Sabtu, 31 Mei 2014

Article#300 - Tiga Ratus Keisengan, Tiga Corak Keramaian

sumber

Tapak kembali menghantar jiwa-jiwa yang tersadar.
Menghantar pada kenyataan yang luas terhampar.
Salah satu penyakit khas yang sering menghinggapi pengaku-ngaku pelaku seni adalah kebuntuan. Kebuntuan yang tercipta dari tersesatnya ide dan tujuan dalam belantara khayalan tanpa bendungan. Mereka kebingungan, mencari-cari kesesuaian dalam mengalirkan hasil peradukan pikiran demi menuangkan sebuah karya. Menyusun manifestasi dari kebengalan diri yang dengan setengah hati disusun rapi, seperti barisan upacara Senin pagi.

Tentu saja, sebagai seorang yang mengklaim diri sebagai seniman gagal, penulis pun dengan cengir bangga ikut bergabung dalam barisan. Walaupun jiwa berlagak sok keren dengan menuntut diri menjadi komandan. Hah, komandan apa? Upacara Senin pagi saja di benaknya sudah terasa asing seperti infanteri Kumpeni yang ongkang-ongkang kaki di petak sawah para pribumi. Mereka yang terusir di kekuasaannya sendiri, mereka yang terjebak dalam kegagahan delusi. Jangan coba-coba ditanya, kenapa dibiarkan diri berkubang dalam ironi. Jawabannya akan selalu mengalih berkelit. Sekali dia jawab memperkaya jalan pemikiran, sekali lagi ia jawab mengistirahatkan jiwa. Bahkan bisa dengan santainya ia bilang, sedang iseng belaka.
Terbilang tiga ratus keisengan, sebuah klaim kemenangan oleh lidah yang asyik sesumbar.
Terbilang tiga corak keramaian, sebuah pembagian terhadap landas tulisan yang tersebar.

Sepertinya bisa disimpulkan, jika tiga ratus kesiengan ini bisa dijajarkan dengan nyaman. Bagai sekumpulan dagelan mengantri menunggu suguh saji di kondangan. Dengan asyiknya mereka diajak bercengkrama, bersua dalam canda tawa. Mereka terus tertawa dengan asyiknya, sampai pembina upacara menegur kikikan yang terus bergaung dari barisan. Semua kompak menyalahkan komandan yang dinilai tidak becus membawahi mereka keemuanya. Dan tak perlu diulang lagi, siapalah sang komandan itu yang berlagak jagoan.
Dan sepertinya tak akan kalah menyenangkan jika kubu keisengan yang membuat gaduh itu dibagi ke dalam tiga jajaran. Satu jajaran bersemat mereka yang dengan iseng berusaha memperkaya kepala-kepala dengan ilmu yang bermanfaat. Jajaran selanjutnya bertabur mereka yang dengan iseng berusaha mengistirahatkan jiwa-iwa yang terlalu panas, saking aktifnya mereka beredar dalam percaturan aktivitas. Dan jajaran terakhir berisi mereka yang dengan isengnya mengisengi orang lain untuk iseng-iseng membentuk sebuah keisengan yang dapat diisengi sesekali.

Sampai baris kesekian ini, entah apa saja yang terpikir dalam benak penulis sampai bisa-bisanya melantur sedemikian panjang lebar.
Maka baiklah, akhir kata, semoga laman laman yang nampak terkapar ini bisa terus menebarkan semangat keisengan dalam berbagai coraknya yang meramaikan. Apapun coraknya, entah corak memperkaya jalan pikiran, corak mengistirahatkan jiwa yang lelah, atau corak mengisengi kehidupan untuk ditertawakan.
Semoga tetap waras, meskipun tulisan yang ada di hadapan kalian tidak.
(:g)
Lanjutkan baca »

Article#299 - Para Pengepul

Satu kejadian lagi terjadi, yang senantiasa mengingatkan penduduk di sekujur bumi pertiwi, akan selalu adanya kejadian sejenis yang akan menyertai kehidupan di negeri ini.
Kepulauan Nusantara pada dasarnya memang tumbuh dari kejadian seperti ini, yang susuh menyusul menumpukkan bebatuan sebagai bahan baku sebuah rangkaian kepulauan. Kepulauan, yang kini menjadi rumah bagi salah satu negara terbesar di dunia. Setidaknya dalam jumlah penghuni, dan semoga ke depannya juga dalam pengaruh secara internasional. Suatu hal yang setidaknya dapat diperhatikan dari kesungguhan mereka yang mengaku mengayomi rakyat, peduli akan nasib bangsa ke depan.

Rahmat-Nya bagi kalian semua, ada yang datang dari para pengepul. 
Meski terkadang kalian dibuat batuk oleh abu yang terkepul,
Pada akhirnya di bawah jemari kakinya kalian berkumpul,
Yang berkat tanah suburnya, dapurmu terus mengepul.


Gunung Sangiang Api, sebagaimana dipotret oleh Sofyan Effendi dalam
penerbangan dari Bali ke Labuan Bajo, Jumat (30/5) sore.
sumber
Sangiang Api atau Sangeang Api (1949 m/6394 ft) adalah salah satu dari 129 gunung api aktif yang membubuhi sekujur tubuh kepulauan Indonesia, terbanyak dibanding negara lain di dunia. Berdiri pada pulau bernama sama, Sangiang Api termasuk gunung yang cukup rajin beraktivitas, dengan setidaknya 17 letusan tercatat dari tahun 1512 hingga 1988. Letusan 1985-1988 menandai dilarangnya pembangunan pemukiman permanen baru di pulau terkait, meskipun masih banyak warga yang menggunakan lahan di pulau tersebut sebagai tempat bercocok tanam.

Pada Jumat, 30 Mei 2014 sore, gunung Sangiang Api kembali meletus. Beberapa gempa sempat tercatat di sekitar pulau Sangiang Api sebelum dan setelah letusan awal terjadi. Letusan pertama (dan yang sejauh ini tercatat paling besar) terjadi mulai 15:55 WITA (UT+8), ketika material vulkanik diletuskan hingga ketinggian 15-20 km, menurut laporan awak pesawat yang menyaksikan kolom letusan. Setelah itu, letusan-letusan minor masih terjadi, dengan setidaknya tiga letusan yang cukup besar pagi hari (31/5) tadi, pada pukul 00:50, pukul 03:20 dan 07:00 WITA.
Hasil potretan M. Taufiqurrahman, Jumat (30/5) sore.
Hasil potretan Bambang Bimawan dari lapangan sepakbola Talabiu,
Jumat (30/5) sore. 
Hasil potretan Vira Azzukhruf, Jumat (30/5) sore.
Hasil potretan Courtney Robba pada jarak 10 mil (16 km)
dari Sangiang Api, Jumat (30/5) sore. 
Tak hanya jepretan dari warga sekitar, ada juga "mata" yang merekam dari orbit Bumi.
Kedua gambar format .gif di bawah ini menampilkan citraan yang dijepret oleh satelit geostasioner Multi-functional Transport Satellite 2 atau MTSAT-2 (juga dikenal sebagai Himawari 7) milik Jepang.
Kedua gambar di bawah direkam dalam rentang kepekaan inframerah (atas) dan rentang kepekaan terhadap uap air (bawah).

Keterangan gambar: Kedua gambar mencakup citraan pada 30 Mei 2014, tiap satu jam dari 08:00 sampai 11:00 UT, setara dengan 16:00-19:00 WITA.
Seluruh citraan diambil dari situs Badan Meterologi Jepang (JMA). Tanda panah dibubuhkan pada gambar untuk mengindikasikan awan letusan Sangiang Api.
Kedua citraan disusun memanfaatkan situs GIFMaker.me.



Apdet: 1 Juni 2014, 12:11 (UT+9)
Tambahan citra dari satelit Aqua/MODIS milik NASA. Citra diambil dalam rentang kepekaan cahaya tampak, dengan menyertakan label nama daerah yang tercakup serta sebaran abu.

Gambar diambil dari wired.com
Apdet: 5 Juni 2014, 17:51 (UT+9)
Tambahan citra (lagi).

Citra hasil jepretan satelit Terra/MODIS milik NASA. Dijepret pada
31 Mei 2014, 02:35 UT. sumber
Citra pulau Sangiang Api, sebagaimana dijepret oleh satelit
Landsat 8, yang dioperasikan oleh NASA dan USGS.
Citra diambil pada 1 Juni 2014, dan diolah oleh LAPAN.
sumber

Info lebih lanjut dapat diakses di laman berikut:
http://www.wired.com/2014/05/explosive-eruption-at-sangeang-api-in-indonesia/
http://www.news.com.au/travel/travel-updates/darwin-airport-shuts-and-flight-chaos-across-australia-feared-as-indonesias-sangeang-api-volcano-spews-ash-into-sky/story-fnizu68q-1226938123744
https://au.news.yahoo.com/thewest/wa/a/24011029/volcanic-ash-causing-flight-chaos/
http://www.antaranews.com/en/news/94251/mount-sangeang-api-in-west-nusa-tenggara-erupts

Ulasan bernas mengenai letusan Sangiang Api dapat dibaca di laman berikut:
http://ekliptika.wordpress.com/2014/06/02/letusan-besar-gunung-sangeang-api-nusa-tenggara-barat-30-mei-2014/
http://ekliptika.wordpress.com/2014/06/04/indonesia-menaklukkan-australia-menyaksikan-letusan-sangeang-api-dari-langit/
~ke depannya, penulis akan mengusahakan setidaknya satu tulisan terkait fenomena serupa ketika terjadi. Mohon doanya.
Lanjutkan baca »

Selasa, 27 Mei 2014

Article#298 - Syair Tukang Bakso






Syair Tukang Bakso




Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.
Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.
“Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!” gerutu seseorang.
“Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!” tambah lainnya, dan disambung — “Ya, ya, betul!”
“Jangan marah, ikhwan,” seseorang berusaha meredakan kegelisahan, “ia sekedar mencari makan….”
“Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!” potong seseorang yang lain lagi.
“Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!” sebuah suara keras.
Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: “Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya.”
“Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?”
“Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua.”
Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.
“Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari,” Pak Ustadz melanjutkan, “karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat… Masya Allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!”
1987


sumber gambar 1
sumber gambar 2
Lanjutkan baca »

Jumat, 23 Mei 2014

Article#297 - Gugur Sakura

Semilir angin meniupi mereka yang berjalan di pinggir taman.
Burung-burung yang bertengger di ranting pepohonan berceloteh ria. Bagai melepas rindu, mereka kembali bercengkrama setelah bersembunyi berbulan-bulan sepanjang musim dingin. Di kota itu, musim dingin identik dengan salju yang bertumpuk-tumpuk akibat suhu yang dingin menusuk. Sehingga, ketika matahari mulai menang, tumbuhan dan hewan bersorak dan bergelora dengan membangkitkan semangat baru dalam label bertuliskan musim semi.

Situasi hari itu pun tak jauh beda. Entah itu Matahari, entah itu langit, entah itu awan, entah itu bebungaan yang bermekaran. Semuanya nampak bersemangat memamerkan kementerengannya masing-masing, menaungi kerumunan orang yang berlalu-lalang. Orang yang lewat itupun seolah ikut tersihir oleh semarak tersirat dan melangkah dengan laju dan semangat ekstra.

Kecuali seseorang.

***
sumber
Gema berjalan tanpa antusiasme di siang hari itu.
Tak jauh di depannya, kawan-kawan sesama pelajar asal Indonesia tengah berfoto-foto dengan penuh cengar-cengir memanfaatkan latar pepohonan yang sedang jaya-jayanya berbunga. Rombongan itu baru saja menyelesaikan kegiatan makan siang mereka di taman kota, sembari melakukan kegiatan hanami seperti banyak perkumpulan lainnya di siang hari tersebut.
Musim semi di Jepang senantiasa identik dengan hanami. Sebuah kegiatan dimana orang-orang berkumpul untuk memandangi bebungaan, seringkali dengan menggelar tikar untuk piknik bersama di bawah naungan pohon yang berbunga. Konon, hanami sudah mulai dibudayakan sejak lebih dari seribu tahun lalu, tumbuh seiring dengan mulai dibentuknya dasar-dasar dari apa yang kini kita kenal dengan sebutan "samurai". Istilah yang, aku yakin, sudah cukup familiar dan langsung muncul di kepala kalian di saat membaca tulisan ini. Sebagaimana familiarnya nama bunga yang menjadi ikon utama dalam tiap kegiatan hanami di seantero Jepang.
Hanami, melihat bunga. Tepatnya, bunga sakura.

Sayangnya, segala fakta nostalgik itu tak punya tempat di pikiran Gema, saat itu.
Bunga-bunga yang bermekaran itu sesekali melambai anggun ketika angin menyapa. Sesekali ada satu-dua helai mahkota bunga sakura, lepas dan berayun menuju peraduannya di pinggir trotoar. Angin yang makin kencang membuat helai sakura makin banyak berjatuhan. Tak ayal, para anak muda makin bersemangat mengabadikan diri mereka bersama guguran bunga sakura.
Sesekali mereka bergaya dengan dua jari teracung. Kemudian satu jari, di depan bibir. Atau tiga jari, di depan sebelah mata. Atau sepuluh jari, menutupi wajah.
Dasar anak-anak zaman sekarang, gumam Gema.

"Memangnya kamu anak zaman kapan, Ma?"
Sebuah tepukan keras menghantam tas ransel milik Gema. Secara refleks Gema menoleh ke belakang, memastikan tasnya baik-baik saja dan tidak terluka. Tetapi yang dihadapinya hanya wajah yang nyengir. Penuh kejahatan terselubung, Gema curiga.
"Bikin kaget orang aja Ris, tepuk-tepuk tas orang," Gema memberengut. Ada rombongan yang terakhir meninggalkan lokasi hanami para pelajar sebelumnya, dan kini mereka sudah menyusul Gema.
"Haha, siapa suruh jalannya loyo begitu? Padahal yang lain semangat foto-foto," Arisa hanya menanggapi santai.
"Yah, begitu doang, ngapain?"
"Apanya?"
"Yaa orang-orang, sampai segitunya. Padahal cuma bunga di pohon. Nggak seru."
"Ya ampun, segitunya. Hahaha. Eh aku ikutan foto dulu ya," Arisa menyerahkan tasnya ke tangan Gema. "Kalau nggak ikutan foto, paling nggak bantuin yang foto lah."
Lagi-lagi Gema memberengut.

Sayangnya cuaca mulai bergolak, dan angin yang makin kencang kini diikuti butir air hujan yang turun sedikit-sedikit. Alhasil, mereka yang sedari tadi sibuk dengan sekian banyak kombinasi gaya depan kamera terpaksa berhenti. Mereka mengemasi barang-barang mereka dan melanjutkan perjalanan pulang. Kebanyakan dari mereka membawa payung, karena menurut aplikasi ramalan cuaca di ponsel, memang pada waktu itu diprediksikan akan turun hujan. Generasi abad 21 gitu loh. Meskipun demikian, beberapa dari rombongan tersebut tidak membuka payung yang mereka bawa. Gerimis begini ngapain pakai payung, mungkin begitu komentarnya jika ditanyai. Lagipula hujan di daerah iklim sedang memang jarang selebat hujan di negeri tropis macam Indonesia.

Gema termasuk di antara mereka yang menganggap payung belum diperlukan di saat itu. Maka tanpa perlu repot-repot mengambil dan membuka payung lipat, Gema terus saja berjalan. Tangan kanannya memegang tali bahu ransel sebelah kanan, sementara tangan kirinya menjinjing tas... Tunggu.
"Ris, tasmu nih," Gema mendatangi Arisa dan menyerahkan tas milik Arisa.
"Yaah Gema, kamu kan nggak pake payung tuh. Aku minta tolong bawain dulu nggak apa-apa ya?"
Gema hanya bisa menghela nafas.

Hujan masih turun dengan malu-malu, sehingga rombongan itu tetap menjaga ritme perjalanan yang tenang nan pasti. Ritme yang terjaga memudahkan para pelajar untuk saling mengobrol santai dalam perjalanan mereka kembali ke kediaman masing-masing.
"Ris, menurutmu, kenapa ya orang-orang pada senang banget sama sakura?" Gema bertanya. Pertanyaan yang tak biasa muncul, namun tak mengejutkan jika menyimak kata-kata Gema beberapa waktu sebelumnya.
"Loh, sakura kan bagus, cantik-cantik bunganya," respon Arisa sedikit bingung.
"Menurutku nggak bagus, ah. Warnanya monoton, sekali putih semuanyaa putih, sekali pink semuanyaa pink. Kalau kayak di taman bunga begitu kan bagus, warna-warni. Kalau begini doang apa serunya?"
"Lhoo masa' nggak ngerasa kagum sih ama bunga yang sebanyak ini di pohon?"
"Nggak, ah. Mending pohon buah, ada yang bisa dimakan. Daripada begini, udah dimakan nggak enak, dilihat pun ngebosenin. Kalau kata orang, hana yori dango.*)"

Arisa terdiam sejenak mendengar pendajpat Gema barusan. Jarang-jarang rasanya orang yang nggak suka sakura begini. Biasanya orang Indonesia malah berebut ingin berfoto dengan sakura.
"Serius nggak tertarik ama sakura, Gema?" tanya Arisa lagi.
Hanya ada gelengan pelan sebagai jawaban.
"Aku jadi inget sama temenku di kelas budaya Jepang. Tahu si John? Dia bilang, temennya ada yang bener-bener masa bodoh ama sakura. Kalau menurut cerita si John, temennya itu beralasan di negeri asalnya tiap musim semi juga selalu ada bunga dimana-mana. Di dekat rumahnya pun ada pohon sakura juga. Jadi dia semacam udah terbiasa dengan bunga yang sama tiap tahun. Ketika dia denger dai John kalau orang Jepang demikian mengagumi sakura, temennya John ini malah heran. Kok bisa sedemikian rajinnya ngeliatin bunga tiap tahun. Mana bunga yang modelnya sama semua gitu. Mirip sama pendapat kamu tadi kan, Gema?" Arisa menjelaskan. Gema hanya mengangguk-angguk.
"Nah, mendengar pertanyaan itu, temenku yang lain berkomentar. Menurut dia, alasan sakura begitu populer itu karena dia menandai datangnya musim semi. 'Kan biasanya musim dingin identik dengan kebekuan atau berhibernasi gitu, jadi mekarnya sakura itu seperti memberitahukan bahwa 'sekarang sudah musim semi, ayo beraktivitas'. Kalau udara makin hangat, orang akan lebih nyaman beraktivitas."

"Lah, kalau cuma begitu, kenapa di negara-negara lain nggak terdengar kegiatan melihat bunga yang sepopuler hanami ini?" protes Gema.
"Aish, ntar dulu aah, masih ada lanjutannya.
"Iya, seperti katamu, Gema, penjelasan yang itu nggak cukup meyakinkan. Tapi kemudian sensei**) aku ikut ngejelasin tentang sakura ini. Dan penjelasan dari sensei menurutku keren banget!" Arisa tampak berbinar-binar.
"Apa katanya?"
"Sensei-ku bilang, ada kepercayaan yang mengatakan bahwa helai-helai bunga sakura itu perwujudan dari jiwa-jiwa prajurit yang gugur dalam perang. Kalau dalam falsafah hidup samurai, kan diajarkan supaya hidup bersungguh-sungguh dan meninggal sebelum usia tua. Kalau aku sih menafsirkannya meninggal ketika si samurai sedang optimal-optimalnya mengabdi kepada kaum bangsawan. Helai sakura kan gitu, mekar beramai-ramai, langsung sekaligus banyak, kemudian langsung berguguran ketika masih bagus, belum layu.
"Tapi, menurut sensei-ku, inti dari filosofi bunga sakura itu adalah bahwa dia cuma mekar sebentar, terus langsung rontok. Bisa dikaitkan ke samurai yang umurnya nggak panjang tadi, bisa juga dikaitkan ke meninggal saat di puncak. Tapi, sensei-ku bilang, konsep ini secara lebih luas bisa dikaitkan kepada kita semua yang lain. Fungsinya sebagai pengingat kalau hidup seseorang di dunia ini itu nggak kekal. Bagi umur kita yang sekian tahun, waktu sakura yang mekar cuma dua minggu tiap tahun itu terasa sebentar banget. Padahal mungkin, jangka waktu kita hidup di sini pun yaa mungkin juga cuma sebentar, sebagaimana waktu mekarnya sakura. Bahkan mungkin terasa cuma sekejap mata, tahu-tahu hilang."

Arisa mengambil nafas, sebelum melanjutkan penjelasannya.
"Kamu tahu kan, Gema, bagaimana lemahnya bunga sakura itu. Disenggol dikit pun bisa jatuh, ditiup angin semilir pun helainya juga rontok. Mekarnya pun cuma sepekan-dua pekan. Tapi, dalam waktu sepekan-dua pekan ini, jutaan orang dari seluruh dunia, semuanya rela bepergian jauh, membayar lebih, demi menikmati pemandangan sakura yang menghiasi pepohonan. Serapuh apapun sakura, sesingkat apapun masa jayanya, tetap aja, hanya dengan melihatnya aja jutaan orang bisa dibuat berdecak kagum. Sampai ada aja orang yang rela datang lagi tahun berikutnya, tahun berikutnya, hanya demi melihat sakura lagi. Keren banget kan kalau dipikir-pikir..!"
.....
Arisa merasa menang, berhasil menjelaskan dari awal hingga akhir.
Dan kini Gema hanya bisa melongo.
Ekspresinya tampak sedang berusaha mencerna kata demi kata penjelasan Arisa barusan. Bahkan, saking asyiknya merenungkan penjelasan itu, tanpa Gema sadari dirinya beserta rombongan sudah memasuki kompleks asrama mahasiswa, tempat Gema dan teman-temannya tinggal.
"Sampai jumpa di kelas besok ya!" seru rombongan mahasiswi yang beranjak ke kediamannya masing-masing.

Gema masih melongo di depan kantor manajemen asrama. Di dekat kantor berdiri sebatang besar pohon sakura, yang juga sedang memamerkan kecemerlangan bunga-bunganya. Setelah sekian lama, Gema merasakan sesuatu. Seolah rimbunan bunga sakura itu memanggilnya.
"Jadi, Gema? Apa kabarmu hari ini?"

Kabar baik, Gema membatin. Senang bisa melihatmu lagi.

*) Hana yori dango (花より団子), sebuah idiom Jepang yang menggambarkan kondisi dimana seseorang lebih memilih sesuatu yang nyata manfaatnya daripada sekadar pemanis mata.
**) Sensei  (先生), istilah Jepang yang digunakan sebagai sapaan untuk guru.

(:g)
Lanjutkan baca »

Senin, 19 Mei 2014

Article#296 - Laskar Pelangi

Mimpi adalah kunci
Untuk kita, menaklukkan dunia
Berlarilah
Tanpa lelah
Sampai engkau
Meraihnya

Laskar pelangi
Takkan terikat waktu
Bebaskan mimpimu di angkasa
Warnai bintang di jiwa

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia
Selamanya

Cinta kepada hidup
Memberikan senyuman abadi
Walau hidup kadang tak adil
Tapi cinta lengkapi kita

Laskar pelangi
Takkan terikat waktu
Jangan berhenti mewarnai
Jutaan mimpi di bumi

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia
Selamanya
Selamanya

Laskar pelangi
Takkan terikat waktu

© Mira Lesmana & Nidji. 2008.

***

Disusun dari kerja sama Mira Lesmana sebagai produser dan band Nidji sebagai performer, lagu Laskar Pelangi ini menjadi maskot utama dari 8 lagu yang dicanangkan sebagai lagu pengiring bagi film Laskar Pelangi. Film tersebut pada gilirannya adalah hasil adaptasi dari novel karya Andrea Hirata, novel pertama yang mencatutkan nama Andrea Hirata di tengah kancah sastra populer Indonesia, juga di benak jutaan penikmat novel-novelnya.
Sebagai sebuah novel, Laskar Pelangi adalah awal dari tetralogi berjudul sama. Tetralogi yang selain melambungkan nama penulis, juga tercatat sebagai novel terlaris sepanjang sejarah kesusastraan Indonesia. Novel terkait juga telah diterbitkan di 20 negara.
Sebagai sebuah film, Laskar Pelangi menorehkan namanya di posisi empat dalam daftar film dengan total pengunjung terbanyak, tepatnya 4,6 juta pengunjung.
Sebagai sebuah lagu... yah, dengarkan saja lewat jendela di bawah.

Tambahan: Andrea Hirata terlahir dengan nama lengkap Aqil Barraq Badruddin Seman Said Harun, dan sebagian dari nama tersebut (Aqil Barraq Badruddin) dicantumkan dalam novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi, Edensor.

*** 

Mungkin beberapa yang mendapati penulis menuliskan segenap isi post ini akan menganggap saya termasuk penikmat tetralogi terkait. Kenyataannya, sebenarnya sampai saat ini saya hanya pernah tuntas membaca salah satu dari tetralogi Laskar Pelangi. Tepatnya buku ketiga, Edensor, yang membantu penulis menginformasikan "tambahan" di bagian sebelumnya. Filmnya pun belum juga penulis tonton hingga saat kata-kata ini diketikkan. Lagunya? Tentu saja sudah. Penulis sempat berkesempatan untuk ikut merusuh meramaikan festival budaya Indonesia di kota domisili penulis saat ini. Dengan gaya semi-tradisional, penulis digeret berpartisipasi membawakan dua judul: Laskar Pelangi yang ini, dan Zamrud Khatulistiwa.

Melepaskan diri dari pembicaraan mengenai lagu terkait, penulis sengaja memutuskan untuk menaruh lagu ini sebagai pengiring ketidakjelasan bagi tulisan yang masih akan bergulir, entah hingga kapan. Hari ini pun menandai hari ke-1000 digulirkannya laman aneh ini, sejak hampir tiga tahun yang lalu. Mungkin bisa disambung-sambungkan, jika tujuan penulis membagikan post yang ini di hari ini adalah untuk mengiringi semangat Laskar Pelangi yang terus semangat belajar dalam keterbatasan. Tetap semangat dalam kekurangan. tadi katanya belum baca-baca novelnya

Sebagai penanda, tulisan kali ini juga akan sebagai pengingat. Gunanya penanda memang supaya mudah diingat, kan?
Pengingat untuk apa? Sederhana saja, sebagai pengingat bahwa aktor utama di balik terus mengalirnya keanehan demi keanehan di tulisan ini akan terus mengusahakan laju aliran yang stabil selama memungkinkan. Mohon doanya saja, ya.
Sebagai penutup, sudilah kiranya jika penulis menautkan satu hal lagi. Silakan.

Nantikan post selanjutnya, nanti, tentu saja!

- tidak ada konspirasi apapun dalam penulisan isi post ini
(:g)
Lanjutkan baca »

Sabtu, 17 Mei 2014

Article#295 - Rak Berdebu


Rak berdebu itu memanggilku dalam lusuh.
Sebuah rak yang tidak istimewa, yang terletak dalam suatu ruangan tidak istimewa dalam rumah tua yang juga tidak istimewa itu. Catnya mengelupas di sana-sini, atapnya bolong di beberapa tempat, jendelanya yang kusam, berpadu menjadi satu. Mungkin mereka yang sempat menghantarkan selayang padangnya pada rumah itu, akan terheran, mengapa rumah ini tak juga rubuh. Supaya kekusamannya bisa enyah dari penglihatan yang penuh citra buruk.
Meskipun tidak bagiku, yang seolah terhasut. Memasuki rumah kosong tanpa perlu, seakan menyatukan jiwaku dengan jiwa rumah itu yang tak terurus. Yang lebih lagi menguat ketika kepada rak buku itu pandanganku terpaut. Jika lembar-lembar buku adalah percikan air yang membasahi jiwamu, rak buku berdebu ini mungkin bisa menjadi laut. Dimana lembar-lembarnya tidak mengizinkanmu melahap langsung, tetapi sebagai gantinya ikan-ikan datang tersuguh. Tentunya, ketika kau mengailnya dengan sungguh-sungguh.

Rak berdebu itu membisu padaku dalam lumpuh.
Ia tetap berdiri dengan kokoh dan anggun, dengan topang kayu yang mulai ringkih digerogoti waktu. Ia menjadi saksi, sepanjang perjalanannya menghiasi salah satu pojok yang tak ada arti spesialnya dalam rumah yang dulu megah itu. kita pun tahu betul bahwa dinding yang berdiri dingin, rak-rak yang menjulang garang, tak akan sudi memecah bisu. Apalagi hanya demi seorang bocah yang dalam rumah itu lidahnya kelu. Tetapi aku seolah merasakan, bagaimana dalam sunyi itu, mereka bercerita dalam lantur. Disampaikannya kronologi kehidupan yang dulu semarak di rumah ini, dengan bahasa senyap nan ambigu. Terbayang muka-muka yang berkeliaran mencari buku dengan lugu. Terbayang anak yang menjerit ketika membuka buku, menyaksikan gambar hantu.
Semua tersampai dalam wujud berbagai buku-buku usang, yang berserakan di segala tempat menemani saput debu. Jurai angin yang membelai jendela dalam nyanyian ngilu. Tumpukan kertas alat tulis yang terpaku dalam pilu. Mengurai waktu demi waktu dalam ketidakteraturan yang terus bertumbuh.

Rak berdebu itu memandangku sayu.
Buku-buku yang terjajar padanya, mungkin adalah buku-buku yang dahulu dicelotehi hingga bertalu-talu. Ada yang dengan mudah dilahap dalam laju. Ada pula yang demikian tebal dan membuat mata yang memandangnya jemu. Bahkan ada pula yang nampak demikian baru, meskipun kusam dalam debu.
Sambutlah salah satu buku, dan mungkin akan ada seangga yang bergerak-gerak malu. Dengan panik, mencari tempat persembunyian yang baru. Atau mungkin mereka juga menikmati buku-buku ini sebagai suguhan ilmu? Siapa tahu.
Agaknya tak mudah bagiku yang sibuk bergelut dengan debu, untuk memperhatikan buku-buku yang tergeletak ini secara menyeluruh. Apalagi jika harus menafsirkannya secara utuh. Toh buku pun tak pernah benar-benar menyampaikan pemikiran sang penulis secara utuh. Yang satu boleh bercerita mengenai air dan pasir yang bertemu. Tetapi yang satu lagi bisa berbicara mengenai kumpulan jiwa dalam pesona semu. Atau kombinasi lain yang mungkin tak pernah tercetus di benakmu. Meskipun sayangnya, buku yang akan dicelotehi beramai-ramai hanyalah buku yang tampak seru. Mereka yang lain hanya bisa terdiam dalam wajah kuyu.

Rak berdebu itu mengundangku kembali berkunjung.
Dan aku tak segan lagi untuk mengangguk.

What an astonishing thing a book is. It's a flat object made from a tree with flexible parts on which are imprinted lots of funny dark squiggles. But one glance at it and you're inside the mind of another person, maybe somebody dead for thousands of years. Across the millennia, an author is speaking clearly and silently inside your head, directly to you. Writing is perhaps the greatest of human inventions, binding together people who never knew each other, citizens of distant epochs. Books break the shackles of time. A book is proof that humans are capable of working magic."
- Carl Sagan

-Hari Buku Nasional, 17 Mei 2014-

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Rabu, 14 Mei 2014

Article#294 - Melihat-lihat


Kebesaran Tuhan, ada untuk mengingatkan manusia akan skala kebesaran yang demikian kontras. Dari yang kecil tak terdeteksi oleh indera alami maupun buatan, hingga yang besar tak terjangkau capaian segala macam indera.

Anugrah Tuhan, maupun cobaan, mungkin adalah dua istilah yang pemaknaannya sering beririsan antar satu sama lain. Bisa saja, semua yang layak disebut anugrah, layak pula disebut cobaan pada waktu dan pola pikir tertentu. Demikian pula sebaliknya.

Keluarga, seringkali memang menjadi anugrah, ketika kita bicara mengenai orang-orang tercinta yang selalu bersama, mendukung dan menyokong dalam berbagai keadaan. Tetapi, dari sudut pandang seorang yang beranjak besar, boleh jadi nyamannya bersama keluarga membuat ia malas untuk beranjak, berdiri dengan anggota tubuhnya sendiri. Meski mungkin, ia tak akan sepenuhnya berdiri sendiri.

Dan juga cermin. Biasanya sih, cermin dalam konteks semacam ini diibaratkan sebagai berkaca atas apa yang tampak pada diri. Meskipun berkaca atas diri melingkupi hal yang lebih luas. Bisa bermakna mencermati apa yang secara tak sadar melekat pada diri dan pribadi sehari-hari.
Tentu saja, ketika bicara tentang bercermin, yang identik dengannya adalah penampilan fisik. Tetapi, entah dirimu menurut selera umum menarik ataupun kurang menarik, apapun yang melekat di diri adalah cobaan. Yang dengannya diuji penyikapan mereka yang menyandangnya.

Atau, mungkin semuanya punya makna lebih dari itu?
~mohon maaf, jika pembaca sekalian merasa kehilangan aura lawakan dari gambar terkait.

sumber gambar

Lanjutkan baca »

Senin, 12 Mei 2014

Article#293 - Correlation vs Causation

Check.
Below are some examples of how bizzare random correlations can be. (from BuzzFeed)

Ice cream consumption leads to murder. 

Ice cream consumption leads to murder.

A pirate shortage caused global warming. 

A pirate shortage caused global warming.

Eating organic food causes autism. 

Eating organic food causes autism.

boingboing.net

M. Night Shyamalan makes bad movies because people don’t buy newspapers. 

M. Night Shyamalan makes bad movies because people don't buy newspapers.

Using Internet Explorer leads to murder. 

Using Internet Explorer leads to murder.

Mexican lemon imports prevent highway deaths. 

Mexican lemon imports prevent highway deaths.

Obesity caused the debt bubble. 

Obesity caused the debt bubble.

Facebook caused the Greek debt crisis. 

Facebook caused the Greek debt crisis.

A few words from Dr. L. Kip Wheeler about correlation vs. causation, in case you're interested for a reading time.

We experience the world in a time-oriented manner through cause and effect. First Lucy ate that white berry, then she became sick. First I hit Bob's foot with a hammer, then his foot swelled with a purple bruise. I conclude that eating the white berry is what actually made Lucy sick later. I conclude that being hit with a hammer is what later caused Bob's foot to swell. It is logical enough on the surface. Often, it seems clear--absolutely clear--that a specific action caused a second event to happen. This is what is known as causation. Many events appear to be the results brought about by identifiable causes, and the human mind is geared to look for these cause/effect relationships.

We get into trouble when the mind seeks or creates an artificial cause/effect relationship that doesn't actually exist. After something especially beneficial or harmful occurs, we want to know what caused it. We tend to focus on the first action we noticed before the effect, then assume that it must have been the catalyst triggering the later event. Nine times out of ten, we're right. It was the white berry that made Lucy sick. It was true that hitting a foot with a hammer makes that foot swell and bruise. That makes us lazy intellectually; we forget that, one time out of ten, we pick the wrong cause. In Latin, this type of logical mistake is called the post hoc ergo propter hoc fallacy, which means "After this, therefore because of this." It's the idea that any event which happened first must be the particular event that caused a good or bad event later, and once we find a possible answer we tend to snatch hold of it and then stop thinking about other possibilities.

For example, suppose the fall term of classes ends in December. The manager of a toystore in the local mall hires one new worker. This worker is a college student named Stacy. She wants to do some work before spring term classes start. After Stacy is hired, the store's sales shoot up by 300%. "Wow!" the manager says to herself, "That Stacy is a fantastic sales worker! I haven't hired anyone else but Stacy. Still, since we hired her, our sales have tripled! I'd better give her a raise!" Is the manager's conclusion logical? Is it true that Stacy must be fantastic at her job?

Odds are, nine out of ten readers at this point are nodding, thinking to themselves, "Yeah, it makes sense to me. You hire a new girl, and the sales go up. No other girls were hired. It must be the new girl's work."

On the other hand, the tenth reader stopped and thought, "Wait a minute.... Didn't you say Stacy was hired in December? That's right around Christmas time. Maybe the reason the sales went up wasn't because of Stacy, but because of the time of year." The manager's conclusion now vanishes in a puff of logic.

Which one were you? If you spotted the logical fallacy, puff out your chest and strut around in pride as an intellectual champion. You were clear-headed and avoided the post hoc error. If you didn't spot the problem, and made the same assumptions the manager did, don't feel too ashamed. Often causation is trickier than it looks.

The problem is that correlation is different from causationCorrelation is when two or more things or events tend to occur at about the same time and might be associated with each other, but aren't necessarily connected by a cause/effect relationship. For instance, in sick people, a runny nose and a sore throat correlate to each other--they tend to show up in the same patients. That doesn't mean runny noses cause sore throats, or that sore throats cause runny noses, however. Forgetting that leads to sloppy thinking.

Proud journalists point out that, in the last hundred years, no peaceful nation with a free press has ever experienced severe famine. They argue that freedom of the press prevents blunders in governmental policy and it allows more efficient advertising and dispersal of commodities like food. But is that true? On the other hand, no country with a tradition of honest, publically monitored elections has ever experienced massive famine in the last hundred years either--at least not in times of peace. Which factor "caused" the surplus agriculture and trade to prevent the fearsome famine? Was it free speech or free elections?

Arguably, neither caused it. Perhaps it's all accidental. Free speech or elections might have no effect on agricultural output. Or have we got our cause and effect backward? Did having sufficient food ensure a stable society so that free speech and democracy could blossom in the first place? Perhaps in famished lands, free speech and free elections fall by the wayside during and after the famine, and thus these hungry countries tend to slide into repressive dictatorships. If that's true, then repressive dictatorships might not actually bring famines upon themselves through clumsy management or a lack of advertising, as earlier suggested.

This is not just a moot intellectual point. Public policy often hinges on spending money to bring about a specific effect. For instance, consider New York City in the 1980s. The city at that time was a dangerous place. Crime was at an all-time high then. Murders, prostitution, and drug-dealing had reached epic levels. New York had tried stiffer penalties, longer jail terms, mandatory counseling, methadone treatments, and a variety of other approaches without denting the ugly problem. Mayor Guiliani hired researchers to come in. What was one of the early findings? Analysts spotted a correlation between graffiti in an inner-city neighborhood and the relative crime-rate in that area. The more graffiti, the higher the crime rate. Treating this as a cause/effect relationship, New York's mayor Guiliani decided to alter the funding for the police department, cutting back money for some types of law-enforcement, pouring money into an city-wide anti-graffiti campaign, and arguing that a cleaner city would diminish the visual "mindset" of crime in the area. He enacted a zero-tolerance policy by prosecuting taggers who painted on public property, and he cleaned up Times Square and the trashiest parts of the city. As overall crime rates dropped in the 1990s, the mayor touted his program as a success.

Impressed and surprised, other cities tried to duplicate New York's approach. They enacted similar financial policies and created similar laws. They hauled in hoodlums and cleaned up graffiti . . . and they all failed miserably. Crime in these cities either remained the same or in one or two cases, worsened slightly, even though the changes they made were nearly identical to that of New York.

What happened? Why couldn't they duplicate New York's success? The problem may be one of false causation. That correlation between the amount of graffiti and the overall crime rate doesn't necessarily mean that graffiti causes crime to happen--no more than the correlation between black eyes and broken noses in people who lose fist fights means that black eyes "cause" broken noses. The crime-rate in an area also correlates to the rate of unemployment, for example, and New York's unemployment was dropping steadily through the 1990s. Perhaps rising employment caused crime to drop at just about the same time the mayor started his anti-graffiti campaign. The rate of drug abuse in a given area also correlates to the number of crimes in that area. The city had started constructing larger drug treatment clinics in the late 1980s after the decade's peak of cocain addiction. Although the construction funding had been spent in the late 1980s without visible effect, many of these clinics actually started operation only two or three years before the fall in crime in the early 1990s. Perhaps after two or three years of treatment, a significant fraction of cured addicts no longer needed to engage in crime sprees to support an expensive and illicit habit. It's not at all clear if there was justone cause--maybe the combination of rising employment, drug clinics, and the mayor's anti-graffiti campaign together had a synergistic effect that was missing in other cities where the anti-graffiti program didn't work. One recent book on applied economic theory, entitled Freakonomics, has gone so far as to suggest plausibly the source of the crime-drop nationwide in the late 1990s and the early 2000s has been an unintentional result or by-product of abortion policies thirty years earlier!

To give a more recent example, on June 28, 2003 Reuters News Agency reported on a Hungarian medical study of 221 men who carried cell phones. The study found that men who carry cell phones in the front pockets of their pants rather than in a jacket or briefcase had a 30% lower sperm count than the average male population as previously measured in 1970. Immediately an outcry appeared to start lawsuits against cell phone companies for causing sterility in men, and some consumer watchdogs called for warning labels on cell phones.

The problem is that the study only found correlations--it did not determine clear causation. As Dr. Hans Evers pointed out, many individuals who carry their cell phones in their pants pockets rather than their jacket pockets do so because they are smokers. They carry their cigarette pack in their jacket pockets instead of a pants pockets--to avoid crushing their cigarettes--and thus must carry the cellphone in their pants instead. It has long been known that smokers have a reduced sperm count. Perhaps smoking caused the lower sperm count rather than position of the cell phone per se. Also, the study did not take into account other factors like stress levels (stress can also cause a drop in sperm count); perhaps the men carried cell phones constantly because of a stressful job in which they needed to stay in contact with a company twenty-four hours a day. Finally, the overall sperm count of men may have dropped locally or globally as a whole since the earlier 1970 findings used as a control--possibly due to the increasing levels of chemical pollution worldwide. (Male alligators in parts of Florida, for example, also have 30% lower sperm counts than they did in the 1970s, but nobody thinks that's a result of their cell phone use!)

The point to all this is that, if you are writing an argument, and you claim a cause-effect relationship exists, you should double-check and triple-check that it is causation and not mere correlation. It's hard to nail down causation conclusively, as evidenced by tobacco company lawyers who argued for forty years that smoking merely "correlated" to lung cancer rather than actually caused it. However, the least you can do is pause and ask yourself what other possible causes exist in addition to the one you point to in a paper. If they do exist, you need to think through the evidence and determine why these other causes are less likely than the one you propose.

Craving for more explanation? Here they are. Credit goes to Khan Academy.


I don't write much this time, but I hope all the stuffs above are enough for your gulp of information. See you around!
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...