan nggak bisa dinikmati, dan akhirnya terpekur juga, paling nggak terpekurnya pake arah lah. Kalau bisa pasang lampu sein dulu. Lagipula orang waras mana sih yang masih mau mikirin nilai di liburan? Yaa kecuali emang aslinya nggak ada yang waras. Tapi jangan tersindir ya. Pfft.

Sampai penghujung bulan pemurnian ini, para bocah tengil masih dilingkupi hawa dingin dan angin yang tak jauh beda. Tetapi mereka menjalaninya dalam gaya yang berbeda. Bulan lalu, paketnya gratis ujian-ujian beserta tugas laporan yang datang berduyun-duyun layaknya antre wahana kora-kora, meskipun mereka ini nggak punya tiket. Untuk bulan ini, karena masa berlakunya paket ujian sudah habis, dan nggak ada masa tenggang, maka datanglah libur. Tapi dasar bocah tengil, mereka sudah terlalu terbiasa dengan aktivitas yang (katanya) padat dan menyita waktu itu, sehingga ketika libur datang, mereka jadi kebingungan, apa yang harus dilakukan. Ada yang bisa dengan cepat menyesuaikan jadwal dengan kekosongan yang ada. Ada yang memang tidak pernah mengatur jadwalnya. Bahkan ada juga yang bisa dibilang tidak beraktivitas, bahkan selama masa-masa kuliah. Tunggu, aktivitas? Bukannya ke sana untuk liburan? Biasanya itu alibi mereka.

Karena mereka sudah telanjur memakai istilah aktivitas liburan, tentu saja mereka ingin liburan yang sedikit 'aktif'. Tetapi, sebagaimana umumnya dilema mahasiswa yang ingin bertualang, kantong tidak mengizinkan. Padahal kantong bukan orangtuanya. saya harap ketika mereka akan menikah, tidak minta izin ke kantongnya terlebih dahulu. Ya kali kantongnya kantong ajaib. Kalau kantong semar? Bisa berabe tuh. Karenanya, kebanyakan bocah tengil akhirnya menghabiskan liburan dengan bercokol di depan laptopnya, dan melakukan berbagai aktivitas maya. Atau dalam beberapa waktu ada yang tertarik membagi dua waktunya, supaya pundi-pundi kebekuannya terisi sedikit.

Pada akhirnya, seiring mendekatnya semester baru, musim semi dan juga kesibukan baru, mudah-mudahan suhu brankas cepat naik, sehingga uangnya cepat cair, dan mengalir menuju dompet-dompet yang sudah lama merindukan mereka. Penulis sendiri, biasanya mencoba menghibur diri dengan kutipan 'orang sukses itu jalan hidupnya tidak mudah', meskipun jelas-jelas nggak tahu apanya yang tidak mudah. Angry Birds yang season baru lebih susah kok, katanya.
Ketika salju perlahan mulai melumer
Padahal diriku lagi pengen pamer
Mengaku-ngaku paling kuat dingin
Nyatanya, dalam hati paling ingin
Hei langit, kapankah bunga akan bermekaran?
Dan aku bisa bersama-sama kupu-kupu, mencari makan?
Meskipun aku tahu kalau aku tak makan nektar
Yang jelas, aku tak mau sok pintar
Yang kutahu hanya raga ini terkapar
Aku lapar
(Bocah Tengil, 2013. Merindu Bunga
Bocoran: Ini bukan bunga asli.
(Catatan: Untuk bulan Maret, tidak akan ada tulisan baru dengan tajuk bocah tersasar. Akan kembali terbit di bulan April.)
Lanjutkan baca »

Selasa, 26 Februari 2013

Article#139 - Mesin Cuci 25 Watt

Alkisah, suatu hari menjelang tahun 2000, diadakan pameran elektronik di Jepang. Berbagai perusahan dari berbagai negara, termasuk ilmuwan-ilmuwan dengan haisl riset terbarunya, berlomba-lomba memamerkan produk baru mereka dengan segala macam kelebihan tersendiri. Diantara semua itu, salah satu yang menyita perhatian adalah sebuah mesin cuci yang cukup besar, dengan poster bertuliskan "Mesin Cuci 25 Watt Milik Insinyur Bowo". Sang pemilik mesin cuci, Insinyur Bowo berteriak dengan sedemikian lantangnya, menantang orang-orang untuk menguji kebolehan mesin cucinya.
Satu persatu perwakilan perusahaan elektronik Jepang, terutama yang berurusan dengan mesin cuci, mendatangi mesin cuci Insinyur Bowo untuk mengujinya.
Perwakilan dari Sanyo memasukkan saputangan, belum semenit, saputangan sudah keluar dalam keadaan terlipat rapi, bersih, dan kering. Penonton pun bertepuk tangan.
Perwakilan dari Sharp memasukkan kaus kaki, hanya setengah menit kemudian, kaus kaki sudah keluar, juga bersih, terlipat rapi, dan kering.
Kini perwakilan dari Mitsubishi memasukkan serbet, tak sampai setengah menit, serbet sudah keluar, juga bersih, terlipat rapi dan kering.
Akhirnya seorang yang penasaran, memasukkan celana jins serta selembar sprei ke dalam. 5 menit berlalu, 10 menit, setengah jam, satu jam, belum juga keluar. Penasaran, orang tadi membuka mesin cuci, dan di dalam mesin cuci ada lampu 25 watt, beserta Insinyur Bowo sedang mencuci sprei.

-diadaptasi dari salah satu cuplikan siaran Warkop, tahun 1980-an
Lanjutkan baca »

Jumat, 22 Februari 2013

Article#138 - Sepenggal Cerita dari Pinggir Dunia

Aku kembali, ke tempat yang sepi ini.
Tempat dimana deburan ombak dan hembusan angin merupakan satu-satunya suara yang mengisi keheningan di sore hari yang sejuk ini.
Yang kuingat dari tempat ini hanyalah tawa anak-anak yang berlarian sepanjang pantai, dan kini, ketika aku melihat pantai yang kosong, selalu terasa ada yang kurang.
Dengan simfoni alam yang terus mengalun, yang bisa kulakukan hanya duduk bersandar pada sebatang pohon kelapa, pantai ini masih terasa sepi.
Pepasir yang terhampar ini masih berhiaskan cangkang moluska yang telah lama mati, dan dan cangkang amat tua yang telah terburai menjadi butiran pasir putih.
Dan.. aku teringat kata-kata pamanku dulu, 12 tahun yang lalu.

***

"Melalui pantai ini, kamu bisa memaknai perjalanan kehidupan." kata pamanku di sore hari itu.
Aku sih tidak peduli. Perjalanan kehidupan, terserah paman saja. Yang jelas, kerang yang kuinjak tadi menyebabkan perjalananku sebelumnya terhenti, dan mungkin setelah ini aku akan disuruh pulang ke rumah nenek. Bahkan rasa sakit dari kakiku yang terluka tak terasa lagi, di tengah terik matahari yang membakar kekecewaanku. Aku masih ingin bermain lagi. Aku tidak peduli segala macam perjalanan kehidupan, namun aku masih saja bertanya.
"Maksud paman apa?"
"Maksud paman? Yakin kamu akan mengerti?
Hmm, kalaupun aku mengerti, apa aku akan peduli? Tetapi sudahlah.
"Kamu perhatikan saja, kenapa tadi kamu terjatuh?" kemudian paman melanjutkan setelah melihatku terbuai kesunyian.
"Bukannya paman jelas-jelas melihatku menginjak kerang dan lalu terjatuh?" ucapku gusar, merasa diejek.
"Iya iya, benar, paman lihat. Tetapi begini," paman mendadak mengubah ritme ucapannya menjadi lambat-lambat dan penuh penekanan, berlagak dramatis. "Kamu pernah mendapat peringkat jelek di kelas ketika pembagian rapor? Bagaimana rasanya?"
Huh, pertanyaan apa lagi ini. "Tentu saja pernah paman, dua kali malah. Rasanya... hmm, aku nggak yakin. Yang jelas aku merasa tak suka dengan peringkat yang jelek itu."
"Oke. Lalu, apa yang kamu lakukan setelahnya?"
"Karena aku nggak mau dapat nilai jelek lagi, aku belajar lebih giat."
"Nah. Seperti perjalananmu berlari di pantai tadi. Tuhan tidak menyiapkan hidup bagimu dengan mulus tanpa cacat. Dalam perjalanan yang kamu lalui, sudah ada berbagai macam hambatan yang mungkin akan kamu hadapi di perjalanan. Entah itu cangkang kerang, kepiting, atau ombak kuat yang terus menerpa. Yang perlu kamu lakukan hanya terus maju dan tetap bangkit setiap kali kamu terjatuh. Termasuk ketika kamu menginjak kerang dan melukai kakimu tadi."
Aku sudah menduga, paman seharusnya jadi sutradara operet. Tetapi aku tidak mengatakan apa yang ada dalam pikiranku, dan membiarkan paman melanjutkan. Paman kemudian bertanya,
"Kamu tahu, darimana ini berasal?" sembari menunjukkan sebuah cangkang kerang yang barusan diambilnya.
"Dari kerang, tentu saja." jawabku sedikit bingung.
"Dan pasir putih ini?"
"Aku tidak tahu."
"Begini, kau tahu kan kerang yang biasa dijajakan di pasar sana? Kerang-kerang disini, mereka dulunya juga kerang yang hidup dan menghiasi dasar lautan, sebagaimana yang lainnya di pasar sana. Tubuh mereka lemah dan begitu lembek, karenanya mereka berlindung di dalam cangkang yang melindungi mereka dari bahaya. Dengan adanya cangkang inilah, mereka bisa tetap bertahan dan tumbuh besar, sejalan dengan bergulirnya hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tentunya makin kuat cangkang yang dimiliki, makin besar kemungkinan kerang untuk terus melanjutkan hidupnya, sebagaimana jalan hidup kawan-kawannya sesama moluska.
Sama saja seperti jiwa-jiwa yang bertahan dalam derasnya arus waktu. Jiwa-jiwa yang lemah dan ringkih itu, tak akan lama bertahan di tengah gempuran entah apa saja partikel yang diboyong oleh arus waktu yang tak pernah bisa dihentikan siapapun. Jiwa-jiwa ini butuh 'rumah', tempat mereka bisa merasa aman, merasa tenteram, dan merasa bebas untuk mengembangkan dirinya sebaik mungkin. Rumah yang disebut kepribadian, dan dibangun dengan kumpulan budi pekerti. Banyak jiwa yang merasa tak puas dengan cangkangnya yang mereka rasa terlalu lemah, atau tidak cocok dengan mereka, sehingga mereka mencari cangkang yang lain. Tetapi, kapankah mereka tahu cangkang mana yang terbaik dan ternyaman untuk mereka? Padahal mereka bisa membuatnya sendiri, tetapi jiwa-jiwa itu tak mau membuang waktu hanya demi cangkang baru mereka.
"Dan juga," paman memberikan tekanan dalam kata-katanya, mungkin melihat diriku sedikit terkantuk-kantuk berkat angin darat yang seru. "Pasir-pasir ini, mereka berasal dari cangkang yang tergerus zaman dan terpecah-pecah menjadi butiran kecil. Itulah mengapa warnanya sangat cemerlang." Sudah kuduga, si Dodi bohong. Jelas bukan karena pemutih.
"Bayangkan, kerang-kerang yang semula menjadi pelindung tubuh-tubuh lemah kerang yang ingin bertahan hidup, pada akhirnya pasti akan tertinggal dan dimakan zaman hingga menjadi serbuk pasir yang tidak lagi bisa melindungi. Ingat, tidak ada satupun yang kekal. Jangan pernah bergaya macam-macam dengan segala yang kaupunya, segala yang kauperoleh, semuanya itu tidak kekal. Dan bisa hilang darimu kapan saja, tanpa kamu menduganya. Teruslah waspada dalam hidup, dan jangan pernah jumawa."
....

Pikiranku kembali ke masa kini yang masih meniupkan angin. Aku sendiri tak sepenuhnya paham apa yang beliau katakan saat itu. Bahkan aku juga tak sepenuhnya ingat apa saja yang dia ucapkan saat itu. Namun, seiring berlalunya waktu, jawaban-jawaban itu satu persatu kutemukan.
Sejujurnya aku tak begitu peduli, kemana kaki-kaki ini akan melangkah. Aku bahkan masih berkutat dalam cangkangku yang sekarang, dan tetap memaksa bertahan walaupun nyatanya aku sudah tidak bisa menempatinya lagi. Aku masih terbuai dengan melodi menyenangkan yang biasa kudengar ketika mendengarkan bunyi di dalam cangkang kerang. Kau tahu kan kawan, kalau orang-orang bilang, ketika kau melakukannya, kau akan mendengar deburan ombak. Padahal deburan ombak tak pernah tertinggal di dalamnya. Yang ada hanyalah bunyi yang ada di sekitar, yang terkumpul dan merasuk ke dalam otakmu melalui telinga. Dan masih banyak yang terbuai dalam cangkangnya masing-masing, akibat mengira melodi indah dari pantai yang indah masih bisa terngiang di kepala mereka.
Ah, betapa banyak orang terbuai ilusi. Meskipun begitu, tak bisa kupungkiri, dunia memang indah untuk diamati dan disyukuri. Di hadapanku, perlahan sang matahari mulai menyembunyikan dirinya di balik cakrawala. Aku hanya bisa menyaksikannya terbenam perlahan-lahan, dan seiring hilangnya citra bulat merah itu, muncul suara adzan bersahutan.
Saatnya pulang.

Hari 6528, ketika jiwa yang tersesat tak tahu kemana harus pulang.
Dicetuskan dalam penantian perjalanan,
Selasa, 19 Februari 2013, 07:06 (UT+8)
2°44'25.55"N, 101°43'11.88"E
Lanjutkan baca »

Senin, 18 Februari 2013

Article#137 - Kutipan Hari Ini

"In the end, it's not the years in your life that count. It's the life in your years. - Pada akhirnya, bukanlah jumlah tahun dalam hidupmulah yang penting. Yang penting adalah hidup di dalam tahun-tahun yang kau jalani."

~dikutip dari kata-kata Abraham Lincoln (1809-1865), presiden ke-16 Amerika Serikat, dikutip pada Senin, 18 Februari 2013, 07:44 (UT+9)


Lanjutkan baca »

Sabtu, 16 Februari 2013

Article#136 - Harmony (Will It Be Just Fine?)

I stood out here in a cold and clear night
Stars sparked the sky, the moon was not present
Recalled those moments, which I had left behind

The city was glowing bright, enlightened the horizon
The waves were crashing by, the wind kept blew upon
Upon this reminiscence, where everything began

Will you tell the story, or just keep it up?
When you tried to break it down
Broke the harmony, all the rhythms of life
Would you repair it back,
Or leave it scattered apart?
It's only once more to go

Why did you just started giving up?
Please don't forget it, all your big dreams for life
Where would you walking toward?
Without the pure light of heart?
Can you just keep it go through?
So let the past went by, and look for what's up ahead

The sky went raging, where were the cozy life
Segin went to nowhere, Big Dipper faded behind the cloud
Forgot the only thing we had

There goes the life, crash the surrenders and cowards
Have the luck been leaving you now?

"It's not destined for me this time,
For me the only, the protester of time
I'd swore to beat it all down
And let it be of its own
Grazed the mighty of the show"

And let this harmony sang
Sing of the loved, the preserved right of the lost
The melodies of the flow
Which had gone by so slow
The never ending story, now

Everlasting time, beneath the story line
Could we ensure everything will be fine?
Let alone be misguided, let the myth rumble up
Will there be justice, for the remains of the thankful?
Since someday I'll be without, this melody of breakout
And the tale of broken dreams will keep its song,
Song of the living

So let's depart and move it on,
Permit me to leave, all of this past we lend of
Follow your dreams, you can find
A right to live on your own
Where the life will beat along

And as the wind goes by, the rows of melody
Would be the only thing to guide me up through these times
As the behalf of the story, which pushed me to walk out this far

Someone, look for this star, star of the outright approval
On which I will keep, the new story of the future
Stars gone smiling, the sun were rising
Leading me of the straight long way to go

There's something inside me, on which I can't keep up
Rolling deep, along with the melody, flowing to last inside
Will everything be just fine?



Day 6522, finished on the midst of the soaring art.
Retold from a moment of uncertain, at
10th February, 2013, 21:24 (UT+9)
43°04'38.38"N, 141°20'57.45"E
Lanjutkan baca »

Minggu, 10 Februari 2013

Article#135 - Kutipan Hari Ini

"I don't believe in taking unnecessary risks, but a life without risk isn't worth living. - Saya tak setuju dengan mengambil risiko yang tak perlu, tetapi hidup tanpa risiko itu tak ada gunanya dijalani."
~dikutip dari Charles Augustus Lindbergh (1902-1974), penerbang pertama yang menyeberangi Samudra Atlantik pada Mei 1927, dikutip pada 10 Februari 2013, 23:53 (UT+9).



Lanjutkan baca »

Rabu, 06 Februari 2013

Article#134 - What A Small Act Can Do - 2

Just wandering around the net (again) when I found this picture. As the earlier post with similar title did, no long talk here, just go straight to the picture and read the story.
(Click here to visit the source)
Lanjutkan baca »

Sabtu, 02 Februari 2013

Article#133 - Menuang Sedikit Isi Pikiran: Perubahan dan Waktu

Cuaca yang lebih hangat di hari ini ikut menjadi bahan utama dalam meracik bumbu bagi makanan kepala penulis yang sedang bergelut dalam ketidaktahuan dan kekeraskepalaan jiwa. Masih dengan pikiran yang terkadang berteriak merana karena tugas yang belum selesai jua, penulis tak mau membiarkan diri ini bergelut dalam balada. Akhirnya, hari ini, penulis melewatkan waktu beberapa saat untuk mengamati dunia dari sekitar jendela kamar penulis, pada balkon yang sedikit berdebu akibat jarang tersentuh.

Teringat seorang teman yang mendamba hijaunya dedaunan yang lama tak ia jumpai, penulis mengamati pepohonan yang telah lama meranggaskan daun-daunnya, menjadi jejaring selulosa yang sekilas nampak tak bernyawa. Teringat beberapa keluhan mengenai hari yang luar biasa dinginnya saat itu, penulis mengamati dalam kekosongan, bagaimana hari ini begitu cerah dan hangat. Bagaimana angin terus berhembus ke berbagai macam arah, bagaimana awan-awan datang dan pergi, menutupi sinar matahari. Bagaimana matahari terlihat bergerak, terus menuju horizon untuk menyembunyikan dirinya sekali lagi, disertai semburat merah yang menghampiri. Bagaimana kehidupan, detakan dan suara jiwa terus mewarnai kehidupan, dan mengubah citarasanya.

Duhai kawan, waktu kadang terasa berlalu begitu cepat. Ada satu saat dimana kau ingin waktu yang ada berlalu dengan cepat, di saat yang lain kau ingin waktu bergulir selambat mungkin untuk mengekalkan momen indah yang ada. Dalam suatu saat kau membayangkan bagaimana masa depan akan membuka pintunya, dan ketika saat itu telah lama berlalu, kau mengenang masa lalu, dan tersenyum ketika mengingat bagaimana diri yang kini telah berubah dari diri yang lalu. Ketika dulu kau memutuskan untuk merantau, berjuang di tanah yang kau tak tahu apapun tentangnya sebelumnya, dan kemudian kau tersadar bagaimana pandanganmu atas dunia makin luas dan dalam. Dan ketika kau kembali ke kampung halaman, tempat jiwamu dan namanu tumbuh besar, lihatlah segala macam hal yang berbeda dengan apa yang dulu kauingat. Dari rumah-rumah baru yang dibangun, pohon yang makin besar, jalanan yang makin ramai, anak-anak tetangga yang tumbuh besar, dan munculnya gurat-gurat usia pada mereka yang kaukenal.

Waktu dan perubahan, layaknya dua sekawan yang selalu berjalan beriringan. Dengan adanya waktu lah, ada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan dari semua itu, perubahan mengguratkan pengaruh dan kenangan masa lalu, di seseorang yang sedang berjuang di masa kini untuk mengukir cerita masa depannya. Dan seperti kata hukum kedua termodinamika, perlahan semua benda, dari limosin mewah yang merepotkan ketika sedang berbelok, hingga sebuah batu yang teronggok di dasar sungai, semua perlahan berubah, menanggalkan kejayaan masa mudanya, terus menua dan kemudian teronggok terlupakan. Dan seperti disebutkan pula oleh hukum termodinamika kedua, hanya dengan usaha tambahan lah yang menua itu bisa diperbarui, untuk kemudian digunakan pada performa terbaik.

Dan kawan, baik perubahan maupun waktu, semuanya terus berjalan, hingga kini. Jangan pernah lupa. Keduanya membantu memunculkan apa yang belum pernah ada sebelumnya, tetapi keduanya juga membantu mengusir dan menghilangkan apa-apa saja yang pernah ada. Satu muncul, yang lain muncul, kemudian hancur, dan tumbuh yang baru, datang silih berganti. Baik dalam sudut pandang astronomis, geologis, ekologis, sosiologis dan seterusnya, pembaruan dan pelenyapan itu selalu bergulir antara yang satu dengan yang lain. dengan semua itu, tergambar nyata betapa keabadian di dunia fana ini hanya sebuah mimpi kosong. Segala hal yang buruk pasti akan berakhir, tetapi demikian pula hal yang baik. Ketika sebuah perjumpaan diakhiri perpisahan. Ketika keceriaan diikuti keheningan. Akan tetapi, dengan akhir yang ada untuk segala hal duna itulah, sebagai sebuah benda abstrak, mereka memiliki nilai tersendiri. Nilai yang mungkin saja tak akan kentara jika mereka tidak memiliki akhir. Dan juga, jika kau menyadari dengan baik bahwa segala sesuatu akan berakhir, kau tak akan banyak terbuai dalam kenangan masa lalu, alunan masa kini, atau harapan masa depan yang melenakan.

Dan kemudian renungkanlah, tentang perubahan.
Tentang bagaimana, semua hal terus bergulir seiring waktu, membentuk proyeksi baru, pemaknaan baru dan identitas baru.
Tentang jiwa-jiwa yang resah, yang takut akan datangnya hal-hal baru.
Tentang mereka yang terbias oleh datangnya cobaan, dan terperosok dalam kenangan masa lalu.
Tentang semua hal yang terus berproses, berputar, bergerak, dan terus menjalankan sebuah pembaruan.
Karena seiring berjalannya hidup, zaman akan senantiasa berubah.
Pilihan yang ada hanya mengendalikan diri atas perubahan, mengendalikan perubahan oleh diri, atau diri yang dikendalikan perubahan.
Tak ada jalan mundur atau jalan pintas—manusia tak punya kuasa untuk mengusik waktu.
Sekarang hanya perlu memilih, apakah akan terus menerjang, meski dihambat hutan perdu,
Atau diam tanpa berbuat apa-apa, dan terlena dengan selimut beludru?



Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...