Senin, 07 Juli 2014

Article#315 - Negeri Jungkat-Jungkit

[versi belum komplit]

"Mardis!"
Sebuah tepukan di bahu, dengan suara itu. Mardis tahu betul siapa yang kini berada di belakangnya. Ia berpaling dan menghadap sosok Pak Kardi, guru musiknya di kelas XI ini.
"Ada apa, Pak?"
"Pak Yasa ingin bertemu kamu di kantornya," Pak Kardi menjelaskan singkat.
"Ooh. Sekarang Pak?"
"Pak Yasa sih bilangnya sehabis makan siang. Kamu sudah makan siang?"
"Sudah Pak,"
Pak Kardi merapikan rambut gondrongnya.
"Kalau begitu tunggu saja dulu. Tadi saya lihat Pak Yasa masih ada di kantin. Mungkin jam 1 beliau kembali ke kantornya."
"Baik. Terima kasih Pak Kardi!" sahut Mardis bersemangat.
"Sukses ya, Dis!" sahut Pak Kardi.
Mendengar sahutan pak Kardi itu, Mardis makin yakin, pemanggilan dirinya ke ruangan Pak Yasa adalah untuk membicarakan lomba puisi tingkat provinsi bulan depan.

Dengan langkah yang makin ringan, Mardis melangkah menuju mading OSIS. Salah satu lokasi favoritnya dalam menghabiskan waktu senggang di sela-sela kegiatan sekolahnya. Meskipun kemudian pikirannya tidak juga lepas dari lomba yang, Mardis yakini, akan diikutinya.

....
Pak Yasa, sang kepala sekolah, menatap piring nasi uduk kosong di hadapannya. Pikiran beliau berkecamuk.
Hanya tinggal 29 hari menuju lomba Bulan Bahasa tingkat provinsi. Lomba yang biasanya menjadi ajang pengukuhan nama sekolah pimpinannya sebagai langganan juara. Tetapi, untuk tahun ini, mulai muncul kekhawatiran akan kemungkinan sekolahnya pulang menggondol piala seperti yang sudah-sudah. Jumlah siswa yang mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba ini masih jauh di bawah jumlah yang diharapkan pak Yasa. Kalau terus menunggu para siswa mendaftar, bisa-bisa kita tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan para siswa, batin Pak Yasa.

Sepanjang tengah hari itu, pikiran Pak Yasa tak juga lepas dari urusan lomba terkait. Sejak ia membayar nasi uduk pesanannya, berjalan ke gedung sekolah, hingga menyalami beberapa siswa yang berpapasan dengannya. Tetapi di depan ruang kerjanya, sepertinya jawaban untuk kecamuk pikiran Pak Yasa sudah menunggu.
Mardis berdiri memandangi berbagai pengumuman yang ditempel di mading depan ruang Kepala Sekolah. Matanya masih menelusuri jadwal akademik semester ganjil ketika ia mendengar sapaan ramah Pak Yasa.
"Wah, sudah di sini rupanya, Dis. Maaf ya, kamu jadi menunggu."
"Tidak apa, Pak," Mardis mengulurkan tangan menyalami Pak Yasa.
Pak Yasa mengajak Mardis untuk memasuki ruang kerja Kepala Sekolah.

"Mungkin kamu sudah menerka, Dis, kalau tujuan saya memanggilmu ke ruangan ini adalah untuk membicarakan perihal keikutsertaanmu dalam lomba Bulan Bahasa, bulan depan. Seperti yang kami umumkan dulu, dari semua anak yang mengikuti seleksi pekan lalu, akan ada beberapa nama yang dipanggil langsung oleh saya, sebagai Kepala Sekolah. Nama-nama yang dipanggil adalah yang dipertimbangkan menjadi perwakilan sekolah dalam menghadapi lomba bulan depan." ulas Pak Yasa.
 
Mardis masih mendengarkan dengan takzim, berusaha menyembunyikan kegembiraan. Belum waktunya bergembira.
"Sejak kemarin, sudah ada beberapa siswa yang dipanggil, seperi kamu sekarang ini. Tujuan kami memanggil langsung calon peserta lomba, adalah untuk menilai secara langsung kemampuan kalian. Seperti saya yakin kamu pahami, Dis, kita ingin mengirimkan siswa-siswi terbaik kita dalam lomba tersebut."
Mardis mengangguk.
"Sekarang, untuk penilaian dari saya, kamu akan diminta membacakan lagi puisi yang kamu bawakan di seleksi pekan lalu. Kamu sudah siap?" Pak Yasa bertanya.
"Siap, Pak." Mardis menjawab dengan mantap.

Mardis mengambil nafas sejenak. Ia mengambil naskah puisi dari dalam tas. Memulai pembawaan puisinya.

Tersebut sebuah negeri yang katanya impian
Berbalut harapan yang ditaburi imaji
Sebagai surga bagi mereka yang mendambanya
Ya, inilah negeri jungkat-jungkit
Negeri di mana satu pihak bisa merasa paling benar
Dan pihak lain dicapnya bergelimang dosa

Semua pendapat lawan dianggapnya tiada makna
Dianggapnya hanya mencari pembenaran
Lewat seruan sederhana, berkumandang
"Yang tidak bersama kita, merekalah pihak mungkar!"
Padahal jika demikian, apalah bedanya mereka
Dengan kesesatan yang konon mereka coba enyahkan?

Di negeri jungkat-jungkit, kebenaran tak terasa maknanya
Tinggallah ia berupa nama yang dipuja-puja
Banyak yang telah muak melihat penistaan di layar kaca
Ketika para elit pejabat beramai menjilati label kebenaran

Sebagaimana anjing mengemis pada tuannya
Demi sepiring kuasa dan segenggam harta
Mereka gadaikan nilai dan prinsip
Demi kursi yang ingin mereka cicip
Mereka akan rela saling tusuk, saling gigit
Persis sekumpulan hyena berebut bangkai politik

Maka masihkah kau mengernyit heran?
Ketika di negeri jungkat-jungkit
Ada pihak yang membubarkan diri dari pesta
Berdiri di luar ruang, mengamati sebelum pergi
Dengan kernyit heran melingkupi ekspresi

Ada mereka yang mengaku peduli akan nasib bangsa
Dengan kutip yang bahkan belum tentu Brecht ucapkan
Mereka keluarkan ejekan buta politik
Sebagai ironi bagi para muka tebal anti kritik

Tentu saja, karena ini negeri jungkat-jungkit
Mereka yang ikut berpesta, merasa memberi peranan
Artinya, yang pergi dari pesta semuanya lepas tangan
Dan tak layak ambil jatah dalam kesuksesan

Bual hampa yang ditelan orang mentah-mentah
Kini berkecambah sebagai adu sumpah serapah
Kericuhan merekah antar dua sisi mata uang
Uang yang membeli logika dan akal sehat
Uang yang terhamburkan tanpa tentu tujuan

Maka, hingga kini di negeri jungkat-jungkit
Belum banyak yang bisa menerima kenyataan
Jangankan sekadar bicara nyelekit
Pilihan hidupnya saja hasil ikut-ikutan

Adu pengidolaan bodoh yang bangga dengan perannya
Ada yang bilang, pendukung mewakili yang didukungnya
Kalimat yang paling nyata mewakili ini semua
Di atas saling jilat, di bawah saling silat
Di atas adu domba, di bawah adu damba

Beginilah kawan, negeri jungkat-jungkit
Berdiri di satu pihak berarti melawan pihak lain
Menentang opini satu sisi berarti menyanjung sisi lain
Bagai pasukan paman Sam, menjajahi ragam negeri
Berburu teroris dengan menebar teror kesana kemari

Menepuk wajah lawan hingga kehitaman
Hitam oleh abu gosong tangan sendiri
Menyanggah fitnah dengan mendustai kenyataan
Mendompleng nama kebenaran untuk ongkang-ongkang kaki
Dengan semua kekonyolan moral di segala arah
Masihkah kau heran, ada yang melangkah pergi?

Mungkin kami meninggalkan arena pesta ini
Tetapi ingat, karena ini negeri jungkat-jungkit
Mana mungkin kami hanya bersantai, duduk manis
Tak perlu menanti lantai berjungkat, atau berjungkit

Menggerak raga sendiri untuk bergerak berubah
Bukan lewat puja-puji figur kinyis-kinyis
Mari, kawal negeri jungkat-jungkit dalam perbaikan
Karena kontribusi tak sesempit celupan jari


sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...