Rabu, 30 September 2015

Article#470 - Rises And Sets


It may have been quite late to finally comprehend, but as the lunar eclipse tetrad nears its end, I was struck by the fact that I only managed to watch one of them: the second within the tetrad, occuring on 8th October last year. Actually I am supposedly able to watch two: another one occurs within my range of view on 4th April this year, but my circumstamces at that time rendering such observation not feasible. This doesn't even mention the fact that the particular eclipse, the third within the tetrad, comprises a totality duration of roughly five minutes. A duration comparable to that of total solar eclipse (typical total lunar eclipse brings Moon into darkness of Earth's shadow for about an hour), implying that there's no need to invest much time in this regard.

This particular tetrad kicked in with an eclipse on 14th April, providing the spectacle for those in the Western Hemisphere. This proved to be the case again for the last total lunar eclipse, occurred just days ago on 28th September.
It catched my interest, the fact that I would not be able to see the first and the last of the tetrad. My last lunar eclipse before this tetrad was in June 2011, and given the circumstances, I might not be able to watch another one before at least July 2018.

The image of Moon being immersed deep within Earth's shadow is still not a familiar sight to my puny eyes. The dark patches on the surface of the Moon readily gives away a reddish color when compared to its brighter counterpart. We, as students, may have been told over and over that the reddish, copper-like hue is related to sunlight being scattered by Earth's atmosphere, giving away reddish color to the sight of lunar eclipse.
But only after the last, setting eclipse of the tetrad, only I realized that the reddish hue we see on the eclipsed Moon is the same hue we saw during every sunrises and sunsets.
Esentially, total lunar eclipse is Moon being irradiated by sunrises and sunsets.

image source
Lanjutkan baca »

Minggu, 27 September 2015

Article#469 - Manifestasi


Kita tak perlu menyandarkan jati diri kita pada suatu golongan, tetapi pada gilirannya identitas yang jelas adalah sebuah keuntungan dalam berkehidupan. Biarkan ramai manusia berkalang dalam tindakan yang tak mereka pahami asal mulanya. Kokohkanlah citra jiwa sesuai dengan yang didamba, yang dipercaya, dan tetapkan pendirianmu padanya. Jadikan ia tegas, menyifati dasar secara paripurna.

Kita tak perlu membuktikan segala hal pada segala orang, tetapi memiliki beragam kemampuan dan keterampilan adalah keharusan dalam berkiprah. Biarkan ramai manusia berkeluh kesah akan apa-apa yang tak dicapainya ketika berpangku tangan. Teruslah upayakan perkembangan, mengembangkan kualitas tanpa perlu berkesah akan perjalanan. Perkaya pengalaman, jadikan setiap saat bermakna.

Kita tak perlu menyibukkan diri memikirkan tujuan utama, lagipula banyak hal dapat terlaksana tanpa perlu menanti akhir perjalanan. Biarkan ramai manusia menanti dalam kekosongan karena sibuk menanti ketibaan pada tujuan. Jelajahilah sisi-sisi dunia, beserta segenap sudut memori yang menanti untuk didarasi beragam rupa cerita. Perkuat ikatan, menjaga keeratan dalam setiap kesempatan. 

Kita tak perlu menghabiskan waktu berkubang dalam paradigma, tetapi kematangan dalam bertindak akan menghindarkan dari masalah yang tak diperlukan. Biarkan ramai manusia latah mengerubuti diri dan berkubang tanpa mengubah keadaan masing-masing mereka. Perbanyak wawasan, pastikan diri memahami apa yang diutarakan tanpa dikotori doktrin yang tak jelas juntrungannya. Menjernihkan pandang, mengamat hingar bingar.

Kita tidaklah menghamba kebesaran, tak pula mengerdilkanya. Kita tak memuja kenyataan, tak pula menyerapahinya. Kita berjuang kembangkan jiwa, memberangus apa-apa yang membutakan
Kita menutup lembar pada tujuan, dan menjadikannya nyata.

Toyohashi, 22 September 2015.
Awal dari sebuah perjalanan, menuju akhir cerita.

Lanjutkan baca »

Kamis, 24 September 2015

Article#468 - Stories


After all these years, I can't agree more.
Lanjutkan baca »

Minggu, 20 September 2015

Article#467 - Rekursi

Hari ini hujan kembali membasahi pijakan.
Menapakkan kaki kembali di jalan itu kembali, Idlam mengamati setiap sudut bangunan dan pojok jalan itu. Kota ini, jalan ini, telah menggoreskan sedemikian banyak kenangan berkualitas dari demikian sedikit waktu yang dihabiskan Idlam padanya. Maka, dalam setiap jejak kaki Idlam menapaki selasar jalan, ia juga menapaki kenangan lama.
Menapaki hujan yang membasahi muka bumi di sore itu.
Menapaki perjalanan menuju kepulangan, setelah seharian berkelana bersama ketidaktahuan yang tak menentu.
Mencecap rasa makanan terakhir yang semerbaknya mewarnai benak sepanjang perjalanan pulang.
Mengenang penantian di satu sudut kota itu. Saat rombongan yang mengiring berpisah jalan satu persatu. Saat Idlam menanti, mengamati satu sosok. Mencerabutnya dari kewarasan dalam usaha mengejarnya dalam diam. Mengejarnya terus hingga saat di mana ia berpisah jalan.

If you're leavin', will you take me with you?
....Idlam sudah tahu betul jawaban untuk itu. Tepat di hari itu. Jawaban yang tak pernah berubah dari lima tahun lalu.

*****


Ketika kau mendapati dirimu bertegur sapa dengan Idlam, mungkin kau akan mendapati wujudnya ia sebagai seseorang yang acuh akan sekitar. Terbenam dalam pemikirannya sendiri, terburai dari awang-awangnya sendiri.
Kesan yang biasa ini tak muncul dari sosok Idlam yang menyusuri jalan setapak meninggalkan garbarata bandara, beberapa hari sebelumnya. Mungkin karena tujuan yang lebih jelas dari kunjungannya yang telah lewat? Atau menyesapkan secara takzim bagaimana kota yang didatanginya telah demikian meninggalkan jejak dalam relung jiwanya? Ketika ia hanya menyinggahinya sejenak dalam hitungan jari tangan?
...
Idlam terus berjalan, menepis kegamangan.

***

Langit biru masih menaungi di sela sela awan ketika Idlam terus melangkah, menyusuri jalan menuju tujuannya di siang hari itu. Deru percakapan manusia, ramai langkah dan denting perdagangan, menghiasi perjalanan Idlam di sepanjang jalan.
Lokasi ini, di dekat pusat kota ini, telah dikenal luas sebagai sentra perdagangan terpopuler di seantero kota, hingga salah satu yang terpopuler di negara. Sehingga Idlam mendapati dirinya berjalan di tengah, dan kadangkala memintas, kerumunan manusia yang mengerami seantero jalan. Ada hingar bingar mereka yang bersemangat menyambung hidup, menjajakan dagangan. Ada canda tawa pengunjung yang terkesima dalam menyambangi ramainya kelangsungan kehidupan di sana. Dan ada pula sederetan toko dengan barang unggulan masing masing berjejer di depannya.
Idlam memandangi satu persatu toko dalam deretan tersebut. Membiarkan pandang berkelana menyigi tiap tiap etalase yang terpampang bangga.

Idlam memantapkan kakinya melangkah.

***
Don't you know
The cold and wind and rain don't know
They only seem to come and go away


Mendung sudah bergulung ketika Idlam menapakkan kaki, kembali berjalan meninggalkan selasar pertokoan. Tak butuh lama bagi rintik hujan untuk mulai menderu bersama angin, membasuh sekujur kota di siang hari itu. Hujan, maupun mendung dan segala remang yang menyelimutinya senantiasa diibaratkan sebagai perlambang suasana gundah gulana.
Tetapi Idlam tidak ingin terjebak dalam paradigma.

Hujan dapat dilihat sebagai pelipur lara, pelepas dahaga bagi kerontang rerumputan yang sekian lama terpapar terik siang. Hujan dapat diresapi oleh mereka yang terguyur basahnya, diselami hawa sejuknya ketika menapak becek dalam ceruk di sepanjang jalan.
Dan pada akhirnya, hujan adalah saat di mana berjuta kenangan merasuk dalam sanubari sekian manusia.

...
Hujan terus mengguyur kenyataan sekian juta manusia.
Dan saat Idlam terpekur di halte bus menuju perjalanan pulang, ia mendaras masa silam di sudut kota yang sama.
Mendaras masa lima tahun lalu, di mana ada sosoknya yang terpaku pada bayang yang menghilang.
Mendaras masa dua tahun lalu, di mana ada yang menapak jalan menuju bayang masa lalunya. Bayang yang perlahan meninggalkan kenyataannya, sebelum Idlam sempat membuka mata.

Idlam kembali memeriksa tasnya. Memastikan ransel yang disandangnya tidak dikuyupi butir hujan. Sebelum ia melangkah menuju tujuannya. Menuju kenyataan yang tak pernah dinyana sebelumnya.

Sore itu, hujan terus mengguyur tanpa ragu.
Menerjang kendaraan yang tegar melaju.
Menopang kenyataan yang tak mendayu.

Stand by me
Nobody knows the way it's gonna be


Foto: Berwick Sreet, London. Diambil dari panoramio.com.
Lanjutkan baca »

Jumat, 18 September 2015

Article#466 - Jerebu

Sebagai salah satu warga yang lama menghabiskan hidupnya berkemul di bawah serpih-serpih jerebu metropolitan Jakarta, kesadaran saya cukup tergelitik ketika mendapati informasi akan langit Beijing yang demikian bersih dari polutan dalam dua pekan di akhir Agustus hingga tiga hari pertama bulan September. Beijing, salah satu metropolitan terbesar di dunia, sudah lama berkutat dengan permasalahan jerebu, terutama sepanjang musim dingin. Suhu yang kerap bertahan di bawah nol derajat Celsius (atau bahkan Fahrenheit), pemanas batu bara yang masih marak dipakai di seantero Beijing, ditambah dengan topografi pegunungan yang "mengurung" wilayah metropolitan Beijing, bersama menjadikan jerebu mencapai titik terpekatnya.
Bahkan, jerebu tidak hanya hadir di musim dingin. Perkembangan industri Negeri Tirai Bambu yang sedemikian rupa dalam puluhan tahun terakhir, selain mendongkrak posisi tawar China dalam kancah hubungan internasional, juga mendongkrak tingkat polusi di kota-kota terbesarnya.

Tetapi, dua pekan di paro akhir Agustus 2015 menunjukkan betapa menghilangkan polusi—setidaknya, untuk sementara—tidak sesulit yang biasa dibayangkan.
Pemerintah Beijing memberlakukan larangan berkendara bagi jutaan mobil dari jalanan kota, dan juga menutup pabrik-pabrik dalam persiapan peringatan 70 tahun menyerahnya Jepang dalam perang dunia. Hasilnya? Rentetan hari-hari dengan langit biru. Hal langka bagi sebuah kota dengan belasan juta penduduk, dan jutaan unit mobil yang agaknya tidak dilengkapi pengendali emisi yang terstandardisasi dengan baik.


Seperti bisa diduga, setelah larangan dicabut, Beijing kembali diselimuti jerebu. Tetapi, agaknya hal ini dapat memberitahu, bahwa bagi warga kota, langit biru bukanlah mimpi yang telah hangus.
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Rabu, 16 September 2015

Article#465 - Membumi

Jika ada satu hal yang paling nyata berubah dari penulis dalam hitungan 2-3 tahun ke belakang, jawabannya barangkali adalah tumbuhnya minat dalam mengamati setiap petak demi petak dunia sekitar. Mungkin fotografer berkelas tidak dihasilkan semata oleh kamera berkelas. Akan tetapi, setidaknya bagi penulis, keberadaan kamera berkualitas tinggi ikut menumbuhkan semangat dalam mengabadikan berbagai momen kehidupan yang terus berjalan.
Sekarang, 2-3 tahun berlalu. Foto terus menumpuk entah untuk apa saja, hingga kemudian wadah untuk mendayagunakannya hadir begitu saja (atau begitu banget) bagi tiap-tiap kita. Beragam manusia dari beragam latar belakang agama, budaya, status ekonomi dan sosial, membaur beraneka rupa dalam tiap-tiap wadah yang menampung kesamaan minat pada tiap manusia yang terlibat.

Manusia adalah makhluk sosial, maka ia mendamba interaksi antar sesamanya. Interaksi yang, bagi penulis, terwujud dengan adanya kesamaan minat dan waktu luang antar entah berapa banyak manusia. Kesamaan yang dengan mudahnya menihilkan adanya latar belakang atau masa lalu seseorang, menjadikannya nisbi dalam satu kekaguman yang senada. Satu ketertarikan yang seirama.
Menjadikan tiap manusia kembali bersimpuh di atas tanah, membumi atas kerdilnya mereka di hadapan apa-apa yang mereka muliakan. Apa-apa yang mereka dambakan. Apa-apa yang mereka indahkan.

.....
Berikut, kumpulan foto pemandangan langit yang penulis temui dari para fotografer amatir yang bertebaran di dunia maya. (seluruh foto diambil dengan izin dari pemotret)
Selamat menikmati.

















Lanjutkan baca »

Senin, 14 September 2015

Article#464 - Melangit


Ada kalanya dalam hidupmu, engkau ingin terbang mengangkasa. Sejauh mungkin memerdekakan pijak kaki yang bosan berkalang tanah, lelah oleh legam dunia yang dibuat nista oleh persepsi umat manusia.
Engkau ingin menjalari tubuh rapuh arakan awan, menghembus lembutnya yang mengantarmu ke haribaan impian. Engkau sendiri saja bersama angin, tanpa perlu ambil pusing akan celoteh kehidupan yang terus berkerak. Di sana, di muka daratan, nun jauh di bawah sana.

Engkau ingin terus melaju menembus seantero langit, menikmati kebebasan dari jenuhnya kehidupan. Hingga kesendirian menyergapmu dalam diam, tinggi di langit sana. Dengan kebekuan di sekitar, langit yang tampak tak berbatas bentangnya, dan bumi yang tampak tak berbatas hamparnya.
Engkau bebas, karena tiada sesiapa yang perlu kaupedulikan gerak geriknya.
Engkau bebas. Maka berbahagiakah dirimu dengan kebebasan yang ada?

Tunggu. Benarkah kau sepenuhnya bebas?



















Lanjutkan baca »

Sabtu, 12 September 2015

Article#463 - Bandang

I lost my faith in the summertime
'Cause it don't stop raining
The sky all day's as black as night
But I'm not complaining


September, bagi sesiapa yang telah sedikit lebih lama menikmati belantika seni Indonesia, kerap kali diidentikkan dengan jargon "September Ceria" yang didendangkan Vina Panduwinata. Sementara di negeri samurai ini, September dikenali sebagai bulan terakhir musim panas, atau setidaknya peralihan dari musim panas menuju musim gugur.

Peralihan semacam ini pada umumnya diwarnai dengan kedatangan taifun yang diselingi hari-hari dengan langit biru cerah. Sayangnya, kali ini berbeda: Dengan bercokolnya kembali massa udara di Pasifik Barat dan di Siberia, persaingan antar keduanya kembali menggulirkan jalur hujan untuk kembali bercokol di seantero negeri matahari terbit.
Episode musim hujan kedua ini, dengan hujannya yang sedikit nan berkepanjangan, berakhir dengan kedatangan badai tropis Etau dan hujannya yang melimpah. Saking melimpahnya, sebagian wilayah Jepang timur tak kuasa menampungnya dengan bijak. Air itupun memenuhi sungai-sungai, bahkan hingga sebagiannya terpaksa menumpahkan air ke daerah sekitarnya.

Air bah sungai Kinugawa yang menjebol bendung sungai dan membanjiri
sebagian wilayah kota Joso, Ibaraki, Jepang, 10 September 2015.
sumber gambar

(atas) Ilustrasi terbentuknya jalur hujan dari Badai Tropis Etau yang menghujani
wilayah timur Jepang antara 10-11 September 2015. sumber gambar
(kiri bawah) Pemetaan curah hujan di wilayah timur laut Jepang, pada pagi hari
11 September 2015. Jalur hujan ditandai dengan kotak.
(kanan bawah) Pemetaan daerah rentan banjir/longsor akibat curah hujan, pagi hari
11 September 2015. Jalur hujan ditandai dengan kotak.

"Peringatan darurat luar biasa" (特別警報) yang dikeluarkan setelah
curah hujan di lokasi berkembang menjadi sedemikian deras.
Catatan kondisi cuaca kota Sendai, 11 September 2015. Curah hujan
sempat mencapai angka 50 mm per jam.

Etau memberikan dalah satu episode hujan terderas yang pernah mendera Jepang, dan menyapukan akhir bagi sesi kedua musim hujan untuk tahun ini. Kini, antiskilon Siberia telah kembali meraja, mengibar dedaunan menuju haribaannya dalam musim gugur mendatang.
Sekumpulan dokumentasi terkait kejadian dapat disimak pada tautan berikut ini:
http://www.weather.com/storms/hurricane/news/tropical-storm-etau-japan-flooding-photos
http://mashable.com/2015/09/10/japan-flooding-photos/#NyuCNPXEK8kN
Lanjutkan baca »

Minggu, 06 September 2015

Article#462 - Bukan Konotasi Cerdik

Langit siang cerah, meraja memamerkan benderang ke segenap manusia fana di bawahnya. Ada kemegahan yang terus tersirat dari kemilau biru di atas sana. Kemegahan yang tak sirna ketika arakan awan berbaris menatahi parasnya, malah-malah menambah pesonanya. Aku terkadang membayangkan leluhur manusia sejak dahulu kala mengamati langit dengan perasaan heran dan decak kagum. Akan ketinggiannya yang tampak tak terjangkau. Akan kedalamannya yang terus menyeruak tanpa dasar. Akan segala hal yang tertutupi bias cahaya mentari di siang, dan ditampakkannya dengan hingar bingar malam. Akan segala perubahannya, warnanya, segala dinamikanya yang terus bergulir tanpa pernah sepenuhnya mampu dicerna oleh pengetahuan manusia, bahkan hingga sekarang.

Berangkat dari pemikiran tersebut, aku mendapati orang-orang yang mengistimewakan apa-apa yang ada di “atas” sebagai sebuah keniscayaan. Bahkan lebih jauh lagi, orang kemudian menjadikan arah atas sebagai sesuatu yang istimewa, dan tiap-tiap kebudayaan berlomba membangun monumen setinggi yang mereka bisa. Seolah mencoba menggapai langit, ketika ia tampak terpancang tenang menaungi jiwa-jiwa lemah yang berusaha sekuat tenaga menggapainya.
Jiwa tamak yang sibuk menancapkan cakar-cakarnya melukai wajah angkasa, kemudian juga menancapkan wujud pongahnya dalam pandang tiap-tiap kita. Memercikkan bayang-bayang menjulang yang menghalangi sebagian pandang dari langit di atas sana.

Dari sekian banyak warga yang berlalu lalang di dalam bentang kota, ada saja mereka yang mendamba kekaguman dalam memintas dunia sekitar. Kekaguman yang kadang tercerabik dengan segala macam bentang kepongahan di sekitar. Kekaguman yang kemudian mendorong tiap-tiap mereka untuk meluangkan usaha ekstra untuk sejenak memintas seisi angaksa. Baik menyingkir menuju tanah lapang yang sunyi dari keramaian, atau lebih mudah, menapak tiap-tiap muka tertinggi dari bentang menjulang yang ada.


(isi lengkap menyusul kemudian)
Lanjutkan baca »

Jumat, 04 September 2015

Article#461 - Embarkasi


Sebagian kita terbiasa menikmati persemayaman dalam kenyamanan.
Berkalang dalam apa-apa yang melenakan acapkali digadang sebagai satu dari sekian banyak alasan atas hilangnya produktivitas seorang manusia. Sudah santer terdengar, seruan beragam jiwa yang mengajak manusia untuk meninggalkan dan menanggalkan apa yang disebut "zona nyaman". Dengan dalih mengembangkan diri, kita dituntut untuk meninggalkan zona nyaman, karena di zona itu kita dinilai tidak akan berkarya apa-apa.

Agaknya saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai zona nyaman di sini. Apalagi ketika saya tak tahu benar, apa itu zona nyaman. Bagaimana sebuah kenyamanan dibatasi dengan sekat membentuk zona, dan sekat seperti apa pula yang membatasinya, semua itu masih kabur di mata saya.
Entahlah. Memahami kesemuanya tidak lantas menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di hadapan kita.

Karenanya, kemudian kita menata selimut untuk kembali berkemul dalam kenyamanan yang kita rancang. Menyusun pola dunia sekitar sedemikian rupa, hingga jiwa dan raga seolah menjelma sebagai wujud yang berbeda. Terbang ke awan pun bisa jadi sekadar pelemahan makna.
Menjelajahi kilas demi kilas langkah kehidupan, membawa manusia untuk berkelana dari pemikiran ke pemikiran.

Semua yang terikat pada alam dunia bersematkan kefanaan, maka kita kemudian mendapati diri kehilangan utopia yang terstruktur rapi di sekitar. Kita sampai pada saatnya berangkat. Dari sebuah pikiran ke pikiran selanjutnya. Dari sebuah momen ke momen berikutnya. Dari sebuah jalan cerita, ke jalan cerita penerusnya. Dari kenyataan yang melenakan, pada kenyataan yang mendebarkan.
Kita tidak "kembali" ke dunia nyata, karena kita masih belum berpisah darinya. Yang terjadi hanyalah kita yang senantiasa memaknai dunia nyata sebagai dunia yang keras, penuh lika liku dan pahit getir hidup. Padahal semua bahagia, suka cita, ceria cinta, canda tawa, jugalah kenyataan kita. Kenyataan yang seringkali tergeser sebagai impian, setelah kita disibukkan untuk berkutat dengan apa-apa yang memeras pemikiran.

Mungkin, pernyataan terbaik bagi mereka yang bersiap mengarungi kelanjutan hidupnya, adalah ungkapan syukur atas berwarnanya apa yang telah ia perjalankan. Terlepas dari bahasa takdir yang tak mudah ditafsirkan. Terlepas dari persepsi yang tetap saja kita persangkakan. Terlepas dari segala rupa yang jati dirinya kita perselisihkan.

We live in the shadows and we had the chance and threw it away
And it's never gonna be the same
'Cause the years are following by like the rain
And it's never gonna be the same
'Till the life I knew comes to my house and says hello
It's good to be back

















































Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...