Minggu, 10 Juli 2016

Article#565 - Beau Jeu (1): Prélude

[DISCLAIMER: Jika Anda sekalian yang mampir ke laman ini hendak mencari informasi tentang pendaftaran visa Schengen dan tidak berminat membaca informasi lain, silakan singkap tulisan ini hingga Anda menemukan tulisan bercetak tebal selanjutnya.]

"Jadi bagaimana? Tertarik bergabung?" 
Kalimat itu meluncur mengarungi segenap ruangan. Beberapa jiwa yang masih berkutat mengelilingi meja pertemuan itu menggerakan perhatian mereka. Menyusur, mengikuti arah pertanyaan, menuju pemuda tanggung yang tengah meracik jawabannya.

"Saya pertimbangkan dulu," jawab si pemuda asal-asalan. Ingatan akan kegiatan serupa yang berlangsung lima bulan sebelumnya sedikit memunculkan keraguan akan niatan bergabung. 

Hari itu, 26 April. Di mana musim semi beranjak mendekati akhir. Di mana perjalanan baru siap bergulir.

*****

Tulisan pertama dari tiga bagian.



Berkecimpung di dunia lab universitas di tahun terakhir perkuliahan, berarti saya berkesempatan untuk terjun langsung memasuki dunia akademika dengan citarasa Jepang yang khas. Juga berkesempatan untuk mencecap rasanya berkutat dengan ritme kehidupan a la dunia riset, dengan segala macam riset, analisis dan presentasi yang siklusnya terus mengular silih berganti.
Sebagai tata cara baku untuk bisa meloloskan diri dari pergulatan dunia kampus, saya memasuki salah satu dari sekian banyak lab yang tersedia untuk disusupi demi menuntaskan masa akhir perkuliahan di negeri samurai. (Lho? Kuliah?)

Meskipun saya memasuki lab terkait sebagai mahasiswa sarjana tahun keempat, memasuki lab riset aktif berarti saya akan terekspos pada pergulatan dunia riset yang sesungguhnya. Terlebih jika menilik fakta bahwa profesor saya sendiri menghabiskan hampir separo waktunya menghadiri riset atau konferensi di luar negeri, dan bahwa rekan-rekan sesama mahasiswa di dalam lab sesekali menghilang dari peredaran dalam beberapa waktu. Tak pelak, hal yang sama kemudian juga saya alami di paro awal November 2015 lalu. Dengan terkantuk-kantuk lelah, saya terseret ke dalam ritme riset yang tak mengenal paparan sinar matahari dan pola hidup manusiawi di suatu pojok terpencil di prefektur Hyogo, Jepang. Merasa melewatkan liputannya di blog? Jangan khawatir, saya memang tidak menuliskan apapun tentangnya. Tidak ketika saya merasa perlu mengambil libur tiga hari supaya kepala sedikit waras.

Berangkat dari pengalaman tersebut, ketika tawaran untuk berpartisipasi dalam sebuah riset datang untuk kedua kalinya, sikap yang saya ambil pada awalnya adalah mengatakan tidak dengan penuh keyakinan. Saya tidak butuh menjebak diri di suatu pojok terpencil negeri selama tiga pekan untuk mencurahkan segenap waktu berkutat dengan riset yang tidak saya cintai. Heah.
Namun semua keyakinan tergoyahkan dengan pemberian satu informasi penting:
Eksperimen akan dilangsungkan di Prancis. Tepatnya, di Synchrotron Soleil.
Bahkan sekadar informasi bahwa eksperimen akan dilangsungkan di luar Jepang sudah lebih dari cukup untuk menggoyahkan pendirian saya. Apalagi jika mengingat bahwa peluang bergabung dengan eksperimen di luar negeri merupakan salah satu penarik utama bergabungnya saya di lab saya kini, Ueda Lab. Tak pelak, saya hanya bisa mengganti jawaban tidak yang sebelumnya siap saya utarakan dengan yakin, menjadi kalimat normatif "akan saya pikirkan nanti".
Dan saya tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan diri menerima tawaran tersebut. Tawaran ini berarti kesempatan untuk menjejak tanah Benua Biru lebih awal dari apa yang saya canangkan sebelumnya, yang meliputi rencana kelanjutan studi yang bahkan sama tidak pastinya dengan berbalas atau tidaknya rasa ini.
Dibayari, pula. 
Maka nikmat manakah yang kamu dustakan?

[Informasi terkait pendaftaran visa Schengen yang saya tempuh dimulai dari bagian ini. Harap diperhatikan bahwa informasi di bawah benar setidaknya hingga Mei 2016, dan pendaftaran visa dilakukan di Kedutaan Besar Prancis di Tokyo, Jepang. Dokumen yang diperlukan dan metode pengurusan bisa berbeda bergantung waktu pendaftaran dan negara tujuan dalam visa Schengen.]

Sebagai warga sebuah negara yang paspornya tergolong mempunyai daya tawar lemah dalam percaturan dunia imigrasi internasional, tentunya langkah yang cukup bijak saya ambil selanjutnya adalah memastikan saya bisa memasuki wilayah Prancis. Simpelnya, saya harus mendapatkan visa Schengen untuk memasuki wilayah Prancis.
Dasar saya tinggal di negara yang paspornya kuat, pernyataan bahwa saya akan perlu mendaftar visa sempat memunculkan raut muka kebingungan di dalam ruang pertemuan lab. Beruntunglah saya, mereka masih cukup baik untuk membantu mencarikan informasi pendaftaran visa dan segenap dokumen yang saya perlukan untuk melengkapi proses pendaftaran.

Pada dasarnya, segala informasi yang diperlukan untuk mempersiapkan dokumen visa dan mendaftarkannya ke kedutaan besar Prancis dapat diperoleh dengan mudah di kedua tautan berikut:
Prosedur pendaftaran visa yang dimaksud pun sebenarnya cukup sederhana. Prinsipnya hanyalah mendaftar visa dengan menetapkan waktu kedatangan, datang tepat waktu dengan membawa segala dokumen yang diminta langsung ke kedubes, dan kemudian menunggu informasi diterima atau ditolaknya visa (yang bisa diperiksa melalui tautan ini).

Meskipun info dapat disimak dengan baik di kedua tautan yang telah saya berikan di atas, mengingat banyaknya kelas menengah ngehe yang malas menelusur informasi saya rasa bukanlah masalah besar untuk melampirkan daftar dokumen yang diminta oleh kedubes Prancis di Tokyo. (Prosedur pendaftaran visa Prancis di Jakarta dapat disimak dari tautan berikut)
  • Dokumen pendaftaran visa Schengen yang telah diisi dan ditandatangani. Dokumen harap diisi menggunakan pulpen dan ditandangani dengan tandatangan yang sama dengan tadatangan paspor.
  • Pas foto diri berwarna, ukuran 3.5 x 4.5 cm. Harap diperhatikan bahwa latar belakang foto haruslah warna putih atau warna cerah lain.
  • Paspor yang masih berlaku setidaknya 3 bulan setelah keberangkatan dari wilayah berlakunya visa Schengen. Pastikan masih ada setidaknya 4 halaman kosong di paspor, dan berikan kopi halaman identitas diri beserta tanda tangan.
  • Uang tunai setara €60 untuk biaya pengajuan visa. Harap diperhatikan bahwa uang ini tidak dapat dikembalikan meskipun pengajuan visa ditolak.
  • Bukti identitas diri. Umumnya ini berarti kartu identitas utama seperti KTP, khususnya kartu identitas yang dikeluarkan negara tempat kedubes berada. Siapkan juga kopinya.
Setelah berurusan dengan dokumen wajib, kini waktunya untuk dokumen pendukung. Dokumen yang disebutkan dalam daftar di bawah adalah dokumen yang saya berikan ketika mendaftar visa untuk keperluan turisme.

  • Surat keterangan berkuliah (在学証明書 dalam bahasa Jepang) sebagai bukti bahwa saya bermukim di Jepang dalam rangka menjalankan kuliah di Jepang. Sejauh yang saya amati, di beberapa universitas negeri di Jepang, surat semacam ini sangat mudah diperoleh. Bahkan kita bisa memperolehnya secara mandiri di mesin pencetak surat yang diletakan pada titik-titik tertentu di seantero kampus.
  • Surat undangan dari ketua tim riset, karena sejatinya saya akan diberangkatkan ke Prancis untuk berpartisipasi oleh sebuah proyek riset yang diikuti lab saya terlepas dari apa yang sebenarnya saya lakukan di sana
  • Surat keterangan keanggotaan di lab sebagai bukti saya tergabung dalam Ueda Lab sebagai seorang mahasiswa sarjana tahun terakhir. Dalam kasus saya, surat ini juga digunakan untuk memberitahukan bahwa biaya perjalanan saya akan ditanggung oleh pihak kampus. Hal yang, selain sangat menguntungkan bagi saya, juga diperlukan dalam bagian dari dokumen pendukung prosedur pengajuan visa.
  • Bukti pembayaran asuransi perjalanan internasional. Dalam perjalanan ini, saya memanfaatkan rekomendasi dari pihak lab untuk mendaftar asuransi melalui International Medical Group (IMG) Europe Ltd. Prosedur pemesanan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, bermodalkan kartu kredit tentunya.
  • Bukti pemesanan hotel untuk penginapan. Sebenarnya untuk kasus saya, telah jelas tercantum di surat undangan bahwa saya akan mendapatkan fasilitas penginapan di dalam kompleks Synchrotron Soleil. Meskipun demikian, karena saya memutuskan untuk menambahkan satu hari ekstra untuk tinggal di Prancis, saya akan membutuhkan hotel sebagai tempat menginap di satu hari tersebut. Bukti adanya tempat menginap ini perlu dilampirkan sebagai bagian dari dokumen pendukung.
  • Bukti pemesanan tiket pesawat, terutama yang jelas mencantumkan tanggal keberangkatan dan tanggal kepulangan. Konon sekadar bukti pemesanan sudah lebih dari cukup, akan tetapi karena saya berurusan dengan agen perjalanan dalam urusan ini, tepatnya H.I.S. Corporation Ltd., mau tak mau saya harus membayar tiket tersebut sebelum saya berkesempatan mengajukan permohonan visa. 
  • Fotokopi halaman terakhir buku tabungan, khususnya untuk menunjukkan saldo termutakhir akun bank. Dalam aplikasi saya pribadi, saya turut menyertakan apa yang disebut bank statement, yang pada dasarnya mencantumkan informasi yang tepat sama dengan informasi dari buku tabungan, hanya saja dikeluarkan secara khusus oleh pihak bank.
Dokumen sudah lengkap? Kini waktunya bagi saya untuk menceritakan bagaimana prosedur pengajuan visa saya laksanakan.

***

Sebagaimana telah saya sebutkan di bagian sebelumnya, setiap pemohon aplikasi visa Prancis diwajibkan membuat appointment alias perjanjian dengan pihak kedubes sebelum hadir membawa dokumen yang diperlukan. Tentu saja, karena kita berurusan dengan instansi macam kedutaan, pengurusan hanya bisa dilakukan di hari kerja. Karena kedutaan Prancis terletak di kota Tokyo, sementara saya berdomisili di kota Sendai, pergi mengurus visa berarti saya akan memakai satu hari kerja untuk pergi ke Tokyo mengurus visa; berangkat menggunakan bus Kamis malam dan pulang pada Jumat malam. Bagi saya pribadi, ini berarti urusan akan lebih mudah jika dikerjakan di penghujung hari kerja, alias hari Jumat. Dengan memperhitungkan segala waktu yang saya perlukan untuk mempersiapkan dokumen-dokumen terkait, saya tetapkan tanggal 13 Mei sebagai hari di mana saya akan melangsungkan pengajuan visa.
Waktunya? Paling mudah tentunya pagi hari; saya baru akan sampai di wilayah Tokyo pada Jumat pagi, sehingga pengurusan pada pagi hari akan mengurangi waktu tunggu saya di pagi hari, dan membuat jadwal saya di sisa hari lebih longgar.

Singkat cerita, berangkatlah saya menuju Tokyo, menuju kedutaan besar Prancis untuk mengurus visa Schengen.

Isi email pengingat waktu perjanjian pengajuan visa di.... Konsulat Prancis di Tokyo?

....Ya, kedutaan besar Prancis...?
Entahlah.

Kedatangan saya sekitar pukul 8.45 di depan pintu kedubes Prancis disambut dengan tatapan dingin sang penjaga kedubes yang menyuruh saya untuk menunggu hingga pintu ruang pengajuan visa dibukakan. Sekitar lima belas menit menunggu dihabiskan dengan mengamati beberapa "bule" (yang saya asumsikan adalah warga Prancis karena alasan yang sangat jelas), juga dengan menyaksikan beberapa orang lain yang bernasib serupa dengan saya: menunggu di depan gedung kedubes dengan map berisi dokumen pengajuan visa di tangan.
Dua-tiga menit selepas pukul sembilan pagi, kami para pemohon dipersilakan masuk ke dalam ruangan dengan alat pemindai memeriksa barang bawaan kami.

Tak butuh lama bagi kami untuk menunggu di dalam, karena secara bergantian kami para pemohon dipanggil untuk mendatangi loket-loket yang tersedia di sisi lain ruangan.
Prosedur pengajuan visa sendiri sederhana saja: memberikan semua dokumen yang diminta, menjawab beberapa pertanyaan yang sesekali dicetuskan oleh sang petugas, membayar biaya aplikasi visa, dan melenggang keluar dari bangunan kedubes.
Hanya saja, saya merasa perlu membahas beberapa hal terkait prosedur pengajuan visa:
  1. Pentingnya menyiapkan pas foto yang sesuai dengan kriteria; foto berwarna dengan latar belakang warna cerah. Pas foto saya berakhir dengan latar belakang biru yang cukup tegas, yang secara teknis tidak memenuhi syarat yang diminta. Artinya, saya harus mengambil pas foto baru. Untungnya, di loket pengajuan visa, kamera telah disiapkan untuk menjepret foto pemohon dengan latar belakang warna putih. Ruginya, pas foto yang dimasukkan ke dalam aplikasi tidak dikembalikan ke pemohon. Sehingga satu dari tiga pas foto yang telah saya cetak terbuang sia-sia. Atau tidak, karena dari kejadian itu ada hikmah yang bisa saya dapatkan.
  2. Pentingnya menyiapkan kopi dari dokumen-dokumen yang disiapkan. Pada dasarnya, kebijakan kedubes Prancis di Tokyo (dan mungkin kedubes negara lain di tempat lain) menetapkan bahwa pihak kedubes tidak menyediakan jasa fotokopi. Ini berarti segala dokumen asli yang diberikan tanpa kopi akan dianggap sebagai bagian dari dokumen asli, alias tidak perlu dikembalikan. Untuk ini perlu berhati-hati.
  3. Jika kamu tinggal cukup jauh dari kedubes, ada baiknya mencari tahu kalau kalau kamu tidak perlu datang ke kedubes untuk kedua kalinya. Untuk kasus kedubes Prancis di Tokyo, jelas tercantum bahwa pemohon visa diberikan hak untuk meminta paspor yang telah diberi visa dikirim langsung ke alamat rumah. Bermodal amplop Letter Pack merah seharga 540 yen yang diberikan bersama dokumen-dokumen, saya tidak perlu lagi mendatangi kedubes Prancis untuk mengambil paspor yang telah dipasangi visa, karena paspor akan dikirim langsung menuju rumah. Tentu saja alamat rumahmu harus tertulis jelas di amplop tersebut, dan amplop ini harus disiapkan sendiri.
Prosesi pengajuan visa berlangsung tak lebih dari 30 menit. Tak lama setelah saya mulai memasuki gedung kedubes Prancis, saya telah mendapati diri saya melenggang di bus menuju Shinjuku. Sisa hari saya lewati dengan berkelana mengunjungi beberapa titik, seperti kampus Tokodai (東工大, Tokyo Institute of Technology), dek pengamatan dari gedung pemerintah Metropolitan Tokyo (東京都庁 Tōkyō Tochō) dan satu-dua resto.
Singkat cerita, saya bertolak ke Sendai pada Jumat malam, dan paspor yang telah dibubuhi visa sampai ke rumah saya pada Rabu siang, 18 Mei.

Didapatnya visa Schengen berarti bagian terpenting dari pra-perjalanan telah terlaksana; apalagi mengingat pengajuan visa memerlukan tuntasnya beberapa hal penting seperti pengurusan tiket pesawat dan penginapan. Selebihnya hanyalah hal remeh-temeh macam persiapan jelang riset, baik itu berupa orientasi fasilitas riset, pengenalan akan topik riset yang akan dikerjakan selama dua minggu di Benua Biru, dan segala macam hal lain yang rasanya tidak cukup penting untuk dibahas di sini.

Sebagai penutup, saya akan suguhkan gambar berikut.



Di bagian berikutnya, tulisan ini sudah akan melanglang buana dari Benua Biru sana.
Sampai jumpa!
Lanjutkan baca »

Rabu, 06 Juli 2016

Article#564 - Konspirasi, Buat Apa?

Konspirasi. Mencetuskan kata ini kepada orang-orang di sekitar dapat memicu beragam tanggapan. Baik tanggapan a la orang lelah, tanggapan penasaran, atau tanggap bersegera menjadikannya kiblat kebenaran. Atau mungkin akan ada yang bertanya-tanya, makhluk apa itu?
Menurut KBBI, makna "konspirasi" adalah komplotan, atau persekongkolan. Dalam dunia populer, konspirasi lebih dikenal dalam wujudnya sebagai "teori konspirasi", yang kalau dimaknai secara bebas berarti teori*) akan adanya komplotan atau persekongkolan. Lebih khusus lagi, komplotan atau persekongkolan kelompok tertentu yang konon ingin mengendalikan orang banyak.

Dari sini mungkin segera terlihat alasan konspirasi bisa populer. Bayangkan saja, ada kelompok tertentu yang mengendalikan hajat orang banyak, dan kita tidak bisa mengusiknya. Terlepas dari derajat kebenarannya, ini tentulah bahan yang sangat menarik untuk dimanfaatkan mereka yang gemar menyalahkan keadaan.

Kondisi hidup yang stagnan tanpa peningkatan? Salahkan saja konspirasi Illuminati-Freemason yang tidak mau Indonesia maju.
Gagal dapet rangking di kelas? Salahkan saja konspirasi guru sekolah yang membencimu.
Kamu tersandung dan jatuh di jalanan? Salahkan saja bebatuan karena menghalangi langkahmu.

Asyik 'kan, hidup seperti itu? Ya atau iya?

Dalam kondisi ini, bagi para pengusungnya, konspirasi laksana oase di tengah fatamorgana berita yang tak tentu arah. Atau laksana nasi bungkus yang dinanti para pendemo bayaran setelah lelah berpanas-panas. Melegakan tenggorokan, mengganjal kerongkongan. Indah nian, bukan?
Tetapi sebelum kita semua bergegas menyantap "teori" konspirasi untuk menu makan malam kita, barangkali kita perlu tahu komposisinya. Apakah tidak halal, atau haram.

Banyak pihak kerap kali dituding sebagai pelaku konspirasi. Biasanya tertuduh adalah pihak yang berada di puncak kekuasaan, atau dengan bahasa yang lebih kekinian, "kaum elite". Ini bisa berarti pemerintah, perusahaan besar, hingga organisasi "rahasia" yang konon beroperasi menjadi dalang di balik pagelaran wayang kenyataan.
Lalu, hal yang dituduhkan adalah hal yang konon kendalinya berada di luar masyarakat luas, "kaum jelata". Misalnya perusahaan obat membuat racun yang dinamai vaksin, atau perusahaan pertanian merekayasa komponen genetik makanan untuk melancarkan "agenda tertentu".

Kemudian, tak lupa dengan tema yang sedang naik daun: Konspirasi "ELITE GLOBAL" menutupi "KEBENARAN BUMI DATAR". (Sengaja saya tulis dalam huruf besar, supaya bombastis.)

Seolah menyusuri sejarah kembali ke zaman Yunani Kuno, pertanyaan akan bentuk Bumi menguak kembali ke permukaan dalam sebulan belakangan. Berbekal beberapa video YouTube yang dikemas sedemikian rupa, sebagian kita perlahan terpengaruh dan ikut angkat bicara, tentang bagaimana "sains Barat" melalui lembaga semacam NASA telah "membohongi kita semua" dan "menutup-nutupi kebenaran".

Oke, kita tentu bisa heran. Kita tentu bisa protes. Kita tentu saja bisa menyusun sekian banyak sanggahan. Tetapi untuk sekarang, mari kembali dulu ke hal yang lebih mendasar:

Untuk apa mereka repot-repot berkonspirasi menutupi "kebenaran"?

Katakanlah Bumi benar-benar berbentuk datar dan kita selama ini dibohongi oleh "dunia sains modern". Apa keuntungan yang diperoleh "dunia sains modern" dengan "menyembunyikan segala fakta yang ada, dan berpura-pura seolah Bumi ini bulat? Keuntungan seperti apa yang akan tercipta, sampai "dunia sains modern" rela menipu umat manusia di seantero Bumi? Apa yang akan diperoleh dari merekacipta sedemikian banyak citra Bumi bulat, mengarang berbagai hal mulai dari heliosentris (karena Matahari mengelilingi Bumi) hingga Bumi yang gembung di khatulistiwa?
Teori ekonomi dasar bilang orang melakukan sesuatu karena mengharap manfaat darinya. Untuk membuat orang rela melakukan usaha sebesar ini, tentu manfaat yang didapat juga harus besar.

Mari berhitung sejenak, mengupas sebuah dunia di mana orang-orang mengatakan Bumi bulat dengan tujuan berbohong. Secara umum, di dunia nyata, kita bisa asumsikan orang yang berpendidikan tinggi akan mengatakan Bumi itu bulat. Ini berarti 6,7% penduduk Bumi (Harvard & Asian Develompent Bank, 2010), atau 460 juta orang. Jika 0,5% saja dari semua itu aktif membicarakan Bumi bulat, berarti dalam skenario Bumi datar, ada 2,3 juta orang kompak membohongi seisi dunia dengan narasi yang sama. Apa terdengar masuk akal?

Bukankah lebih masuk akal jika kita berpikir, mereka semua kompak berbicara demikian karena Bumi memang tidak datar?

Membicarakan 2,3 juta orang melakukan pembohongan berskala global tentu membuat dahi mengernyit, kepala bertanya-tanya.

Kalaupun benar itu semua, bagaimana mereka menjaga kebohongan itu supaya tidak 'bocor'?

Katakanlah benar 2,3 juta orang di atas berkonspirasi membohongi publik akan "kebenaran bentuk Bumi". Berhubung sampel kita ini diambil dari lulusan universitas dan sederajat, kita bisa asumsikan mereka semua bukanlah orang yang mudah didoktrin atau disuruh berbohong sepanjang hidup mereka. Artinya, untuk benar-benar membungkam seluruhnya, akan diperlukan dana yang sangat besar.

Ini belum mencakup segala orang yang bekerja untuk membentuk semua citra planet, satelit, bahkan hingga galaksi dan nebula yang ada di langit—karena di skenario "konspirasi Bumi datar", semua itu hanyalah rekaan komputer. Pada dasarnya, ini juga berarti membayar seluruh astronom dan geolog supaya "merancang" kebohongan Bumi bulat melalui argumen-argumen ilmiah, lengkap dengan segala teori "karangan" dan riset "bohongan".

Faktanya, merancang kebohongan yang demikian terstruktur dan rapi seperti ini sangatlah sulit, lebih sulit dari pada 'sekadar' mengumpulkan fakta ilmiah dari hasil riset dan menyusunnya dalam satu kesatuan. Meskipun demikian, ada yang lebih sulit lagi: menjaga supaya kebohongan ini tetap terlihat sebagai fakta.
Bayangkan saja, mana yang lebih sulit: melancong ke luar negeri lalu menceritakan pengalamanmu, atau mengarang cerita pelancongan ke luar negeri dan membuatnya terlihat seperti fakta?
Itu dengan catatan, pelaku melakukannya sendiri.

Dalam agenda pembohongan global semacam ini, ada jutaan orang yang bekerjasama memastikan publik tetap menerima kebohongan mereka sebagai fakta ilmiah. Artinya, informasi yang diberikan harus kompak. Tidak hanya itu, mereka juga perlu memastikan tidak ada rekan sejawat mereka yang membocorkan "kebenaran" tanpa mereka sadari. Kalau tidak, karena fakta setitik rusak konspirasi sebelanga.

Bagaimana kita bisa memastikan tidak ada dari 2,3 juta orang ini yang diam-diam membocorkan "kebenaran"? Padahal ngurus mahasiswa baru yang hitungannya masih ribuan saja repotnya minta ampun.
Berhubung sampel kita ini diambil dari lulusan universitas dan sederajat, dapat diasumsikan siapapun yang membocorkan "kebenaran" ini mampu menyertakan bukti bahwa ia berkata ada apanya. Baik ia berupa bukti akan "kebenaran" yang "ditutup-tutupi", atau bukti akan adanya "usaha pembohongan global". Tetapi, sampai saat ini, pernahkah muncul bukti demikian rupa?
Jadi, dalam kasus ini ada dua kemungkinan:
usaha pembohongan global ini memang sangat sempurna,
atau
memang mereka tidak berbohong.

Mana yang lebih masuk akal? Anda bisa simpulkan sendiri.

Pada posisi ini, agaknya kita tidak perlu merinci lebih lanjut untuk membayangkan betapa besarnya dana yang akan digelontorkan. Jelas usaha dan dana yang perlu dikerahkan secara teratur akan sangat besar. Jika benar demikian, untuk apa semua usaha tersebut? Para pendukung "teori" konspirasi akan segera memberikan jawabannya: elite global melalui agenda "tatanan dunia baru" ingin membodohi seisi penduduk Bumi melalui "sains modern", supaya mereka lebih patuh dan lebih mudah diarahkan untuk tunduk dalam kendali mereka.

Tapi jika benar demikian, tahu dari mana mereka akan itu semua?

"Teori" konspirasi tidak hanya datang sendiri dengan judul besar nan bombastisnya. Ia datang beserta segenap detail yang dijadikan para pendukung "teori" konspirasi untuk mendukung, membenarkan, dan menyebarkan pandangan mereka. Menariknya, acapkali detail-detail ini tidak disertai dengan rujukan, apalagi rujukan yang dapat dipercaya.
Tanyakan sumber isu konspirasi di sumber tertentu pada pengusungnya, dan bukan tidak mungkin mereka menyuruh kita untuk "berpikir terbuka", "tidak pasrah didoktrin", atau yang paling parah, "cari saja sendiri". Mematuhi masukan terakhir, dan kita mendapati diri berputar di tempat, kembali menjumpa detail yang kita pertanyakan tanpa kejelasan.

Kalau begini ceritanya, dari mana segala detail ini ia dapatkan? Ada sekian banyak peluang di mana informasi tentang "agenda pembohongan global" semacam ini bocor ke khalayak ramai, sebagaimana sudah dibahas sebelumnya. Sayangnya, mereka yang "beruntung mendapatkannya" adalah para penulis blog yang tidak menjelaskan secara rinci bagaimana informasi tersebut bisa sampai ke tangan mereka.
Apa terdengar masuk akal?

Bisa saja justru yang berkonspirasi adalah mereka yang mengusung "teori" Bumi datar. Nah lo nah lo.


.....
Akhir kata, tulisan ini memang tidak saya buat untuk membantah poin demi poin argumen "pendukung" Bumi datar. (Percuma aja dinasehatin pun.)
Akan tetapi, jika Anda sekalian membaca dan ikut memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tersebar di sepanjang tulisan, mungkin Anda akan sampai pada pertanyaan pamungkas, seperti saya.

Konspirasi, buat apa?

Gugus kepulauan Krakatau difoto dari pantai barat Jawa (atas) dan dari perairan selat Sunda (bawah).
Perhatikan kaki gunung Anak Krakatau (puncak kecil di sisi kanan) yang hanya tampak pada foto bawah.
Kredit foto atas: http://www.oysteinlundandersen.com/krakatau/2016-july/
Kredit foto bawah: http://justinandcrystal.com/SEAsia2012/120618.htm
*) Sila kunjungi KBBI untuk memeriksa definisi "teori" yang ‘resmi’: http://kbbi4.portalbahasa.com/entri/teori

Tulisan ini juga dipublikasikan di situs 1000guru dan langitselatan, dengan penyuntingan sesuai cita rasa tiap situs.


____________________
Untuk bacaan tambahan, barangkali bisa menyimak tautan berikut:
https://www.facebook.com/notes/evan-i-akbar/flat-earth-dan-kasus-kasus-serupa/10153848302257104
https://www.facebook.com/notes/matt-gilford/lets-talk-about-flat-earth-society/1576189046014724
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10210083141783342&set=a.4466923199460.2182711.1481204167&type=3&theater
https://www.facebook.com/groups/astronomi.indonesia/permalink/10153795919368546/https://www.facebook.com/somethinginearth/photos/a.1696924503901639.1073741828.1696922303901859/1697973683796721/?type=3&permPage=1

Sumber segala kekisruhan
http://www.kaskus.co.id/thread/574b0eaf54c07a06478b456d/bumi-itu-datar-adalah-fakta-ini-penjelasannya/
http://www.kaskus.co.id/thread/5741266c9a09516a508b4567/alhamdulillah-semakin-banyak-orang-sadar-bahwa-bumi-ini-ternyata-datar-bukan-globe/
Lanjutkan baca »

Sabtu, 02 Juli 2016

Article#563 - Harmoni


Di pintu masuk utama porsi terbesar wisatawan mancanegara menuju sebuah negara, tergeletak satu dari empat belas armada pesawat jet supersonik yang merajai penerbangan udara pada zamannya. Zaman di mana samudra terlampaui dalam tiga jam, zaman di mana penumpang sebuah pesawat dapat terbang cukup tinggi untuk benar-benar menyaksikan lengkung Bumi.
Dan pada akhirnya, zaman di mana bangsa Britannia dan bangsa Gallia terbukti bisa bekerjasama walaupun terbelenggu sejarah ribuan tahun perseteruan.

Selasa, 28 Juni 2016, 16:18 (UT+2)
49°00'26.73"N, 2°33'24.75"E
Lanjutkan baca »

Kamis, 30 Juni 2016

Article#562 - Supersonic Eclipse Chase

When Astronomers Chased a Total Eclipse in a Concorde



WRITTEN BY CHRIS HATHERILL

Lanjutkan baca »

Rabu, 29 Juni 2016

Article#561 - Reperkusi


Rangkaian detik demi detik kejadian di sore hari itu masih jelas terekam dalam memori. Detak jarum detik berdentam menyuarakan nyawanya ke seisi ruangan. Menghujam pelan pelan melalui telinga sosok yang terduduk kebingungan menghadapi sekian lembar kertas di hadapannya.
Di kepalanya, sederetan rumus dan hitungan telah berjejer rapi untuk diejawantahkan menjadi baris demi baris persamaan di kertas. Tetapi dalam setiap dua detik ia memutuskan untuk mulai menuangkannya, ada satu detik di mana konsentrasinya buyar seketika. Terburai seperti serpih karet penghapus yang disisihkannya dari paras meja.
Tetapi bahkan mungkin itu bukanlah permasalahan utama.

Sementara waktu terus mempergulirkan kegelisahan di dalam ruang, berkas jingga cahaya senja mulai menyelinap dari selasar jendela. Mengundang kesadaran indera untuk terus teralihkan ke rona warna indah di balik kejemuan dalam ruang. Dan, hei, sosok yang terus gelisah memandangi lembar demi lembar persoalan itu adalah pendamba senja paling akut yang pernah sebagian orang kenal. Maka bagaimana mungkin ia akan makin tenang ketika jemari semburat senja seolah menggodanya untuk keluar. Melepaskan diri dari segala macam ikatan bodoh dunia yang menggerogoti kewarasan pikiran. Melarutkan diri dalam ketinggian langit manakala ia memadukan mentari senja dengan peraduannya.

Ia terpenjara dalam ruang sempit kaku itu, menatap nanar lembaran kertas yang memancangnya pada bangku. Tetapi jelas kentara ke mana pikirannya terpancang: pertunjukkan megah yang hanya mampu menyusupkan rona warnanya. Menyusupkan cercah yang tak mampu menangkal kebengisan ruang sempit itu dalam menyurutkan nyala api hati manusia, meski tetap sanggup untuk memberikan sosok itu kesadaran menyakitkan akan apa yang tak bisa ia dapatkan.
Siapa yang akan berdiri bangga menawarkan diri menyaksikan betapa sesuatu yang demikian ia damba beranjak pergi perlahan di hadapannya? Semua manakala ia terbelenggu, tidak mampu memperjuangkan apapun, bahkan untuk sekadar mengucapkan sampai jumpa.

Rona senja menghilang berganti malam, dan di dalam ruangan temaram, seorang anak manusia terpekur dalam tapaknya menempuh suram. Suasana muram yang agaknya biasa diperkuat oleh langit yang ikut berarak sendu, dicoba diusirnya dari benak supaya tidak mencekam.

Setidaknya masih ada senja yang akan datang.
Setidaknya menumpuk segala balada dalam jiwa tidak mengubah keadaan.

Come on
Why're you scared?
You'll never change what's been and gone











































Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...