Sabtu, 31 Januari 2015

Article#384 - Menakar Taburan

Masalah klasik musim dingin. Setidaknya ketika bicara musim dingin di negeri samurai.

Dua bagian awal disusun oleh bung Martin Sirait;
bagian ketiga ditambahkan kemudian dari en.rocketnews24.com

Untuk memperjelas konteks:
Sebuah sistem badai menaburkan hujan (baik dalam bentuk cair maupun padat) pada sebagian besar Jepang antara 29-30 Januari 2015. Di Tokyo, yang notabene relatif "hangat", salju turun hingga menumpuk dua senti sebelum disusul hujan. Di Sendai, yang relatif lebih "dingin" dari Tokyo, salju terus bertumpuk hingga menyentuh angka 23 cm.
Di Hokkaido, iklim yang jauh lebih beringas (baca: dingin) bahkan membuat sistem badai semacam ini menjadi tak tampak berarti.
(Sedikit pratinjau mengenai iklim kepulauan Jepang pernah penulis ulas dalam tulisan ini.)

Keberingasan iklim tentu diikuti kesiapan penghuninya, sebagaimana mungkin tersirat dalam meme di atas.
Untuk kasus Sendai, terakhir kali salju dengan tebal setara datang menerjang adalah 5 Januari 2001. Ini dengan mengecualikan badai salju yang lebih besar, tahun lalu; saat itu curah salju sekitar 50% lebih tebal.

sumber gambar

Sebagai pelengkap, berikut kumpulan foto hasil akhir sistem badai terkait di Sendai.
Kedua gambar berikut dijepret oleh bung Sumadianto Eka Putra pada pagi hari 31 Januari 2015.


Kedua gambar berikut dijepret pada 30 Januari 2015. Jangan tanya siapa yang menjepret.


Penutup: Foto jepretan Masuhisa Kimura, 31 Januari 2015.

Lanjutkan baca »

Kamis, 29 Januari 2015

Article#383 - Mengejar Matahari

Derap kereta tanpa lelah berkumandang sepanjang perjalanan. 
Meraja di tengah kesunyian hampar sawah, angin yang menghembus rerumputan kering pun tak digubrisnya. Tak pula awan yang menghampar tiba-tiba, menghamburkan kristal salju sepanjang perjalanan. 
Ia terus berderap. Derap yang terjaga, dengan perhentian yang berkesinambungan. Sebagaimana tapak-tapak yang mungkin merajai daerah ini ratusan tahun sebelumnya. 

Tapak boleh berganti derap, sebagaimana dataran yang tak terjamah kini menjadi hamparan sawah dan rumah. Tetapi agaknya tanah yang menggeliat dalam diam di bawahnya, tempat pijakan mereka semua, masihlah tanah yang sama.
Bahkan, Matahari yang tampak beredar di balik arakan awan, masihlah Matahari yang sama.


***
Aobayama, Sendai. 11 Desember 2014, 12:22 (UT+9).
Di sini ada satu kisah
Cerita tentang anak manusia
Menantang hidup bersama
Mencoba menggali makna cinta

Kita agaknya telah terbiasa mengakrabi sang surya. Entah dengan cara berkalang terik panasnya setiap siang, atau memandanginya dalam tiap fajar dan senja. Ada yang menikmati perubahan semunya dari semburat fajar hingga temaram senja. Atau mungkin dengan memperhatikan bagaimana cuaca berubah, mengelola kadar sinar yang tercurahkan.
Saking akrabnya, bahkan kita tanpa sadar menempatkan keberadaannya dalam alam bawah sadar. Peredaraannya dari ufuk timur ke ufuk barat dalam keseharian, terpaan sinarnya yang menyilaukan kedua mata, menjadi bagian tak terpisahkan bagi sekian miliar umat manusia.

Kita biasa berinteraksi dalam banyak hal. Berinteraksi dalam sedemikian banyak hal yang serupa dalam waktu lama, mungkin akan membuat kita terbiasa dengan rutinitas yang ditimbulkannya.
Ada yang kemudian menjadikannya sebagai pangkal kejenuhan, yang pada giliran mendorong bergulirnya perombakan secara berkala,
Ada yang kemudian menjadikannya sebagai sesuatu yang 'biasa', kehilangan makna karena demikian sering dijumpa.
Ada yang kemudian menjadikannya sebagai pangkal perenungan, atas bergulirnya keseharian dalam konsistensi yang ketat bertahan.
Ada entah berapa banyak skenario lainnya.

Memilih untuk bosan akan sinar Matahari agaknya tidak begitu mudah, apalagi bagi orang Indonesia yang secara umum senang bersosialisasi. Masa' saya harus pergi ke luar Tata Surya? Bekasi aja susah.
Maka, ketika kita terbiasa disoroti sinar mentari, agaknya banyak di antara kita yang memilih untuk menjadikannya sesuatu yang biasa. Mereka tatap langit, silau, oh iya lagi cerah, panas ya hari ini. Penunjuk waktu yang telah tergelang dalam arloji mereka, atau tergeletak dalam layar-layar gawai dalam kantong mereka, kian merenggut peran penting sang surya dalam keseharian masyarakat. Di samping tiap-tiap kita (atau mereka) yang biasa memantau pergerakannya untuk waktu ibadah, mereka yang tidak berkesempatan mengakrabi layar kaca di zaman dahulu hanya memiliki Matahari, juga Bulan, sebagai penunjuk waktu.

Sebagaimana kata orang, kita memang terbiasa memandang sebelah mata akan apa yang menjadi keseharian. Melihat arakan awan dan menganggapnya biasa. Melihat berkembangnya tumbuhan dan menganggapnya biasa. Merasakan deru angin dan menganggapnya biasa. Merasakan bergulirnya kehidupan dan menganggapnya biasa. Merasakan hangat sinar mentari dan menganggapnya biasa.
Kenapa kata 'biasa' jadi terdengar membosankan, ya? 

Entahlah, saya tidak yakin.

Maka kemudian sebagian dari kita memilih untuk memperbarui beragam 'kebiasaan' yang ada.
Mengamati sinar mentari dalam mata yang berbinar penuh kekaguman.
Mengejar mentari hingga sampai ke haribaannya di ufuk senja.
Dan entah kemungkinan lain macam apa.

Tetes air mata
Mengalir di sela derai tawa
Selamanya kita tak akan berhenti mengejar
Terus mengejar
Matahari

Aobayama, Sendai. 24 Oktober 2012, 09:59 (UT+9).
Kawauchi, Sendai. 26 Oktober 2012, 14:45 (UT+9).
Kawauchi, Sendai. 29 Oktober 2012, 16:02 (UT+9).
Komegafukuro, Sendai. 31 Oktober 2012, 15:18 (UT+9).
Kawauchi, Sendai. 8 November 2012, 12:58 (UT+9).
Nishi Koen, Sendai. 9 Januari 2013, 15:16 (UT+9).
Kita-ku, Sapporo. 12 Februari 2013, 07:05 (UT+9).
Sapporo Dome, Hitsujigaoka, Sapporo. 12 Februari 2013, 08:01 (UT+9).

Meijo Koen, Nagoya. 30 Maret 2013, 15:14 (UT+9).
Sanjomachi, Sendai. 17 Oktober 2013, 06:18 (UT+9).
Sanjomachi, Sendai. 27 November 2013, 15:47 (UT+9).
Sanjomachi, Sendai. 14 Desember 2013, 07:22 (UT+9).
Komegafukuro, Sendai. 27 Januari 2014, 16:22 (UT+9).
AER Sendai. 13 April 2014, 15:43 (UT+9).

Pantai, Miyagino-ku, Sendai. 17 Mei 2014, 16:06 (UT+9).
Sanjomachi, Sendai. 11 Juli 2014, 18:55 (UT+9).
Nishi Koen, Sendai. 1 Agustus 2014, 18:10 (UT+9).
Fujisan. 3 Agustus 2014, 04:46-05:02 (UT+9).
Kelapa Dua, Tangerang. 17 September 2014, 06:07 (UT+7).

Pogung Lor, Sinduadi, Sleman, DI Yogyakarta. 21 September 2014, 16:45 (UT+7).

AirAsia D7546, Laut Filipina. 27 September 2014, 05:15 (UT+8).
Sanjomachi, Sendai. 14 Oktober 2014, 08:03 (UT+9).
Tohoku Honsen, Nagamachi, Sendai. 27 Desember 2014, 07:14 (UT+9).
Tokaido Honsen, Toyohashi. 1 Januari 2015, 15:55 (UT+9).
Lanjutkan baca »

Jumat, 23 Januari 2015

Article#382 - Kontras

Konon, di negeri samurai berkumandang luas sebuah peribahasa tentang pancang yang menyembul di atas rekan-rekannya sesama pancang yang lain. Legenda mengatakan, tiap-tiap pancang yang dipergoki menyembul di atas rekan sejawatnya itu, akan dipalu hingga ia terhunjam lebih dalam ke tanah, sampai tingginya setara dengan rekan sejawatnya.
Banyak yang menerjemahkannya sebagai upaya memberangus perbedaan, dan menjadikan wajah masyarakat sebagai kesatuan yang homogen.

Meskipun demikian, konon ada keping cerita lain yang mengutarakan bahwa ketika pancang yang menyembul akan dipalu menghunjam tanah, pancang yang demikian tingginya menyembul di atas kepala rekan sejawatnya akan dibiarkan, tanpa dipalu. Setidaknya, tidak segera. Agaknya, di titik tersebut memalu menjadi demikian menghabiskan usaha.

Maka kita berkelana menjelajahi sisi lain dunia.
Di negeri yang dikenal dengan nama "Tanah Es", kau justru tak banyak mendapati es terbaring di sekujur permukaannya. Es yang menggeletak abadi sepanjang kalender bergulir hanya akan kaujumpai di puncak-puncak tertinggi negeri ini, meski tiap musim dingin seluruh penjuru negeri mendapat jatah kristal beku masing-masing.
Puncak-puncak tertinggi di negeri ini tumbuh besar dari suplai batuan cair yang memberinya gizi untuk tumbuh besar, melelerkan beragam rupa rempah letusan. Menjadikan negeri Tanah Es ini negeri yang senantiasa dinamis dengan segala macam atraksi alam, yang disajikan baik dari bawah, atau dari atas tanahnya.

Di negeri ini, juga di negeri-negeri lainnya di seantero dunia, temperatur yang menyembul tinggi di atas temperatur tiap kontur tanah di sekitarnya akan segera dibenamkan. Terus, hingga kembali seragam dalam segala arah.
Akan tetapi, di negeri ini, akan ada saat-saat tertentu di mana temperatur di satu titik menyembul demikian tingginya. Demikian tinggi, kebekuan di sekitarnya tak mampu menandingi tingginya temperatur di sana. Dia menjadi demikian berenergi, disuplai gizi dari perut Bumi.

Barangkali benar adanya, bahwa dalam hitungan peredaran Bulan, ataupun peredaran Bumi, kebekuan yang biasa menyelimuti negeri Tanah Es ini akan kembali membekukan temperatur setinggi batuan leleh sekalipun.
Tetapi, sementara batuan leleh belum menjadi batuan beku, ada banyak pertunjukan yang menantimu berkunjung.

Citraan satelit MODIS milik NASA akan pulau Islandia, 18 Januari 2015, 12:55 UT.
Lava hasil letusan di padang lava Holuhraun tampak sebagai noktah hitam. di tengah pulau Islandia.
Gambar disadur dari situs Veðurstofa Íslands pada 20 Januari 2015.

Citraan lebih detail akan sebaran lava segar di padang lava Holuhraun, Islandia.
Diunggah di laman Veðurstofa Íslands pada 22 Januari 2015.


Citra pusat erupsi di padang lava Holuhraun, 22 Januari 2015. Dipotret oleh Morten S. Riishuus.
Sudut pandang lain dari pusat erupsi tercantum di dokumen ini.

Citra pusat erupsi yang sama dengan gambar sebelumnya, pada 13 Desember 2014.
Aktivitas erupsi terlihat lebih bergelora dibanding sebulan setelahnya.
Dipotret oleh Iurie Belegurschi.
Lanjutkan baca »

Senin, 19 Januari 2015

Article#381 - "Mereka Bilang Saya Gila"

"Saya sudah menggoblokkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum menggoblokkan orang lain."

"Banyak orang bilang saya gila, hingga akhirnya mereka dapat melihat kesuksesan saya karena hasil kegilaan saya."

"Orang pintar kebanyakan ide dan akhirnya tidak ada satu pun yang jadi kenyataan. Orang goblok cuma punya satu ide dan itu jadi kenyataan."

"Saya bisnis cari rugi, sehingga jika rugi saya tetap semangat dan jika untung maka bertambahlah syukur saya."

"Sekolah terbaik adalah sekolah jalanan, yaitu sekolah yang memberikan kebebasan kepada muridnya supaya kreatif."

"Orang goblok sulit dapat kerja akhirnya buka usaha sendiri. Saat bisnisnya berkembang, orang goblok mempekerjakan orang pintar."

"Setiap bertemu dengan orang baru, saya selalu mengosongkan gelas saya terlebih dahulu."

"Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya nggak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Ngapain mikir, kan cuma selangkah."

"Orang goblok itu nggak banyak mikir, yang penting terus melangkah. Orang pintar kebanyakan mikir, akibatnya tidak pernah melangkah."

"Orang pintar maunya cepat berhasil, padahal semua orang tahu itu impossible! Orang goblok cuma punya satu harapan, yaitu hari ini bisa makan."

"Orang pintar belajar keras untuk melamar pekerjaan. Orang goblok itu berjuang keras untuk sukses biar bisa bayar pelamar kerja."

Agaknya, masyarakat lebih membutuhkan nasihat yang menghujam keras ke ulu hati. Tetapi, mereka pada tidak sadar, dan menggantungkan semangat mereka pada nasihat yang mendayu-dayu tanpa nyali.
Atau mungkin hanya saya yang kurang memahami.

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Sabtu, 17 Januari 2015

Article#380 - Bermain Cahaya


Kita agaknya sudah jamak memahami, bahwa variasi paparan cahaya Matahari atas muka Bumi ikut menyetir pergantian musim. Mendingin ketika paparan tersebar lebih luas, memanas ketika paparan lebih terfokus.
Tetapi, agaknya kita jarang mendengar efek timbal baliknya. Bahwa udara dingin pagi hari dapat mempengaruhi Matahari; meskipun terbatas pada kenampakannya.

Foto di atas dipotret dari Red River, New Mexico, AS, pada pagi buta 9 Januari 2015. Joshua Thomas, salah satu orang yang cukup beruntung untuk melihat langsung fenomena tersebut, cukup dibuat bingung oleh apa yang ia lihat. Dikirimnya foto terkait ke National Weather Service untuk mendapat kejelasan akan apa yang sebenarnya terjadi.

Sederhananya, dalam foto tersebut termuat sembilan fenomena optis yang terbentuk sekaligus dalam satu kesempatan. Berkas cahaya Matahari yang sedang dalam perjalanan menuju muka Bumi dipantulkan ke sana kemari oleh kristal-kristal es yang tersebar di atmosfer. Posisi Matahari yang relatif masih rendah di langit, ikut mendukung terbentuknya beragam macam kenampakan yang mendampingi Matahari sejati di pagi itu.

Matahari terbit yang terlihat indah? Mungkin beberapa dari kita akan berpikir ulang ketika melihat lansekap daerah yang terekam dalam foto.
Memang, kenampakan semacam ini hanya terbentuk dalam kondisi dingin; dalam suhu satuan hingga belasan derajat Celsius.... di bawah titik beku.

Bagaimana? Berminat menjauhi khatulistiwa?

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Rabu, 14 Januari 2015

Article#379 - Kutipan Hari Ini

"Bahwa sejatinya "Apa kabar?" adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, kecuali jawabanmu cuma untuk berbasa basi juga."

~dikutip dari kata-kata Agus Hadi Sujiwo alias "Sujiwo Tejo" (b. 1962), seniman dan budayawan Indonesia. Dikutip pada 20 November 2014, 06:18 (UT+9), dengan sedikit pengubahan.

sumber gambar


...
Jadi, apa kabar?
Lanjutkan baca »

Minggu, 11 Januari 2015

Article#378 - Days of Past Future



This kind of topic will probably make for a nice little chat in a tranquil night. A sip of warm tea, nightly breeze, stars' twinkles. Exchanging ideas, sharing memories, forgetting about no tomorrow. All that kind of details.
.....
.....
On the side note, I proudly claim that I have done all the mentioned stuffs within the post.  Except, maybe, that last question.
What exactly were we thinking? Did we even think of anything, back in the days?

This post ain't gonna be one for remorse, so leave the answer still in your mind.

I wanna talk tonight
Until the mornin' light
'Bout how you saved my life

You and me see how we are

(image source)
Lanjutkan baca »

Rabu, 07 Januari 2015

Article#377 - Seniman Kecil




Ada waktu-waktu di mana seorang anak manusia mulai menumpahkan kreativitasnya pada ragam media di sekitar.
Bagi anak yang satu ini, ragam kendaraan sudah sejak dini diminatinya. Maka kreasi yang pertama-tama ia tumpahkan tidak jauh menyimpang dari ketertarikannya. Bukan pakem dua gunung yang membosankan, dengan matahari di tengahnya itu.

Sebuah syukur, karena memulai dengan pembaruan. 
Sebuah doa, supaya dikembangkan secara berkesinambungan.

Lanjutkan baca »

Minggu, 04 Januari 2015

Article#376 - Crescents


Let's just say that our eyes are used to see crescents. Either the one hovering near the dangling sunlight, or the one looming near the glowing horizon.
Now, let's just say that we already had enough of seeing a crescent at a time. In that case, our Hungarian fella Pál Váradi Nagy is more than ready to present you an image of one. Um, no, two crescents in one image. (It's a montage — click this link for more explanation)

In the image, the big crescent is evidently our good ol' Moon in its waxing crescent stage. How about that small crescent on the lower right corner? It's the dear "morning star" Venus – magnified good enough to present its appearance of a crescent, instead of a bright star as we used to see (in case you ever saw it, of course).
If you look back to the study of planets somewhere in the ol' school times, you might recall that this Venus is the very one called "Earth's twin" in several occasions within your textbooks. While that term is relatively true if you compare the two planets' mass and size, the resemblance stops there, as we got to know more about the presumably "loving" planet, as the name portrays. (Ever since, the term "Earth's twin" is preferably used in articles referring to potentially habitable "exoplanets" — namely, planets orbiting a star aside of our own Sun.)

Recall once more, that the dear Venus is similar in size and mass to our mighty Earth. That translates to about four times as big as the good ol' Moon.
Yet, in the photograph, the dear Venus is strikingly smaller than the Moon.
It means, we're seeing a crescent Moon, and a crescent of a planet, much farther out than the Moon; that should suffice of an explanation.

Yeah, it's good to know some clump of rocks here and there. But why so far out? What will we discover as we go straight out to those clumps?
Well, let me tell you. It's... virtually nothing. Like, just "empty".
You might have guessed if that is the reason we call it "outer space" — it is mostly just space.
But... so does the atoms composing everything we see. Mostly empty space.
.....
or, is it?
Well, that is technically correct from a perspective of the ol' school physicist. This perspective provided by From Quarks and Quasars may beg to differ.
Okay, enough with the quantum physics stuff. Most of us will probably not going to find "gluon" useful in any extent whatsoever. What the heck is "gluon" anyway, a brand new glue?

...
...
From our simple perspective, it should suffice to say that, conceptually, we're just empty spaces. Living among the empties, trying to establish our own way to connect the voids.

We, conveyed by the emptiness, may just be a never-ending fluctuations cancelling out of each other.
And we, condescend to the emptiness, may just burst the interactions we supposedly maintain.


Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...