Selasa, 12 Mei 2015

Article#418 - Kelambu

Mereka bilang, mega merah akan menjelang. Menyambut bayang yang memanjang untuk kemudian menyatu dalam satuan malam. Koor angin yang makin menggelora pun terus bersahutan, menderak jendela, menderui tiap telinga. Dari telinga mereka yang bergegas pulang menyudahi lelah bekerja, hingga peminat bingar yang dalam temaram meraja, bisikan itu bergemuruh menggetar kepala mereka. Seolah mengajak untuk sejenak menatap angkasa, menyaksikan sang mega merah perlahan merambati cakrawala.
Meski mereka tahu, langit sudah kelam sejak lama.

Mereka bilang, mega merah akan menjelang. Menyambut aliran yang mendorongnya bergerak, mengibaskan sisa-sisa dari masa emasnya yang bergelora. Seruan manusia yang bergiliran mencelotehi pemirsa perlahan beranjak menyeragamkan nada, meresapi kejayaan yang telah lewat di negeri seberang. Mega merah yang menjelang adalah yang terluka, terseret ujung daratan dan melemah sebelum waktunya. Sehingga ketika kita membuka pintu dan membiarkan mata menatap cakrawala, yang akan kita saksikan adalah mega merah yang kehilangan jati dirinya.
Hanyut terbawa awan yang tak sudi menceritakan kehebatannya.

Mereka bilang, mega merah akan menjelang. Jangan tanya mega merah bagi siapa, karena bagi mereka yang konon berlandaskan pengetahuan, kita semua adalah satu sesiapa. Mengecap nadi yang sama, menyesap pandir yang seirama. Seberingas apapun jua kau bersikeras, pada akhirnya kenyataan akan berbicara: manusia hanya pernah berkesempatan menderas kilau mega merah. Entah ia milik fajar, atau milik senja. Belum berkesempatan melihat mega dengan warna lainnya, yang mungkin hanya akan dijumpa di dunia lainnya dalam belantara antariksa.

Mereka bilang, mega merah akan menjelang. Tetapi di masa senja, yang kujumpa justru arakan awan yang berkemul menutupi kita dan seisinya. Tak menutup peluang, seperti itulah wujud rupa sang mega merah sebenarnya; ia tidak menjelma merah karena semangatnya memblokir sinar surya.
Mega yang tak lagi merah itu pun terus merambati langit.
Dan ketika sinar mentari kembali mendatangi di pagi hari, ia telah pergi, menyapukan arak awan untuk mewarnai langit. Bukan warna merah yang namanya ia kumandangkan. Melainkan warna langit biru, cahaya yang kehilangan jati diri merahnya.


Mereka tetap bilang, mega merah akan menjelang.
Entah kapan tepatnya ia datang.
Entah kapan pula ia kembali menerjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...