Senin, 07 Maret 2016

Article#523 - Manenung Gawin Rahu (2): Melaju

Sebelum membacaTulisan kali ini akan menjadi kelanjutan dari serial "Manenung Gawin Rahu", yang secara kasar bermakna "memperkirakan pergerakan Bulan" dalam bahasa Dayak Ngaju. Serial yang akan difokuskan pada kisah panjang belasan tahun antara saya, astronomi, dan kemudian, salah satu kejadian astronomi spesial: gerhana matahari total.
Jika Anda yang mampir di laman ini belum membaca bagian sebelumnya, silakan menjumpanya dan menilas serial ini dari bagian awal.

Edisi kedua, tentang bagaimana kisah ini mulai lepas landas.

Selamat membaca!

*****

Calvin and Hobbes: Stargazers. sumber gambar
Jika saya pertama kali dihadapkan pada dunia astronomi di depan buku ensiklopedia antariksa, agaknya saya pertama kali mendalaminya sedemikian rupa adalah di masa sekolah menengah, ketika saya berhadapan dengan kompetisi astronomi.
Sebagaimana sebagian besar anak Indonesia yang mencecap bangku pendidikan formal, saya dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang masih mengatasnamakan capaian peringkat sebagai tonggak kesuksesan. Di satu sisi, berlomba mencapai pucuk teratas dalam satu komunitas kelas akan menjadi rutinitas yang demikian melelahkan di tiap semesternya (atau caturwulan di masa silam). Saking membosankannya, kesempatan mengikuti perlombaan macam apapun akan tampak bagaikan oase di tengah padang pasir—tentunya dengan syarat lomba terkait mengizinkan siswa absen dari kelasnya. Di sisi lain, ketika siswa tertentu mendapat giliran untuk berpartisipasi dalam suatu lomba, atmosfer berkompetisi yang biasa digulirkan dalam kelas membuat sebagian siswa demikian terbiasa menghadapi lomba. Di mana, tentunya, atmosfer kompetisi tercium demikian sangitnya.

Saya termasuk sekian anak yang cukup beruntung untuk mendapat insentif berupa udara segar di luar ruag kelas, terutama dalam masa transisi dari pendidikan tingkat dasar menuju tingkat menengah. Sekian lama berkecimpung dalam berbagai kancah di luar sekolah, saya mendapati banyaknya ragam lomba yang dipentaskan di luar sana. Bagi pecinta lomba dalam ranah IPTEK, lomba terkait matematika, fisika, dan biologi sudah menjamur demikian rupa sejak masa sekolah menengah. Tetapi bagi saya, seorang bocah yang masih menyimpan sisa-sisa ketertarikan pada bidang astronomi, saya masih bertanya-taya: adakah lomba serupa dalam bidang astronomi bagi saya? Atau, lebih ngenes lagi, akankah saya mendapat kesempatan berkenalan lagi dengan astronomi?
Jerit keputusasaan Kepasrahan akan tiadanya prospek lomba astronomi yang tampak membuat saya mengiyakan tanpa basa-basi ketika saya mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam sebuah pelatihan yang digelar bagi siswa SMP di wilayah kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Bidangnya? Fisika. Ya sudah lah ya.

Singkat cerita, pelatihan tuntas digelar dan kami-kami mulai berkiprah di posisi masing-masing, mengikuti lomba (yang belakangan saya ketahui ternyata prestisius, tetapi saya di zaman SMP tidak ambil pusing) bertajuk Olimpiade Sains Nasional alias OSN. Dimulai dari jenjang kabupaten/kota, OSN mengadakan seleksi berjenjang bagi para pesertanya dalam perjalanan menembus tabir seleksi menuju jenjang provinsi, dan kemudian berkompetisi lagi untuk mendapat tiket menuju ajang utama, jenjang nasional. (Catatan: Demi mengurangi keterulangan yang menjemukan, mulai dari bagian ini, olimpiade jenjang kabupaten/kota akan saya sebut OSK, jenjang provinsi akan disebut OSP, dan jenjang nasional disebut OSN.)

Masih menantang dunia fisika, saya meniti langkah mulai dari jenjang kabupaten Tangerang, menuju jenjang provinsi Banten. Yang dengan membosankannya digelar di wilayah Puspiptek. Maksud saya, ayolah, saya pingin jalan-jalan. Dan saat itulah saya kemudian berkenalan dengan rekan sekamar saya, yang bersiap menuju lomba bidang.....
.....
Astronomi.

Saya tersambar kenyataan. Ternyata lomba yang sedang saya ikuti juga menyelenggarakan lomba di bidang astronomi, dan saya tak tahu apa-apa sebelumnya. Wajar menurut saya, mengingat dari 4 mata pelajaran yang dilombakan pada ajang OSN, hanya bidang astronomi yang tidak disediakan wadah pelatihannya oleh IPB. (Spoiler: mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa di luar ITB, tidak banyak dosen Indonesia yang mumpuni dalam bidang astronomi) Lagipula di masa itu, internet masih belum demikian meluas; saya yang dulu tentu akan menggerutu jika saya yang kini mendampratnya dengan pertanyaan macam "kenapa kamu ndak cari saja sih di gugel?".
Lebih jauh lagi, saya yang telanjur penasaran kemudian melanjutkan pertanyaan: apa sih yang disajikan dalam soal? Dan yang saya ingat hanyalah sebuah buku berisikan hitung-hitungan astronomi.

Lho, astronomi ada hitung-menghitung?

Agaknya layak melabeli saat itu, Juni 2008, sebagai perkenalan kedua saya dengan astronomi. Perkenalan dengan bidang astronomi yang lebih "serius", lebih "melelahkan" dan tidak "menarik". Jauh kalah dengan romansa narasi mitologi rasi, senarai nama dewa-dewi, atau memandangi langit malam yang lebih indah dari seisi mimpi.
Meski pada saat itu saya tak mendapat kesempatan lagi untuk mencemplungkan diri lebih jauh dalam "wajah" astronomi yang baru itu, saya terus dibayangi rasa penasaran akan keberadaan lomba astronomi di OSN. Meski tentu saja, untuk ajang pertarungan OSN 2008 di Makassar, saya tidak bisa semena-mena pindah haluan ke bidang astronomi, dan harus betah bergelut dengan bidang fisika. Entah ini berpengaruh pada performa saya selanjutnya di kancah nasional di Makassar atau tidak—saya berkesempatan untuk mencicipi atmosfer lomba tingkat nasional untuk pertama kalinya, meski tidak dibarengi kesempatan memboyong pulang medali yang tampak menggiurkan itu. Yang jelas, di OSN saat itu saya merasakan betapa remuknya harga diri saya ketika berhadapan dengan 5 soal yang tidak satupun dapat saya kerjakan dengan baik. Dan setelah semua rangkaian lomba berakhir, rasa penasaran itu terus hadir dan ikut mendorong saya dalam menetapkan langkah selanjutnya, berjalan menuju kancah sekolah menengah atas.

Hmm... atau bukan sekolah. Lebih tepatnya, madrasah.

***

Menilas ulang arsip pikiran kembali ke masa-masa itu, saya merasa cukup yakin bahwa saya menjadikan keikutsertaan di ancah olimpiade sebagai salah satu pertimbangan penting dalam menentukan sekolah macam apa yang akan saya tuju untuk menempuh pendidikan menengah atas. MAN Insan Cendekia (selanjutnya disebut MAN IC atau IC), baik Serpong maupun Gorontalo, tercatat memiliki tradisi olimpiade yang cukup mumpuni dari tahun ke tahun, dan saya tak butuh banyak hal lagi untuk meyakinkan diri mendaftar ke sana (selain tentunya dorongan sedemikian rupa dari guru SMP saya, mengingat ketertarikan saya akan IC saat itu belum terpantik).
Seolah pamer kepada saya seorang, hanya dalam hitungan pekan sejak saya mulai digembleng sebagai siswa baru IC Serpong, sebuah kabar berhembus dari Jakarta. Kabar tentang OSN 2009, di mana kontingen MAN IC Serpong membawa pulang 5 medali perak dan 4 medali perunggu. Sebagai anak yang pernah merasakan cita rasa pertarungan kancah OSN (tentunya di zaman SMP), berita ini tentu saya sambut hangat. Dan bagian yang paling saya sambut hangat, tentunya, adalah tercantumnya dua orang peraih medali perak dan perunggu di bidang astronomi di selebaran terkait. Mungkin di saat itu saya bahkan sudah membayangkan diri saya tercantum di selebaran itu, 1-2 tahun kemudian, berfoto memegang medali di bidang astronomi.

Pada titik ini, agaknya makin kentara fokus saya bergeser dari semata mempelajari astronomi ke arah mengikuti (dan maunya memenangi) kompetisi astronomi. Mungkin saya secara tidak sadar menjadikan adanya lomba astronomi sebagai motivasi ekstra untuk lebih dalam mempelajari astronomi? Atau saya memang terpacu untuk berkompetisi dan menjadi yang terbalik terbaik sebagaimana terus digaungkan oleh motto OSN?
Apapun alasannya, saya kemudian menyongsong OSN. Langkah awal adalah memasuki koridor menuju OSN yang sesuai dengan prosedur yang berlaku di MAN IC. Koridor ini di MAN IC Serpong berwujud KBS alias klub bidang studi, wadah utama bagi siswa-siswa paling mumpuni di kedelapan (pada masa SMA saya; kini kesembilan) bidang yang tersedia. Meskipun OSN menjadi tujuan utama atas penyelenggaraan KBS, pada dasarnya kamu dapat mengikuti semua lomba yang sesuai dengan bidang klub yang kamu ikuti. Juga, makin populer suatu bidang, makin banyak perlombaan bidang tersebut, dan juga makin ketat persaingan di dalam klub terkait. Mulai dari seleksi awal masuk klub, hingga seleksi penentuan peserta rangkaian kegiatan olimpiade sains, semua senada. Sehingga, kita dapat merentangkan spektrum klub dari yang paling aktif (empat serangkai pelajaran matematika-fisika-kimia-biologi) hingga yang paling sepi....
....
....Yap, benar. Dengan jumlah lomba sebagai acuan popularitas satu bidang, astronomi menduduki juru kunci, dengan OSN menjadi satu-satunya lomba tempat kita unjuk gigi.
Setidaknya ada dua hal yang saya tengarai menghasilkan sunyinya klub astronomi. Pertama, jauhnya materi astronomi dari kurikulum SMA. Ini berarti siapapun yang hendak mendalami astronomi harus rela mencari sendiri referensi belajarnya, dan dalam banyak kasus, hal ini sama saja dengan mengucapkan "¡Adiós!" pada kesempatan belajar astronomi.
Meskipun demikian, bidang informatika yang menitikberatkan kemampuan pemrograman juga jarang hadir di kurikulum sekolah. Maka, ada faktor kedua: belajar astronomi terasa jauh lebih tidak penting dibanding bidang lain yang "lebih terasa manfaatnya", terutama bidang macam ekonomi dan pemrograman.

Yah, buat apa juga belajar astronomi? Memangnya mau meramal?
Tentu saja bukan, itu astrologi. Belajar astronomi ya untuk menggombal memahami alam semesta. Buat apa lagi?
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan kepada para penggiat astronomi.
Disadur dari Non Sequitur oleh Wiley Miller. sumber
Ya, seromantis dan semistis apapun disiplin ilmu akan benda-benda langit mungkin terdengar di telingamu, pada akhirnya ia akan tunduk dan membiarkan dirinya bertatahkan dua disiplin ilmu yang menjadi momok bagi banyak pelajar di masa sekolah: matematika dan fisika. Matematika sebagai bahasa alam semesta dalam mengurai berbagai fenomenanya, fisika sebagai aturan main yang mempergulirkan semesta pada jalannya. Kedua hal yang tak peduli seberapa keras kita mengusahakan supaya mereka tampak indah, tetap saja terdengar mengerikan di mata banyak orang. Bahkan juga bagi mereka  yang tak beruntung menjajal bangku jurusan IPA. Senada dengan betapa banyak dari kita berjengit di muka sederetan aksara asing yang entah kita tidak kenal, atau kenal tetapi tidak pernah berhasil menyelamkan diri kita ke dalamnya.
Dasar saya telanjur membelalakkan mata, saya dengan pasrah menerima takdir untuk dihujami segala romansa alam semesta.
Meski tak banyak yang lain yang bersikap sama.

Saya pun kemudian mulai berkecimpung di klub astronomi. Pada dasarnya, astronomi adalah matematika dan fisika yang ditempatkan pada posisinya yang sah di seantero angkasa: sebagai penjelas akan bagaimana semesta bekerja. Kita yang pertama kali mengenal astronomi sebagai disiplin ilmu paling megah di muka semesta, barangkali mendapati versi astronomi yang dipoles dengan "bahasa manusia": penuh dengan isyarat kekaguman, penggambaran dan ajakan untuk mengembangkan imajinasi jauh melampaui dunia fana. Menilas buku astronomi konsumsi saya di masa kecil adalah menilas seisi alam semesta dari pekarangan rumah kita: dari pintu rumah bernama Bumi, terus ke luar mencerna cakup Tata Surya, meraba skala ruang antarbintang, mereka kemegahan jejaring galaksi, terus hingga batas akhir yang bisa kita amati.
Memasuki klub astronomi, saya diperkenalkan kembali dengan bahasa asli semesta yang telah dikikis dari segala macam perjalanan impian imaji kita akan segenap angkasa.
Bahwa orbit-orbit dan dinamika pergerakan dianggap lebih elok ketika dialihbahasakan ke sederetan persamaan dan konstanta.
Bahwa segala cerita indah akan masa hidup bintang yang benderang kemudian meledak itu hanya dikendalikan oleh pertarungan antara dua gaya: gaya gravitasi yang berusaha meruntuhkan, dan gaya dari radiasi yang berusaha menghidupi bintang.
Dan bahwa ungkapan macam "da aku mah apa atuh, remah-remah rengginang dalam kaleng Kho** Gu**" bisa menjadi demikian relevan ketika kita telah menapaki perspektif kesatuan alam semesta, dan mencoba menempatkan diri kita di dalam keluasannya.

Bah, mari sudahi lanturan sampai di sini.

Sampai di sini, saya telah diterima di sebuah klub astronomi di sebuah sekolah madrasah yang mempunyai tradisi panjang berkecimpung di dunia astronomi. Mungkin yang akan terbayang adalah bahwa kini saya telah mendapatkan akses luar biasa menuju pustaka ilmu astronomi global untuk saya pelajari demi persiapan lomba.
....Yah, saya juga berharapnya begitu.
Sebagai sebuah institusi pendidikan di Indonesia yang (sebagaimana umumnya institusi serupa) tidak banyak terpapar kesadaran akan ilmu astronomi, progres perjalanan kita menempuh belantara angkasa berjalan relatif lambat di awal. Minimnya bahan untuk dipelajari dan sulitnya akses ke guru yang mumpuni membuat kita bertahan seadanya. Bagi mereka yang rajin nan berdedikasi, tentu saja mudah mengakalinya: membeli buku astronomi. Atau mengumpulkan materi astronomi yang bertebaran di seantero internet. (Banyak? Entahlah, saya juga belum pernah memeriksa.)
Tetapi bagi pemalas macam saya? Perlu datang sebuah figur ajaib penyuplai materi astronomi demi kelanjutan perjalanan yang diimpikan. Figur ini, meski mungkin tidak se-ajaib yang tergambar, datang dalam wujud pelatihan astronomi.
Dalam beberapa waktu, beberapa orang, baik pelajar di Program Studi Astronomi FMIPA ITB atau alumnus olimpiade astronomi yang sudah-sudah, didatangkan untuk mencacahi materi astronomi kepada mulut-mulut kelaparan kami para anggota klub. Dan tidak main-main, materi yang kita dapatkan dari sesi pelatihan semacam itu dapat dibilang jauh melebih apa yang bisa diperoleh dari sesi klub yang biasa. Saya tidak bicara soal materi yang diajarkan, tetapi juga materi yang kemudian disalin memanfaatkan piranti keras masa kini bernama flashdisk.


"Logo" tim olimpiade MAN IC Serpong. Pada dasarnya,
logo ini dibuat dari logo OSN yang dipadukan dengan
logo MAN IC. Karya Nabil.
Logo ini juga dipakai di laman akun Twitter tim
olimpiade MAN IC Serpong, @OSN_ICS.
Demikian besarnya pengaruh pelatihan dimaksud terhadap pikiran saya, sehingga ketika kemudian saya tergabung dalam perwakilan MAN IC Serpong menuju OSK 2010, saya bisa demikian optimis dan percaya diri akan segala yang telah dan akan dijalani.
Saat itu bulan Maret, dan bersama datangnya bulan Maret, datang juga informasi yang demikian membahagiakan: seluruh calon peserta OSK dibebaskan dari kegiatan belajar hingga OSK berlangsung.
Bagi saya pribadi, ini adalah sebuah kombinasi yang luar biasa. Kebebasan meninggalkan kelas berarti saya bebas membolos dan berkalang di luar kelas tanpa batas waktu yang ditentukan. Apalagi dalam kesempatan di luar kelas ini, saya berkesempatan untuk bercengkerama sepuasnya dengan bidang astronomi, mempelajari sekian banyak materi yang perlu dipahami demi kelangsungan kiprah perlombaan. Horeh!
Apa lacur, mungkin semua itu sebenarnya adalah ujian sesungguhnya akan kesiapan saya menghadapi ajang lomba. Apakah saya akan mengasah kemampuan saya lebih jauh hingga batas penghabisan, atau justru berleha-leha menikmati kebebasan. Tidak perlu saya sebutkan dengan gamblang, jatuh ke golongan yang manakah saya. Mungkin saat itu saya terlena dan merasa sudah cukup modal untuk melenggang.

Daaaaan..... saya tidak lolos ke OSP 2010. Terlepas dari segala intrik yang sempat mengemuka setelah pelaksanaan OSK, terkait simpangsiurnya kuota menuju OSP antara 5 besar dan 10 besar, pada akhirnya keputusan ditetapkan: kuota 5 orang. Saya peringkat 6.
Mencoba menerima kenyataan tidak lolosnya saya menuju ajang OSP, saya kini harus mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir semester alias UAS yang tinggal hitungan hari. Saya diharuskan menjalani UAS seolah-olah saya tidak pernah absen dari kelas sekalipun, begitu pula rekan-rekan lain yang sama-sama terjaring harapan palsu lolos ke OSP.
Mengucapkan selamat tinggal pada prospek mengunjungi Medan pada awal Agustus 2010, saya kembali menjalani kehidupan sebagai siswa normal MAN IC Serpong. Hiks.

****

Berkaca dari apa yang terjadi sepanjang semester awal 2010, saya mencoba untuk mengubah strategi seiring masuknya saya ke kelas XI. Zaman berubah, beragam kegiatan OSIS mulai merasuki segenap warga angkatan, dan saya mulai jamak mendapati diri saya membaca novel ditemani sembarang macam cemilan di atas tempat tidur. Sebagai seorang yang cukup rajin meminjam buku perpustakaan, khususnya yang tidak terkait materi pelajaran di sekolah ("Adil adalah menempatkan belajar pada ruang kelas, bukan pada kamar tidur"), konfigurasi saya yang bergelung di tempat tidur asrama dengan buku bacaan dan cemilan menjadi demikian standar terutama antara semester 2 dan 4.
Semester 3 bergulir, dan hal yang sama dengan apa yang terjadi di semester 1 kembali terjadi: dibukanya pendaftaran KBS. Kecuali satu fakta bahwa mereka yang sudah pernah merasakan atmosfer OSK berhak bertahan di klub astronomi tanpa perlu mengikuti tes ulang, secara umum pelaksanaan klub astronomi bergulir dengan pola yang sama dengan yang sudah-sudah. Ada pemberian materi, sesekali ada soal latihan, dan demikianlah. Hanya saja, karena ini kesempatan terakhir saya untuk bisa melanjutkan kiprah perlombaan astronomi, perlu langkah yang lebik bijak dan bermartabat supaya kali ini saya bisa melaju sejauh mungkin dalam kancah perlombaan astronomi.

Jawaban seolah hadir begitu saja.
Akhir 2010, berbekal kebiasaan membaca buku di tempat tidur yang sudah sedemikian mengakar, saya mendatangi kamar rekan saya Nabil. Nabil adalah sesama anggota klub astronomi, dengan perbedaan terutama dalam hal kerajinan dan dedikasi dalam menuntut ilmu. Di meja belajarnya berjejer sederetan buku astronomi ataupun buku teks pelajaran sekolah. (Ini sangat kontras dengan meja belajar saya yang bahkan jarang sekali difungsikan sebagaimana namanya, "meja belajar", jika menilik tampilannya yang kosong, sepi buku, bahkan terkadang berdebu). Karena banyaknya buku, adalah jamak mendapati beberapa buku menganggur dalam beberapa waktu. Buku yang menganggur itu pun terkadang bukan main-main: buku sekaliber Fundamental Astronomy (wiki) pun terpampang di sana.
Selanjutnya dapat ditebak. Saya yang nggak modal ini meminjam beberapa buku milik Nabil secara berkala. Dan kemudian mengikutsertakannya dalam kebiasaan malam saya, membaca sembarang buku sembari ngemil di atas tempat tidur.

Satu hal menarik dari kebiasaan saya yang satu ini adalah bahwa saya merasa pembentukan kebiasaan tersebut amat natural, tanpa tekad khusus dari saya ketika memulai segalanya. Sehingga, hingga lebih dari 2 tahun kemudian, saya kerap kali bingung ketika ditanyai beberapa orang terkait trik belajar saya ketika bersiap menghadapi olimpiade.
Silih berganti, buku-buku itu saya baca dan tuntaskan satu persatu, dengan beragam cemilan menemani. Mulai dari keripik pedas, biskuit cokelat. hingga nasi goreng buatan mas-mas kantin yang dijual secara tidak resmi sesuai pesanan, saya melahap beragam jenis makanan sembari membaca buku-buku astronomi selayanya saya membaca novel macam Winnetou ataupun serial komik Tintin.
Hal ini dipermulus oleh kebiasaan saya yang selalu konsisten tidur di ranjang sendiri sepanjang masa berkalang di dunia asrama.
Kebiasaan itu terbentuk begitu saja, terlaksana begitu saja. Ilmu yang terkandung dalam sekian banyak buku itu mengalir begitu saja. Sehingga, ketika masa-masa pelatihan kembali berdatangan di awal semester 4, saya sudah demikian terbiasa dengan beragam konsep yang ditawarkan dalam materi astronomi.
Perlahan tapi pasti, waktu bergulir menuju rangkaian lomba edisi 2011. Dan kita kelima kontestan untuk edisi 2011 kembali menyiapkan diri menuju ajang yang sesungguhnya.

Foto sejenak setelah Try Out OSN Astronomi 2011.
Dari kiri ke kanan: Rizky alias Elmo, Nabil, Khalid, Gian, Wira.
Dimulai dari.....
Try Out OSN Astronomi 2011.
Dilaksanakan pada 19 Februari 2011 di Planetarium Jakarta, ajang ini menjadi semacam "pemanasan" bagi kami berlima untuk merasakan atmosfer perlombaan yang sangit itu. Dan kami berhasil melaluinya dengan baik: tiga orang dari kami bertengger di lima besar, tepatnya peringkat 2, 3, dan 5. Yeeaaah!

Dengan hasil memuaskan di Planetarium Jakarta, kita berlima menyongsong OSK dengan penuh semangat [citation needed]. Dan tentu saja penuh waktu berkeliaran di luar kelas.
Praktisnya, di masa-masa ini saya mengulangi segala daftar "dosa" yang dengan santainya saya lakukan di masa yang sama, setahun sebelumnya. Dengan satu perbedaan: lebih santai lagi.
Siang hari akan senantiasa saya habiskan bercokol menyusur seisi dunia maya, sementara di malam hari, saya akan demikian mudah ditemui di atas tempat tidur, bergelung membaca buku yang jenisnya berubah dari waktu ke waktu. Terkadang astronomi, dan lebih sering beragam buku entah-apalah-ia yang tidak sengaja saya temukan di sudut perpustakaan.
Pada dasarnya, makin dekat tanggal OSK, makin merasa pede dan bersemangatlah saya.

Maka kita sampai pada ajang selanjutnya. OSK 2011, awal April 2011.
Di SMAN 2 Kota Tangerang Selatan kami berlima kembali berhadapan dengan soal astronomi. Kali ini, tidak ada ketidakpastian soal kuota kelulusan: dari awal sudah dinyatakan dengan gamblang, tiap kota/kabupaten akan mengirimkan 5 wakil terbaik untuk tiap bidang.
Hasilnya? 3 orang dari kami berlima berhasil bertengger di lima besar, tepatnya peringkat 1, 3, dan 4. Sayangnya, tiga orang ini sedikit berbeda dengan tiga orang yang bertengger di lima besar Try Out Astronomi sebelumnya. Dan saya termasuk di antara 3 orang yang mendapatkan kesempatan lanjutan untuk berlaga.

Lolos ke jenjang provinsi boleh jadi memunculkan kesenangan tersendiri. Tetapi, bagi saya pribadi, kesenangan yang lebih dominan dari lolosnya saya ke jenjang provinsi meliputi dua hal.
Pertamadiperpanjangnya masa bebas kelas saya. Didapuk sebagai perwakilan sekolah di ajang olimpiade sains, dapat saya bilang mereka yang lolos ke OSP diperlakukan dengan istimewa. Kami dibebaskan dari kegiatan belajar sejak pengumuman dikeluarkan. Mungkin ini terdengar biasa saja, apalagi kebijakan serupa juga diterapkan bagi mereka yang bersiap menuju OSK. Bahkan, jika menilik waktu penyelenggaraan OSP yang, pada awal bulan Juni–bersinggungan dengan masa-masa UAS–kebijakan ini mungkin akan dirasa sangat menyulitkan siswa peserta OSP.
Tetapi, kebijakan yang dikeluarkan sekolah terkait ini memberikan berita gembira kedua: dijaminnya prospek naik kelas. Lantas, bagaimana dengan segala ujian yang tidak kami ikuti? Usut punya usut, pihak sekolah menetapkan bahwa nilai rapor akan diberikan berdasarkan nilai terbaik dari ujian yang diikuti di semester terkait. Dilakukannya hal ini (kemudian disebut "penyikapan") semata supaya mereka yang lolos ke OSP tidak perlu pusing memikirkan nilai rapor dan sekian banyak ujian yang terlewatkan.
Hingga tahapan ini, keikutsertaan saya di klub astronomi telah memberikan banyak keuntungan: saya bisa meluangkan waktu mempelajari bidang yang saya akrabi, dengan juga membolos dari kegiatan belajar. Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan, hah?
Dengan pikiran yang makin jernih dari tumpukan tugas dan ujian, kami menyongsong OSP 2011.
Meski tidak sebelum kami mendapat satu lagi dosis pelatihan selama sepekan di Bandung, di mana kami benar-benar digembleng menjelang bergulirnya ajang OSP.

22 wakil MAN IC Serpong di OSP 2011, Banten, bersama guru dan staf IC.
Foto oleh Pak Away Baidhowy.
OSP pun tiba.
Salah satu pembeda utama dari penyelenggaraan OSP dan OSK adalah penyelenggaraan OSP diiringi pengumpulan para peserta di satu titik kumpul tertentu sehari sebelum pelaksanaan lomba. Atau setidaknya begitulah cara kerjanya 5 tahun silam.
Bagi sebagian kita, soal pun tak berarti lagi, ketika kita dijanjikan untuk mendapat kesempatan bermain di pantai selepas bergulirnya acara. Namanya juga jiwa muda, atau mungkin, jiwa kanak-kanak.
Atau mungkin berarti.
Harus saya akui, soal OSP cukup menarik untuk membuat saya berbetah-betah mengerjakannya. (Soal bisa dilihat di laman ini)
Dan tentu saja, kemudian kita menghabiskan sisa sore berkalang di pantai Anyer, tepatnya di belakang hotel Marbella, Anyer.

Singkat cerita, saya lolos ke OSN 2011. Bersama kawan saya Nabil dan 11 orang lain. (Lebih lanjut soal kuota menuju ajang OSN dapat dibaca di laman ini.)

..
....
Pengumuman lolosnya 13 orang kontingen MAN IC Serpong ke ajang OSN sampai di tengah bulan Juli, hanya beberapa hari setelah dimulainya semester 5. Sambutan hangat yang diberikan pada pengumuman itu pun mengandung motif beragam, mulai dari yang paling mulia berupa rasa bahagia atas kebahagiaan kawan, kesempatan untuk kembali berkompetisi, atau kesempatan untuk membolos meninggalkan kelas (Anda sekalian tentu tahu betul siapa yang memikirkan hal ini). Bagi saya dan Nabil, kelolosan ini berarti kami akan segera menghadapi sesi pelatihan, di mana sang instruktur memberitahu kami berdua akan peringkat nasional. Beberapa instruktur yang kemudian melatih kami sepanjang sisa bulan Juli 2011 (di antaranya dua orang peraih medali astronomi OSN 2009) juga memberitahu kami akan banyaknya veteran OSN 2010 yang lolos dan ikut berlaga di ajang OSN 2011. Intinya, kami harus siap siaga nan waspada.

Agustus tiba, Ramadhan tiba. Bagi penyelenggaraan OSN, ini berarti pelaksanaan OSN yang setidaknya sejak 2008 dilaksanakan di bulan Agustus, terpaksa diundur ke setelah Ramadhan, bulan September. Artinya, waktu yang sangat banyak bagi kami ketigabelas wakil MAN IC Serpong.
Terhitung sejak 1 Agustus 2011 (yang juga adalah 1 Ramadhan 1432 H), kami bertigabelas ditempatkan di wisma MAN IC Serpong, bangunan yang biasa menjadi tempat menginap bagi tamu yang berkunjung ke kompleks MAN IC Serpong.
13 orang yang terdiri dari 12 bujang dan 1 gadis kemudian dipisah dalam 3 kamar, dengan satu kamar bujang dihuni 6 orang. Meskipun lebih penuh dari pada kamar yang saya biasa huni di asrama MAN IC Serpong (kapasitas 4 orang), masa karantina tersebut menawarkan kebebasan tertinggi yang dapat dirasakan seorang pelajar aktif di MAN IC Serpong. Kami bebas dari piket kedisiplinan menjelang tiap salat berjamaah malam, bebas dari apel pagi, bebas dari keharusan masuk sekolah. Praktisnya, satu-satunya yang menandai kami sebagai pelajar MAN IC adalah lokasi penginapan kami di wisma.

Kami bertigabelas menjalani masa karantina dengan gaya masing-masing. Ada yang kerap berkutat di ruang kelas wisma, atau menghilang dalam rangka mengikuti pelatihan di luar sekolah, bergantung bidang studi yang ia jalani. Sementara kami wakil di bidang astronomi telah kenyang dengan pelatihan yang dituntaskan menjelang Ramadhan datang. Sehingga praktis seluruh masa karantina yang sekitar 3 pekan kami lalui dengan gaya kami masing-masing.
Nabil yang jauh lebih rajin menghabiskan banyak malam berkutat mengerjakan soal, sementara saya yang sangat kentara malasnya sibuk mengobrol, bercanda tawa, memanfaatkan kebebasan sementara tersebut semaksimal mungkin. Terkadang kita memasang teleskop di lapangan upacara demi melatih kemampuan pengamatan langit, sembari berharap beberapa anak-anak baru yang lugu bin polos mampir dalam keingintahuan. Di masa-masa ini, saya demikian santainya, prestasi terbesar saya selama masa karantina adalah menamatkan permainan Angry Birds yang baru saja diluncurkan, hanya dalam jangka waktu sepekan. Tepatnya sepekan terakhir masa karantina.
Masa karantina kemudian berakhir sekitar 20 Agustus karena libur Idul Fitri. Kita bertigabelas semua bubar, pulang ke kampung halaman masing-masing. (Sementara tak lama kemudian saya memutuskan untuk memulai segala ketidakjelasan yang adalah laman blog ini.)

***
September, OSN tiba. Tetapi tidak sebelum saya kembali ke Bandung pada 5 September (?) untuk menjejaki persiapan utama jelang pagelaran besar di Manado nanti.
Salah satu poin utama dalam persiapan ini adalah membiasakan para peserta dengan dua tipe tes yang berbeda dari apa yang pernah diujikan sebelumnya dalam tiap jenjang olimpiade: pengolahan data dan observasi. Hadirnya tes observasi di ajang OSN mungkin dengan mudah dipahami oleh para peserta: inti dari disiplin ilmu astronomi adalah seisi angkasa, jadi sudah seyogyanya astronom mengamati semesta, kan. Tapi pengolahan data? Apa kaitannya menghadapi sekian banyak data dan berusaha memindahkannya ke dalam grafik atau tabel?
Sederhana saja: para peserta diperkenalkan dengan dunia sains astronomi yang nyata. Bayangkan saja dirimu mengamati gemintang, atau mengamati objek tertentu. Sebagai astronom yang baik, tentu kita akan mencatat (dalam bentuk dan cara apapun) apa-apa yang kita temukan dari observasi. Inilah hasil observasi. Lalu diapakan hasil ini? Hasil ini, yang masih bertatahkan cacah informasi, disatukan dan dikaitkan dengan benang merah (atau benang warna apapun yang kamu inginkan) supaya bisa diekstrak menjadi informasi yang lebih bersahabat bagi pemahaman kepala manusia.

Foto Jupiter pertama hasil jepretan saya. Berbagai faktor seperti
aberasi kromatis yang parah, saya yang tidak becus memegang kamera,
hingga teleskop yang kurang fokus mungkin mempengaruhi buruknya
kualitas gambar ini. Jika bukan karena pola galur awan yang sedikit
terlihat di citra, saya mungkin tidak akan sadar
Sumber: Dokumentasi pribadi
Singkatnya, observasi + pengolahan data adalah paket praktikum astronomi. Sama saja dengan praktikum yang biasa kita kenal di bidang biologi, fisika, atau kimia, hanya saja kali ini objek praktikum kita adalah suatu benda langit nun jauh di sana.
Mungkin akan sangat disayangkan jika kalian menyadari betapa saya baru mengetahui semua itu ketika menulis kata demi kata di tulisan ini, bertahun-tahun setelah lomba tuntas digulirkan. Saat itu, saya hanya mengenal soal pengolahan data sebagai bagian dari olimpiade yang perlu dikuasai jika ingin meraih capaian tertinggi.

Singkat cerita, setelah empat hari berkutat dengan pelatihan, kembali ke IC, kami beserta sebelas orang kontingen MAN IC Serpong diberangkatkan untuk berkumpul di hotel Amaris, dekat bandara Soekarno-Hatta, 10 September malam. Tidak banyak yang berlalu di malam itu, selain 37 orang yang berusaha saling mengenal antar satu sama lain (khususnya antar kontingen sekolah yang berbeda), sesi makan, dan sedikit kata-kata pelepasan dari perwakilan Dinas Pendidikan Provinsi Banten. Dikoarkannya semangat "37 medali emas" yang kemudian dia koarkan hanya bisa membuat saya menyeringai. Lha Banten saja tidak mengadakan pelatihan, mau-maunya minta semua bawa pulang emas. (Meski berdasarkan perkembangan terbaru, provinsi Banten kini mengadakan sesi pelatihan tingkat daerah atau pelatda.) Sudah begitu, naif sekali 37 medali emas. Bidang yang meloloskan lebih dari 5 orang, mana mungkin seluruhnya membawa medali emas? 
Tidak banyak lagi yang bisa saya ceritakan dari momen itu, selain pergi tidurnya kami semua untuk kemudian terbangun pagi-pagi buta karena kami perlu segera berangkat.

Pemandangan kota Manado dan kepulauan Bunaken.
Salah satu kesalahan bodoh saya jelang mendarat di Manado adalah
tidak mengabadikan lebih banyak foto.
Sumber: panoramio.com
Kami mengambil penerbangan pagi dari bandara internasional Soekarno-Hatta, Jakarta (atau lebih tepatnya Tangerang atau Cengkareng, tergantung siapa yang kamu tanya). Jangan tanya saya jam berapa, apalagi detail macam nomor penerbangan dan tempat duduk saya waktu itu. Lupa atuh. Yang jelas, penerbangan dinaungi maskapai terkenal nan kontroversial "Singa Air", dan setelah menjalani satu kali transit di bandara internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, kami mencapai wilayah udara Manado. Sambutan dari pulau-pulau Kecamatan Bunaken, gunung Klabat, dan hamparan penuh pohon kelapa mengawali kedatangan kami di bandara internasional Sam Ratulangi, Manado, di mana kami kemudian dipisah berdasarkan bidang studi untuk diangkut menuju hotel masing-masing. Untuk siswa astronomi, hotel yang akan ditempai adalah Hotel Sahid Manado, bersama siswa bidang biologi.

Selanjutnya adalah hari-hari lomba. Dengan slogan "Torang Samua Basudara" alias "Kita Semua Bersaudara", agaknya semangat utama digulirkannya OSN 2011 Manado (atau, dalam hal ini, setiap OSN) adalah untuk mempersatukan pelajar dari berbagai wilayah Indonesia dalam ajang yang kompetitif sekaligus bersahabat. Terbukti, meskipun kemudian menjelang sesi tes praktek (13 September) para siswa masih cenderung bergerombol berdasarkan provinsi yang sama atau pelatihan yang sama (sebagaimana yang saya alami dengan kawan-kawan pelatihan pra-OSN di Bandung sepekan sebelumnya), seiring waktu pembauran mulai terlihat. Bis rombongan nomor 39 yang biasa saya naiki pun senantiasa penuh oleh riuh rendah ceplosan khas Surabaya dan ribut- ribut khas warga ibukota, terutama oleh figur-figur bernama Emeraldo dan Umar.

Dari sisi kompetisi, panitia memastikan seluruh peserta mengenali teleskop yang akan digunakan di sesi simulasi observasi (yang harusnya observasi "betulan"; apa daya cuaca tidak mendukung). Sesi simulasi observasi dijalankan secara simultan dengan sesi pengolahan data, di mana dari 5 jam waktu pengolahan data, sebagian siswa (melalui pengelompokan yang sudah ditentukan sebelumnya) meninggalkan ruangan tes pengolahan data, dan memperagakan kemampuan mereka dalam mengamati angkasa. Angkasa bohongan, tentu saja.
Satu hal menarik dari OSN Astronomi adalah pengerjaan soal tes teori yang dititahkan untuk dieksekusi lewat komputer. Tes digelar di Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado, di mana kami punya waktu sekitar 3 jam untuk mengerjakan 20 soal pilihan ganda dan 5 soal esai. Khusus esai, peserta diminta untuk menuliskan langkah pengerjaan dalam sebuah file Microsoft Word untuk kemudian mengunggahnya sesuai arahan panitia.

Sesi tes teori selesai. Dengan berakhirnya sesi kompetisi, kini waktunya untuk berjalan-jalan. 15 September menandai hari di mana kami para peserta dibawa rombongan berjalan menyusuri jalanan Sulawesi Utara. Tidak melewatkan objek wisata andalan seperti Gunung Lokon (yang tak lama sebelum OSN sempat meletus) dan danau Tondano. Dan tentunya, dengan keriuhan penumpang bus 39 yang terus berdengung di sepanjang perjalanan. Bus kemudian bergerak pulang untuk membawa kami ke acara paling krusial di keseluruhan pagelaran OSN: pengumuman peraih medali.
Pada akhirnya, bagi MAN IC Serpong, 2011 menjadi tahun tersukses dalam hal capaian medali, dengan total 3 medali emas dan 5 medali perak diraih di malam itu. Malam 15 September, malam yang menjadi salah satu titik puncak tersendiri bagi saya, sebagai salah satu dari lima orang yang mendapatkan medali emas dalam bidang astronomi.

Kontingen MAN IC Serpong
Geng "Laskar IB" alias para peserta pelatihan pra-OSN di Bandung, 5-9 September 2011,
bersama Emeraldo (kanan, belakang). Foto ini diambil di atap hotel Sahid dalam rangka
latihan pengamatan langit.
Foto oleh Dinda Zhafira.
Sebagian peserta OSN 2011 bidang Astronomi, berfoto di tepi danau Tondano.
#TorangSamuaBasudara?
Foto diunggah oleh Dinda Zhafira.
Setelah penyerahan medali
***

Pada posisi ini, hampir 5 tahun setelah hingar-bingar penutupan di malam hari itu, saya menyempatkan diri untuk merenung sejenak, menilas kembali momen-momen di saat itu. Agaknya, saya di masa itu adalah saya yang ambisius akan sebuah target menuju ajang olimpiade astronomi internasional alias IOAA. Mungkin di saat itu, kesadaran saya semata dicurahkan untuk berlomba dan terus berlomba setinggi yang saya bisa (meskipun pada prakteknya saya lebih banyak bermalas-malasan kapanpun saya bisa). Tapi, meski mungkin saya tak menyadari, dalam proses itu saya melesat jauh meninggalkan saya yang dulu di SMP dalam konteks memahami ilmu astronomi.
Saya yang kemudian lulus dari MAN IC Serpong adalah saya yang sudah demikian banyak mempelajari astronomi, saya teramat tidak rela jika apa yang telah saya pelajari itu kemudian hilang begitu saja ditelan berlalunya zaman.
Saya yang kemudian mencari peruntungan di dunia nyata, adalah saya yang mengusahakan berbagai kemungkinan supaya pengetahuan yang didapat tidak perlu hilang tanpa faedah.
Dan tentu saja, saya yang kemudian mengelana di negeri samurai, adalah saya yang kembali mengingat dengan terang, akan berlangsungnya sebuah fenomena alam dalam waktu mendatang.

Fenomena alam yang sudah sejak lama saya tanamkan dalam ingatan, fenomena yang makin lama makin dekat dengan kenyataan.


Tulisan ini tak habis sampai di sini! Sila simak bagian ketiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...