Jumat, 31 Januari 2014

Article#260 - Di Atas Runtuhan Kota Melaka




Di atas runtuhan Melaka lama

Penyair termenung seorang diri
Ingat Melayu kala jayanya
Pusat kebesaran nenek bahari

Di atas munggu yang ketinggian
Penyair duduk termenung seorang
Jauh pandangku ke pantai sana
Ombak memecah di atas karang

Awan berarak mentilau bernyanyi
Murai berkicau bayu merayu
Kenang melayang ke alam sunyi
Teringat zaman yang lama lalu

Sunyi dan sepi, hening dan lingau
Melambai sukma melenyai tulang
Arwah Hang Tuah rasa menghimbau
Menyeru umat tunduk ke Tuhan

Di sini dahulu alat kebesaran
Adat resam teguh berdiri
Duduk semayam Yang Dipertuan
Melimpahkan hukum segenap negeri

Di sini dahulu Laksamana Hang Tuah
Satria moyang Melayu jati
Jaya perkasa, gagah dan mewah
‘Tidak Melayu hilang di bumi’

Di sini dahulu payung terkembang
Megah Bendahara Seri Maharaja
Bendahara yang cerdik tumpuan dagang
Lubuk budi laut bicara

Penyair menghadap ke laut lepas
Selat Melaka tenang terbentang
Awan berarak riak menghempas
Mentari turun rembanglah petang

Wahai tuan Selat Melaka
Mengapa tuan berdiam diri?
Tidakkah tahu untung hamba
Hamba musafir datang ke mari

Di mana Daulat Yang Dipertuan
Mana Hang Tuah, mana Hang Jebat
Mana Bendahara johan pahlawan
Bukankah jelas di dalam babad

Namanya tetap jadi sebutan
Bekasnya hilang payah mencari
Sedikit penyair bertemu kesan
Musnah dalam gulungan hari

Mengapa ini bekas yang tinggal
Umat yang lemah terkatung-katung
Hidup menumpang tanah terjual
Larat wahai larat dipukul untung

Adakah ini bekas peninggalan
Belahan diriku umat Melayu
Lemah dan lungai tiada karuan
Laksana bunga terkulai layu

Jauh di darat penyair melihat
Gunung Ledang duduk termangu
Tinggi menjulang hijau dan dahsyat
Hiasan hikayat nenekku dahulu

Di dalam kuasyik merenung gunung
Di dalam kemilau panas kan petang
Tengah khayal dirundung menung
Rasanya ada orang yang datang

Penyair hanya duduk sendiri
Tapi keliling rasanya ramai
Bulu romaku rasa berdiri
Berubah warna alam yang permai

Ada rasanya bisikan sayu
Hembusan angin di Gunung Ledang
Entah puteri datang merayu
Padahal beta bukan meminang

Bukanlah hamba Sultan Melaka
Jambatan emas tak ada padaku
Kekayaanku hanya syair seloka
Hanya nyanyian untuk bangsaku

Justeru terdengar puteri berkata
Suaranya halus masuk ke sukma
Maksudmu tuan sudahlah nyata
Hendak mengenang riwayat yang lama

Bukan kuminta jambatan emas
Tapi nasihat hendak kuberi
Kenang-kenangan zaman yang lepas
Iktibar cucu kemudian hari

Sebelum engkau mengambil simpulan
Sebelum Portugis engkau kutuki
Inggeris Belanda engkau cemarkan
Ketahui dahulu salah sendiri

Sultan Mahmud Shah mula pertama
Meminang diriku ke Gunung Ledang
Segala pintaku baginda terima
Darah semangkuk takut menuang

Adakan cita akan tercapai
Adakan hasil yang diingini
Jika berbalik sebelum sampai
Mengorbankan darah tiada berani

Apalah daya Datuk Bendahara
Jikalau Sultan hanya tualang
Memikir diri seorang sahaja
Tidak mengingat rakyat yang malang

Sultan Ahmad Shah apalah akalnya
Walaupun baginda inginkan syahid
Mualim Makhdum lemah imannya
‘Di sini bukan tempat Tauhid’

Bendahara Tua Paduka Raja
Walaupun ingin mati berjuang
Bersama hilang dengan Melaka
Anak cucunya hendak lari pulang

Berapa pula penjual negeri
Mengharap emas perak bertimba
Untuk keuntungan diri sendiri
Biarlah bangsa menjadi hamba

Ini sebabnya umat akan jatuh
Baik dahulu atau sekarang
Inilah sebab kakinya lumpuh
Menjadi budak belian orang

Sakitnya bangsa bukan di luar
Tetapi terhunjam di dalam nyawa
Walau diubat walau ditawar
Semangat hancur apalah daya

Janjian Tuhan sudah tajalli
Mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkirkan janji
Tarikh riwayat jadi pedoman

Tidaklah Allah mengubah untung
Suatu kaum dalam dunia
Jika hanya duduk terkatung
Berpeluk lutut berputus asa

Malang dan mujur nasibnya bangsa
Turun dan naik silih berganti
Terhenyak lemah naik perkasa
Bergantung atas usaha sendiri

Riwayat yang lama tutuplah sudah
Apalah guna lama terharu
Baik berhenti bermenung gundah
Sekarang dibuka lembaran baru

Habis sudah madahnya puteri
Ia pun ghaib capal pun hilang
Tinggal penyair seorang diri
Di hadapan cahaya jelas membentang

Pantai Melaka kulihat riang
Nampaklah ombak kejar-mengejar
Bangunlah Tuan belahanku sayang
Seluruh Timur sudahlah besar

Bercermin pada sejarah moyang
Kita sekarang mengubah nasib
Di zaman susah atau pun riang
Tolong tetap dari Yang Ghaib

Bangunlah kasih, umat Melayu
Belahan asal satu turunan
Bercampur darah dari dahulu
Persamaan nasib jadi kenangan

Semangat yang lemah dibuang jauh
Jiwa yang kecil kita besarkan
Yakin percaya, iman pun teguh
Zaman hadapan, penuh harapan

Bukanlah kecil golongan tuan
Tujuh puluh juta Indonesia
Bukan sedikit kita berteman
Sudahlah bangun bumi Asia

Kutarik nafas, kukumpul ingatan
Aku pun tegak dari renungku
Jalan yang jauh aku teruskan
Melukis riwayat sifat hidupku

Kota Melaka tinggallah sayang
Beta nak balik ke Pulau Percha
Walau terpisah engkau sekarang
Lambat launnya kembali pula
Walaupun luas watan terbentang
Danau Maninjau terkenang jua

Puisi karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah "Hamka" (1908-1981), sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.
Dikutip pada Jumat, 31 Januari 2014, 18:31 (UT+9).
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Rabu, 29 Januari 2014

Article#259 - Kaleidoskop

(lanjutan dari edisi sebelumnya)
....
"Kenapa ya, orang bijak identik dengan tua?"
Sebersit pertanyaan yang selalu menyempatkan diri untuk muncul tiap kali penulis mendengar cerita mengenai orang bijak. Pemahaman yang mungkin terbersit juga dalam pemikiran beberapa orang lain. Jika diminta untuk membayangkan sejenak, seperti apa kenampakan seorang bijak, maka pikiran banyak dari kita akan secara otomatis mengasosiasikannya dengan salah satu atau kombinasi dari beberapa gambaran berikut.

Mungkin, sosok yang akan terbayang adalah seorang tua dengan kostumnya yang sederhana. Segala langkahnya yang seksama, selalu awas akan apa yang mungkin menghadang. Pandangan matanya menatap lamat-lamat akan warna dunia, tenang nan menghanyutkan. Kata-katanya disampaikan dalam nada yang dalam, menghantar sampai lubuk hati terdalam. Tempat hidupnya, sebuah desa yang tenang, sejuk nan asri, memberikan suasana yang demikian memadai bagi pemikiran bijak untuk tumbuh subur dan berkembang biak.
....
....
Hah, entahlah. Pada akhirnya daftar diatas bisa diteruskan tanpa henti. Tetapi, sejauh yang penulis amati, dimanapun mencari, bagaimanapun meneliti, hampir semua orang kompak dalam membahas masalah ini. Terlepas dari perbedaan latar cerita, alur cerita, ataupun tokoh cerita. Ketika sudah hadir tokoh "orang bijak" dalam cerita, ia nyaris selalu digambarkan dalam citra senada: "tua".

*****

sumber


There'll come a time, yes I know. 
There'll come a time when I looked back and regret what is gone.
I looked back and regret what is gone.
....There'll come? Or there had come?

Awal dari tercetusnya tulisan ini ikut dipacu oleh beberapa rekan sesama penulis yang juga menuangkan sekian banyak rangkaian kata. Agaknya banyaknya kejadian yang bernaung di sekitar benak penulis kali ini, ikut mendorong jari-jemari. Untuk sekali lagi, berdansa, berloncatan dengan lincah pada lingkup papan kunci. Bahkan, tak hanya jemari yang dengan indah berloncatan, benak pikiran juga demikian gesitnya berseliweran. 
Berseliweran, bertabrakan, dan bepergian. Seringkali tanpa mohon perizinan.

Mereka semua pergi, menyambangi memori yang arsipnya tersimpan sebagai elegi. Elegi yang menangis, meratapi masa lalu yang takkan sudi kembali. Sebuah masa yang bukti keberadaannya hanya bisa ditemukan, oleh mereka yang menyigi berlembar-lembar naskah yang terhampar, luas di dalamnya. Mungkin didalamnya mereka temukan kenangan cerah berwarna, yang bersamanya kita tertawa. Mungkin pula, didalamnya mereka temukan lembar memori hitam-putih, yang warnanya telah lama pudar oleh perih. 

Kita semua telah berkubang dalam hidup di tengah dunia kebrengsekan. Dunia dengan segala macam corak polanya, porak-porandanya, sorak dahaganya. Dunia dimana berbagai macam hal bisa ditertawakan oleh apa-apa yang dimusuhinya, dan ditangisi oleh apa-apa yang dikasihinya.
Di dunia inilah, kita-kita, para jiwa-jiwa yang tersebar tanpa tahu menahu jalan tujuan, mengais keping cerita untuk disusun sebagai kesatuan naskah perjalanan. Sejarah telah mencatat, tak terbilang juntaian cerita yang terpautkan, antar satu-dua jiwa dengan entah kaitan yang mana.

Dalam masing-masing juntai cerita ini, terselip demikian banyak jurai-jurai kata yang sempat tertuturkan. Entah yang dipikirkan masak-masak, atau yang diutarakan tanpa sempat terayak. Ada juga yang lain, sisa bersitan dari apa-apa yang sempat terbayang dari sebuah perlakuan. Entah apa-apa yang hanya tersimpan dalam perasaan, atau bersama kawan-kawan dipertanyakan.

Jiwa-jiwa yang tersasar itu, mereka makin banyak mengumpulkan keping-keping, menata sebuah gambaran abstrak yang dengan bangga mereka usung sebagai karya. Ada yang menempatkan karyanya bersama sebingkai pigura, melindungi karya besarnya dengan penuh cita dan cinta. Ada yang menyulam keping-keping itu menjadi satu, dikaitkan dengan juntai luar biasa ruwet yang ia pintal, jalin dan tuai dalam sekian lama. Ada yang memilih untuk menempelkan keping-keping itu, bersatu bersama selembar kertas, dihias dengan manik-manik, sebagai bumbu yang berkilau cerah. 
....
Dan waktu terus berjalan. 
Kita terus bertemu, berjalan bersisian, atau bertolak pinggang. Ada dari kita yang terus membiarkan karya berkembang, ada yang membiarkannya duduk tenang. Kita semua, bersatu dalam sebuah biosfera rumit yang pengaruhnya saling menjalar, menebar serbuk persemaian. 
Dan ada aku, salah satunya.
Aku yang karyanya bercorak abstraksi ketidakjelasan.
Aku yang senantiasa berkecamuk dalam distraksi dan ketaktentuan.

Tak apa, teruslah berjuang, teruslah berkarya, begitu kata-kata seorang tua bijak yang dalam suatu waktu begitu rajin bersemayam di benakku. Iya, tua, dan bijak.
Mungkin seorang bijak identik dengan orang tua, karena diantara sekian banyak jiwa-jiwa yang mengais keping membangun karya, ialah yang memiliki keping terbanyak? Sehingga mampu menyusun kombinasi karya yang lebih banyak? Aku pun tak yakin.

Yang kutahu kini adalah, aku telah mengumpulkan sedemikian banyak keping. Termasuk banyak dari mereka yang dilemparkan orang-orang untuk menimpuk dan membungkam. Tak bermaksud menjadi bocah sok bijak, karena aku sendiri pernah tenggelam dalam lautan bongkah karang yang kukira kolam kebijakan. 
Yang ingin aku katakan, hanyalah bahwa ketika sedemikian banyak keping telah kupunya, dan warna-warninya kususun entah berbagai rupa, makin kerap kudapati kumpulannya indah dipandang.
Menjadi kumpulan pola, akan hidup yang telah dijalankan.

Terima kasih, telah mengenalkanku pada warna dunia.
Juga pada mahligai kenyataan yang kupetik dalam lara.
Yang kuharap, juntai benang itu terus merajut asa,
Untuk mempertemukan kembali pada saatnya.

There's so much left to say
And before this moment slips away
What a wonderful life
For as long as you've been at my side
And I want you to know
....
Lanjutkan baca »

Sabtu, 25 Januari 2014

Article#258 - Perspektif

*****
Alkisah, tersebutlah seorang saudagar yang kaya raya. Ia tinggal di sebuah kota yang luas nan sederhana, dimana ia mengepalai sebagian besar usaha. Mulai dari sembako, toko kelontong, hingga restoran di sana, banyak dimilikinya. Saking luasnya kerajaan bisnis sang saudagar, konon katanya, di kotanya itu, ia menghidupi seluruh warga dari hasil bisnisnya saja.

Singkat kata saudagar ini benar-benar kaya. Akan tetapi, ia tidak benar-benar bahagia.

Sejak beberapa tahun sebelumnya, sang saudagar meyakini bahwa hanya dengan memperluas jejaring kekuasaan bisnisnya lah, ia akan mampu membahagiakan dirinya. Akan tetapi, setelah beberapa tahu itu terlewat, ia sadari bahwa ia tak kunjung bahagia.

Berangkat dari kekalutannya itu, dia coba mendatangi seorang tua bijaksana. Ia tinggal di desa tetangga, maka berangkatlah sang saudagar ke desa tetangga untuk minta nasehat.
Ditemuinya sang Pak Tua, yang duduk dengan santai di pendopo desa, dan bersegeralah ia menyapa Pak Tua untuk menyampaikan tujuannya datang.
"Pak Tua, saya sengaja datang kemari jauh-jauh dari kota seberang, ada hal penting yang ingin saya tanyakan. Karena itu, sudilah kiranya Pak Tua menjawab pertanyaan saya," begitula sang saudagar membuka perbincangan hari itu.
"Silakan bertanya. Saya akan berusaha menjawab pertanyaanmu dengan baik," jawab Pak Tua dengan tenang.
"Begini pak. Saya sudah memiliki jaringan bisnis yang luas di kota seberang. Harta saya berlimpah. Tetapi Pak Tua, saya merasa ada yang hampa di dalam jiwa saya. Rasanya saya tidak bisa jua bersikap baagia atas semua itu Pak Tua. Terkadang gelisah, cemas, merasa tak puas, apalah itu. Maka dari itu, apalah kiranya yang harus saya lakukan supaya hidup saya bahagia, Pak Tua?"

Pak Tua diam sejenak. Kemudian ia menjawab,
"Kamu akan bahagia kalau semua yang kamu lihat berwarna hijau."
Sang saudagar melongo sejenak, kemudian berpikir. "Ah, hal semacam itu mudah diatasi oleh harta kekayaanku."
Ia pun manggut-manggut saja mendengar nasehat Pak Tua. Merasa puas dengan apa yang disampaikan Pak Tua, ia mengucapkan terimakasih dan beranjak pulang.

Satu bulan berselang, sang saudagar dengan bangga mengontak Pak Tua.
"Pak Tua, seperti yang dulu Pak Tua bilang, sekarang semua yang saya lihat berwarna hijau! Maka dengan ini saya mengundang Pak Tua ke kediaman saya,"

Singkat cerita, sampailah Pak Tua ke rumah sang saudagar. Pak Tua hanya bisa melongo memandangi rumah Saudagar, sesuai dengan alamat yang diberikan Saudagar sebelumnya. Rumahnya adalah rumah terbesar, menjulang diantara rumah-rumah ukuran biasa di sekitarnya. Uniknya, semua bagian rumahnya berwarna hijau. Pagarnya, cat tembok rumahnya, atapnya, bahkan lampu-lampu, semua bersemu hijau.
Lantas Pak Tua memencet bel pintu rumah Saudagar (yang tentunya berwarna hijau juga). Saudagar sendirilah yang keluar dan membukakan pintu untuk menyambut Pak Tua. Saudagar saat itu mengenakan baju sutra yang amat mahal berwarna hijau. “Mari, Pak Tua, saya antar berkeliling rumah saya.”

Seolah belum cukup rasa heran Pak Tua melihat tampilan luar rumah sang saudagar, ia dibuat terheran lebih lagi dengan isi rumah si orang kaya. Tidak hanya luarnya, bagian dalam rumahnya pun semua berwarna hijau. Perabot rumah, mulai karpet, sofa, televisi, lemari, meja dan kursinya, semua berwarna hijau. Bahkan pelayannya pun mengenakan seragam berwarna hijau. Hingga pada puncaknya, sang saudagar memperlihatkan dua mobil mewahnya. Di garasinya ada dua mobil Mercedes-Benz dan BMW terbaru. Dan, bisa ditebak: keduanya berwarna hijau.

"Bagaimana, Pak Tua? Saya berhasil membuat semua yang saya lihat berwarna hijau," ujar Saudagar dengan menyunggingkan giginya yang berkilau. Tidak perlu diceritakan apakah giginya berwarna hijau atau tidak.

"Hmm hmm, baiklah. Sekarang, misalkan kamu berjalan keluar, cukup jauh sampai kau tak melihat rumahmu lagi. Apakah yang kau lihat tetap seluruhnya berwarna hijau?" tanya Pak Tua.
Saudagar hanya terdiam dan menelan ludah.

"Kau pasti telah mengeluarkan banyak uang untuk mengubah ini semua, bukan?" selidik Pak Tua.
"I-i-iya, Pak Tua," jawaban Saudagar yang semula bersemangat, kini terdengar melesu.
Pak Tua bersiap untuk kembali pulang ke desa. Tetapi sebelum itu ia berkata,
"Aku tak habis pikir denganmu, hai saudagar. Dengan pola pikir seperti itu, bagaimana kau akan bisa bahagia?"
"Pola pikir seperti apa, Pak Tua?"

Menghela nafas, Pak Tua meneruskan.
"Kau ingin membuat semua yang kaulihat berwarna hijau."
Saudagar mengangguk lesu.
"Bukankah cukup dengan memakai kacamata hijau?"

~disadur dari cerita lama yang pernah dibaca penulis. Masih ada lanjutannya.
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Selasa, 21 Januari 2014

Article#257 - Kutipan Hari Ini

"Those who say religion has nothing to do with politics do not know what religion is."
- Mereka yang mengatakan bahwa agama tidak ada sangkut pautnya dengan politik sama sekali tidak tahu apa artinya agama.

~versi bahasa Indonesia disadur dari laman tumblrnya akang Musfiq. Dikutip bersama dengan versi aslinya, kutipan milik Mohandas Karamchand "Mahatma" Gandhi (1869-1948), pemimpin India dalam meraih kemerdekaan dari Inggris tahun 1947. Dikutip pada Senin, 20 Januari 2014, 19:22 (UT+9).
Post ini didedikasikan untuk semua liberalis, sekularis, dan segala macam antek-anteknya yang mampir ke laman ini.

sumber


Lanjutkan baca »

Sabtu, 18 Januari 2014

Article#256 - Bermain Dengan Bulan

Sebagai benda langit yang paling cerah setelah sang surya, sang rembulan telah menempatkan diri sebagai sebuah objek penting dalam mewarnai kehidupan manusia yang menjejak muka Bumi. Kenampakannya yang bervariasi dengan adanya daerah gelap dan terang, menyemai benih mitologi dalam beragam lapis budaya yang terus berkembang seiring bergulirnya waktu. Terkadang Bulan beredar sedemikian sehingga bayangannya mencapa permukaan Bumi, memberikan kegelapan sesaat kepada orang-orang yang kemudian menjulukinya gerhana. Fasenya yang berubah seara teratur, dari Bulan baru, sabit, separo, purnama, kemudian kembali ke Bulan separo serta sabit, mengilhami kebudayaan di Bumi dalam beragam cara. Salah satu yang paling umum adalah pemanfaatan fase Bulan sebagai alat bantu dalam menentukan penghitungan waktu.

Di samping pengaruh atas kebudayaan, Bulan sebagai satu-satunya teman seperjalanan Bumi yang diketahui saat ini, juga memberikan berbagai pengaruh lain. Kita semua sudah cukup akrab dengan fenomena pasang surut, dan beberapa mungkin sudah mengetahui bahwa Bulan ikut memperlambat laju rotasi Bumi. Bahkan Bulan sendiri diyakini ikut membantu menjaga poros Bumi tetap stabil; jika tidak stabil, maka musim-musim di Bumi akan kacau.

Banyak orang, sejak dahulu, terkagum oleh temaram sinar rembulan yang tenang, dan menjadikan Bulan sebagai inspirasi dalam berbagai macam karya. Diantara orang-orang ini ada Laurent Laveder beserta partnernya Sabine Sannier, yang kemudian menyusun sebuah galeri berjudul "Jeux Lunaires" (Permainan Bulan–pen., mohon koreksinya).
Dalam waktu 4 tahun, mereka merekam foto-foto Bulan dengan beragam gaya. Memadukan astrofotografi dan kreativitas, keduanya menghasilkan beragam citra yang seolah tidak menggambarkan Bulan sebagai objek yang jauh, tetapi menjadi bagian dari apa yang dilakukan figur dalam gambar.
Berikut kumpulan citranya. Selamat menikmati.




















Seluruh gambar disadur dari laman berikut: http://blog.gaborit-d.com/jeux-lunaires-de-laurent-laveder-et-sabine-sannier/
Lebih lanjut, sila kunjungi:
http://www.pixheaven.net/galerie_us.php?id=22
http://www.laurentlaveder.com/publications.html
http://www.linternaute.com/photo_numerique/photographe/photos-de-la-lune-laurent-laveder/
https://www.pinterest.com/pin/201465783304067391/
(:g)
Lanjutkan baca »

Kamis, 16 Januari 2014

Article#255 - Song Of The Light

Welcome the glimpse of solemn light
Striking beneath the morning high
Lay up the sleepyheads
And endless dreams of heart
To welcome the new start
Hey the retained sight of repent
Let the sunshine enter your eyes
It may be not the time for me to get it right
But just tell me to stay

When I keep on
Let everything be, and let go
Down to nowhere as it is now
'Cause the day can't puncture this out
Lullaby of the morning home

Let it began of one's strong heart
Breaking the tide of what's regretted
Not that be me
Of every life that I'd be glad
To see their smile, and try
Sometimes we're bound to realize
That past ain't ours to reignite
Withdraw the truth
And heading back to where we are
Looking at the fake tale

Where have it gone?
The chirping birds tell me to go
Ahead of what we have undergone
And those who forgot where to go
Cracking up of what they've got

Glimpse of sunlight to reach everyone's might
Dearly alive is about to make its rise
Taking the sight, and throw the burden out, of us

Regard the perished pride
That of what they made so high
Towering above their best
And shade the truth alight
Flying beneath the clouds of memories
Where hopes meet reality in vain
And as I come through all this again
Words are not enough to explain

Waking the old deep story line
Continue our way and keep aligned
Whereas everyone come and go
We keep in the straight path
And replenish the heart from which they've lost
The clemency way of pure thought
While they distract themselves at most
Bringing the agony back home
Now how would you let it go?

Think of the sun, the fierce way it passed through
Don't dare we run, for the dream never come true
What will be done, there you will see the proof

Light it the fullest
Light it the fullest
Take me back, out of the sound to show
The flashback of what has been done long ago

Well I can see the stars, rising to never set anymore
There we going, rushed to the future we never know


Day 6856, as the cloud shades the path.
Retold from a fast moment aboard,
Thursday, 16th January, 2014, 15:11 (UT+9)
38°00'11.17"N, 140°37'34.87"E
Lanjutkan baca »

Selasa, 14 Januari 2014

Article#254 - Kutipan Hari Ini

"On ne voit bien qu'avec le cœur. L'essentiel est invisible pour les yeux."
- Hanya dengan hati, seseorang bisa melihat dengan baik. Bagian terpenting (ada di apa yang) tak terlihat dengan mata.

~dikutip dari kutipan dalam novel Le Petit Prince (1943) karya Antoine de Saint Exupéry (1900-1944), aristokrat, penulis dan pilot asal Prancis. Dikutip dan diterjemahkan (secara asal) pada Selasa, 14 Januari 2014, 20:47 (UT+9).

sumber



Lanjutkan baca »

Minggu, 12 Januari 2014

Article#253 - Sebuah Kisah Pemudah Payah

[versi final]
Terheran dengan topik yang tersirat tak biasa? Tak apa.
Saya sendiri (nggak sendiri sih, bareng sama komplotan) heran ketika merampungkan tulisan ini, dan kemudian berpikir, kenapa bisa. Saking kagetnya, maka saya sarankan, kalian yang akan membaca lebih lanjut, simak beberapa hal ini:
  • Selama perjalanan kalian membaca tulisan ini, akan banyak dijumpai, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baku dan benar. Apakah ini baik? Entahlah, kalian lebih bisa menilai. Yang jelas, jangan terburu-buru gusar ketika menemuinya, karena seperti kata pepatah, sekali gusar, maka seterusnya akan tetap gusar. Lah pepatah siapa itu bang
  • Semua aspek dari cerita di bawah, entah latar, tokoh, atau alur cerita, tidak ada yang diambil dari kisah nyata. Jadi jangan terburu-buru mengasosiasikan isi cerita ini dengan entah siapa kenalan kalian yang tak bersalah. Apalagi dilimpahkan kepada penulis beserta komplotannya. Tega niaan..
  • Seluruh kepingan gambar diadopsi dari dunia maya, dan beberapa mengalami sepercik modifikasi. Tidak ada yang murni buatan penulis.
Mungkin itu saja. Selamat meneruskan.
*****


Gue cukup yakin, banyak dari anak-anak kecil yang mengagumi kehidupan orang dewasa. Entah dari hasil menonton kartun tanpa henti, dimarahi orangtua, nggak bisa ngambil kotak biskuit di atas lemari. Gue pun dulu nggak jauh beda sama mereka. 
Dengan celana bagian lutut yang kotor oleh debu lapangan, gue melihat orang dewasa sebagai orang besar yang keren. Gue pengen jadi seperti mereka.
Tapi... Itu dulu.
Kemudian gue bertumbuh dewasa secara perlahan, dan sadar, pemikiran gue dulu salah besar.

Kesimpulan ini gue ambil setelah mengalami sendiri, banyak hal dalam hidup gue. Setelah gue sadar bahwa sandal nggak kalah pedas sama sambal. Setelah gue sadar bahwa ekspresi muka bisa menandingi dinginnya Antarktika. Setelah gue sadar bahwa… yang mengakui secara verbal kalau gue tampan, hanya kedua orangtua. Setelah.. Ah kepanjangan prolognya.


Langsung aja ya sob. Perkenalkan, nama gue Glen. Mungkin, nama ini sekilas terdengar keren. Secara, wescern neim gitcu low.. Tapi, nama panggilan gue ini berevolusi seiring berjalannya waktu. Mulai dari Si Glen, berubah jadi Si Ngglén, berubah jadi Singglén, sampai akhirnya nama gue malah jadi Singlé.
Jadi… Yap, betul, gue jomblo. Tercetak abadi di nama gue. Huft.

Meskipun gue jomblo, gue nggak minder sama topik cinta-cintaan. Misalnya, pas hari paklentin gue juga ikut seneng, terlepas dari hakikatnya yang gue nggak peduli hari apaan. Yang penting sih jelas ini.

YEE!
Nggak perlu dijelasin lah ya. Yang jelas coklat sale itu super enak, terlepas apakah kalian ibu-ibu atau bukan.

Bahkan, dengan kondisi gue yang bahagia itu pun, temen gue ada yang masih nanyain kenapa gue santai aja sama topik cinta-cintaan. Padahal jawabannya udah jelas.
“Pengen belajar, biar dapet IP bagus. Pengen bikin mamah papah bangga. Pengen kerja di perusahaan gede. Pengen…”
Iya, gue tau, banyak pengennya. Tapi sebenernya sih bukan itu yang utama.
Alasan utamanya, gue masih mau serius main game. Game itu, separuh nafas gue.. terbang bersama diri gue..
Seandainya gue bisa masang baling-baling bambu ke tugas-tugas kuliah supaya mereka terbang..
Dalam beberapa saat, istilah cinta mengingatkan gue akan sesuatu yang lebih ilmiah. Dan gue seringkali dibuat mabuk oleh sesuatu yang ilmiah macam gini, jadi gue nggak mau deket-deketin.

Hormon yang memabukkan, sebagaimana efeknya.
Tetapi, lebih sering, gue cuma memanfaatkan masalah cinta sebagai topik terbaik untuk ngejek orang lain. Seru loh ngejek orang itu. Ekhemmm. Ekhem.

Nobita bisa sejago itu, ya.
Tapi euforia ke-jomblo-an ini nggak berlangsung lama, sob.
Nikmatnya hidup menjomblo gue berubah seiring sinetron pacaran merebak ke seluruh televisi di nusantara. Gue nggak ngerti maunya mereka apa, bocah ingusan disuruh akting pacaran. Mereka harusnya sadar dong, masih banyak manusia tunaasmara bergeletakan di penjuru negara.
Seolah semua itu nggak cukup, gue makin nggak abis pikir setelah gue baca koran dan nemu berita ini.

Kasian mamah papahmu dek,
Apa pasal, dengan membaca berita itu, gue merasa tambah antipati ama topik cinta. Tiap ada yang bawa-bawa topik ini muncul, gue langsung usir dia kayak ngusir nyamuk. Kayag nggak ada obrolan lain aja.
Belom pernah nyemprot, sih,
Tak lama kemudian, justru alur hidup gue berubah total.
Sepertinya kebanyakan mengejek orang yang jatuh cinta bikin gue kena batunya. Kemudian dengan demikian mendadaknya, gue dapati diri gue naksir sama cewek sob! (Iya cewek, ciyus, gue normal kok)
Akhirnya… Sob, dengan berat hati gue ngaku. Gue juga mulai terserang wabah virus merah jambu.
Gejala ringannya, gue jadi lebih puitis. Iya, gue jadi getol nulis puisi. Di tembok rumah tetangga.


Entah berapa ember cat terbuang..
Yaa gue sih mikirnya asal nggak ketauan, kagak masalah. Daripada gue tulis di kertas. Syukur-syukur nyampe ke majalah kampus, takdirnya paling nggak jauh-jauh tong sampah. Atau mujur dikit, dipake buat bungkus gorengan.
Sebagai gantinya.. gue diincer ama bapak si empunya rumah. Dan gue baru ngerti, betapa sandal balado itu pedes banget. Terutama kalau kena ke muka. Parah deh.

Kejadian itu membuat gue nggak berani melakukan apa-apa, untuk beberapa waktu.
Gue juga jadi lebih sering berdoa. Tapi... ya gitu deh.

Gue juga bingung kenapa bisa ada onta nongol disono.
Gejala menengahnya, kalau gue ketemu tuh cewek, muka gue jadi merah kayak udang yang baru keluar dari panci. Gue nggak masuk panci aja merah begini, gimane kalau masuk ya..?
Muka boleh merah, tapi gue pengen keliatan kewl. Gue ajak si doi ngobrol, supaya bisa lebih kenal. Gue keluarkan lawakan-lawakan, niatnya sih supaya suasana bisa mencair. Ternyata berat, sob.

Gue nggak bisa konsen. Nggak bisa. Parah.
Makin gue kenal doi, rasanya makin aneh jiwa gue sob. Dasar pemuda yang sedang dimabuk cinta, sesuatu dalam diri gue mendorong untuk bertindak lebih.
Gue jadi berniat untuk menyatakan perasaan gue kepada si dia. 
Bayangin coba, menyatakan perasaan. Menyatakan butir-butir Pancasila aja gue masih sering kepeleset nyebut Pencak Silat.

Dengan beraninya gue ketik di hape, tiga kata sederhana di kolom pesan. Tinggal pijit tombol “Kirim”, akan terkirimlah pengakuan itu.
Gue nggak abis pikir, kesambet apa diri gue saat itu. Karena gue nggak paham soal sambet-sambetan, akhirnya gue nggak minta tolong temen buat ngeruqyah gue saat itu. Boro-boro kepikiran sih ya.
Pesan itu masih tersimpan hingga beberapa hari kemudian, ketika gue, dengan teledornya, memencet tombol “Kirim”.
WADUH!
Gawat gawat gawat gawat gawat...
Gue gemeteran lima menit di atas kasur, nggak kebayang dah kalutnya kayak apa.
Lima menit...
Sepuluh menit...
Setengah jam...
Adzan Maghrib...
...
Nggak ada respon dari doi, sob. Gue menghela nafas panjang, panjang banget. Kalah dah preambul UUD '45.
Gara-gara hati kecil gue masih menyimpan harap, gue bukalah kolom pesan itu. Harapannya ada pesan masuk dari doi saat gue nggak sadar.

Memang belum waktunya ya?
Gue rasanya bingung, antara kepingin memasang ekspresi mukegile sekaligus kepingin bersorak. Serasa diberikan kesempatan kedua, nafas gue diperpanjang dikit dengan kejadian tak terduga ini.

Setelah kejadian itu, gue mulai berpikir, bukan ini cara yang pas, sob.
Katanya sih, langkah awal untuk menyatakan cinta itu dengan cara memancing topik pembicaraan. Gue selama ini baru bisa mancing ikan teri, itupun pake iming-iming piring cantik dulu. Jadi gue super waswas, meskipun akhirnya gue tetap nekat.
Ketika gue nekat bertindak, sayangnya malah jadi kayak begini.

(nama bukan nama sebenarnya)

Huft.
Gue merasa demikian payah. Kalah sama bocah tetangga yang udah bisa nyetir bajai. Sementara gue ngampus aja naik skuter, itupun ketar-ketir.
Gue makin kalut. Akhirnya, gue memutuskan untuk minta saran dari orang terdekat. Siapa lagi kalau bukan abang gue? Orang yang sekiranya akan sangat membantu dalam menyelesaikan kekalutan macam ini. Naas, pengalaman abang gue malah lebih tragis.

Paling nggak doi-nya (sempet) naksir ente, bang...
Gue belom mau nyerah, gue memutuskan curhat ke tempat lain. Sasarannya adalah temen gue. Baru kali ini gue curcol masalah cinta-cintaan. Biasanya curcol masalah bos game level ke sekian yang seolah tak terkalahkan.
Lagi-lagi naas, tempat curhatnya salah lagi. Haduuh.

Ih tapii ngomongin orang kan nggak baaiiik
Saat gue sebut nama si doi, temen gue ini langsung ninju gue dan ngelempar gue pake bangku. Untungnya cuma di game.
Tapi tetep aja. Sakit, sob, sakit..

Lama-kelamaan, gue makin keder. Jadi nggak berani untuk menyatakan. Bukan apa-apa, takut nanti doi malah menjauhi gue, dan gue nggak bisa ngobrol ama doi lagi.
Alhasil, justru sesuatu yang lebih buruk terjadi.

Hidup emang keras, sob :"(

Mungkin ada beberapa kawan sesama jomblo yang punya pengalaman serupa. Pedih ya sob. Seperti pedihnya Julius Caesar yang diserang dari belakang sama oom Brutus. Bukan, bukan Brutus musuhnya Popeye itu. Tapi..
Aargh. Gue kehabisan kata menggambarkan kecamuk perasaan gue saat itu.

Iya, gue juga kehabisan kata untuk menjelaskan kenapa hati bentuknya begono
Tapi tetep sob, gue berusaha bersabar. Gue kan anak baik kesayangan mamah papah, yang sering ditagihin sedekah, jadi gue harus sabar dan tabah. Harus ikhlas ngelepas si dia dari pikiran gue. Nggak punya pilihan lain juga sih. Yakali manjat sutet kayak bocah tadi.
Meskipun emang nggak kuat hati melihat mereka.. Duh. Duh. Duuuh.

Teteup kiip smail dong, denyut jantung mah belakangan
Jadi, sob, cerita ini berhasil dirangkum hanya dalam satu ilustrasi sederhana berikut.

Ikhlasin aja tong
Yaah, kalau begini ceritanya sih, gue udah kalah. Meskipun kata temen gue, terus berjuang sampai janur kuning terkembang, tetep aja gue udah patah arang.

Tuh, makanya jangan sembarangan kalau main karet
Mungkin gue beneran kena batunya. Gue, yang dulu hobi banget ngejek orang jatuh cinta, sekarang disadarkan bahwa cinta juga bisa menyakitkan.. (ngomong apa gue barusan!?)

Tetapi, sebagaimana minimarket depan rumah selalu buka jam 8 pagi setelah malamnya tutup, yang gue yakini saat itu adalah, kalau pintu gue ketutup, pasti bisa dibuka lagi. Asal gue mau muv on. Harus lah,

Ngg... Tapi...
Gue berusaha sedemikian kuat untuk melupakan kandasnya cerita gue sebelumnya ini. Saking kuatnya, akhirnya gue keasikan.
Dengan dalih mengajak kembali ke jalan yang benar, gue mulai mempengaruhi kenalan gue yang masih suka jalan berduaan, supaya putus aja. Nggak penting cinta-cintaan itu. Mending belajar yang bener, biar mamah papah bangga, biar dapet kerja bagus...

Ya, gue kembali ke diri gue yang dulu. Rasanya merdeka. Merdeka, sebagaimana merdekanya orang yang udah antri setengah jam nunggu giliran make WC.
Tapi lama-lama, gue jadi keasikan, sob, dan merasa jadi brutal!

Oke, nggak sebrutal ini sih.
Seperti biasa, makin senang gue melakukan sesuatu, makin sering dan makin bersemangat gue melakukannya. Disini gue mulai berbelok. Kalau dulu banget, gue hobi menertawakan orang yang jatuh cinta, sekarang gue getol banget menghasut orang untuk mengabaikan masalah cinta-cintaan. Semacam MLM anti cinta gitu deh.

Hasilnya, gue jadi orang yang adil. Nggak lagi mandang orang dari warna kulitnya atau cantik nggaknya seseorang. Mantep kan?

Sampe tingkat ekstrem ini.
Tapi sob, hidup gue makin nggak menentu. Gue nggak punya motivasi buat belajar. Gue pun nggak habis pikir, kenapa saat itu gue mau-maunya menghasut orang-orang begitu. Hidup gue makin lama makin karam saat itu.
Saat itu, gue memutuskan untuk curhat ke orangtua gue. Ngobrol entah berapa jam, yang jika beruntung bisa membuat gue kebanjiran. Nggak dalem sih, biasanya se mata hati.

Di telepon-telepon semacam itulah, gue tersadar dan disadarkan lagi, bahwa setiap manusia itu butuh cinta. Dan yang namanya cinta emang jauh lebih luas dari sekadar cerita konyol taksir-taksiran a la anak remaja. Guru fisika aja bilang kan, setiap taksiran akan memiliki nilai ketidakpastian. Apalagi taksiran perasaan. Gue angkat tangan lah pokoknya. Bukan, bukan nyerah, ini tangan gue pegel.

Dan tentunya sekarang, status gue udah bukan jomblo ngenes lagi dong….
...
...
...

Tapi jomblo sampai halal.
Gue sendiri nggak bisa menjelaskan dengan baik, seperti apa 'jomblo sampai halal' itu. Tapi, yang jelas diri gue nggak perlu diperiksa komposisi dan sertifikasi bahannya oleh MUI. Secara gue kan bukan mi ayam gitu loh.

Yang kemudian gue tahu, gue merasa, ada begitu banyak pelajaran yang telah gue dapat. Karena gue kepingin menjadikan pengalaman gue ini bermanfaat untuk orang lain, gue sering merelakan diri menjadi juru curhat untuk temen-temen gue...

Nggak sampe nenggak 3 botol XX juga sih..
Jelas lah ya, ditolak mentah-mentah. Siapa sih gue, jomblo dari antah berantah.
Untungnya, setelah semua yang gue alami, hal kecil semacam itu jadi terasa mudah. Cuma ditolak memberi saran mah kecil dibanding patah hati sob. Bahkan, berlawanan dengan dugaan banyak orang, gue hidup normal seperti manusia pada umumnya, tanpa ada lagi penyesalan karena cinta. Meskipun, kalau jomblo, punya siklus tersendiri yang jadwalnya pun sesuka hati.

Sekali masuk, tak tahu jalan keluar, hayo
Berkat dorongan moral dan modal dari orangtua gue, perlahan gue bangkit lagi. Yang biasanya nempel terus ama kasur, sekarang nempelnya ama bangku. Meskipun ujung-ujungnya tidur juga.

Ohiya; sekarang gue deket ama doi yang lain nih. Lumayan lah, bisa mengalihkan pikiran sejenak dari dunia yang keras ini, dengan sedikit santap nyaman di hati.

Iya, lagi-lagi cokelat.
Mau tertawa? Nggak masalah. Gue udah biasa. Hiks.
Tapi bagi gue, menjalani aktivitas sehari-hari lebih asik kalau ditemani cokelat. daripada sebelumnya, ditemani galau.
Apa asiknya juga, kalau lagi belajar tiba-tiba ngegalau. Lagi main game tiba-tiba ngegalau. Lebih baik tiba-tiba makan cokelat lah ya.

Tuh, baca tuh
Nggak apa lah, cokelat itu sehat bagi manusia. Bagi manusia loh ya. Gue nggak bisa jamin apakah kalian yang baca ini, termasuk yang mungkin ikutan baca di belakang kalian, beneran manusia atau bukan.
...
...
...
Akhir kata, mungkin cuma ini yang akan gue sampaikan ke kalian semua. Khususnya sebagai ucapan terima kasih karena sudi membaca sampai bagian akhir ini.


[tambahan]
Versi yang lebih serius, mungkin bisa jadi dorongan ekstra. Khususnya bagi yang sudah mengalami secara nyata, cerita yang serupa dengan apa yang tertulis diatas. Atau sila kunjungi sumber?


Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...