Tampilkan postingan dengan label Ceritera. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ceritera. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 April 2016

Article#537 - Rekoleksi

I took a walk with my fame down memory lane
I never did find my way back

Malam baru sejenak menjumpa tepian kota.
Waktu setelah salat Maghrib adalah waktu di mana riuh rendah kota yang sempat padam kembali menemukan penyambung nyawanya. Warga kembali melaju ke lokasi-lokasi tempat mereka melantunkan usaha. Riuh-rendah disesaki pengunjung, terutama pada sebuah momen keberlangsungan bernama akhir pekan. Mereka yang meramaikan kehidupan pinggiran kota di malam itu mendulang hidup dari urat nadi yang menjaga tarikan nafas kehidupan kota supaya tetap mantap mengalirnya. Gemerlap langit senja yang baru saja mengucap suanya masih tampak menggantung lamat-lamat di angkasa. Memudarkan warna biru kelam itu perlahan, mengantarkan kemilau gemintang menuju pandangan.

Berdiri di trotoar yang masih sedikit menyisakan genangan hujan, Farid menatap lamat-lamat akan dunia di sekitarnya. Lampu-lampu jalanan dengan cahaya kekuningan lemahnya, di mana kerumunan laron beterbangan seolah mengikuti canda tawa kerumunan manusia beberapa meter di bawahnya. Aroma sisa hujan yang masih belum pudar, bercampur sengat harum rempah-rempah lokal yang diayunkan para koki dari tiap-tiap wajan penggorengan. Deru mesin motor, mobil yang diselingi sahut-menyahut klakson ketika mereka berbelok menuju tiap-tiap kios. Tenda-tenda dengan tiap-tiap spanduknya, dengan tiap-tiap ilustrasi memukaunya, dengan tiap-tiap kerumunan orang yang memenuhinya. Pejalan kaki yang tampak tergesa-gesa, berjalan dari arah kedua sisi Farid sembari berlalu menuju tiap-tiap tujuan.

Semua tampak persis sama sebagaimana yang Farid coba reka ulang di dalam kepalanya.

Memutar ulang rekaman masa yang telah lama lewat, mendaras kembali kenangan yang lama berdebu dalam kepala. Membayangkan wajah-wajah familiar melangkahkan pengembaraan menuju entah kios mana yang ramai disesaki orang.
Hingga kemudian Farid kembali menatap masa sekarang.
Menatap baliho benderang yang menerangi ujung jalan, menyorakkan tentang entah impian omong kosong macam apa.
Wajah-wajah yang berlalu-lalang itupun acapkali tampak cerah, laksana proyeksi mengerikan yang sengaja mereka buat sementara mereka mencurahkan raga pada layar.
Tak jauh dalam sapuan medan pandang, gemerlap sosok-sosok bangunan gelap dengan kerlip lampu tampak seolah sedang mengintai mangsanya. Satu dari sekian jiwa fana yang menikmati akhir pekannya bersama beragam dagangan.

Mengesampingkan mereka yang berlalu lalang di segala sekitar, Farid kembali terbenam dalam sekian dalam ingatan.
Ada yang berbeda.

You know that I gotta say time's slipping away
And what will it hold for me?



Jarum pendek pada jam kukuk yang terpajang di ruang tamu itu baru saja bertolak dari angka lima ketika Farid sekeluarga mengucapkan salam perpisahan kepada tuan rumah. Menghidupkan semarak hari raya berarti menyambung silaturahim dengan segala ragam tetangga yang bermukim sejauh sepenggalahan pandang. Dalam kasus Farid, seorang yang baru saja kembali ikut mudik setelah sekian lama menghidupi pendidikannya di seberang lautan, ini berarti rentetan pertanyaan yang mendatanginya silih berganti. Pertanyaan yang berkisar di topik yang sama pun sukses memunculkan bersit kejengahan di wajah Farid. Kejengahan yang tak lekang bahkan ketika ia menarik senyum basa-basi menyalami tuan rumah sembari menjawabi pertanyaan.
Dalam kondisi semacam ini, menyadari bahwa rentetan kegiatan telah berakhir adalah sebuah kebahagiaan yang demikian sukar dibendungnya.

Ditemani rona senja yang mulai menebar pesona. Farid berjalan menuju rumah neneknya sembari mengingat tiap-tiap wajah yang hari ini menyambutnya dengan senyum sumringah. Mereka yang kemudian dengan penuh semangat menceritakan segala macam kenangan yang mereka bisa tarik ke permukaan, tentang masa lalu sosok yang kini ada di hadapannya. Tujuh tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk mengubah segala macam perawakan, segala macam jalan hidup yang kemudian ditetapkan, apalagi sekadar lansekap persawahan yang kini terhalang rumah demi rumah.
Menghabiskan masa kecilnya di sudut kota itu, Farid dapat dengan mudah menautkan segala lansekap yang terlintas di kepalanya dengan bentukan yang ia jumpa di dunia nyata. Lapangan di mana sepuluh tahun lalu ia mencetak gol pertamanya, gol yang melaju melampaui gawang tanpa jejaring dan berakhir tepat di jendela rumah pak RT. Kemudian serambi masjid di mana dulu ia biasa berlari-larian dengan kawannya, mengumandangkan azan keras-keras ketika belum tiba waktunya salat. Jalanan yang kemudian menurun terjal, di mana dengan sepeda yang remnya blong ia lepas kendali dan kembali ke rumah nenek bertatahkan guratan luka.

Tetapi masjid yang kemudian ia sambangi untuk mengikuti salat Maghrib berjamaah bukan lagi masjid dengan beduk kulit besar yang ia ingat. Tangan-tangan globalisasi telah menancapkan cengkeramnya hingga jauh meninggalkan hingar bingar kota besar, terus menuju apa yang senantiasa terkenang di benak Farid sebagai sebuah kampung halaman. Tidak banyak terjumpa lagi anak-anak berlarian di pelataran masjid, dan meskipun wajah-wajah yang Farid temui di dalam masjid adalah wajah yang familiar dari apa yang dikenangnya di masa kecil, mereka tidak membalas keteringatan yang sama. Bahkan jika memang mereka berhasil mengenali wujud Farid kecil sang pembuat onar di balik wajah Farid kini yang tegap dewasa, bangunan masjid yang kini megah berhiaskan jam elektronik dan kipas angin besar hanya membuat Farid serasa sedang menemui wajah-wajah itu untuk kedua kalinya. Berkenalan untuk kedua kalinya.
Seiring langkah-langkah Farid menyusuri selasar gang, sekian banyak orang yang tampak bersantai di depan rumah masing-masing pun tidak tampak mengenali sosok tanggung yang berjalan melewati depan rumahnya. Meskipun, saat ini, mungkin memang bukan itu yang Farid inginkan. Perkenalan kedua adalah hal yang menjemukan bagi seorang yang lama tak berjumpa, dan untuk hari ini Farid sudah merasa cukup banyak menanggapi kesemuanya. Warung yang dulu ramai oleh celotehan dirinya dan teman-teman masa kecilnya dulu, kini hanya berisikan gerundel bapak-bapak yang berkumpul mengisi waktu petang. Hanya semilir aroma tembakau yang mengingatkan Farid akan segala hal yang pernah terjadi di tempat ini.
Segala detail kecil yang menautkan keping-keping sanubari.
Segala alur yang terjalin lancar tanpa rasa mengalir pergi.
Segala bersit menuju kenangan manis yang takkan kembali.

Menengadahkan pandang menatap semesta yang mulai dihiasi arak awan, Farid kembali menyesapkan segala hal di sekitar menuju tiap-tiap indera. Mengamati kerlap-kerlip warna yang bergulir di sepanjang jalan. Menyimak celoteh warga yang bersahutan penuh semangat, menandingi deru mesin kendaraan. Menghirup lamat-lamat aroma makanan yang bersatu menerbitkan liur di kala asap knalpot bekerja membenamkannya. Meresapi semilir angin yang tak lagi menyejukkan, tetapi hangatnya menggerakkan keberlanjutan.

Pada akhirnya, Farid tak bisa lagi mengelak.
"Zaman berubah," Farid membatin.
Demikianlah adanya. Ia berubah.
Tak peduli apakah manusia-manusia yang dilingkupinya berjalan mengikutinya, melampauinya, atau tertinggal di belakangnya.

I thought that I heard someone say now
There's no time for running away now
Hey now!


sumber gambar
Lanjutkan baca »

Minggu, 20 September 2015

Article#467 - Rekursi

Hari ini hujan kembali membasahi pijakan.
Menapakkan kaki kembali di jalan itu kembali, Idlam mengamati setiap sudut bangunan dan pojok jalan itu. Kota ini, jalan ini, telah menggoreskan sedemikian banyak kenangan berkualitas dari demikian sedikit waktu yang dihabiskan Idlam padanya. Maka, dalam setiap jejak kaki Idlam menapaki selasar jalan, ia juga menapaki kenangan lama.
Menapaki hujan yang membasahi muka bumi di sore itu.
Menapaki perjalanan menuju kepulangan, setelah seharian berkelana bersama ketidaktahuan yang tak menentu.
Mencecap rasa makanan terakhir yang semerbaknya mewarnai benak sepanjang perjalanan pulang.
Mengenang penantian di satu sudut kota itu. Saat rombongan yang mengiring berpisah jalan satu persatu. Saat Idlam menanti, mengamati satu sosok. Mencerabutnya dari kewarasan dalam usaha mengejarnya dalam diam. Mengejarnya terus hingga saat di mana ia berpisah jalan.

If you're leavin', will you take me with you?
....Idlam sudah tahu betul jawaban untuk itu. Tepat di hari itu. Jawaban yang tak pernah berubah dari lima tahun lalu.

*****


Ketika kau mendapati dirimu bertegur sapa dengan Idlam, mungkin kau akan mendapati wujudnya ia sebagai seseorang yang acuh akan sekitar. Terbenam dalam pemikirannya sendiri, terburai dari awang-awangnya sendiri.
Kesan yang biasa ini tak muncul dari sosok Idlam yang menyusuri jalan setapak meninggalkan garbarata bandara, beberapa hari sebelumnya. Mungkin karena tujuan yang lebih jelas dari kunjungannya yang telah lewat? Atau menyesapkan secara takzim bagaimana kota yang didatanginya telah demikian meninggalkan jejak dalam relung jiwanya? Ketika ia hanya menyinggahinya sejenak dalam hitungan jari tangan?
...
Idlam terus berjalan, menepis kegamangan.

***

Langit biru masih menaungi di sela sela awan ketika Idlam terus melangkah, menyusuri jalan menuju tujuannya di siang hari itu. Deru percakapan manusia, ramai langkah dan denting perdagangan, menghiasi perjalanan Idlam di sepanjang jalan.
Lokasi ini, di dekat pusat kota ini, telah dikenal luas sebagai sentra perdagangan terpopuler di seantero kota, hingga salah satu yang terpopuler di negara. Sehingga Idlam mendapati dirinya berjalan di tengah, dan kadangkala memintas, kerumunan manusia yang mengerami seantero jalan. Ada hingar bingar mereka yang bersemangat menyambung hidup, menjajakan dagangan. Ada canda tawa pengunjung yang terkesima dalam menyambangi ramainya kelangsungan kehidupan di sana. Dan ada pula sederetan toko dengan barang unggulan masing masing berjejer di depannya.
Idlam memandangi satu persatu toko dalam deretan tersebut. Membiarkan pandang berkelana menyigi tiap tiap etalase yang terpampang bangga.

Idlam memantapkan kakinya melangkah.

***
Don't you know
The cold and wind and rain don't know
They only seem to come and go away


Mendung sudah bergulung ketika Idlam menapakkan kaki, kembali berjalan meninggalkan selasar pertokoan. Tak butuh lama bagi rintik hujan untuk mulai menderu bersama angin, membasuh sekujur kota di siang hari itu. Hujan, maupun mendung dan segala remang yang menyelimutinya senantiasa diibaratkan sebagai perlambang suasana gundah gulana.
Tetapi Idlam tidak ingin terjebak dalam paradigma.

Hujan dapat dilihat sebagai pelipur lara, pelepas dahaga bagi kerontang rerumputan yang sekian lama terpapar terik siang. Hujan dapat diresapi oleh mereka yang terguyur basahnya, diselami hawa sejuknya ketika menapak becek dalam ceruk di sepanjang jalan.
Dan pada akhirnya, hujan adalah saat di mana berjuta kenangan merasuk dalam sanubari sekian manusia.

...
Hujan terus mengguyur kenyataan sekian juta manusia.
Dan saat Idlam terpekur di halte bus menuju perjalanan pulang, ia mendaras masa silam di sudut kota yang sama.
Mendaras masa lima tahun lalu, di mana ada sosoknya yang terpaku pada bayang yang menghilang.
Mendaras masa dua tahun lalu, di mana ada yang menapak jalan menuju bayang masa lalunya. Bayang yang perlahan meninggalkan kenyataannya, sebelum Idlam sempat membuka mata.

Idlam kembali memeriksa tasnya. Memastikan ransel yang disandangnya tidak dikuyupi butir hujan. Sebelum ia melangkah menuju tujuannya. Menuju kenyataan yang tak pernah dinyana sebelumnya.

Sore itu, hujan terus mengguyur tanpa ragu.
Menerjang kendaraan yang tegar melaju.
Menopang kenyataan yang tak mendayu.

Stand by me
Nobody knows the way it's gonna be


Foto: Berwick Sreet, London. Diambil dari panoramio.com.
Lanjutkan baca »

Selasa, 10 Maret 2015

Article#397 - Remedi

Cold and frosty morning, there's not a lot to say
About the things caught in my mind


Selembar kertas di tangannya itu memandanginya bisu.
Tidak banyak memang, tinta yang tertera padanya. Hanya corak-corak kecil di sana sini, yang bersatu memberitahukan sang pembaca akan informasi yang diperlukan bagi keberangkatan. Waktu, pintu keberangkatan, tempat duduk, dan lainnya. Tetapi di benak penggenggam lembaran kertas tersebut saat itu, lembar kertas itu mewakili salah satu keputusan terpenting yang pernah ia buat.

Faira menghela nafas. Tiga puluh menit menjelang.

Bandar pada fajar hari itu tetap ramai, disesaki beragam rupa manusia dari beragam penjuru dunia. Salah satu pojok kota yang tak pernah terlelap, bandar tersebut telah demikian terbiasa mendengarkan celoteh yang bergaung di tiap selasarnya sejak ia berdiri, lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Dari terpaan hujan badai, luapan air banjir, hingga udara beku musim dingin, bandar yang satu ini telah menjadi rumah sementara bagi demikian banyak orang yang tersandera oleh beragam hal, mulai dari bencana alam hingga gagal mendapat kloter transportasi terakhir. Ada beberapa orang yang mencoba menyelinap di balik keleluasaan yang diberikan pengelola bandar, dan menjadikan karpet bandar yang nyaman sebagai tempat tinggal mereka dalam beberapa masa.
Salah satunya sedang bersitegang dengan satuan pengamanan bandar, dengan hiruk-pikuk yang cukup untuk menggetarkan timpani telinga mereka yang masih terkantuk-kantuk pagi itu.
Hingga suara keributan itu, bersama bersit pertama sinar matahari pagi itu, menerpa Faira.

Faira terjaga, tiada tampak kantuk di raut wajahnya.
Malam sebelumnya telah menjadi malam yang panjang. Persiapan disertasi telah lama terbiar berlarut, dan ketika Faira pulang dari kampus sepuluh jam sebelumnya, sang profesor yang memberinya izin pulang sejenak, tidak menyiratkan apa-apa. Dua jam selanjutnya terpakai untuk mengepak barang bawaan, dan ketika Faira telah merasa cukup senggang, kedua jarum hampir bersatu menunjuk langit. Tetapi larutnya waktu tidak menghentikan datangnya email dari sang profesor, yang meminta hasil revisi disertasi terkirim sebelum tengah hari berikutnya menjelang.

Jam-jam berikutnya adalah pertarungan sengit Faira, mengatasi kantuk dan kepala yang teraduk-aduk oleh segala macam pernak-pernik penelitiannya. Disusul pertarungan sengit dengan waktu yang terus berjalan, juga transportasi pagi buta yang demikian langka, tidak ada rayuan pulau kapuk yang tergubris di malam itu.
Maka, ketika tiba waktunya bagi Faira untuk bertolak, wajar untuk berpikir ia akan berjalan dengan rasa kantuk tak tertahankan.
Tetapi tiada tampak isyarat kantuk dari raut wajahnya.

Dengan langkah-langkah yang terdengar mantap, Faira berjalan menuju pemberangkatan.

And as the day was dawning, my plane flew away
With all the things caught in my mind



Garbarata yang mengulur menghubungkan penumpang menuju keberangkatan, agaknya tak mampu membendung serbuan angin membeku yang berhembus dari balik dindingnya. Sesekali, layar monitor yang terpasang di tiap persimpangan garbarata ikut menyertakan informasi akan kondisi dunia di luar sana. Pagi itu, ia menyebutkan temperatur udara sebesar minus dua belas derajat; suhu yang dapat menjelaskan dengan baik lansekap bersaput putih yang terhampar sejauh mata memandang dari dalam garbarata.
Angin yang berhembus membuat beberapa bagian garbarata menderukan lolongan pagi harinya. Lolongan membekukan yang tak digubris oleh langkah-langkah cepat mereka yang bergagas, menuju tiap-tiap wahana pemberangkatan.

Faira yang lebih sigap berjalan menuju wahana, segera melaju ke arah tempat duduknya. Setelah menjejalkan tas punggung ke dalam ruang bagasi, Faira menduduki bangkunya dengan helaan nafas berat.
Ia mencoba memejamkan mata, memaklumi kondisinya yang sudah lelah. Tetapi tubuhnya tak jua mau mengalah. Tidak juga segala panduan yang disalurkan speaker membuat usahanya sedikitpun lebih mudah.

Dalam persiapan lepas landas, Faira membuka buku agendanya. Masih tertera jadwal yang dicanangkan untuk hari itu pada kalender buku agendanya, deretan kata yang kemudian menerima sebuah coretan tegas dan panjang. Setiap dari mereka.
Perjalanannya pagi itu, perjalanan yang diputuskan hanya sepekan sebelumnya, terbukti telah menggusur banyak urusan yang makin memadat di bulan-bulan terakhir masa studinya. Tetapi, tidak ada pilihan lain selain pulang saat ini juga.

Faira menutup buku agenda tersebut. Buku agenda tersebut, yang sampulnya sudah mulai lusuh dimakan usia, berhiaskan sebuah foto yang dijahit padanya. Foto seorang wanita muda, menggendong anak gadis kecil yang tampak tersenyum bangga. Wanita yang permintaannya ia tolak beberapa bulan sebelumnya karena kesibukan bulan-bulan terakhirnya yang luar biasa, kini menjadi satu-satunya alasan akan kepulangan yang mendadak ini. Seorang wanita kuat, yang wajah tegarnya mendadak melemah dan mengabur dalam pandangan Faira.

"Maafkan aku, Bu.."

Isak tangis Faira di pagi itu tenggelam oleh deru mesin yang mulai membawanya melaju. Meninggalkan kota yang bersaput salju dalam bebayang putih dan kelabu.

Pesawat itu terus melaju, menggetarkan setiap kalbu.
Menjalin tenggat akan masa depan yang tak menahu.

Me and you - what's going on?
All we seem to know is how to show
The feelings that are wrong


sumber gambar
Lanjutkan baca »

Senin, 07 Juli 2014

Article#315 - Negeri Jungkat-Jungkit

[versi belum komplit]

"Mardis!"
Sebuah tepukan di bahu, dengan suara itu. Mardis tahu betul siapa yang kini berada di belakangnya. Ia berpaling dan menghadap sosok Pak Kardi, guru musiknya di kelas XI ini.
"Ada apa, Pak?"
"Pak Yasa ingin bertemu kamu di kantornya," Pak Kardi menjelaskan singkat.
"Ooh. Sekarang Pak?"
"Pak Yasa sih bilangnya sehabis makan siang. Kamu sudah makan siang?"
"Sudah Pak,"
Pak Kardi merapikan rambut gondrongnya.
"Kalau begitu tunggu saja dulu. Tadi saya lihat Pak Yasa masih ada di kantin. Mungkin jam 1 beliau kembali ke kantornya."
"Baik. Terima kasih Pak Kardi!" sahut Mardis bersemangat.
"Sukses ya, Dis!" sahut Pak Kardi.
Mendengar sahutan pak Kardi itu, Mardis makin yakin, pemanggilan dirinya ke ruangan Pak Yasa adalah untuk membicarakan lomba puisi tingkat provinsi bulan depan.

Dengan langkah yang makin ringan, Mardis melangkah menuju mading OSIS. Salah satu lokasi favoritnya dalam menghabiskan waktu senggang di sela-sela kegiatan sekolahnya. Meskipun kemudian pikirannya tidak juga lepas dari lomba yang, Mardis yakini, akan diikutinya.

....
Pak Yasa, sang kepala sekolah, menatap piring nasi uduk kosong di hadapannya. Pikiran beliau berkecamuk.
Hanya tinggal 29 hari menuju lomba Bulan Bahasa tingkat provinsi. Lomba yang biasanya menjadi ajang pengukuhan nama sekolah pimpinannya sebagai langganan juara. Tetapi, untuk tahun ini, mulai muncul kekhawatiran akan kemungkinan sekolahnya pulang menggondol piala seperti yang sudah-sudah. Jumlah siswa yang mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba ini masih jauh di bawah jumlah yang diharapkan pak Yasa. Kalau terus menunggu para siswa mendaftar, bisa-bisa kita tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan para siswa, batin Pak Yasa.

Sepanjang tengah hari itu, pikiran Pak Yasa tak juga lepas dari urusan lomba terkait. Sejak ia membayar nasi uduk pesanannya, berjalan ke gedung sekolah, hingga menyalami beberapa siswa yang berpapasan dengannya. Tetapi di depan ruang kerjanya, sepertinya jawaban untuk kecamuk pikiran Pak Yasa sudah menunggu.
Mardis berdiri memandangi berbagai pengumuman yang ditempel di mading depan ruang Kepala Sekolah. Matanya masih menelusuri jadwal akademik semester ganjil ketika ia mendengar sapaan ramah Pak Yasa.
"Wah, sudah di sini rupanya, Dis. Maaf ya, kamu jadi menunggu."
"Tidak apa, Pak," Mardis mengulurkan tangan menyalami Pak Yasa.
Pak Yasa mengajak Mardis untuk memasuki ruang kerja Kepala Sekolah.

"Mungkin kamu sudah menerka, Dis, kalau tujuan saya memanggilmu ke ruangan ini adalah untuk membicarakan perihal keikutsertaanmu dalam lomba Bulan Bahasa, bulan depan. Seperti yang kami umumkan dulu, dari semua anak yang mengikuti seleksi pekan lalu, akan ada beberapa nama yang dipanggil langsung oleh saya, sebagai Kepala Sekolah. Nama-nama yang dipanggil adalah yang dipertimbangkan menjadi perwakilan sekolah dalam menghadapi lomba bulan depan." ulas Pak Yasa.
 
Mardis masih mendengarkan dengan takzim, berusaha menyembunyikan kegembiraan. Belum waktunya bergembira.
"Sejak kemarin, sudah ada beberapa siswa yang dipanggil, seperi kamu sekarang ini. Tujuan kami memanggil langsung calon peserta lomba, adalah untuk menilai secara langsung kemampuan kalian. Seperti saya yakin kamu pahami, Dis, kita ingin mengirimkan siswa-siswi terbaik kita dalam lomba tersebut."
Mardis mengangguk.
"Sekarang, untuk penilaian dari saya, kamu akan diminta membacakan lagi puisi yang kamu bawakan di seleksi pekan lalu. Kamu sudah siap?" Pak Yasa bertanya.
"Siap, Pak." Mardis menjawab dengan mantap.

Mardis mengambil nafas sejenak. Ia mengambil naskah puisi dari dalam tas. Memulai pembawaan puisinya.

Tersebut sebuah negeri yang katanya impian
Berbalut harapan yang ditaburi imaji
Sebagai surga bagi mereka yang mendambanya
Ya, inilah negeri jungkat-jungkit
Negeri di mana satu pihak bisa merasa paling benar
Dan pihak lain dicapnya bergelimang dosa

Semua pendapat lawan dianggapnya tiada makna
Dianggapnya hanya mencari pembenaran
Lewat seruan sederhana, berkumandang
"Yang tidak bersama kita, merekalah pihak mungkar!"
Padahal jika demikian, apalah bedanya mereka
Dengan kesesatan yang konon mereka coba enyahkan?

Di negeri jungkat-jungkit, kebenaran tak terasa maknanya
Tinggallah ia berupa nama yang dipuja-puja
Banyak yang telah muak melihat penistaan di layar kaca
Ketika para elit pejabat beramai menjilati label kebenaran

Sebagaimana anjing mengemis pada tuannya
Demi sepiring kuasa dan segenggam harta
Mereka gadaikan nilai dan prinsip
Demi kursi yang ingin mereka cicip
Mereka akan rela saling tusuk, saling gigit
Persis sekumpulan hyena berebut bangkai politik

Maka masihkah kau mengernyit heran?
Ketika di negeri jungkat-jungkit
Ada pihak yang membubarkan diri dari pesta
Berdiri di luar ruang, mengamati sebelum pergi
Dengan kernyit heran melingkupi ekspresi

Ada mereka yang mengaku peduli akan nasib bangsa
Dengan kutip yang bahkan belum tentu Brecht ucapkan
Mereka keluarkan ejekan buta politik
Sebagai ironi bagi para muka tebal anti kritik

Tentu saja, karena ini negeri jungkat-jungkit
Mereka yang ikut berpesta, merasa memberi peranan
Artinya, yang pergi dari pesta semuanya lepas tangan
Dan tak layak ambil jatah dalam kesuksesan

Bual hampa yang ditelan orang mentah-mentah
Kini berkecambah sebagai adu sumpah serapah
Kericuhan merekah antar dua sisi mata uang
Uang yang membeli logika dan akal sehat
Uang yang terhamburkan tanpa tentu tujuan

Maka, hingga kini di negeri jungkat-jungkit
Belum banyak yang bisa menerima kenyataan
Jangankan sekadar bicara nyelekit
Pilihan hidupnya saja hasil ikut-ikutan

Adu pengidolaan bodoh yang bangga dengan perannya
Ada yang bilang, pendukung mewakili yang didukungnya
Kalimat yang paling nyata mewakili ini semua
Di atas saling jilat, di bawah saling silat
Di atas adu domba, di bawah adu damba

Beginilah kawan, negeri jungkat-jungkit
Berdiri di satu pihak berarti melawan pihak lain
Menentang opini satu sisi berarti menyanjung sisi lain
Bagai pasukan paman Sam, menjajahi ragam negeri
Berburu teroris dengan menebar teror kesana kemari

Menepuk wajah lawan hingga kehitaman
Hitam oleh abu gosong tangan sendiri
Menyanggah fitnah dengan mendustai kenyataan
Mendompleng nama kebenaran untuk ongkang-ongkang kaki
Dengan semua kekonyolan moral di segala arah
Masihkah kau heran, ada yang melangkah pergi?

Mungkin kami meninggalkan arena pesta ini
Tetapi ingat, karena ini negeri jungkat-jungkit
Mana mungkin kami hanya bersantai, duduk manis
Tak perlu menanti lantai berjungkat, atau berjungkit

Menggerak raga sendiri untuk bergerak berubah
Bukan lewat puja-puji figur kinyis-kinyis
Mari, kawal negeri jungkat-jungkit dalam perbaikan
Karena kontribusi tak sesempit celupan jari


sumber gambar
Lanjutkan baca »

Jumat, 23 Mei 2014

Article#297 - Gugur Sakura

Semilir angin meniupi mereka yang berjalan di pinggir taman.
Burung-burung yang bertengger di ranting pepohonan berceloteh ria. Bagai melepas rindu, mereka kembali bercengkrama setelah bersembunyi berbulan-bulan sepanjang musim dingin. Di kota itu, musim dingin identik dengan salju yang bertumpuk-tumpuk akibat suhu yang dingin menusuk. Sehingga, ketika matahari mulai menang, tumbuhan dan hewan bersorak dan bergelora dengan membangkitkan semangat baru dalam label bertuliskan musim semi.

Situasi hari itu pun tak jauh beda. Entah itu Matahari, entah itu langit, entah itu awan, entah itu bebungaan yang bermekaran. Semuanya nampak bersemangat memamerkan kementerengannya masing-masing, menaungi kerumunan orang yang berlalu-lalang. Orang yang lewat itupun seolah ikut tersihir oleh semarak tersirat dan melangkah dengan laju dan semangat ekstra.

Kecuali seseorang.

***
sumber
Gema berjalan tanpa antusiasme di siang hari itu.
Tak jauh di depannya, kawan-kawan sesama pelajar asal Indonesia tengah berfoto-foto dengan penuh cengar-cengir memanfaatkan latar pepohonan yang sedang jaya-jayanya berbunga. Rombongan itu baru saja menyelesaikan kegiatan makan siang mereka di taman kota, sembari melakukan kegiatan hanami seperti banyak perkumpulan lainnya di siang hari tersebut.
Musim semi di Jepang senantiasa identik dengan hanami. Sebuah kegiatan dimana orang-orang berkumpul untuk memandangi bebungaan, seringkali dengan menggelar tikar untuk piknik bersama di bawah naungan pohon yang berbunga. Konon, hanami sudah mulai dibudayakan sejak lebih dari seribu tahun lalu, tumbuh seiring dengan mulai dibentuknya dasar-dasar dari apa yang kini kita kenal dengan sebutan "samurai". Istilah yang, aku yakin, sudah cukup familiar dan langsung muncul di kepala kalian di saat membaca tulisan ini. Sebagaimana familiarnya nama bunga yang menjadi ikon utama dalam tiap kegiatan hanami di seantero Jepang.
Hanami, melihat bunga. Tepatnya, bunga sakura.

Sayangnya, segala fakta nostalgik itu tak punya tempat di pikiran Gema, saat itu.
Bunga-bunga yang bermekaran itu sesekali melambai anggun ketika angin menyapa. Sesekali ada satu-dua helai mahkota bunga sakura, lepas dan berayun menuju peraduannya di pinggir trotoar. Angin yang makin kencang membuat helai sakura makin banyak berjatuhan. Tak ayal, para anak muda makin bersemangat mengabadikan diri mereka bersama guguran bunga sakura.
Sesekali mereka bergaya dengan dua jari teracung. Kemudian satu jari, di depan bibir. Atau tiga jari, di depan sebelah mata. Atau sepuluh jari, menutupi wajah.
Dasar anak-anak zaman sekarang, gumam Gema.

"Memangnya kamu anak zaman kapan, Ma?"
Sebuah tepukan keras menghantam tas ransel milik Gema. Secara refleks Gema menoleh ke belakang, memastikan tasnya baik-baik saja dan tidak terluka. Tetapi yang dihadapinya hanya wajah yang nyengir. Penuh kejahatan terselubung, Gema curiga.
"Bikin kaget orang aja Ris, tepuk-tepuk tas orang," Gema memberengut. Ada rombongan yang terakhir meninggalkan lokasi hanami para pelajar sebelumnya, dan kini mereka sudah menyusul Gema.
"Haha, siapa suruh jalannya loyo begitu? Padahal yang lain semangat foto-foto," Arisa hanya menanggapi santai.
"Yah, begitu doang, ngapain?"
"Apanya?"
"Yaa orang-orang, sampai segitunya. Padahal cuma bunga di pohon. Nggak seru."
"Ya ampun, segitunya. Hahaha. Eh aku ikutan foto dulu ya," Arisa menyerahkan tasnya ke tangan Gema. "Kalau nggak ikutan foto, paling nggak bantuin yang foto lah."
Lagi-lagi Gema memberengut.

Sayangnya cuaca mulai bergolak, dan angin yang makin kencang kini diikuti butir air hujan yang turun sedikit-sedikit. Alhasil, mereka yang sedari tadi sibuk dengan sekian banyak kombinasi gaya depan kamera terpaksa berhenti. Mereka mengemasi barang-barang mereka dan melanjutkan perjalanan pulang. Kebanyakan dari mereka membawa payung, karena menurut aplikasi ramalan cuaca di ponsel, memang pada waktu itu diprediksikan akan turun hujan. Generasi abad 21 gitu loh. Meskipun demikian, beberapa dari rombongan tersebut tidak membuka payung yang mereka bawa. Gerimis begini ngapain pakai payung, mungkin begitu komentarnya jika ditanyai. Lagipula hujan di daerah iklim sedang memang jarang selebat hujan di negeri tropis macam Indonesia.

Gema termasuk di antara mereka yang menganggap payung belum diperlukan di saat itu. Maka tanpa perlu repot-repot mengambil dan membuka payung lipat, Gema terus saja berjalan. Tangan kanannya memegang tali bahu ransel sebelah kanan, sementara tangan kirinya menjinjing tas... Tunggu.
"Ris, tasmu nih," Gema mendatangi Arisa dan menyerahkan tas milik Arisa.
"Yaah Gema, kamu kan nggak pake payung tuh. Aku minta tolong bawain dulu nggak apa-apa ya?"
Gema hanya bisa menghela nafas.

Hujan masih turun dengan malu-malu, sehingga rombongan itu tetap menjaga ritme perjalanan yang tenang nan pasti. Ritme yang terjaga memudahkan para pelajar untuk saling mengobrol santai dalam perjalanan mereka kembali ke kediaman masing-masing.
"Ris, menurutmu, kenapa ya orang-orang pada senang banget sama sakura?" Gema bertanya. Pertanyaan yang tak biasa muncul, namun tak mengejutkan jika menyimak kata-kata Gema beberapa waktu sebelumnya.
"Loh, sakura kan bagus, cantik-cantik bunganya," respon Arisa sedikit bingung.
"Menurutku nggak bagus, ah. Warnanya monoton, sekali putih semuanyaa putih, sekali pink semuanyaa pink. Kalau kayak di taman bunga begitu kan bagus, warna-warni. Kalau begini doang apa serunya?"
"Lhoo masa' nggak ngerasa kagum sih ama bunga yang sebanyak ini di pohon?"
"Nggak, ah. Mending pohon buah, ada yang bisa dimakan. Daripada begini, udah dimakan nggak enak, dilihat pun ngebosenin. Kalau kata orang, hana yori dango.*)"

Arisa terdiam sejenak mendengar pendajpat Gema barusan. Jarang-jarang rasanya orang yang nggak suka sakura begini. Biasanya orang Indonesia malah berebut ingin berfoto dengan sakura.
"Serius nggak tertarik ama sakura, Gema?" tanya Arisa lagi.
Hanya ada gelengan pelan sebagai jawaban.
"Aku jadi inget sama temenku di kelas budaya Jepang. Tahu si John? Dia bilang, temennya ada yang bener-bener masa bodoh ama sakura. Kalau menurut cerita si John, temennya itu beralasan di negeri asalnya tiap musim semi juga selalu ada bunga dimana-mana. Di dekat rumahnya pun ada pohon sakura juga. Jadi dia semacam udah terbiasa dengan bunga yang sama tiap tahun. Ketika dia denger dai John kalau orang Jepang demikian mengagumi sakura, temennya John ini malah heran. Kok bisa sedemikian rajinnya ngeliatin bunga tiap tahun. Mana bunga yang modelnya sama semua gitu. Mirip sama pendapat kamu tadi kan, Gema?" Arisa menjelaskan. Gema hanya mengangguk-angguk.
"Nah, mendengar pertanyaan itu, temenku yang lain berkomentar. Menurut dia, alasan sakura begitu populer itu karena dia menandai datangnya musim semi. 'Kan biasanya musim dingin identik dengan kebekuan atau berhibernasi gitu, jadi mekarnya sakura itu seperti memberitahukan bahwa 'sekarang sudah musim semi, ayo beraktivitas'. Kalau udara makin hangat, orang akan lebih nyaman beraktivitas."

"Lah, kalau cuma begitu, kenapa di negara-negara lain nggak terdengar kegiatan melihat bunga yang sepopuler hanami ini?" protes Gema.
"Aish, ntar dulu aah, masih ada lanjutannya.
"Iya, seperti katamu, Gema, penjelasan yang itu nggak cukup meyakinkan. Tapi kemudian sensei**) aku ikut ngejelasin tentang sakura ini. Dan penjelasan dari sensei menurutku keren banget!" Arisa tampak berbinar-binar.
"Apa katanya?"
"Sensei-ku bilang, ada kepercayaan yang mengatakan bahwa helai-helai bunga sakura itu perwujudan dari jiwa-jiwa prajurit yang gugur dalam perang. Kalau dalam falsafah hidup samurai, kan diajarkan supaya hidup bersungguh-sungguh dan meninggal sebelum usia tua. Kalau aku sih menafsirkannya meninggal ketika si samurai sedang optimal-optimalnya mengabdi kepada kaum bangsawan. Helai sakura kan gitu, mekar beramai-ramai, langsung sekaligus banyak, kemudian langsung berguguran ketika masih bagus, belum layu.
"Tapi, menurut sensei-ku, inti dari filosofi bunga sakura itu adalah bahwa dia cuma mekar sebentar, terus langsung rontok. Bisa dikaitkan ke samurai yang umurnya nggak panjang tadi, bisa juga dikaitkan ke meninggal saat di puncak. Tapi, sensei-ku bilang, konsep ini secara lebih luas bisa dikaitkan kepada kita semua yang lain. Fungsinya sebagai pengingat kalau hidup seseorang di dunia ini itu nggak kekal. Bagi umur kita yang sekian tahun, waktu sakura yang mekar cuma dua minggu tiap tahun itu terasa sebentar banget. Padahal mungkin, jangka waktu kita hidup di sini pun yaa mungkin juga cuma sebentar, sebagaimana waktu mekarnya sakura. Bahkan mungkin terasa cuma sekejap mata, tahu-tahu hilang."

Arisa mengambil nafas, sebelum melanjutkan penjelasannya.
"Kamu tahu kan, Gema, bagaimana lemahnya bunga sakura itu. Disenggol dikit pun bisa jatuh, ditiup angin semilir pun helainya juga rontok. Mekarnya pun cuma sepekan-dua pekan. Tapi, dalam waktu sepekan-dua pekan ini, jutaan orang dari seluruh dunia, semuanya rela bepergian jauh, membayar lebih, demi menikmati pemandangan sakura yang menghiasi pepohonan. Serapuh apapun sakura, sesingkat apapun masa jayanya, tetap aja, hanya dengan melihatnya aja jutaan orang bisa dibuat berdecak kagum. Sampai ada aja orang yang rela datang lagi tahun berikutnya, tahun berikutnya, hanya demi melihat sakura lagi. Keren banget kan kalau dipikir-pikir..!"
.....
Arisa merasa menang, berhasil menjelaskan dari awal hingga akhir.
Dan kini Gema hanya bisa melongo.
Ekspresinya tampak sedang berusaha mencerna kata demi kata penjelasan Arisa barusan. Bahkan, saking asyiknya merenungkan penjelasan itu, tanpa Gema sadari dirinya beserta rombongan sudah memasuki kompleks asrama mahasiswa, tempat Gema dan teman-temannya tinggal.
"Sampai jumpa di kelas besok ya!" seru rombongan mahasiswi yang beranjak ke kediamannya masing-masing.

Gema masih melongo di depan kantor manajemen asrama. Di dekat kantor berdiri sebatang besar pohon sakura, yang juga sedang memamerkan kecemerlangan bunga-bunganya. Setelah sekian lama, Gema merasakan sesuatu. Seolah rimbunan bunga sakura itu memanggilnya.
"Jadi, Gema? Apa kabarmu hari ini?"

Kabar baik, Gema membatin. Senang bisa melihatmu lagi.

*) Hana yori dango (花より団子), sebuah idiom Jepang yang menggambarkan kondisi dimana seseorang lebih memilih sesuatu yang nyata manfaatnya daripada sekadar pemanis mata.
**) Sensei  (先生), istilah Jepang yang digunakan sebagai sapaan untuk guru.

(:g)
Lanjutkan baca »

Sabtu, 17 Mei 2014

Article#295 - Rak Berdebu


Rak berdebu itu memanggilku dalam lusuh.
Sebuah rak yang tidak istimewa, yang terletak dalam suatu ruangan tidak istimewa dalam rumah tua yang juga tidak istimewa itu. Catnya mengelupas di sana-sini, atapnya bolong di beberapa tempat, jendelanya yang kusam, berpadu menjadi satu. Mungkin mereka yang sempat menghantarkan selayang padangnya pada rumah itu, akan terheran, mengapa rumah ini tak juga rubuh. Supaya kekusamannya bisa enyah dari penglihatan yang penuh citra buruk.
Meskipun tidak bagiku, yang seolah terhasut. Memasuki rumah kosong tanpa perlu, seakan menyatukan jiwaku dengan jiwa rumah itu yang tak terurus. Yang lebih lagi menguat ketika kepada rak buku itu pandanganku terpaut. Jika lembar-lembar buku adalah percikan air yang membasahi jiwamu, rak buku berdebu ini mungkin bisa menjadi laut. Dimana lembar-lembarnya tidak mengizinkanmu melahap langsung, tetapi sebagai gantinya ikan-ikan datang tersuguh. Tentunya, ketika kau mengailnya dengan sungguh-sungguh.

Rak berdebu itu membisu padaku dalam lumpuh.
Ia tetap berdiri dengan kokoh dan anggun, dengan topang kayu yang mulai ringkih digerogoti waktu. Ia menjadi saksi, sepanjang perjalanannya menghiasi salah satu pojok yang tak ada arti spesialnya dalam rumah yang dulu megah itu. kita pun tahu betul bahwa dinding yang berdiri dingin, rak-rak yang menjulang garang, tak akan sudi memecah bisu. Apalagi hanya demi seorang bocah yang dalam rumah itu lidahnya kelu. Tetapi aku seolah merasakan, bagaimana dalam sunyi itu, mereka bercerita dalam lantur. Disampaikannya kronologi kehidupan yang dulu semarak di rumah ini, dengan bahasa senyap nan ambigu. Terbayang muka-muka yang berkeliaran mencari buku dengan lugu. Terbayang anak yang menjerit ketika membuka buku, menyaksikan gambar hantu.
Semua tersampai dalam wujud berbagai buku-buku usang, yang berserakan di segala tempat menemani saput debu. Jurai angin yang membelai jendela dalam nyanyian ngilu. Tumpukan kertas alat tulis yang terpaku dalam pilu. Mengurai waktu demi waktu dalam ketidakteraturan yang terus bertumbuh.

Rak berdebu itu memandangku sayu.
Buku-buku yang terjajar padanya, mungkin adalah buku-buku yang dahulu dicelotehi hingga bertalu-talu. Ada yang dengan mudah dilahap dalam laju. Ada pula yang demikian tebal dan membuat mata yang memandangnya jemu. Bahkan ada pula yang nampak demikian baru, meskipun kusam dalam debu.
Sambutlah salah satu buku, dan mungkin akan ada seangga yang bergerak-gerak malu. Dengan panik, mencari tempat persembunyian yang baru. Atau mungkin mereka juga menikmati buku-buku ini sebagai suguhan ilmu? Siapa tahu.
Agaknya tak mudah bagiku yang sibuk bergelut dengan debu, untuk memperhatikan buku-buku yang tergeletak ini secara menyeluruh. Apalagi jika harus menafsirkannya secara utuh. Toh buku pun tak pernah benar-benar menyampaikan pemikiran sang penulis secara utuh. Yang satu boleh bercerita mengenai air dan pasir yang bertemu. Tetapi yang satu lagi bisa berbicara mengenai kumpulan jiwa dalam pesona semu. Atau kombinasi lain yang mungkin tak pernah tercetus di benakmu. Meskipun sayangnya, buku yang akan dicelotehi beramai-ramai hanyalah buku yang tampak seru. Mereka yang lain hanya bisa terdiam dalam wajah kuyu.

Rak berdebu itu mengundangku kembali berkunjung.
Dan aku tak segan lagi untuk mengangguk.

What an astonishing thing a book is. It's a flat object made from a tree with flexible parts on which are imprinted lots of funny dark squiggles. But one glance at it and you're inside the mind of another person, maybe somebody dead for thousands of years. Across the millennia, an author is speaking clearly and silently inside your head, directly to you. Writing is perhaps the greatest of human inventions, binding together people who never knew each other, citizens of distant epochs. Books break the shackles of time. A book is proof that humans are capable of working magic."
- Carl Sagan

-Hari Buku Nasional, 17 Mei 2014-

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Selasa, 06 Mei 2014

Article#292 - Kaca Mata Kuda

(I)
Hari beranjak siang. Cuaca yang gerah membuat banyak orang malas berjalan keluar. Meskipun tujuannya sekadar pergi ke warung seberang untuk membeli makan siang. Seolah sedang memamerkan geloranya, Matahari bersinar dengan terik, nyaris tanpa putus oleh jeda awan.
Rudi begitu senang melihat kenyataan ini, karena kini ia sedang makan (baca: berteduh dan bersantai) di warung. Di hadapannya terjadi nasi, ayam goreng ekstra lalapan, dengan segelas es kelapa muda yang sudah hampir habis. Sesekali meregangkan lengannya, Rudi nampak begitu rileks membunuh waktu dalam istirahatnya di siang yang luang itu.
Ah, indahnya hidup.

Tepat saat pikiran itu terbit di benak Rudi, mendadak ada panggilan dari dalam dirinya. Panggilan alam.
Huh, di saat santai seperti ini.
Rudi untuk beberapa saat mencoba menahan 'panggilan alam' dengan meraup seonggok nasi beserta sepotong daging ayam. Namun, akhirnya 'panggilan alam' menang, dan Rudi terpaksa memberitahu sang pemilik warung bahwa ia akan pergi sebentar mencari tempat menjawab si 'panggilan alam'. Huh, kenapa warung ini tidak sedia WC sih. 

Rudi setengah berlari mengikuti arah yang ditunjuk si pemilik warung. Jalan tersebut terasa sepi di tengah siang hari yang terik–orang-orang tentunya lebih milih untuk bernaung dalam suatu bangunan, entah kamar tidurnya yang hangat atau ruang kerja yang penat. Setelah berjalan sekian lama, akhirnya Rudi mendapatkan anugerah. Tentu saja anugerah ini berupa bangunan sederhana bertuliskan "WC umum".
Tanpa ba bi bu lagi, Rudi pun berjalan terbirit-birit mendatangi salah satu pintu WC. Diketoknya pintu WC, untuk memastikan keberadaan orang dalam pintu yang tertutup itu. Tak ada respon. Dengan semangat Super Saiyan, Rudi menarik-narik pintu tersebut dengan ganas, hanya untuk mendapati kenyataan pahit: pintu itu tidak terbuka. Rudi mengambil nafas perlahan, dan ia mencoba menarik gagang pintu dengan kuat. Namun pintu WC itu tetap tak terbuka. Kekuatan otot-otot Rudi yang konon senantiasa menjaga kebugaran tubuhnya pun terasa loyo tanpa bekas saat menghadapi pintu yang tak mau membuka. Pintu yang tak kunjung menampakan celahnya.
Di tengah rasa putus asa Rudi menahan kesabaran 'panggilan alam', seseorang melangkah mendekati pintu WC. Melihat Rudi yang masih belum patah arang, orang itu hanya memperhatikan sejenak. Kemudian ia berseru, "Misi mas". Rudi pun minggir. Dengan mudahnya orang itu membuka pintu dengan cara menggesernya, dan tanpa basa basi memasuki ruang WC yang kosong, meninggalkan Rudi yang terdiam melongo.
....
Rudi kini kebingungan. Tak hanya ia diselak oleh seseorang, ia kini tak tahu kemana harus menjawab 'panggilan alam' yang telah menyerunya sedemikian rupa. Hanya ada dua pilihan, yang sama-sama menyulitkan, mengingat posisi Rudi yang 'genting'. Genting? Tentu tak mungkin menjawab 'panggilan alam' di atas genting toh? Sehingga Rudi harus segera memutuskan antara dua hal. Pertama, ia akan bergerak mencari WC lain di sekitar sana, dengan ketidakpastian nasib Rudi dalam menemukan WC dengan kondisi yang sedemikian darurat. Kedua, ia akan diam di depan pintu WC itu, menunggu orang yang tadi masuk hingga entah kapan. Opsi pertama baginya lebih melegakan, mengingat betapa menyakitkannya menjadi seseorang yang terombang-ambing, menunggu dalam ketidakpastian. Maka bergeraklah Rudi, mencari tempat baru yang lebih cocok menjadi tempat menjawab 'panggilan alam'. Rudi harus cepat, karena jika tidak, ia akan menerima 'misscall' dan terpaksa harus 'memanggil alam'. Opsi yang 'mengerikan'.

Dengan laju setengah terbirit-birit, Rudi kembali bergerak menyusuri daerah sekitar situ, yang kebanyakan berupa tanah kosong dengan hamparan rumput pendek. Sempat terbersit untuk menjawab 'panggilan' in situ, tetapi lokasi yang tidak mendukung hanya akan menjadinya bulan-bulanan bagi entah siapa yang iseng memperhatikan. Bisa saja seseorang di gedung sana meneropong lapangan. Bisa saja ada satelit Google Maps yang tengah berada tepat ratusan kilometer di atasnya. Nanti kalau ketahuan lagi menjawab 'panggilan alam', gimana dong? Hii. Dengan dasar pemikiran itu, Rudi memutuskan untuk mendekati jalan besar yang terlihat dari posisinya berdiri saat itu. Beberapa menit selanutnya dalam menahan 'panggilan' membawa keberuntungan bagi Rudi, ketika ia menemukan plang SPBU yang terlihat cukup megah. Tak lama, dengan kecepatan Super Saiyan, Rudi telah sampai di depan toilet SPBU, dengan keringat bercucuran dan 'panggilan' sudah meronta-ronta menanti jawaban.

Belasan menit yang terasa bagai meniti di atas jurang panggilan, terasa demikian melegakan ketika Rudi akhirnya berhasil menjawab 'panggilan alam' pada salah satu 'tampungan'. Sembari 'menjawab', Rudi memperhatikan dinding, lantai, serta wastafel toilet yang terlihat mewah, bersih nan mengkilap. Kapan ya bisa punya toilet sebagus ini..
Akhirnya 'jawaban' kelar. Sekarang waktunya 'mengurus keperluan', dan Rudi bersiap membuka keran pada 'tampungan' untuk mengalirkan air untuk 'keperluan' Rudi. Tetapi, nasib Rudi tak berhenti dirongrong kesulitan sampai di situ. 'Tampungan'nya tidak punya keran! Gawat. Apa yang akan kulakukan?
Rudi berpikir, ia bisa memanfaatkan tisu toilet dan air dari wastafel untuk 'keperluan' terkait. Sayangnya, dengan Rudi bergerak mengambil tisu toilet, ia akan menjauhi 'tampungan', dan resikonya, 'keperluan yang diurus' akan merembet kepada tempat-tempat yang seharusnya tak perlu 'diurusi'. Tak melihat jalan lain, Rudi bersiap melaju dengan kecepatan Super Saiyan untuk mengambil tisu toilet, dengan harapan tak ada orang yang kebetulan masuk dan memergoki 'urusannya'.

Rudi perlahan beranjak menjauhi 'tampungan', ketika mendadak air mengucur membilas seisi 'tampungan'. Rudi yang terkejut segera melaju ke 'tampungan', untuk mendapati air yang tadi mengalir tiba-tiba berhenti. Kecewa, Rudi kembali ke rencana awal, beranjak menuju tisu toilet. Lagi-lagi 'tampungan' membilas seisi dirinya. Rudi lagi-lagi melau ke 'tampungan', dan mendapati air bilasan berhenti mengucur. Gusar, Rudi memutuskan untuk segera mengambil tisu toilet, tak peduli dengan air yang mengucur di 'tampungan'. Lagipula, ketika Rudi menyadari kondisi sekitarnya, 'urusan' Rudi sudah menyebar ke berbagai tempat yang seharusnya 'tidak ikut campur'.
...
......
Rudi kembali ke warung setelah hampir setengah jam 'berkelana', dengan gusar menghabiskan sisa nasi dan ayam gorengnya yang sudah mendingin. Setengah jam yang tak akan pernah dilupakan Rudi seumur hidupnya. Setengah jam yang mengajarkannya dengan cara yang kejam, bagaimana tidak semua pintu bertumpu pada engsel, juga bagaimana tidak semua 'tampungan' bisa bekerja secara manual.

(kolaborasi dengan Diaz Jubairy)


(II)
Sementara itu, jauh di negeri di seberang lautan, tiga orang pemuda bertemu di sebuah pojok restoran. Restoran yang secara rutin mereka kunjungi tiap Sabtu pagi. Tepat pada waktu tiga pemuda ini membuka pintu restoran, semua karyawan yang bertugas sudah mafhum, tamu mereka yang biasa telah datang. Mereka akan selalu memesan makanan yang sama, pada waktu yang sama, bahkan memesan makanan ekstra yang sama tiap pekannya. Dan dalam beberapa jam kunjungan mereka, telinga para pelayan seolah sudah kebal akan seruan mereka yang berceloteh demikian serunya, seolah restoran itu menjadi milik mereka selama pertemuan. Kesan yang dinikmati oleh ketiga pemuda tersebut, dan dibiarkan oleh pemilik restoran. Toh mereka membayar semua yang mereka makan.
Mereka bertiga berkawan akrab sejak masa sekolah menengah. Masa labil-labilnya emosi anak muda, dengan pertengkaran yang menggejolak dan merujak di sana sini. Terkadang perselisihan berakar dari persoalan siapa yang lebih cerdas di kelas matematika. Atau persoalan cinta konyol anak remaja. Atau persoalan siapa yang bisa mencetak gol lebih banyak, dalam turnamen sepakbola sekolah.

Meskipun demikian, di tengah segala macam perbedaan pola pikir yang membuat tiga bocah ini terkenal akan perseteruan mereka, ada satu hal yang perlu dicermati. Mereka boleh berseteru seolah mencoba memecah seisi dunia, tapi tunggu semenit-dua menit setelah perselisihan, kau akan dapati mereka bertiga kembali ke dalam formasi normal mereka. Tiga sekawan yang demikian akrab dan kompak. Mereka juga senang sekali berdiskusi, satu hal yang hampir selalu menjadi penyebab dibalik perselisihan mereka dari waktu ke waktu.
Dicontohkan saja, ketiganya berasal dari latar budaya dan bangsa yang berbeda, sehingga tiap kali diskusi mereka sampai ke topik yang menyinggung negara-negara di dunia, masing-masing akan membusungkan dada, membanggakan negara-negara yang terkait dengan leluhur mereka masing-masing. Tentunya sembari menjatuhkan negara yang terkait dengan leluhur kawannya.
Kau penasaran, seperti apa leluhur mereka masing-masing, sampai dijunjung sedemikian rupa? Yaah, leluhur mereka adalah orang-orang patriotik yang terus berjuang tanpa kenal lelah demi keamanan hidup saudara sebangsa setanah air mereka. Paling tidak, itulah jawaban yang akan kaudapat ketika menanyai salah satu dari mereka.

Di satu Sabtu, mereka kembali melakukan kegiatan mereka yang biasa. Berceloteh tanpa ajar di dalam restoran, berdiskusi akan banyak hal hanya antara mereka bertiga. Juga dengan topik yang membuat masing-masing memamerkan kebolehan apa yang mereka anggap identitas mereka masing-masing.
Yang berbeda adalah, sebagaimana tidak sering terjadi, diskusi mereka saat itu menemui jalan buntu. Diskusi mengenai negara mana yang paling unggul. Tak ada kesimpulan yang bagus untuk disepakati ketiganya, yang berarti ketiganya akan diliputi perdebatan pikiran yang sengit, tanpa jalan keluar.
Untungnya, mereka bertiga cukup mawas diri untuk menyadari, bahwa berdiskusi di pojok restoran selama tiga jam tidak banyak membantu penyelesaian diskusi mereka. Masing-masing akan senantiasa bersikukuh leluhurnyalah yang paling unggul—itu pun tanpa dasar informasi yang bisa dijadikan pemandu. Sehingga ketiganya memutuskan untuk berpisah sejenak, pulang ke kediaman masing-masing.

Meskipun demikian, diskusi tak berhenti di situ.
Didukung oleh ketidakpedulian mereka akan akhir pekan yang mengembangkan senyum orang-orang, atau sinar Matahari yang mengetuk-ngetuk jendela kamar mereka tanpa hasil, tiga pemuda itu berdiskusi memanfaatkan teknologi obrolan via internet. Sembari menyusun bangunan obrolan mereka, mereka mengumpulkan berbagai macam data yang terkadang dipenjarakan dengan begitu cermat dalam jejaring ruwet nan ribet a la internet. Mereka sadar, untuk diskusi mereka kali ini, sekadar argumen demi argumen yang bertumpuk tidak memberikan kesimpulan apapun. Karenanya, kini mereka melakukan riset. Hal yang jarang mereka lakukan dalam diskusi.

Mereka cari berbagai data yang mendukung mereka dalam membuat suatu bangun kesimpulan demi menyelesaikan diskusi kali ini. Salah satu diskusi terbesar yang pernah mereka lakukan, yang di dalamnya tersimpan kesimpulan yang paling membuat mereka penasaran.
Butuh waktu cukup lama bagi mengumpulkan sekian banyak informasi. Disanalah mereka menunjukkan kemampuan kerjasama yang dahsyat. Kemampuan pengumpulan data, bersatu dalam keahlian desain dan kreativitas mereka bertiga yang terpadukan menjadi sebuah gambaran sederhana.
Gambaran yang mewakili apa yang dijuarai sebuah negara, di atas negara-negara lain yang mungkin menyaingi dalam hal lain.


Dengan memperhatikan gambaran tersebut secara lebih detail, ketiga pemuda itu menemukan banyak hal yang sebelumnya tak mereka sadari. Mulai dari AS, yang menjadi juara dalam dua hal yang kontras: juara dalam jumlah peraih hadiah Nobel, dan juara dalam jumlah orang yang tewas oleh pemotong rumput. Filipina, dengan tiga perempat pengguna aktif internet juga pengguna aktif akun media sosial.
Kolombia, dimana ada lokasi dengan rerata curah hujan tahunan tertinggi di dunia.
Greenland, dengan banyaknya wilayah kosong yang menjaga privasimu.
Atau Myanmar, yang menjadi juara dalam.... berbahasa Burma. (You don't say.)
Dan banyak lagi.

Banyak diantara data-data terkait yang dikutip dengan sumber dari Wikipedia, yang konon bisa disunting oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Tetapi, sebagaimana komentar Neetzan Zimmermann dari Gawker, dimana lagi ada daftar semacam daftar konsumsi teh per kapita?

Lebih lanjut, sila kunjungi laman-laman berikut.
Post asli: http://thedoghousediaries.com/5414
Gambar (resolusi lebih baik): http://thedoghousediaries.com/large/5414.png
Kumpulan data rujukan: http://thedoghousediaries.com/maplesyrup


(III)
Ada beberapa daerah pesisir yang cukup beruntung untuk tidak dinodai oleh jemari-jemari serakah manusia yang senantiasa memperluas kekuasaanya. Sebuah daerah pesisir bahkan demikian dipenuhi pohon bakau, tak akan banyak yang menyangka kalau beberapa kilometer dari situ ada sebuah kota besar. Bahkan sampah-sampah yang kerap setia menghiasi beribu-ribu kilometer pantai pulau-pulau Nusantara, absen dari daerah pesisir yang ini. Pohon-pohon tersebut tampak damai, dengan akar-akar yang keluar dari lapisan lumpur, menjadi tempat berpegang bagi si bakau.
Tetapi, pagi itu, ada perahu. Beberapa perahu nampak menyusuri perairan di dekat hutan bakau tersebut. Sebenarnya ada beberapa perahu, tetapi yang ditemui disini hanya satu. Dan diatasnya, terjadi sebuah perbincangan seru
.....
"Pernyataanmu salah, Andi."
Membetulkan bingkai kacamatanya yang sedikit miring, Pak Rinto melanjutkan perjalanan memandu siswa-siswi kelompoknya berjalan menyibak belantara pesisir. Siswa-siswi kembali berjalan, begitu juga Andi yang dari tadi begitu bersemangat dengan celotehannya. Meskipun kini yang berjalan adalah Andi yang bingung, bercampur kesal karena ceritanya diinterupsi oleh guru.
Tidak bisa begitu.
"Pak, kenapa saya dibilang salah, Pak?" Andi memberanikan diri memprotes.
Pak Rinto menggaruk kumis baplangnya.
"Coba kamu ulangi lagi kata-katamu tadi, Andi," sahut Pak Rinto singkat.
"Kenapa saya dibilang salah, Pak?"
"Duh, bukan yang itu, yang tadi, yang kau jelaskan tadi," beberapa anak-anak lain terdengar cekikikan.
Andi tampak berhasil mengatasi sedikit rasa kesalnya, dan kembali menyampaikan kata-kata yang disampaikannya dengan penuh semangat tadi.
"Kita nggak bisa bilang teman kita pintar atau bodoh hanya dengan melihat nilai-nilainya di ujian. Mungkin nilai mata pelajaran nya banyak jelek, tapi dia jago bermusik. Mungkin saja nilai olahraganya selalu di ambang batas remedial, tapi dia pandai berbicara di depan umum. Kayak yang pernah dibilang Albert Einstein dulu, semua orang itu jenius. Tapi yaa, jika kita menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, yang ada ikan itu akan berpikir dirinya bodoh kan? Padahal dia jago berenang."

Pak Rinto kembali menggaruk kumis baplangnya.
"Dari kata-katamu yang itu saja, ada beberapa yang perlu dicermati, Andi. Benarkah orang yang dicap berdasarkan apa yang tidak dikuasainya bisa disetarakan dengan ikan yang dicap berdasarkan kemampuan memanjat pohon?
"Katakanlah ikan hidup di laut, dan ia tidak bisa mengambil oksigen dari udara. Maka jika dia keluar dari air, maka ia tidak bisa bernafas, dan akhirnya tewas. Karena pohon hanya ada di daratan, bagaimana mungkin ikan bisa memanjat mereka? Saya tebak, kalian berpikir begitu. Ada yang tidak setuju?"
Pak Rinto hanya mendapati gelengan demi gelengan. Maka kemudian Pak Rinto menjelaskan, dengan gaya berapi-api. Tak jauh beda dengan cara Andi menjelaskan tadi.
"Nah, kalau begitu, untuk kasus ini kita bilang ikan mustahil bisa memanjat pohon. Kalau kita menyamakan anak yang tidak jago matematika dengan ikan yang tak bisa memanjat pohon, apa itu adil? Seakan-akan anak tadi tak akan bisa menguasai matematika. Padahal, semangat pendidikan adalah untuk membuat yang tidak tahu jadi tahu, yang tadinya tidak bisa jadi bisa. Anak tadi bisa kan menjadi seorang yang jago matematika, asalkan ia belajar dengan sungguh-sungguh. Beda dong dengan ikan?"
Perlahan-lahan anggukan bermunculan.

Pak Rinto kini menunjuk ke suatu arah, dan kembali berseru. Tetapi kini dengan nada suara yang lebih tenang.
"Nah, kalau kalian perhatikan daerah di seberang sana, ada kejutan yang menanti kalian."
Siswa-siswi itu hanya berpandangan sejenak, sebelum perlahan mendekati daerah tersebut, daratan berlumpur yang tak terendam oleh air laut. Perahu diarahkan mendekati daerah tersebut, dan tak butuh waktu lama bagi siswa-siswi yang penasaran, untuk mendapati kehidupan yang aktif disana.
Tampak beberapa ekor ikan.... ikan? Jika melihat bentuk tubuhnya, mirip ikan. Memanjang, bersirip. Tapi ikan macam apa yang melompat-lompat di lumpur?

Takjub, mereka tak henti-hentinya memperhatikan ikan-ikan kecil itu merayap di permukaan lumpur–jelas sekali tidak berada di dalam air. Mereka ini ikan atau apa?
"Perkenalkan, semua, ikan ini di sekitar sini dipanggil ikan tembakul. Kadang disebut belacak, atau gelodok. Kalian tahu Glodok di Jakarta sana? Nah, ada yang bilang, kalau nama daerah tersebut berkaitan dengan ikan ini yang dulu ditemukan di pantai utara Jakarta," jelas Pak Rinto penuh semangat. Perahu beranjak pergi mengarungi hutan bakau, dan selama itu Pak Rinto terus menceritakan masa kecilnya yang akrab dengan wilayah bakau.
"Ohiya, tadi kita bicara mengenai ikan yang tidak bisa memanjat pohon ya? Sekarang semuanya perhatikan yang ini," Pak Rinto kembali mengarahkan siswa-siswi mengamati suatu kumpulan pohon bakau.
Kejutan hanya bertambah bagi para siswa-siswi, saat mereka mendapati ikan yang serupa dengan yang mereka temui melompat-lompat di lumpur tadi. Bedanya, ikan yang ini sedang bertengger di sebilah akar pohon bakau.



"Wah, sayang sekali, Andi, ternyata ikan juga bisa memanjat pohon," sahut Tizar yang cekikikan. Andi hanya merengut.
"Sudah, sudah, jangan diledek. Kasian dia pingin manjat pohon juga," celetuk Gun, disusul gelak tawa.
"Hush, kalian ini. Memangnya kalian berani berbicara dengan lantang seperti Andi tadi? Jangan cuma tertawa di belakang gitu," Pak Rinto berusaha mendamaikan. Perhatian anak-anak ini perlu dialihkan.
"Coba, berapa banyak dari kalian yang tahu ikan terbang?" Pak Rinto bertanya. "Bukan, bukan logonya Indosiar," responnya cepat melihat Andi siap menjawab. Lagi-lagi tawa membahana.
"Di dunia nyata juga ada loh, ikan terbang. Memang sih, tidak lama, jarang lebih dari 30 detik. Tapi ada," Pak Rinto kembali menggaruk kumis baplangnya.
"Kalau ada, terus kenapa, Pak? Kita mau cari juga?" tanya Gun.
"Saya sih pengennya begitu, Gun," Pak Rinto menghela nafas. "Sayangnya waktu kita tak cukup. Kalau kita masih di sini sampai besok sore, saya ajak deh cari ikan terbang. Sore nanti kan pulang."
...
...
"Nah, paling tidak kalian jadi tahu, kan, tidak selamanya ikan kerjanya cuma berenang. Ada yang terbang, ada yang bisa memanjat pohon." Pak Rinto menyimpulkan. Perahu kini mulai bergerak meninggalkan daerah hutan bakau, kembali menuju hotel tempat rombongan tersebut menginap.
"Pak," Andi bertanya lagi. "Tadi Bapak bilang ada beberapa hal yang Bapak komentarin dari kata-kata saya. Ada lagi kah? Kepo nih.."
"Ohiya, satu lagi. Tadi kamu bilang siapa yang membandingkan manusia dan ikan itu?"
"Einstein?"
"Ya. Nah, sebenarnya tidak ada bukti kuat Einstein pernah bicara seperti itu. Orang-orang saja menyebarnya di internet, dengan bawa-bawa Einstein seolah dia yang mengatakannya."
"...?!"

(kolaborasi dengan Achmad Muniif Saefudin)


(IV)
.....
.....
Tamat.
Tulisan kecil keemasan itu menyambut mataku di halaman yang kubuka.
Lega rasanya.
Sejak perpustakaan ini diresmikan, aku menjadi satu dari entah berapa banyak orang yang menghabiskan waktu akhir pekannya, menggandrungi buku-buku tanpa ragu. Rasanya senang melihat warga sekitar yang bersemangat datang untuk membaca, atau meminjam buku. Mudah-mudahan perpustakaan ini bisa memacu pertumbuhan kualitas hidup warga sekitar.
Koleksi perpustakaan ini banyak yang berupa buku bekas dari warga kota. Kebanyakan berupa novel-novel, majalah-majalah, atau buku teks yang bisa digunakan untuk belajar di sekolah. Sesekali ada juga yang menyumbang ensiklopedia dan koran bekas.

Novel yang baru saja kutamatkan juga termasuk novel bekas, sehingga aku bisa memaklumi kondisi buku yang sedikit lusuh. Walaupun lusuh, tanggal yang tertera di balik sampul depan novel memberitahukan padaku jika pemilik buku ini sebelumnya merawat buku ini dengan cukup baik, selama hampir dua puluh tahun. Isinya pun masih seru untuk dibaca, meskipun disana-sini sang pemilik sebelumnya telah membubuhi coretan-coretan. Entah mengomentari ejaan yang salah, info ekstra terkait suatu istilah, atau catatan sembarang.
Tetapi, rupanya aku belum benar-benar menamatkan novel ini.
Kuamati halaman novel itu berbayang hitam. Kubuka halaman selanjutnya, dan disanalah ia, sebuah tulisan yang ditulis dalam huruf kecil-kecil. Tulisan yang sama dengan yang menghiasi novel tersebut di halaman-halaman sebelumnya.
Ia benar-benar membenci tempat yang bernama sekolah. Apalagi untuk benar-benar berangkat ke sekolah, ah, betapa malasnya ia! Namun, ada satu hal yang menarik dari remaja ini, ia memiliki cita-cita yang sangat tinggi. Meski ia merasa tak secerdas teman-teman sekolahnya yang lain, atau bahkan tak jarang ia menganggap dirinya bodoh apalagi setelah menghadapi ujian dan hampir selalu mendapat nilai yang buruk, ia tetap memiliki cita-cita yang luar biasa. Bukan cita-cita biasa. Cita-citanya, belajar! Ya, ia memang bukan tak mau belajar. Hanya cara belajar di sekolah saja yang tak ia sukai. Ia belajar dengan cara yang lain, dan menjadikan cara itu sebagai cita-citanya. Ia bercita-cita untuk melakukan perjalanan, berkeliling dunia, agar ia bisa bertemu dengan orang-orang dari seluruh negara di dunia ini. Ia meyakini satu hal, bahwa tiap orang pasti memiliki suatu pengetahuan yang tak ia miliki, dan artinya, bisa ia pelajari.

Ia tak pernah pesimis. Tak pernah sekali pun patah semangat. Ia yakin, bahwa suatu hari nanti, ia pasti akan meraih cita-citanya untuk belajar dari orang-orang di seluruh dunia! Sekali pun tak pernah terbersit rasa putus asa pada dirinya. Meski kini, di masa pendidikan, di masa sekolah yang tengah ia jalani, ia adalah si korban pendidikan itu. Ia lah korban pendidikan yang hampir selalu dianggap gagal dalam pendidikannya, hanya karena ia tak berhasil dalam ujian-ujian sekolahnya. Meski ia selalu nyaris tidak lulus di setiap ujian yang dipaksakan oleh negaranya, ujian yang bernama ujian nasional. Ujian yang memaksa remaja-remaja sepertinya menyamaratakan kemampuan mereka di satu bidang, yang belum tentu di bidang itulah kemampuan mereka. Ujian paksaan. Namun, sekali lagi ia tak pernah putus asa pada hasil-hasil ujiannya itu, karena yang ia yakini adalah, secarik lembar jawaban ujian tak bisa menilai dirinya.

Ia yakin, hasil ujian bukanlah hal yang menentukan masa depannya. Tapi, bagaimana ia mau terus belajar dengan caranya, hingga ia meraih mimpi yang diinginkannya, untuk tetap terus belajar.

Selamat meraih mimpi, hai korban pendidikan!
Hari sudah sore. Aku putuskan untuk menaruh novel itu kembali ke rak, kembali berdiam bersama novel-novel lain untuk diambil dan dibaca lagi, entah kapan, entah oleh siapa.
Mungkin saja buku-buku koleksi perpustakaan ini akan membantu memunculkan nama besar dari kampung ini?
Siapa tahu?



- kutipan disadur dari sini, dengan beberapa perubahan
Lanjutkan baca »

Jumat, 06 Desember 2013

Article#241 - Menyimak Segala Suara

Diko, berjalan dengan malas-malasan, keluar dari kamar mandi seusai menggosok gigi. Tidak mengindahkan nasihat Pak Kasur untuk mandi dan membantu ibu membersihkan tempat tidur, ia segera berjalan keluar, menuju suara Ayah dari halaman belakang rumah.

"Diko, ayo kesini!"
Susana pagi itu sama seperti biasa seperti hari Sabtu pagi yang sudah-sudah. Jam saat itu menunjuk pukul 5.30, dan pada saat-saat seperti itu, suara burung yang berkicau menyambut pagi makin riuh bersahutan. Kokok ayam sesekali terdengar di kejauhan, dan bahkan suara kerikan khas jangkrik masih sayup-sayup terdengar.

Ayah Diko pun duduk dengan tenang di tempat yang biasa, sebuah bangku bambu di satu sisi halaman belakang. Ia duduk dengan santainya, matanya menatap pepohonan di halaman, dengan sesekali mengalihkan pandangan ke langit.
Tak lama, pandangan Ayah pun menuju ke Diko yang sedang bersiap untuk menghampirinya.
"Jangan lupa pakai sendal, Diko,"
Diko dengan sendalnya yang berbeda warna segera meluncur menghampiri Ayah, duduk di sisinya.

"Ayah, kenapa ayah senang duduk disini tiap pagi?" Pertanyaan itu mengalir lancar, tanpa hambatan, seolah sudah dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya.
Respon Ayah adalah respon yang sama dengan yang diberikan Ayah kemarin, ketika Diko menanyainya masalah pekerjaan sang ayah. "Kenapa sih ayah ke kantor terus setiap hari?".

Tetapi, ada sedikit perbedaan pada respon Ayah pagi itu.

"Ayo, duduk di pangkuan Ayah."
Diko pun dengan entengnya berpindah posisi duduk.
"Nah, Diko, coba sekarang dengarkan segala hal di sekitarmu."
Senyap sejenak bagi Diko, dan perlahan suara kicau burung dengan hembus angin datang. Sesekali ditemani sahut kokok ayam, dengan latar belakang suara angkrik yang makin sayup.
"Enakkah terdengar di telinga?"

Bagi Diko, setelah mendengarkan sejenak, jawabannya adalah "Ya", maka tanpa ragu Diko menganggukkan kepala.
Senyum samar yang tadi kembali tersirat muncul di wajah Ayah. Ia kemudian bertanya lagi, dan Diko saat itu sama sekali tak tahu harus menjawab apa. Jawaban versi sang Ayah yang belakangan diberitahukan pun, membuat Diko bingung, hingga jawaban itu kemudian terkubur dalam benak Diko bertahun-tahun lamanya.
Ketika ia terkuak lagi di benak Diko, sudah lebih dari 10 tahun berlalu sejak Sabtu pagi hari itu.

"Lalu, menurut Diko, apa yang membuat suatu suara enak didengar atau tidak?"

*****

Diko membawa pikirannya kembali ke masa kini.
Malam Sabtu, jam sepuluh lewat duapuluh satu. Diko duduk di jenjang tangga depan Gedung Pertemuan, mengamati bulan sabit yang hampir terbenam di ufuk barat.
Duduk di luar selarut itu, suhu udara sudah cukup menusuk untuk membuat orang kedinginan dan berlindung di dalam ruangan. Tetapi, selain Diko lebih suka suasana dingin dibanding hangat, Diko merasa tak nyaman pula di dalam ruang yang kini pengap itu.

Di dalam Gedung Pertemuan sedang dilaksanakan kampanye akbar menjelang pemilihan presiden badan mahasiswa periode depan. Wajarnya, acara semacam ini sudah kelar selambat-lambatnya jam sepuluh malam. Tetapi, entah bagaimana mulainya, beberapa orang mengangkat berbagai isu yang sedang hangat-hangatnya menghiasi koran-koran seantero negeri, untuk bahan debat para calon-calon. Entah isu dokter, entah isu pekan kondom, entah isu kualitas siswa negeri ini.
Bagai bunga api diperciki minyak, langsunglah seisi Gedung Pertemuan memanas dengan berbagai debat kusir, debat nahkoda, debat masinis dan macam-macam lagi.
Ada beberapa orang yang mengkritik, untuk mendapatkan balasan yang tak kalah pedas dari mereka yang berkaitan dengan pihak terkritik.
Ada yang memberikan pendapat sekenanya, menurut pemikirannya semata, akan apa yang menurutnya betulan ada. Dan dia menyampaikan pemikirannya itu, untuk kemudian dikritisi bertubi-tubi, disanggah karena dianggap tak punya kompetensi, sehingga tak layak mendapat atensi.
Ada lagi yang demikian kokoh berpendapat dalam prasangka, dan bahkan ketika fondasi pendapatnya tercerabut satu persatu oleh argumen yang datang, ia bertumpu padanya, pada pendapat yang ia yakinkan sekuat tenaga.
Ada pula yang.... entahlah. 
Bahkan Diko sudah tidak berminat membahas apa saja yang seru dibahas di dalam sana.
"Sebenarnya, mau apa sih mereka?"
Jengah, Diko bersiap untuk melangkah pulang. Tetapi tidak sebelum ingatan akan pertanyaan ayahnya dulu berkelebat di kepalanya.

Kata Ayah, kuncinya adalah tujuan, takaran, dan penempatan. Ketika sesuatu disuarakan demi tujuan yang benar, disampaikan dalam takaran yang tepat, dan penempatan yang pas, saat itulah sesuatu ini akan tersuarakan dengan suara yang 'enak didengar'. Tujannya kena, takarannya tak berlebihan, penempatannya tak sembarangan.
Salah satunya saja tidak pas, maka hal yang disuarakan bisa terasa menyakitkan di pancaindera.
Burung-burung berkicau pun ada tujuannya. Begitu pula kerikan jangkrik, serta hembus angin yang menggoyang dahan pohon.
Lantas, apakah dalam berbincang, mereka punya tujuan yang benar? Apakah mereka berbincang dalam takaran yang tepat? Apakah mereka menempatkan perbincangan mereka di tempat yang pas? Menurut Ayah, ketika menyimak suatu perbincangan membuat seseorang jengah, maka orang ini secara tak sadar memahamkan dirinya, ada yang salah dalam perbincangan terkait. Meskipun, tentu tak tertutup pula kemungkinan adanya kesalahan pada si penyimak sendiri.

Maka simaklah segala suara.
Dengarkan bagaimana masing-masingnya berbeda.
Dan pikirkanlah asal muasal dari tiap perbedaan.
Karena jika orangnya beda, maka ceritanya berbeda pula.
Akhirnya, sembari melangkah pulang, Diko tergelak. Membayangkan mereka di Gedung Pertemuan yang sibuk berdebat seru tanpa tentu arah. Alih-alih membahas penyelesaian yang terbaik bagi semua, mereka sibuk berlomba melabeli mana yang menang, mana yang kalah.

Kemudian Diko tersadar, bagaimana ia tak mampu berbuat apa-apa. Sehingga Diko tergelak lebih lagi.


Mengutip kata-kata Nelson Mandela, tokoh perdamaian yang baru saja berpulang kurang dari dua hari yang lalu,
"No country can really develop unless its citizens are educated."
Sebuah negara hanya akan berkembang jika penduduknya terdidik.
Dan tanda orang terdidik, menurut Diko, adalah senantiasa memperbaiki diri sendiri serta semua di sekitarnya.
Diko pikir, jika wacana menjadikan negeri ini maju benar-benar akan dilaksanakan, ia sudah tahu dimana harus memulai.

Apa? Seorang Diko, memulai perkembangan menuju negeri maju?

Kali ini Diko benar-benar menertawakan dirinya sendiri.
Lanjutkan baca »

Rabu, 23 Oktober 2013

Article#224 - Hari Yang (Dibuat) Buruk

Sial!
Entah kemana perginya batu malang yang kutendang tadi itu. Iya, aku tahu ia sama sekali tidak bersalah, tetapi dalam saat seperti ini, aku merasa ingin menumpahkan segala emosiku.
Kenapa semua usahaku akhir-akhir ini sama sekali tidak dihargai?
Aku kembali mengulang-ngulang semua hal yang sudah berjam-jam berputar di kepalaku.

Ujian termodinamika yang lagi-lagi tidak tuntas. Padahal sudah kurelakan diriku tidak tidur semalaman, belajar supaya kali ini lulus ujian.
Proposal karya ilmiah yang lagi-lagi ditolak. Karya yang sudah kurancang dalam beberapa pekan belakangan, ditolak begitu saja oleh si ketua klub karya ilmiah itu.
Teman-teman yang (lagi-lagi..?) pergi jalan-jalan tanpa mengajak. Apalagi, kudengar mereka mengadakan pesta ulang tahun.

Yah, mungkin aku memang bukan bagian dari mereka?
Aku berjalan gontai menuju rumah kost. Aku bersiap melepas sepatu, melempar tas ke atas ranjang, dan merebahkan diri, supaya tidak dibuat tambah pusing.
Aku membuka pintu...
DAR!
Suara yang membuatku terlonjak ini, hanyalah awal dari kejutan berikutnya yang muncul.
Sekerumunan teman-temanku langsung datang mengerubungi, tanpa ampun seperti mengerubungi daging kurban. Untung aku belum disembelih.

"Selamat ulang tahun, Denis!"

Aku hanya melongo.
Benar juga. Hari ini kan 24 Oktober, ya.
"Elo kemana aja, Denis? Lama sekaali!" sahut Andre yang menepuk-nepuk pundakku begitu keras.
"Ini, ada telepon dari Bu Linda, dosen termo," sambar Tono yang menydorkan hapenya ke telingaku.
Aku menoba mendengarkan suara Bu Linda di tengah kerusuhan di pintu rumah kostku itu.
"..Andre, maaf ibu tadi menuliskan nilaimu tidak tuntas. Andre dan kawan-kawan yang meminta begitu, katanya untuk kejutan ulang tahunmu hari ini. Nilaimu bagus kok, jauh diatas nilai sebelum-sebelumnya. Selamat ulang tahun ya, Andre," Bu Linda berseru dari seberang telepon. Aku bisa mendengar sedikit tawa di suaranya.
Hahaha. Ini permainan mereka, rupanya.
Seolah belum puas menepuki punggungku yang pasti sekarang sudah merah, Andre menatapku lagi dengan gelak tawa. Mungkin karena ekspresiku yang masih dalam fase terbengong-bengong.
"Hahaha... Denis, elo terlalu sibuk sih! Ngerjain proposal lah, apa lah, sampai lupa sama kita-kita. Santai aja, proposal elo gue terima kok. Tapi ya, temen-temen elo juga diajak atuh merancang proposalnya. Kasian tuh mereka nganggur.." Masih tertawa, Andre menawariku segelas sirup.
Yang lain ramai menyuitiku, melempariku dengan kaus kaki, baju kotor, atau entah apa itu. Tetapi aku hanya duduk, terdiam, sejenak.

Mungkin hidup yang menjemukan kualami karena terlalu banyak prasangka.
Lebih baik kuhapus saja semua prasangka itu, sekarang.
Mencoba memasang wajah bersahabat, aku mulai meneguk sirup yang diberikan Andre.
Tanpa prasangka apapun.
Lanjutkan baca »

Senin, 21 Oktober 2013

Article#223 - Temaram Tirai Senja (3)

Cerita sebelumnya: Perlahan, aku mulai merasa paham akan apa yang terjadi. Tetapi, efek sampingnya, aku menjadi pribadi yang jeblok. Hanya gara-gara masalah yang mungkin sepele ini, aku diberi peringatan secara tidak langsung untuk memperbaiki hasil belajar, atau aku akan didepak dari sekolahku itu. Seolah belum cukup, Tizar datang dan juga memberi peringatan, walaupun dari sisi yang berbeda. Ada yang membuatku bingung dari kata-kata Tizar. Ada apa di balik kata-kata Tizar saat itu? Dan apa ada kaitannya dengan Tiara?



Dalam beberapa saat, aku hanya termangu. Dan kemudian mengangguk pelan.
"Benar-benar ya, Tizar itu," kembali Tiara bersuara. "Dia minta kisahnya sendiri tak diberitahukan ke orang lain, tetapi ia sendiri malah menyebarkan kisah orang lain."
Aku makin bingung. Tetapi, mungkin di balik kabut yang ini akan terbersit cahaya.
"Bardi, kamu bilang si Tizar bicara soal cewek yang merawat abangnya dalam tujuh tahun terakhir. Nah. Tanpa bermaksud menyombong, sebenarnya, saat ini juga, kau sedang berbicara dengannya."
Penjelasan tidak terduga ini hanya membuatku terkesiap. Tetapi lebih karena pikiran menyakitkan dalam kepalaku: Jika Tizar membicarakan Tiara sedemikian rupa, maka aku tak lagi punya peluang.

Duh, kenapa lagi-lagi itu yang kupikirkan? Di saat seperti ini?


Tiara sepertinya bisa membaca apa yang ada dibalik ekspresi terkejut yang menghiasi wajahku untuk beberapa saat.
"Hei, Bardi, hei. Jangan berpikir kemana-mana dulu. Kamu belum tahu keseluruhan ceritanya."
Sepertinya setelah ini semua akan jelas. Aku kini memasang posisi serius, siap mendengarkan.
"Sebelumnya, janji ya, kau nggak akan bilang siapapun tentang ini. Tizar tidak mau ada yang tahu cerita lengkap dari masa lalunya, tetapi aku yakin kamu bisa jaga rahasia." Aku mengangguk. Bersitan yang biasanya akan muncul dalam kondisi semacam ini, kini urung tampil.

"Baiklah kalau begitu. Si Tizar bilang kalau sejak tujuh tahun lalu abangku lumpuh, tetapi ia tidak bilang kan, lumpuh karena apa. Yaah, sebenarnya, dia lumpuh akibat terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil. Di kecelakaan yang sama, di mobil yang sama, kedua orangtua Tizar dipanggil Yang Maha Kuasa."
Kini aku tak sanggup berkata-kata lagi.
"Mungkin kamu tak mengerti, maka akan kujelaskan sedikit. Ayah Tizar adalah kakak dari ibuku. Tizar adalah saudara sepupuku.
"Aku sendiri tak tahu detailnya bagaimana. Tetapi, dari apa yang diberitahukan oleh ibuku, sekitar tiga pekan setelah kejadian itu, Tizar pindah sekolah ke suatu sekolah yang jauh. Kata ibuku, saudara ibu yang paling tua, namanya Paman Dirga, memutuskan untuk mengasuh Tizar dan kedua adiknya yang masih kecil, termasuk membiayai pendidikan Tizar. Tizar dipindahkan ke sekolah yang jauh ini, karena Paman Dirga merasa sekolah tersebut sangat bagus untuk mendidik karakter seorang anak pra-remaja macam Tizar saat itu. Paman Dirga dulu juga disekolahkan di sekolah yang sama. Dan Tizar tinggal bersama kakek dan neneknya–yang juga kakek dan nenekku, sama seperti Paman Dirga dulu.
Sejak itu, semua kembali berjalan seperti biasa. Kemudian, di Lebaran lima tahun yang lalu, terjadi sebuah keributan saat keluarga besar kami berkumpul."

Tiara menghentikan ceritanya sejenak, mmenghela nafas.
"Paman Dirga menemukan setumpuk uang di dalam tas Tizar saat ia membereskan rumah untuk menyambut anggota keluarga yang lain. Kata Tizar, itu uang hasil usahanya, dan Paman Dirga waktu itu sangat waswas, kalau-kalau 'usaha' yang dimaksud Tizar adalah usaha yang tak baik. Tetapi Tizar nggak bilang apa-apa, selain ucapan yang waktu itu kudengar sendiri: 'Ini uang untuk biaya sekolah adik!'.
"Sepertinya, karena Tizar menyebutkan kata 'sekolah', Paman Dirga akhirnya memutuskan untuk menelepon seorang guru di sekolah Tizar. Guru ini guru BK, dan beliau ini adalah guru yang menerima Tizar waktu dipindahkan dulu, begitu cerita ibuku. Menurut cerita beliau, ia mendengar kabar bahwa Tizar selalu menitipkan penganan setiap kali ia datang ke sekolah, dan mengambil hasil penjualannya saat pulang.
"Kabar ini diiyakan Nenek esok harinya, yang menambahkan, jika penganan tersebut sebenarnya dibuat secara rutin oleh Nenek untuk pengajian di masjid RTnya, tetapi Tizar meminta sedikit untuk dijual di kantin sekolah.
Yang kuingat, setelah itu Paman Dirga bertanya kepada Tizar, kenapa dia masih saja mengumpulkan uang untuk sekolah adiknya. Kamu tahu apa kata Tizar? Aku belum ngasih apa-apa ke adek selama ini.

Aku makin terheran-heran. "Dia benar-benar bilang gitu?!"
"Ya. Kamu kaget kan? Begitu juga anggota keluarga yang lain saat itu."
"Tapi... dia bahkan belum..?"
"Iya, aku paham. Begitulah Tizar sejak dulu, tegas, blak-blakan, dan terutama sejak kecelakaan itu, jadi sedikit keras. Tetapi, si Tizar selalu bisa mengejutkan orang–bahkan ketika ia sendiri tak menyadarinya.

"Paman Dirga dan anggota keluarga yang lain khawatir Tizar tercemar pergaulan yang buruk, maka setelah tiga tahun di SMP yang sama denganku, ia diikutkan dalam tes penerimaan siswa baru di SMA kita sekarang ini. Aku sendiri sebenarnya juga disarankan masuk kesini sebelumnya, tetapi aku selalu bisa mengelak dengan alasan merawat abangku. Baik SMPku dulu, dan SMAku sebelum pindah kesini, semuanya dekat dengan rumah, sehingga aku bisa lebih banyak meluangkan waktuku bersama abang. Sekarang, berhubung abangku sudah cukup sehat, aku tak lagi punya alasan untuk mengelak, maka akhirnya aku pindah."

Aku mencoba mereguk isi teh dalam botol yang masih terisi separuh. Seolah dengan itu, cerita yang baru saja dituturkan Tiara akan mampu kucerna lebih mudah.
"Kamu teman baiknya Tizar?" Tiba-tiba Tiara bertanya.
"Mmm, aku sendiri tak yakin apakah bisa disebut 'teman baik', tetapi kau bisa anggap begitu. Ada apa memang?"
Sebenarnya aku sendiri tak yakin, apakah bertanya karena ingin tahu, atau karena ingin memperlama obrolan dengannya.
"Maksudku, Tizar sampai menyebut-nyebut tentang aku di hadapanmu. Setahuku ia tidak melakukan hal semacam itu dengan sengaja. Kalau ia sedang dikuasai emosi saat itu, mungkin seperti orang bilang, kepedulian akan sahabat melebihi logika dan akal sehat."
"Apa mungkin ada hubungannya dengan langit senja? Aku duduk di atas gawang dan memandangi langit senja, saat ia memberitahuku yang tadi itu."
"Ohiya, benar juga, ya. Senja. Tizar kadang suka emosional mengenai yang satu itu. Ingat kejadian beberapa waktu lalu kan? Dulu di SMP dia juga beberapa kali melakukan hal yang sama. Mungkin karena.."
Aku memasukkan botol teh yang masih terisi separuh ke dalam tasku.
"Kurasa aku bisa melihat alasannya, Tiara. Sudahlah, kau sudah terlalu banyak bercerita siang ini."
"Hehe, sepertinya kamu benar-benar teman baiknya Tizar. Baiklah, sampai jumpa, Bardi. Jaga Tizar baik-baik yaa.." Tiara bangkit dan berjalan pergi sembari sedikit tergelak.
Aku masih duduk di tepi jenjang tangga Kedai.
Mungkin aku tahu, ada apa dengan senja. Atau tidak?


***

Rasa tertohok yang sedemikian rupa ini, belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Tizar," aku menyahutinya yang beranjak pergi itu. "Ada apa antara kau dan langit senja?"
Tizar menoleh dengan tatapan yang tak biasa kulihat. Kupikir, karena dia sebelumnya bicara dengan blak-blakan, maka tak ada salahnya kucoba juga hal yang sama.
"Sebelumnya, bisa ente ceritakan dulu, kenapa ente menatap langit senja dengan tampang menyedihkan begitu?".

Aku hanya tercenung. 
"Dulu, ane juga ngeliat langit senja sebagai simbol dari akhir kejayaan surya. Terang menghilang, malam menerjang. Kedengarannya menyedihkan, ya? Apalagi kita juga kenal dengan istilah 'usia senja'. 
"Tapi, coba bayangkan. Mungkin senja itu akhir dari hari. Tetapi orang sampai menamainya dengan nama sendiri. Artinya, hari berakhir dengan akhir yang istimewa. Saking istimewanya, jutaan orang di dunia rela meluangkan waktu sejenak untuk memandangi terbenamnya Matahari. Saking istimewanya, umat Muslim menjadikan waktu terbenamnya matahari sebagai ajang pergantian hari, atau sebagai penanda waktu sholat. 
"Dan juga, semu kemerahan senja mungkin saja bisa mengingatkanmu pada akhir hayat. Bahwa siklus kehidupan dan kematian ada analoginya di mana-mana. Jika orang-orang bisa memilih, bukankah mereka akan memilih akhir cerita yang indah? Yang mereka sebut happy ending?"

Tizar kembali melangkahkan kaki ke arah masjid.
"Kalau kau, Bardi? Bagaimana denganmu?"

Terlalu banyak kejutan yang kuterima siang ini. Saking banyaknya, untuk beberapa menit selanjutnya aku hanya bisa duduk di tepian Kedai. Membiarkan apa yang baik Tizar maupun Tiara sampaikan. Meskipun aku berbicara sekian lama dengan Tiara, dan pembicaraan itu sudah selesai beberapa saat lalu, bersitan aneh yang dulu sering muncul dalam kondisi serupa, kini seolah mati.
Aku terlalu jauh dari level mereka. Masih sampah.
Tergelak menertawakan diri sendiri, dan krisis diri yang bisa-bisanya kubiarkan merajalela akhir-akhir ini. Tidak hanya salah prasangka, tetapi juga kesadaran yang muncul menghantamkan diriku lagi, sekali lagi, seolah belum cukup parah, kepada kenyataan.
You left me here, beside myself
Left me with all the reason I was wrong for you

"Woi, napa loe? Galau? Mending ke masjid, udah mau adzan noh." Bambang menepuk pundakku dengan kekuatan yang tak dikira-kira dulu.
Heh. Aku mengambil tasku yang sebelumnya tergeletak, dan berdiri untuk pergi ke masjid. Dan saat itu juga kuputuskan untuk melupakan segala macam cerita cinta yang sempat kucoba tabur-taburi dalam jiwa.

Kuambil kertas yang pernah kucoba kutulisi surat cinta dengan air jeruk. Tadinya, surat itu kuniatkan untuk diberi ke Tiara. Tetapi tidak lagi.
Dengan yakin, kumasukkan kertas itu ke dalam tong sampah.
Sampah memang layaknya ada di tempatnya. 
Kalau bertebaran, justru ia malah mengotori, bukan?


*****

Entah sudah berapa lama aku duduk di teras kosan, berselimut cerita lama. Langit senja masih saja menampilkan gemilang cahayanya, meski sang surya kini sudah terhalang rumah di seberang.
Setelah kupikir lagi, bahkan, dengan semua cerita Tiara saat itu, tindakan Tizar menceritakan masa lalu Tiara seara tersirat masih terasa tak wajar bagiku. Seolah Tizar sengaja melakukannya, supaya aku memutuskan bertanya ke Tiara, dan mendengar seluruh isi cerita.
Kalaupun iya, untuk apa?
Sudahlah, lupakan saja.

Suara tilawah mulai bergema dari pengeras suara masjid. Kulirik sebentar pesan yang tadi masuk di hapeku.
"Bar, ane denger ente pulang cepet hari ini? Makan yuk di warung samping masjid RT abis maghrib!"
Sepertinya opsi yang diberikan kepadaku hanya satu. Menyegarkan kepala dan melupakan pikiran-pikiran tak jelas.
Lagipula, hari ini harus disyukuri. Pertama kalinya pulang sebelum Maghrib sejak dua bulan lalu.

Kugeletakkan tas di tempat tidurku, dan kukenakan sendal untuk pergi ke masjid.

-Tamat-


P.S.: Tidak membaca dari awal? Sila telusur disini.
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Jumat, 18 Oktober 2013

Article#222 - Temaram Tirai Senja (2)

Cerita sebelumnya: Sebuah kenangan lama. Berawal dari keinginan sederhanaku untuk meminjam novel milik Tizar, di sore hari empat tahun yang lalu itu, civitas sekolah–khususnya siswa kelas dua–dikejutkan oleh lenyapnya Tizar tanpa jejak. Persoalan ini sendiri kemudian berakhir dengan ditemukannya Tizar, duduk santai di atas atap gedung sekolah. Terlepas dari keributan di sore itu, aku heran, dari begitu banyak orang yang kutanyai, mengapa Tiara, gadis yang diam-diam kutaksir ini, terlihat begitu tenang. Seolah ia sudah tahu, Tizar akan baik-baik saja—meski dengan sedikit kejutan. Ada kisah apakah diantara Tiara dan Tizar?



Sejak menyadari semua hal itu, paling tidak aku mulai merasakan ada dua perubahan besar yang terjadi pada diriku. Perubahan, yang sebenarnya baru kurasakan secara nyata di akhir cerita ini.
Biasanya kelima inderaku hanya bereaksi dengan berlebihan hanya ketika ada Tiara. Tetapi kali ini, ada sedikit tambahan. Aku menjadi sangat peka akan gerak-gerik Tizar, khususnya ketika kupergoki sedang dekat dengan Tiara.
What's it like there? Is it all what you want it to be?
Does it hurt when you think about me? And how broken my hea—

Ah, lagi-lagi radio ini. Matikan, dong.

Makin aku peka dengan segala tindak-tanduk mereka, makin aku mengalami perubahan kedua.

Aku seolah ditampar oleh wali kelasku di penyerahan rapor tengah semester. Nilaiku jeblok semua. Hancur. Parah lah. Padahal sudah kelas dua, artinya sudah masuk jurusan. Entah IPA maupun IPS. Sesuatu yang lebih besar menanti: jika aku tidak bisa mempertahankan nilai dengan cukup baik, maka hanya ada satu pilihan untukku, minggat dari sekolah ini.

Jika Tizar senang merenung dengan mengamati senja, saat ini aku pun juga dalam kondisi senja. Rendahan, dan akan segera terbenam.

Huft. Aku melongok ke jadwal remedial yang tertempel di mading sekolah, remedial terdekat adalah fisika. Lab fisika, esok harinya, jam 4 sore. Karena kondisi asrama sore hari tak pernah kondusif buatku untuk belajar, kuputuskan untuk belajar di tempat tongkrongan favoritku.

Ironis, ya. Aku punya hobi nongkrong yang serupa dengan si Tizar itu, dan sepertinya dalam kondisi serupa. Saat ingin serius dan menenangkan diri dari segala pikiran yang mungkin mengganggu. Paling tidak, tongkronganku tak seaneh Tizar; walaupun aku sendiri tak yakin apakah duduk di atas mistar gawang bisa dianggap wajar atau tidak.
Sudah lima belas menit. Lapangan sepakbola sepi, tidak ada yang bermain sepakbola sore ini. Bagus. Meskipun lapangan basket dan futsal ramai oleh siswa lain, paling tidak, tak ada yang akan mengganggu—
Sebuah bola meluncur ke arahku.
Siapa orang iseng ini? Tak sulit bagiku untuk menangkis bola ini. Tapi, gara-gara bola tersebut, konsentrasiku kembali buyar. Aku pun berpaling, menatap tersangka yang berani-beraninya merusak ketenanganku.
"Hei kau! Tak lihatkah aku sedang—oh, ternyata kau."
Dengan cengiran a la bocah yang ketauan memetiki mangga tetangga, Tizar memungut kembali bola yang tergeletak di tanah.
"Kenapa, Bar? Kenapa memang kalau ane? Kangen ya?"
Aku hanya memberengut. Memang begini kan tingkah si Tizar, sok akrab ke semua orang.
"Hahaha, sudah ane duga, ente lagi ada masalah ya. Nggak biasanya ente pemarah begini. Jadi kayak cewek.."
Di tengah rasa kesal, aku membayangkan apa jadinya jika ada yang mendengar kata-katanya.
"Hei, pelankanlah suaramu sedikit."
"Wah wah, kenapa? Hmm, jangan-jangan ente lagi galau ya, hahaha..."
Aku makin bingung antara rasa ingin memplester mulut ributnya dengan rasa kesal sekaligus heran, bagaimana ia bisa menyadarinya dengan begitu cepat.
"Kalau galau terus kenapa?", aku menyahut sambil lalu.

"Haha, benar rupanya. Ayolah kawan." Nada bicara Tizar berubah, dan aku paham betul jika ia sedang serius kali ini.
"Ente cuma galau mikirin seorang cewek, taulah siapa dia. Tapi kok ente bisa sampe jadi jutek begini, nilai sampai drop, nggak kayak Bardi yang ane kenal!"
Baru saat itulah aku benar-benar mendengarkan. Benar juga kata-katanya, kalau dipikir.
"Heh, Bardi, tau nggak, ane kenal ama satu cewek ini, dia nggak pernah yang namanya ngeluh, bahkan pas dia harus merawat abangnya secara penuh, sejak tujuh tahun lalu. Selama tujuh tahun itu, abangnya dari nggak bisa gerak dari tempat tidur sama sekali, sampe bisa ikutan rutin joging keliling kampung. Ente tanya dia gimana? Dia jadi juara kelas, ikut lomba kemana-mana, dan sekarang dia masuk salah satu SMA unggulan di negeri ini. SMA unggulan bro! Masalah ente, kagak ada apa-apanya!
Kalau ente masih aja drop cuma gara-gara cewek galauan ente itu, ente udah kalah ama itu cewek!"
Heh, Tizar memang tak pernah tanggung-tanggung.
Selalu telak.
Dahsyat seperti biasa.
"Sudahlah, setengah jam lagi Maghrib. Mendingan ente langsung cabut ke asrama deh. Jangan lupa, ente juga perlu mulai urus surat izin mampir ke sponsor acara kita Sabtu pekan depan. Ane duluan ya, wassalamu'alaikum."
Tizar pun melangkah menuju masjid.
Rasa tertohok yang sedemikian rupa ini, belum pernah kurasakan sebelumnya.

***
Beberapa hari sudah berlalu sejak cerita di tepi lapangan sepakbola itu. Aku baru saja menghadap guru koordinator kesiswaan untuk meminta perizinan meninggalkan lingkungan sekolah, dan kini aku menenteng map bening bersemu kemerahan dengan penuh rasa pede menuju ruang OSIS.
Aku duduk sebentar di kursi di depan ruang OSIS, sembari melepas sepatuku dan menaruhnya di rak. Kuintip sebentar isi ruang OSIS dari jendela.
Lagi, ruang OSIS sepi. Hanya ada beberapa orang.
Ada Danang yang sedang asyik mengerjakan desain poster acara. Acara yang juga aku dan Tizar urusi saat ini. Acara yang diketuai Tizar ini memang salah satu acara OSIS terbesar di sekolahku. Pelaksanaanya masih dua bulan lagi, tetapi aura acara tersebut sudah mulai menyeruak, memenuhi isi ruang OSIS ini. Selain Danang, Remi sang sekretaris masih saja berkutat dengan entah-apa-lagi-yang-ia-kerjakan. Mungkin ada kaitannya dengan Via yang sedang mendiktekan isi sebuah buku catatan besar di sebelahnya. Tapi semua itu tak kupedulikan.
Ada Tiara.
Tiara duduk tak jauh dari sana, membaca sebuah novel pinjaman dari perpustakaan.
Atau dari Tizar?
Hah, kenapa muncul pikiran semacam ini terus sih.
Sedikit kikuk, aku melangkahkan kaki memasuki ruang OSIS. Tetapi langkahku tertunda untuk sekian detik, saat seorang gadis berjilbab melangkah keluar ruang OSIS, dan kemudian berjalan ke arah Kedai.

Kutaruh map berisi berkas yang baru saja ditandatangani itu di meja ruang OSIS, dan kutaruh tas di samping pintu. Kulihat, tiga orang di dalamnya masih asik dengan pekerjaan mereka.
....Tiga? Benar juga.
Aku segera memakai sepatu, dan kususul Tiara ke Kedai. Ada yang perlu kutanyakan.
...
...
Kedai adalah salah satu ide yang dicetuskan oleh kepala sekolah terdahulu, mengenai tempat dimana siswa bisa bersantai sembari belajar, atau sekadar berkumpul dalam kegiatan apapun. Bagiku, yang disebut 'Kedai' ini tak lebih hanyalah 'teras' dari gedung koperasi, yang terletak tepat di sebelah Kedai saat ini. Karena koperasi tergolong ramai dikunjungi oleh siswa di sekolahku, maka Kedai pun dengan cepat menjadi salah satu tempat nongkrong favorit di sekolahku, terutama seusai kegiatan belajar.
Desainnya sederhana, seperti pendopo dengan dasar ubin dengan tiga jenjang tangga di tepiannya, dan atap standar yang ditopang dengan empat tiang. Tiga di tiap sudut, satu di tengah. Sudut yang lain menyatu dengan bangunan koperasi.

Siang itu, Kedai pun masih ramai. Mungkin karena sebentar lagi masuk waktu Zuhur, banyak yang memutuskan untuk bersantai dulu di Keda
Dan di sisi salah satu tiang di sudut itu, Tiara duduk. Aku duduk di sisi lain dari tiang itu.

"Tiara, maaf mengganggu, tapi ada yang ingin kutanyakan."
Tiara hanya menoleh sejenak.
"Aku ingin menanyakan soal Tizar. Kupikir, karena kau tampak begitu dekat dengan Tizar selama ini, mungkin kau bisa menjawab pertanyaanku. Maaf kalau kurang berkenan."
Tiara diam beberapa saat. Kemudian ia hanya menjawab pelan,
"Sudahlah, tanyakan saja."
Kini aku yang diam sejenak. Menghela nafas.
"Beberapa hari yang lalu, Tizar sempat bilang tentang seorang cewek. Dari gaya bicaranya, aku yakin Tizar punya rasa kagum akan cewek ini. Baru saat itu aku dengar Tizar membicarakan orang lain seperti itu. Kau mungkin kenal dia?"
Tiara kini terlihat tertarik.
"Apa yang dia katakan tentang cewek ini, Bar?"
"Wah, Tizar hanya bilang kalau cewek ini merawat abangnya yang lumpuh secara penuh, sampai sembuh, sejak tujuh tahun yang lalu. Dan cewek ini juga berprestasi, ikut banyak lomba, jadi juara kelas.."

Hening sesaat, dan kemudian Tiara kembali bertanya.
"Dia.. dia benar-benar.. bilang begitu..?"
Bukan jawabannya yang di luar dugaanku, karena aku sama sekali tidak membuat praduga.
Tetapi suaranya. 
Nada yang bergetar itu.
Nada lirih itu.

(bersambung)

***


sumber gambar
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...