Sabtu, 31 Oktober 2015

Article#480 - Menyapa Raja Kegelapan

Sudah sekitar tiga bulan berlalu dari perjumpaan wahana New Horizons dengan sosok "raja kegelapan". "Raja" yang, bahkan sebelum jelas bagi manusia wujud rupanya, sudah demikian banyak menghiasi buku-buku pengetahuan populer di seantero dunia. "Raja" yang, ketika namanya sudah dicabut jauh jauh dari jenjang masyhur keplanetan, tetap lestari menghuni sanubari sebagian manusia. "Raja" yang tetap dinanti-nanti wujud rupa sebenarnya, yang disuguhkan untuk pertama kali pada tengah Juli 2015.

Pada titik perjumpaan itu, sang wahana yang beruntung pun mengabadikan sang "raja" sedemikian rupa dalam serangkaian cira demi citra digital. Terentang dengan jarak yang demikian jauhnya dari sekian juta pasang mata yang menatapnya di muka dunia, citra yang menumpuk dalam inventori sang wahana pun perlahan mengalir menuju mereka yang menantinya.

Tiga bulan berlalu. Aliran data masih jauh dari selesai, namun apa yang telah tersuguh sudah lebih dari cukup memberikan kejutan demi kejutan, juga kekaguman demi kekaguman bagi mereka yang takzim mengikuti kiprahnya.
Berikut penulis tampilkan sebagian citra yang telah dipublikasikan tim pengendali wahana kepada khalayak ramai.

Mari memperbarui sudut pandang akan Pluto, menyapa perwujudan parasnya setelah sekian lama dipertanyakan zaman.

Montase Pluto dan Charon, sebagaimana dijepret oleh wahana New Horizons pada
14 Juli 2015. Terlihat perbandingan kecerlangan permukaan Pluto dan Charon. sumber gambar
Cakrawala senja Pluto, dengan pegunungan Norgay Montes (kiri) dan dataran Sputnik Planum, sebagaimana
dijepret oleh wahana 
New Horizons pada 14 Juli 2015. sumber gambar
"Pluto sabit" dengan atmosfer, sebagaimana dijepret oleh wahana New Horizons
pada 
14 Juli 2015. sumber gambar
Montase kelima bulan Pluto, sesuai skala. sumber gambar

Aliran data masih jauh dari selesai, sehingga kita masih punya banyak waktu untuk menyimak tiap-tiap citra terbarunya dalam beberapa bulan ke depan.
Sampai jumpa!
Lanjutkan baca »

Selasa, 27 Oktober 2015

Article#479 - Terjun

Kereta itu perlahan melaju. Terus menyapu keraguan dari wajah-wajah jenuh di pagi hari itu.

Aku terduduk dalam kompartemen, mencoba membetulkan posisi untuk menyamankan diri untuk menghadapi beberapa jam perjalanan ke depan. Itu adalah pengalaman baru; berkelana sekian jauh dengan kereta supercepat adalah sebuah kemewahan bagi sembarang jiwa mahasiswa. Bukan perjalanan receh yang bisa dijalankan dan dibubarkan begitu saja.
Ketika pandangan disapukan ke sekitar pun, sosok-sosok yang umum ditemui adalah sosok dengan setelan formal; berjalan terburu-buru khas karyawan yang sedang menjalankan panggilan tugas ke luar kota. Bukan alam yang jamak kujamah, bukan dunia yang kerap kusinggah.

Aku menujukan pandangan jauh melebihi sekat dinding gerbong kereta. Menyapa tiap-tiap semilir dedaunan, jurai rerumputan, petak perumahan, mengamati bagaimana mereka balas menyahuti wajah yang tertawan. Meski, dengan laju kereta yang bergegas sedemikian rupa, aku tidak tahu apakah sahutan ramah itu akan sampai pada tiap-tiap tujuannya. Atau apakah mereka pernah menetapkan satu dua dari sekian sembarang tujuan untuk dijadikan pelabuhan bagi hilir sapa.
Kecepatan adalah impian bagi jiwa yang mendamba keterjangkauan dan pergerakan, akan tetapi ia kerap menjadi momok bagi sesiapa yang mendamba keterikatan. Barangkali kehadiran sang wahana menjadi jembatan antara dua titik kulminasi yang bertolak belakang.

Aku melayangkan ingatan, menuju faedah dari perjalanan sekian lama yang agaknya masih tergantung dalam belantara entah di sana. Sementara aku terbuai dalam kenyataan akan kemewahan yang sedang dicecapi dalam takzim dalam setiap detiknya, setiap meternya. Sementara tiap-tiap jiwa raga berkelebat pergi dalam tiap-tiap pemberangkatan dan tiap-tiap pemberhentian. Sementara kroni yang berkumpul membahas segala apa yang tak dinyana akan dijumpa pada tujuan. Sementara aku masih mencoba merangkai nyata menjadi segenap kata untuk dituturkan. Sementara aku masih tak menduga, tak memantik prasangka, akan tujuan di sebalik apa-apa yang telah digelontorkan dalam usaha.

Kereta terus melaju, tak menggubris jiwa-jiwa yang tak menahu akan kelanjutan hidup.


Jiwa-jiwa yang tak mengetahui arahnya melangkah, tidak selalu memahami ketersesatannya.
Shinkansen Nozomi. 27 Oktober 2015, 13:48 (UT+9)
Lanjutkan baca »

Sabtu, 24 Oktober 2015

Article#478 - Freedom


As sophisticated as a depiction of freedom can be, for me, nothing quite beats this one in that regard.
You can label this as an ordinary picture of a crow having some rest on a bald eagle's back, if that is not peculiar enough for you. Or you can label it as a picture of a crow doing its best at not giving any flying fuck of that eagle it resides on. Get it? Get it?
Then again, things get even more interesting when we are given the fact that bald eagle is the national animal of a particular country. Yeah, you get it right: 'Murica. That particular country with that particular tendency to shove their own ideals and values up other countries' arses by the means of warfare and political intervention. Or at least that's what some angry, politically reactive Internet users might have told you.
Well, d'you come here to read such biased commentary on what a country could have done? Okay then, get back to square once again.

Depicting that bald eagle as 'Murica roaming around introducing their own means of freedom, here comes that random crow, landing so casually on the back of the bald eagle. You may associate it with an act of YOLO-ing, a blatant insult, or anything else, for all I care.
All in all, it may be interesting to see a crow acting so freely on the top of the eagle. It just seems as if that crow is trying to be more carefree than the "embodiment" of "freedom" it is perching on. Well, they say crows are one of the smartest animal, so it may be only natural to see crows riding eagles so casually to fit their own agendas and motives, while at the same time managing to maintain its image of a bird letting another bird to carry him anywhere it likes

Mind for a conclusion? The crow is having a flight on Freedom Airlines, while not giving any flying fuck.
So... Let's strive to emulate the crow's carefree demeanor, perhaps? It's completely up to you.
Either way, embrace all the hapiness to all your heart's content!

image source
Lanjutkan baca »

Selasa, 20 Oktober 2015

Article#477 - Gemintang

[apdet terbaru: 12 Desember 2015, 20:11 (UT+9)]

Langit malam meraja, memamerkan kemilau gemintang bagi segenap gelimang bingar manusia fana di bawahnya.
...
Sebagian dari kita mungkin akan berargumen tentang betapa langit malam jauh lebih menyibakkan ragam warna dibandingkan langit siang. Ada kemilau-kemilau berwujud cahaya beraneka warna, tidak seperti langit siang yang bergema biru monoton dengan selingan awan di berbagai posisi. Ketika orang lain memutuskan untuk menyanggah, mungkin sebagian kita akan mengeluarkan info tentang seorang pelukis kawakan yang konon mengutarakan kalimat senada. (Meski, yah, melacak kebenaran sebuah kutipan di internet bukanlah hal sedehana.) Seolah dengan membawa figur terkenal, klaim kita lantas menjadi benar sebenar-benarnya klaim. Bagi kepala-kepala yang lebih keras, yang tidak mempan disuguhi seorang pelukis kawakan sebagai "pendukung", barangkali kemudian kita akan menyuguhkan cerita, tentang bagaimana pelukis kawakan yang dimaksud adalah pelukis yang sama yang dikenal luas berkat karyanya akan langit berbintang. Karya yang konon menjadi salah satu lukisan yang paling terkenal dalam dunia seni modern Barat, adalah karya yang menyertakan gemintang bertaburan di langitnya.
Maka bukankah itu menahbiskan betapa langit malam adalah keistimewaan?

Entahlah. Bisa saja iya, bisa saja tidak. Yang jelas, menghabiskan waktu untuk berargumen mendukung atau menolak keindahan sesuatu tidak akan menyelesaikan apa-apa. Tidak membuat tiap-tiap kita lebih berguna dalam mempertahankan pendapatnya. Tidak pula mengurangi atau menambah beragam nilai atau makna, yang mungkin saja ditawarkan secara cuma-cuma melalui tiap kerlip bintang.
Jika aku adalah salah satu dari mereka yang sibuk berargumen itu, mungkin aku akan menghentikan adu pendapat, dan mengajaknya melangkah keluar menghadap bumantara.
Menatap gelimang titik cahaya, perlambang impian yang terpampang untuk didamba dan dicipta nyatanya. Perlambang akan apa-apa yang masih jauh tak terindera di masa depan, tetapi sudah cukup terasa oleh indera untuk diterka wujudnya.
Menatap kedalaman angkasa persemayaman titik-titik cahaya itu semua, sanubari semesta tempat kita memetik makna akan wujudnya dunia. Sebagai noktah tak bermakna di tengah sekian luas ruang hampa.
Noktah tempat semua asal mula cerita dan impian tiap-tiap kita.

Berurut dari objek paling terang ke paling redup: Venus, Jupiter, Mars.
Foto diambil pada fajar 23 Oktober dan 29 Oktober. 
Kedua potong foto tidak berskala sama.

*****

Sebagai seorang penikmat benda langit, saya cukup merasakan dilema antara keinginan memotret langit malam dengan kemampuan kamera ponsel yang bisa dibilang cukup terbatas. Dalam perjalanan saya menekuni seni jepret amatiran a la bocah pemalas (yang bahkan terlalu malas untuk menabung dan membeli kamera yang lebih "waw"), perlahan saya mendapat beragam keberuntungan demi keberuntungan, yang dalam banyak hal menjadi faktor yang lebih besar dari pada kepiawaian saya sendiri sebagai pemegang kamera.
Sehingga perlahan, saya katakan diri saya cukup beruntung dapat mengumpulkan sekian foto-foto benda langit. Selamat menikmati.

Waktu yang tertera pada seluruh pemotretan dinyatakan dalam zona waktu Jepang (UT+9), kecuali diberi keterangan tertentu.
Seluruh animasi diolah memanfaatkan situs piranti pengolah data daring GIFmaker.me.


Jupiter (kiri atas) dan Venus. 13 Mei 2015, 19:13.
Ketiga foto dimaksudkan untuk menjadi bagian dari rangkaian foto Venus-Jupiter,
seperti pada laman iniSayangnya cuaca tidak cukup mendukung.
Foto diambil pada 14, 19, dan 26 Mei 2015, seluruhnya sekitar pukul 20:28. 
Bulan sabit dan Venus. 21 Mei 2015, 19:13.
Jupiter (kiri atas) dan Venus. 15 Juni 2015, 19:50.
Venus (kiri) dan Jupiter. 12 Juli 2015, 19:54
Ada benda yang tampak "dekat", dan ada pula yang lebih "jauh". Saatnya meninggalkan Tata Surya dan berkelana menantang gemintang. Label sengaja ditambahkan untuk membantu memicu ketertarikan akan dunia perbintangan, dengan segala kompleksitasnya.

Rasi Crux dan sebagian rasi Centaurus, 2 Agustus 2015, 20:00 (UT+7).
Garis hanya dibubuhkan untuk menghubungkan bintang yang terekam dalam gambar.
Sila kunjungi tautan berikut untuk mengakses gambar tanpa label dan dengan label.
Rasi Sagittarius dan Scorpius, 2 Agustus 2015, 20:03 (UT+7).
"Ekor" dan "kepala" Scorpius (bawah) tampak terputus karena beberapa bintang
tidak terekam oleh kamera. Sila kunjungi tautan berikut untuk mengakses 
gambar tanpa label dan dengan label.

Rasi Orion dan segitiga musim dingin,1 September 2015, 03:26
Sila kunjungi tautan berikut untuk mengakses gambar tanpa label dan dengan label.

Rasi Taurus, Orion, dan segitiga musim dingin, 12 September 2015, 04:05.
Sila kunjungi tautan berikut untuk mengakses gambar tanpa label dan dengan label.

Venus, Betelgeuse dan empat dari enam anggota "segienam musim dingin",
12 September 2015, 04:06. Sila kunjungi tautan berikut untuk mengakses 
gambar tanpa label dan dengan label.

Aldebaran, Rasi Orion, dan segitiga musim dingin, 12 Oktober 2015, 04:30
Sila kunjungi tautan berikut untuk mengakses gambar tanpa label dan dengan label.
Lanjutkan baca »

Minggu, 18 Oktober 2015

Article#476 - Home


by Warsan Shire


no one leaves home unless
home is the mouth of a shark
you only run for the border
when you see the whole city running as well
your neighbors running faster than you
breath bloody in their throats
the boy you went to school with
who kissed you dizzy behind the old tin factory
is holding a gun bigger than his body
you only leave home
when home won’t let you stay.
no one leaves home unless home chases you
fire under feet
hot blood in your belly
it’s not something you ever thought of doing
until the blade burnt threats into
your neck
and even then you carried the anthem under
your breath
only tearing up your passport in an airport toilets
sobbing as each mouthful of paper
made it clear that you wouldn’t be going back.
you have to understand,
that no one puts their children in a boat
unless the water is safer than the land
no one burns their palms
under trains
beneath carriages
no one spends days and nights in the stomach of a truck
feeding on newspaper unless the miles travelled
means something more than journey.
no one crawls under fences
no one wants to be beaten
pitied
no one chooses refugee camps
or strip searches where your
body is left aching
or prison,
because prison is safer
than a city of fire
and one prison guard
in the night
is better than a truckload
of men who look like your father
no one could take it
no one could stomach it
no one skin would be tough enough
the
go home blacks
refugees
dirty immigrants
asylum seekers
sucking our country dry
niggers with their hands out
they smell strange
savage
messed up their country and now they want
to mess ours up
how do the words
the dirty looks
roll off your backs
maybe because the blow is softer
than a limb torn off
or the words are more tender
than fourteen men between
your legs
or the insults are easier
to swallow
than rubble
than bone
than your child body
in pieces.
i want to go home,
but home is the mouth of a shark
home is the barrel of the gun
and no one would leave home
unless home chased you to the shore
unless home told you
to quicken your legs
leave your clothes behind
crawl through the desert
wade through the oceans
drown
save
be hunger
beg
forget pride
your survival is more important
no one leaves home until home is a sweaty voice in your ear
saying-
leave,
run away from me now
i dont know what i’ve become
but i know that anywhere
is safer than here

Poem taken from http://seekershub.org/. Image taken from https://freevenicebeachhead.wordpress.com/
Lanjutkan baca »

Jumat, 16 Oktober 2015

Article#475 - Foliage

Beneath the radiant sunshine
There's those faces of upset
Muttering on life
As they would see fit
As mild as the sky can be
Gently whispers by the wind
Still their minds glare
Dictating what is it to be right

Amid the falling foliage
There lies a reality
Of those who despise
Changes in all they see
The leafless, bare 
Shades of the trees
Stares into the unfortunate eyes
For which they don't pay a sight

Leaves roam free
Mountains make shades
And as season changes
Stories remain the same

Fujisan with its first snow cover, from Mizugatsuka Park, 12th October, 2015.
Photo by Makoto Hashimuki
Fujisan with its first snow cover, from a passing airplane, 12th October, 2015.
Photo by Susumu Nishikawa




A snow coating on Nakayama Pass, Hokkaido, 13th Octiober, 2015.
Photo by @Achakamu
A snow-covered landscape on Tateyama, Toyama, 14th October, 2015.
Photo by @TNF_TATEYAMA
A snow-covered landscape on Furano, Hokkaido, 14th October, 2015.
Photo by @kikikilin7
Iwakisan with its first snow cover, 15th October, 2015.
Photo by @takizawakankou

And, well, it's that time of the year again.
Lanjutkan baca »

Selasa, 13 Oktober 2015

Article#474 - Menapak Fajar

Why d'you need a reason to feel happy?
Or shining for the rest of the world?


Setiap hembus sejuk di pagi hari jelang terbit Matahari konon adalah hembus yang memberikan kesehatan bagi diri. Terutama bagi mereka yang memilih untuk membangunkan diri mendahului terangnya benang hitam dari putih. Meskipun demikian kasusnya, acapkali sebagian kita memutuskan untuk bergelung, kembali melanjutkan tidur. Entah karena merasa sudah cukup menyehatkan diri barang sejenak, atau merasa tidur yang terundurkan belum paripurna dilaksanakan.

Sebuah pagi yang memicu kantuk oleh sejuknya pun nyaris memicu saya untuk berlabuh di pulau kapuk. Tetapi itu sebelum celah gorden jendela menyibakkan apa yang menjadi cikal bakal semburat fajar benderang. Tanpa banyak membuat perhitungan dengan berbagai kendala yang menjerat, mulai dari belenggu kelambu hingga dingin di sanggurdi, saya putuskan segera melaju keluar. Menerabas udara pagi bersuhu dua belas derajat, dalam kaos oblong dan celana pendek yang hangat, saya mengerjap menyaksikan fajar mulai menggeliat.
Dan inilah cita rasanya.














Pagi ini, gelora fajar menapaki jalan menuju senarai ingatan. Mengajak jiwa yang baru tersadar, untuk mempertanyakan berbagai kegilaan dalam menyatakan tindakan. Mempertanyakan alasan yang kita kemukakan menuju kebahagiaan. Mempertanyakan penghalang dari jalan kita untuk terus menyapa benderang.

If I may be so bold could I just say something
Come and make me my day
The clouds around your soul don't gather there for nothing
But I can chase them all away
Lanjutkan baca »

Kamis, 08 Oktober 2015

Article#473 - Ranggas


Saat-saat ini adalah waktu di mana jejak-jejak sapaan sol sepatu dengan tanah mulai disemaraki oleh isak dedaunan kering yang terkoyak. Di mana deru angin yang menyejukkan perlahan merasuk makin dalam menuju sekujur tulang. Di mana lapis sandang kembali menumbuhkan dirinya, menyelimuti lebih banyak raga dari kenyataan yang kembali meraja. Di mana dedaunan yang mulai lelah setelah sekian lama menghiasi reranting pepohonan, melepas salam perpisahan dengan rona warna meriah. Hingga masing-masingnya terlepas, perlahan, berjatuhan menghiasi muka dunia.

Di antara sekian banyak semarak yang mulai merambahi muka dunia utara, ada saja kautemui sekian jiwa yang mulai mendapati kebosanan berkalang dalam sanubarinya. Orang boleh bilang, kalau berkalang dalam apa-apa yang melenakan akan menghambat produktivitas. Tetapi, berkalang dalam apa-apa yang tidak melenakan pun memberikan efek yang tak jauh beda buruknya.
Dilepasnya lembar harta, melaju di atas jejaring jalur menuju kelanjutan. Mengupas kisah lama dan kisah baru yang dipersatukan oleh senarai benang tak kasat mata. Menyingkap kebosanan untuk memberi warna baru pada sudut pandang.

Dan pada saat itulah sebuah pikiran mulai bertanya-tanya.
Kenapa pula kita, sekian banyak manusia dengan segala ragam pola pikirnya, didesak untuk memusatkan diri sebagai suatu sudut pandang. Bahkan ketika kemudian tiap tiap pikiran dituntut untuk mengamat sesuatu dari sudut pandang yang lain. Sebagian kita yang sudah terlanjur terkungkung dalam kebosanan mungkin akan berteriak, menyeru supaya mereka tidak dibatasi dalam satu titik sudut tanpa dimensi. Kenapa harus sudut? Kenapa tidak sisi, misalkan? Di mana tiap pikiran bergerak bebas dalam pola pikirnya, dalam menyikapi hal dengan cara berbeda? Di mana tiap paradigma bisa menyilang sambung dan berpotong, alih-alih harus benar-benar berimpit supaya bergabung berpadu?

Adanya perbedaan dalam menyikapi cara pandang, pada gilirannya menunjukkan betapa cara pandang bisa demikian beraneka. Tetapi, jika nyatanya dua pola pikir yang berbeda dapat menemui kesamaan dalam beberapa urusan, maka agaknya keberadaan pola pikir ini bukanlah sebagai sudut-sudut di mana seorang terkungkung untuk memandang. Pun jua terkungkung dalam memaknai jati diri sudut sesungguhnya.
Perbedaan yang ada, yang kemudian memungkinkan dua pola pikir untuk menemukan kesamaan makna. Tanpa perlu mengorbankan jati diri, menyamakan segala rasa dan rupa dari sudut yang setara. Memberikan peluang terjadinya sekian skenario yang tak pernah terbayang dalam kepala kepala yang berpikir sama.
Misteri meranggas, menyisakan kejelasan alasan. Menyibak manfaat yang tak terlihat dari yang sebelumnya dipersangkakan.

'Cause people believe
That they're gonna get away for the summer
But you and I, we live and die
The world's still spinning round, we don't know why
































































Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...