Jika Anda yang mampir di laman ini belum membaca bagian sebelumnya, silakan menjumpanya dan menilas serial ini dari bagian pertama atau kedua.
Edisi ketiga, tentang bagaimana kisah ini menggapai jumpanya.
Selamat membaca!
*****
Pakar astronomi ITB, Prof. Bambang Hidayat, mengabadikan momen gerhana matahari total dari 500 meter barat Jembatan Kahayan, 9 Maret 2016. (L.R.Baskoro/Tempo) |
Hampir sepuluh tahun berlalu sejak momen itu, saya pun mendapati kenyataan bahwa saya menggeletak di negeri para samurai. Dalam kondisi ini, apapun rencana yang hendak saya jalankan terkait pengamatan gerhana mensyaratkan kepulangan terlebih dahulu ke bumi pertiwi. Entah beruntung atau tidak, libur semester utama di Jepang berlangsung pada Februari-Maret dan Agustus-September. Yang berarti saya bisa melenggang pulang dengan kedok menjalani libur semester.
Mantap.
Libur semester demi libur semester pun berlalu. 2015 menjelang, dan tiba-tiba kurang dari setahun lagi saya akan berhadapan dengan bayangan gelap Bulan. Beragam pemberitaan mengenai gerhana di tahun berikutnya mulai sayup-sayup terdengar di belantara media Indonesia. Tentu saja, walaupun tidak seganas publikasi yang sudah beredar di dunia maya, khususnya dari kanal mancanegara yang berbahasa Inggris. Dimulai dari munculnya paket tur feri, berita akan habisnya kamar kosong di kota-kota yang dilalui bayangan gelap Bulan mulai bermunculan sejak akhir 2015, dengan pemesan mulai bermunculan bahkan sejak setidaknya Agustus 2014.
Gempita yang sedemikian rupa ini akan dapat dipahami jika
Ketika saya bicara soal mereka "mengejar gerhana", mereka benar-benar mengejar setiap kesempatan melihat gerhana total yang mungkin mereka dapatkan. Memesan tiket menuju daerah-daerah (yang mungkin) terpencil, memesan kamar hotel di lokasi-lokasi yang diprediksikan dilintasi bayangan gelap Bulan, membawa seperangkat perabotan fotografi; ini sebagian dari aktivitas yang secara umum dilakukan oleh mereka yang mengidentifikasi diri sebagai pemburu gerhana. Salah satu dari mereka bahkan mengontak sebuah maskapai untuk mengubah jadwal keberangkatan dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga pesawat tepat melintasi bayangan Bulan.
Menilik narasi di atas, keputusan saya untuk pulang menjelang gerhana matahari total ini pun mungkin bisa membuat saya tergolong "pemburu gerhana". Terserah kalian mau setuju atau tidak.
Yah, tidak cukup, sih.
Jika saya ingin menisbatkan diri saya sebagai seorang "pemburu gerhana" dalam kesempatan kali ini, selain meluncur pulang ke Indonesia, saya harus juga meluncur ke entah daerah manapun yang akan dilalui bayang gelap Bulan.
Infografik jalur gerhana 9 Maret 2016, dengan keterangan persentase paras Matahari yang tertutupi Bulan. Sumber: langitselatan.com |
Melintasi wilayah 11 provinsi di Indonesia, bayangan Bulan akan bergerak mulai dari pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kemudian mengarah ke Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan berakhir di kota Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara. Tidak cukup beruntung dilintasi bayang gelap Bulan? Seluruh wilayah Indonesia berada cukup dekat dengan jalur totalitas untuk dilintasi bayang redup Bulan, merasakan gerhana matahari sebagian sebagai efeknya. Saya pernah mengamati gerhana matahari sebagian secara langsung pada 26 Januari 2009, di mana tempat tinggal saya berada cukup dekat dengan jalur puncak gerhana saat itu (yang adalah gerhana cincin), sehingga menyaksikan gerhana sebagian saja tidak cukup. Tentu saya akan mendatangi gerhana matahari total; saya sudah meniatkannya sejak 13 tahun yang lalu.
Dari kota-kota yang tercakup dalam jalur totalitas, terdapat beberapa ibukota provinsi, seperti Palembang, Palangka Raya, Balikpapan, Palu dan Ternate. Dulu di saat saya pertama kali meniatkan keinginan menyaksikan gerhana total tersebut, saya berpikir bahwa saya akan lebih mudah mengamati gerhana dari Palembang, semata karena alasan jarak. Lama kelamaan, keyakinan saya akan Palembang mulai goyah, terlebih sejak saya mendapati beberapa tim ekspedisi akan meluncur ke kota lain semisal Palu maupun Ternate. HAAJ, organisasi yang menjadi mitra saya dalam belajar astronomi di masa kecil, mencanangkan ekspedisi ke Palu. Dan hal ini membuat saya tergoda untuk ikut tim ekspedisi HAAJ mengamati gerhana di Palu.
Meskipun demikian, sedikit pengecekan pada jadwal ekspedisi HAAJ menunjukkan betapa jadwal tim HAAJ akan teramat padat. Ada banyak acara seminar, penyuluhan dan acara berbau pendidikan lainnya yang dicanangkan dalam rangkaian acara; tentunya aliran tim pengamat ke berbagai daerah akan dimanfaatkan sebaik mungkin demi upaya transfer ilmu.
Ketertarikan saya bergeser, bukan ke barat, tetapi ke timur: Ternate. Beberapa model prakiraan cuaca memberikan peluang tingginya tutupan awan di daerah barat Indonesia (sekitar 70-80%), dan peluang yang lebih rendah (meskipun tetap tinggi, sekitar 50-60%) bagi wilayah timur (Belakangan, situs macam AccuWeather memberikan prediksi banyaknya awan di daerah timur berkat keberadaan sistem tekanan rendah). Hal ini kemudian berimbas pada pemesanan kamar hotel di wilayah timur yang, sebagaimana saya singgung di bagian sebelumnya, sudah habis dipesan dalam hitungan bulan jelang gerhana. Meskipun habisnya kamar ini tentu dipengaruhi faktor lain seperti ketersediaan kamar hotel di tiap kota, dan derajat "kepentingan" penuhnya kamar hotel (yang mungkin tidak seheboh itu di daerah barat Indonesia). Kendala saya hanya berkisar di satu hal: transportasi. Harga tiket pesawat Jakarta-Ternate cukup tinggi (sekitar 3-4 juta rupiah ditotal), dan bahkan jika saya membelinya pun, saya masih perlu memikirkan di mana saya akan berkalang selama hari-hari di sana (walaupun ini masalah yang umum bagi seluruh pilihan kota yang saya punya). Saya mulai berpikir untuk kembali ke rencana paling awal: datang ke Palembang dan menginap entah di mana.
Kemudian datanglah sebuah kabar gembira.
Tepat di hari setelah sampainya saya di bumi Pertiwi, datang kabar akan rencana beberapa teman saya untuk berangkat dalam tim ekspedisi gerhana total ke Palangka Raya di bawah panji TOASTI alias Tim Olimpiade Astronomi Indonesia. Menariknya, anggota ekspedisi ini terutama akan diisi oleh anak muda alias mahasiswa Astronomi ITB (meskipun tidak semua pernah berkecimpung dalam olimpiade astronomi), merentang dari lingkup angkatan 2013 hingga yang paling senior angkatan 2007. Menilik "proposal" yang diberikan (belagu), mencakup keterlibatan di acara pendidikan (meski tidak sampai sepekan seperti rangkaian acara HAAJ), akomodasi (dan dalam sebagian besar kesempatan, plus konsumsi) yang tersedia dengan biaya nol, dan mempertimbangkan faktor pribadi macam lebih banyaknya mitra perjalanan yang telah saya kenal sebelumnya, saya pun menyatakan siap bergabung.
2 jam dan 1,5 juta rupiah kemudian, saya telah mengantongi tiket menuju Palangka Raya untuk bergabung tim ekspedisi TOASTI menyaksikan fenomena gerhana matahari total. Pada titik ini, agaknya saya layak disebut "pemburu gerhana".
***
7 Maret 2016.
Saya mendapati kaki saya melangkah menjejaki terminal 2 bandara Soekarno-Hatta, sedikit lewat dari pukul satu siang. Tidak banyak yang terjadi, selain sejam lebih berkalang di selasar lorong bandara menuju ruang tunggu, hingga (akhirnya) menemukan anggota "tim" yang akan juga menaiki pesawat yang sama: bung Lorenz dan kak Michelle. Setelah sedikit sapa menyapa dan berpisah jelang memasuki garbarata karena beda letak kursi, saya memasuki pesawat dan menduduki kursi belakang, pada lokasi favorit saya: samping jendela. Di sebelah saya duduk seorang ibu dengan kostum sari, yang belakangan saya ketahui adalah Prof. B. S. Shylaja, salah satu astronom gerhana terkemuka asal India.
15:20, pesawat pun lepas landas menuju Palangka Raya.
Masih parkir. Dan iya, saya naik Garuda: selain karena pilihan kedua adalah singa air, konon Garuda adalah pilihan tiket termurah di waktu itu. |
Lepas landas |
Daerah muara Ci Sadane |
Sedikit halo Matahari dan parhelion setelah menembus awan |
Hamparan hutan Taman Nasional Sebangau. Pemandangan hutan yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. |
Sungai Sebangau |
Mendarat di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangka Raya |
Salah satu poster menyambut kegiatan gerhana matahari total |
Dan bagi kalian yang sudah gontok berusaha mengoreksi saya sejak awal tulisan, ejaan yang tepat menurut penduduk lokal adalah Palangka Raya (dipisah), bukan Palangkaraya (digabung) sebagaimana umum digunakan di kanal media. Silakan cek sendiri.
Lihat saja spanduk di bawah. Dipisah, kan?
Jelang rangkaian acara. 7 Maret 2016 |
Kurang lebih sejam sejak kami menjejak tanah Kalimantan Tengah, kami sampai di penginapan yang akan menaungi kami berduabelas dalam tiga malam ke depan: Tulip Guest House. Meski tentunya tidak sebelum dialog ini bergulir di mobil.
R: Kita mau ke SDN 4 Menteng dulu, lokasi acara besok..Tidak banyak hal terjadi di penginapan, selain persiapan membungkus hadiah di basecamp alias kamar Fatim sang koordinator tim, dan tentunya istirahat malam hari.
G&L: Wah serasa di Jakarta dong, ke Menteng.
R: Sekolahnya keren loh, ada marching band-nya..
G: Ada marching band? Karena sekarang bulan Maret ya?
(kemudian hening)
***
8 Maret 2016.
Salah satu hal yang kentara saya amati sepanjang perjalanan keliling Palangka Raya di hari sebelumnya adalah jalan-jalan yang lebar dan lengang. Sebagai orang dari pinggir metropolitan Jabodetabek, pemandangan semacam ini adalah hal langka. Pikiran saya sontak berkelebat pada wacana pemindahan tampuk ibukota dari Jakarta ke Palangka Raya yang konon sudah dicanangkan sejak zaman Bung Karno dulu. Jalan-jalan yang tersusun rapi ini konon adalah hasil rancangan insinyur Uni Soviet, yang kokoh difungsikan selama lebih dari 50 tahun. Meskipun saya tak yakin betul jalan mana saja yang tergolong jalan rancangan insinyur Soviet. Satu hal yang saya yakini: kota Palangka Raya, khususnya jalan protokol, dirancang dengan rapi.
Dan pagi ini, saya kembali dibawa mobil menyusuri jalan itu menuju SDN 4 Menteng.
Lokasi SDN 4 Menteng bersebelahan dengan SDN Percobaan, yang dengan lapangan luasnya menjadi tempat di mana pengamatan gerhana matahari total akan dilangsungkan, keesokan harinya.
Pagi itu, anggota kegiatan dibagi menjadi dua. Satu tim (yang pada umumnya berisikan generasi yang lebih muda) berkecimpung di kegiatan di SDN 4 Menteng, sementara tim satunya mempersiapkan teleskop jelang pengoperasian di hari gerhana.
Tim pengamatan segera mengemas segenap perangkat pengamatan dan mengangkutnya ke selasar bangunan SDN Percobaan. Sebenarnya satu ruang kelas akan disiapkan sebagai "markas" bagi segenap perangkat tersebut, tetapi sementara kelas belum memungkinkan untuk dijajah karena masih dipenuhi para siswa, di mana lagi tempat terbaik utnuk meletakkan segenap peralatan?
Kondisi langit arah timur dari SDN Percobaan, 8 Maret pagi. Pada titik ini, sebagian dari tim pengamatan mulai mengungkapkan kekhawatirannya akan peluang terlihatnya gerhana keesokan hari. |
Suasana penjagaan perangkat pengamatan di selasar SDN Percobaan. Perhatikan bagaimana kehadiran seseorang mengubah suasana foto bawah relatif terhadap foto atas. |
Banyak yang sibuk megang hape |
Tari Selendang |
Kegiatan lomba menulis cerpen dan puisi tentang gerhana matahari total |
Tak berapa lama setelah saya mendatangi tim pengamatan, antrian siswa menjadi demikian membeludak, mas Ridlo perlu mengajak sebagian siswa untuk membentuk antrian baru, bersama mengamati Matahari melalui kacamata matahari yang memang sudah dibawa dalam jumlah besar dari Bandung. Dengan filter ND5, "kacamata" tersebut meredupkan cahaya Matahari hingga 10 pangkat 5 alias 100.000 kali lebih lemah, sehingga cukup aman untuk dilihat mata telanjang.
Di tengah terik matahari yang beranjak siang, kita mempergilirkan para siswa untuk menyaksikan paras Matahari dengan aman.
Bergaya di depan teleskop |
"Lihat bulatan berwarna merah? Itu Matahari," |
Barisan pengamatan dengan teleskop di kanan, barisan pengamatan dengan kacamata matahari di kiri. |
Kembali ke
Kondisi ruang kelas setelah ditinggalkan siswa |
Prof. Bambang Hidayat berfoto dengan beberapa siswa dan guru |
Alun-alun kota Palangka Raya |
Jembatan Kahayan, 8 Maret 2016. Pada sudut pandang inilah Pak Bambang berencana mengabadikan momen gerhana matahari total. |
"Soto Banjar mantap, porsi super" (Fatima, 2016) "Harganya juga super" (Ramadhania, 2016) |
Dan esok harinya, saya akan menuntaskan cerita.
Mungkin.
9 Maret 2016.
Ayam bahkan belum berkokok ketika kami mulai bangun, mandi, dan bersiap untuk menghadapi pertunjukan utama, alasan utama dari digulirkannya segenap kegiatan ini, Gerhana matahari total telah menarik puluhan ribu wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, baik amatir maupun profesional, untuk berjejal di sekian kota di seantero Indonesia. Dan kami, pagi-pagi buta di dalam lingkup Palangka Raya, bersiap melaju menuju lokasi pengamatan, SDN Percobaan.
Bahkan sejak sebelum masuk waktu Subuh, cuaca telah menunjukkan sambutan yang tidak bersahabat bagi pemburu gerhana di Palangka Raya. Bahkan dari kamar penginapan, kami yang sudah
Sekitar pukul 5:30, rombongan kloter pertama sampai di depn gerbang SDN Percobaan, hanya untuk dihadapkan pada kenyataan menarik: gerbang SDN Percobaan terkunci rapat. Setidaknya, rapat untuk ukuran manusia normal yang tidak senang menjebol pagar. Jelas ada miskomuniasi, karena di hari sebelumnya kami sempat meminta izin pihak sekolah untuk membuka pagar lebih dulu di pagi hari supaya perangkat pengamatan dapat segera diangkut ke lapangan.
Cuaca pukul 5:25 |
Cuaca lapangan SDN Percobaan, 5:52 |
6:10, kami dan sekian banyak siswa SDN 4 Menteng yang memang diajak untuk hadir mengamati gerhana matahari total sudah berkumpul di lapangan SDN Percobaan. Di momen yang sama pula langit tampak mulai menunjukkan sikap bersahabat, dengan perlahan membukakan jalan bagi cahaya Matahari. Pada saat tersebut, cahaya Matahari masih bebinar dengan seluruh cerlangnya dan belum terjajah oleh cakram Bulan, yang baru menggerogoti cakram Matahari sekiar 15 menit setelahnya.
6:13 |
6:16 |
Dan ketika raut muka yang tergelar di lapangan mulai menunjukkan ekspresi putus harapan, awan kembali membukakan jalan pada 6:50, sekitar setengah jalan menuju puncak pertunjukan.
Pada posisi ini, Matahari sudah cukup kentara tampak sebagai sabit, terutama dengan lapisan awan tipis yang silih berganti menggantian posisi filter kacamata matahari. Saking banyaknya awan, mas Ridlo bahkan perlu berulang kali mengomando warga untuk melepas atau memasang kacamata matahari pada momen tertapisnya atau terbukanya laju cahaya Matahari.
7:15, awan kembali menutupi Matahari. Meski kini awan menutupi Matahari dengan cara yang lebih "jahat"; sebagian cahaya Matahari masih tampak mewarnai sebagian awan, tetapi tidak cukup untuk membuat kita dapat mengenali sabit Matahari yang terus menipis. Seiring makin dekatnya puncak pertunjukan berupa gerhana total, sebagian dari tim kegiatan mulai pasrah akan kemungkinan tidak terlihatnya fase gerhana matahari total. Akan tetapi, langit yang terus meredup dan desir angin yang terasa makin dingin ikut membantu memberitahukan betapa puncak pertunjukan sudah hampir tiba.
7:25, pada saat ini langit sudah makin gelap layaknya mendung menjelang hujan lebat. Dengan tiadanya tanda tanda awan akan membukakan pesona sabit tipis Matahari yang akan menghilang seluruhnya, kini segenap tim dan warga memfokuskan perhatian pada langit yang makin menggelap. Mas Ridlo dalam komando memberitahukan bahwa fase gerhana total akan segera tiba, dan setelah koor hitung mundur yang membahana di lapangan, perlahan malam pun tiba.
Atau mungkin demikian yang terasa.
Bahkan, tanpa tayangan mahkota korona Matahari yang bergelora di balik cakram hitam Bulan, suasana gelap selayaknya malam yang mendera sebagian wilayah Indonesia di pagi hari itu memiliki pesonanya tersendiri. Suasana gelap yang selayaknya malam, desir angin yang cukup dingin (saya perkirakan sempat turun di bawah angka 24°C), dapat dibayangkan bagaimana orang terdahulu tercengang menyaksikan fenomena semacam ini. Bayangkan dirimu ada pada posisi orang terdahulu, yang belum tentu memahami bagaimana pergerakan Bulan dan Bumi bisa membuat Bulan melintas tepat di antara Bumi dan Matahari dalam waktu-waktu tertentu. Yang mereka dapat pahami hanyalah Matahari sumber cahaya, panas, dan penghidupan mereka, mendadak tampak digerogoti, perlahan mengecil dan terus hingga cakram benderang itu tak lagi tampak. Agaknya wajar jika leluhur kita memandang gerhana sebagai sebuah fenomena yang menakutkan saat itu, demikian pula dengan para binatang yang kemudian kebingungan mengira malam telah tiba. Sementara kini, dengan segenap pengetahuan yang teah terhimpun mengenai dinamika pergerakan Bulan dan Bumi, yang terjadi justru banyak orang yang rela mengejar bayang Bulan untuk merasakan sensasi kegelapan itu lagi.
Salah satu foto yang diambil jelang berakhirnya fase totalitas, 7:31. Selamat berjuang menemukan mahkota korona Matahari di sekeliling cakram gelap Bulan. |
Sekuens berakhirnya fase totalitas gerhana, 7:32. Perhatikan perubahan terang langit yang terjadi. |
Di situ saya merasa harus bilang "aku rapopo".
Puncak pertunjukan telah berlalu, dan bagi sebagian besar hadirin yang ikut menyaksikan kejadian gerhana pagi itu, waktunya bagi mereka untuk bubar meninggalkan lapangan. Apa yang terjadi setela gerhana total pada dasarnya adalah prosesi yang serupa dengan apa yang terjadi sebelum gerhana total, hanya saja dalam arah yang berlawanan: sabit Matahari terus menebal hingga cakram Matahari kembali mendapatkan kesempatan untuk mempertunjukkan wujud aslinya. Sebagian dari kita kemudian bergegas menjalankan ibadah salat gerhana, sementara yang lain merapikan barang-barang, mengemas kembali perangkat pengamatan yang nyaris tak terpakai, dan juga beristirahat menyantap sarapan.
Sekuens berlangsungnya gerhana 9 Maret 2016. Dimulai dari 6:55 (paling atas), 7:01, 7:10, 7:32, 7:41, 7:44, hingga paling bawah 8:10. |
Matahari pasca gerhana total, sekitar 7:38. Foto oleh Christoforus Dimas Satrya. |
Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016, sebagaimana dipotret dari balik lapis awan di Palangka Raya, beberapa kilometer dari titik pengamatan TOASTI. Foto asli oleh Hanief Trihantoro, diproses lebih lanjut di fotor.com. |
Pada hakikatnya, segera setelah segala sesuatu terkait pengamatan gerhana usai, kita segera mengubah mode perjalanan ke mode wisata kuliner. Atau dalam bahasa yang lebih singkat, dari perjalanan astronomi ke perjalanan gastronomi.
Tujuan pertama kita adalah menjalani makan siang. Tidak tanggung-tanggung, makan siang kami bergaya banquet, yang dilangsungkan di Pondok Ikan Bakar Asian, dekat Jembatan Kahayan. Bersama kita di siang hari itu hadir Prof. Bambang beserta salah satu anak dan dua cucunya, pak Baskoro wartawan Tempo, dan... ibu dengan kostum sari yang duduk di sebelah saya dalam pesawat menuju Palangka Raya. Atau, berhubung pada poin ini kita sudah mengetahui siapa beliau, Prof. Shylaja. Sebagai figur terkemuka di dunia astronomi, agaknya Prof. Shylaja diundang sebagai kolega Prof. Bambang yang juga datang ke Palangka Raya untuk menyaksikan gerhana matahari total.
Pada saat itu, sebagian dari kami mungkin bingung mana yang lebih membuat senang: makan semeja bersama figur besar astronomi semacam Prof. Bambang, atau mendapati kenyataan bahwa siang itu, kami makan sepuasnya.... gratis.
Sepiring ikan jelawat korban keganasan para pemuda lapar. Botol Aqua sebagai |
Berfoto jelang makan siang. Konon sebagian jomblowan tim kami sibuk membicarakan gadis berbaju hitam di kiri depan, yang adalah cucu Prof. Bambang. |
Segenap rombongan TOASTI |
Segenap rombongan tim TOASTI, panitia lokal dari Kelas Inspirasi Palangka Raya, bersama pak Baskoro, Prof. Bambang dan keluarga, Prof. Shylaja dan LOnya. |
Acara makan di Waroeng SS diakhiri dengan perjalanan sejauh 2 km menyusuri jalan RTA Milono, salah satu jalan protokol Palangka Raya, ditemani langit malam yang tampak terang bertabur bintang. Pemandangan yang asing bagi kami yang banyak bercokol di daerah padat penduduk macam metropolitan Jakarta atau Bandung.
Suasana pasar cinderamata yang kami kunjungi |
Contoh angkot Palangka Raya |
Mas Nazir Hasan dari Penjelajah Langit menunjukkan foto jepretan gerhana total |
Bersama rekan dari Penjelajah Langit |
Di Waroeng SS. Entah apa yang sedang dibicarakan. |
Pemandangan di tepi jalan R.T.A. Milono. Nama jalan ini sendiri diambil dari nama Gubernur Jawa Timur pada tahun 1957, yang ikut menggagas nama Palangka Raya untuk ibukota baru Kalimantan Tengah. |
Sirius, Rigel, Betelgeuse, dari tepi jalan R.T.A. Milono. |
10 Maret 2016.
Saya terbangun dengan sebuah kesadaran bahwa saya lupa melakukan check-in melalui situs Garuda di malam harinya. Menit-menit selanjutnya saya isi dengan usaha mengusir penyesalan dengan mengingatkan diri betapa saya akan mendatangi bandara cukup pagi, dan itu berarti mau check-in sekarang atau nanti, tidak terlalu berpengaruh.
Pagi itu, rombongan yang pertama kali melaju dari bandara Tjilik Riwut akan lepas landas pukul 6:50, dengan saya menyusul pada 8:20. Pada kepulangan, saya tidak lagi meluncur bersama bung Lorenz dan kak Michelle; mereka mengambil jadwal kepulangan di sore hari nanti. Sebagai gantinya, saya akan melaju pulang bersama Vani, berangkat dari penginapan sekitar pukul setengah tujuh pagi.
Hal pertama yang kami serapahi dalam perjalanan menuju bandara, adalah cuaca yang demikian cerah. Langit hanya tampak merona biru dengan hiasan awan tipis, sementara Matahari tampak benderang menyoroti kami. Segera terlontar celetukan bertajuk "kenapa cerahnya nggak kemarin ajaa".
Matahari pagi menyambut kepulangan |
Ada dua hal yang patut saya tekankan dalam membahas cerita kepulangan ini:
- Ternyata sarapan saya pada 9 Maret pagi adalah nasi bungkus yang sudah berusia sehari
Oke, setidaknya tidak ada kepastian terkait berapa tepatnya usia nasi bungkus yang saya santap tepat setelah gerhana usai. Akan tetapi, satu hal yang saya rasakan kentara dari nasi bungkus tersebut adalah bau yang cukup anyir, meski hanya dari makanan tertentu yang tersaji di dalamnya. Secara umum, saya menyantap nasi kuning dan ayam yang terhidang di dalamnya tanpa rasa bersalah ataupun rasa was was akan baunya (karena kedua ini memang tidak berbau aneh). Akan tetapi, mi yang disertakan di dalam bungkus telah beraroma anyir, membuat saya tidak menyentuhnya sedikitpun.
Di ruang tunggu bandara, saya memakan nasi bungkus yang sebelumnya memang sudah disiapkan oleh panitia lokal, dan di saat itu saya baru menyadari perbedaan jauh antara kualitas nasi bungkus yang saya makan antara tanggal 10 Maret pagi dan 9 Maret pagi. Agaknya pada 9 Maret, saya salah memilih nasi bungkus yang lama (yang tidak teridentifikasi sebagai nasi lama karena bungkusnya toh sama saja). Tetapi saya bersyukur saya tidak mengalami efek samping apapun, mungkin karena saya memutuskan untuk tidak menyentuh mi yang beraroma anyir. Salah satu anggota tim, mas Ridlo, mengalami nasib yang sama dan konon terimbas derita hingga pulang ke Bandung.
- Ada sepasang bapak-ibu yang marah-marah di lapak singa air
Tanya-tanya itu terus berlanjut di ruang tunggu, dan bertambah besar manakala kami memperhatikan jadwal keberangkatan singa air. Satu-satunya jadwal keberangkatan singa air di pagi itu hanyalah pukul 6:50 (yang pada dasarnya berangkat tepat waktu), dan jika ada penerbangan selanjutnya, ia masih jauh di siang hari nanti. Jadi, kalau memang bapak-ibu tadi marah karena keterlambatan, pesawat yang mana yang terlambat? Karena memarahi petugas bandara yang bukan pegawai suatu maskapai atas keterlambatan penerbangan sudah merupakan hal yang konyol. Lebih-lebih jika pesawat yang dibahas adalah keberangkatan pagi (yang jelas tidak terlambat) atau keberangkatan siang (yang tidak bisa dibilang terlambat karena memang belum waktunya).
Kami menaiki pesawat dengan tanda tanya yang tidak terjawab, dengan alasan yang terbagi antara entah kami yang tidak berpusing-pusing mencari tahu dengan tiadanya sumber yang bisa menjelaskan kejadian tersebut dengan baik selain sang aktor utama itu sendiri. Menilik tidak masuk akalnya keterkaitan antara kemarahan dengan keterlambatan sebagaimana tersebut di atas, saya mulai berpikir jika kejadian yang sebenarnya adalah kemarahan tersebut merupakan bentuk pelampiasan frustasi salah arah karena sebenarnya mereka sendirilah yang terlambat. Betapapun kata-kata si bapak terdengar tidak nyambung, rasanya skenario kedua, mereka marah atas keterlambatan pesawat yang memang jadwalnya masih beberapa jam kemudian, lebih tidak masuk akal lagi.
Dan rupanya bukan hanya kami yang bertanya-tanya.
Setelah pesawat mendarat dan para penumpang mengambil bagasi untuk bersiap ke luar, saya dapat mendengar sebagian orang membicarakan bapak-ibu terkait. Ada yang mempertanyakan motif kemarahan terkait, ada yang menduga hal yang sama seperti dugaan saya, dan banyak lagi.
.....
Pada akhirnya, seiring perjalanan kami menjauhi pesawat dan memasuki terminal bandara, tanya-tanya di kepala mengenai motif kelakuan si bapak perlahan memudar. Dengan diambilnya perangkat pengamatan yang kami bawa dalam bagasi, kami bertolak menuju pemberhentian bus, di mana saya akan melaju kembali pulang.
Mengakhiri perjalanan memburu gerhana, edisi pertama.
Selayang pandang perpisahan dengan bandara Tjilik riwut, Palangka Raya. Entah kapan kembali bersua. |
*****
Dalam beragam waktu selepas melintasnya bayang gerhana matahari total, saya masih acapkali termangu merenungi apa yang telah terjadi. Bisa dikatakan, cerita ini adalah salah satu episode utama dari perjalanan saya selama ini mendalami astronomi. Sebuah perjalanan panjang dalam hidup, di mana hampir seluruh khazanah pengetahuan astronomi saya berdatang dan berlipat ganda antara akhir 2002 dan awal 2016. Kalian para pembaca akan tahu, ketika kau sudah sekian lama bersemayam dalam sebuah cerita dengan terus mendekati jalur akhirnya, ada perasaan yang aneh ketika semuanya telah berakhir. Kosong? Mungkin. Kehilangan arah? Tidak segitunya. Mungkin lebih tepatnya terpana, entahlah.
Kini mungkin tidak ada lagi sebuah cerita panjang di mana saya menetapkan suatu tanggal di masa depan, di mana usia saya diulurkan hingga cukup mencapai tanggal itu, kemudian mengalaminya dan meresapi setiap detiknya, untuk kemudian melepasnya ketika waktunya telah lewat.
Jujur saja, meski di satu sisi saya mendapatkan banyak hal baik dari perjalanan ini, di sisi lain saya merasa kurang, tentunya karena saya belum berkesempatan mengamati langsung mahkota Matahari yang berbinar sepanjang gerhana total itu. Ya, gelapnya tentu sangat terasa. Tetapi hasil dari pengejaran ini membuat saya bertekad untuk mendapatkan momen itu, momen di mana langit mejadi gelap gulita dengan Bulan yang legam menundukkan segenap sinar surya.
Waktu-waktu di mana saya akan kembali berkelana, menaklukkan dunia, menuju bayang Bulan berikutnya.
Akhir kata, sampai jumpa pada kesempatan selanjutnya.
Semoga.
Senja 9 Maret 2016, menutup cerita panjang 13 tahun terakhir. |
Terhatur ucapan salam dan terima kasih kepadaTulisan ini mungkin habis sampai di sini. Tapi sila simak bagian keempat, di mana gambar akan bercerita.
Panitia lokal: Intan Ophelia, Liberti Hia, Ernawati, dan segenap staf, guru SDN 4 Menteng & SDN Percobaan
TOASTI: Dian Ariyatna Wardani, Lorenz van Gugelberg da Silva, Michelle Marcella, Ridlo Wahyudi Wibowo, Sulistiyowati, Geavani Eva Ramadhania, Miftahul Hilmi, Widyanita, Christoforus Dimas Satrya, Siti Fatima, Al Khansa Rodhiyah, Herna Fahriyah
Foto-foto dalam tulisan ini disadur dari album foto GMT Palangka Raya TOASTI, dengan sebagian disadur dari dokumentasi pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar