Minggu, 31 Mei 2015

Article#425 - Melogaritmakan Gempa

Gempa bumi.
Agaknya cukup beralasan untuk mengatakan bahwa segenap warga Indonesia familiar dengan istilah yang satu ini. Posisi Indonesia yang ‘terjebak’ di antara benua Asia dan Australia turut andil dalam membentuk gugusan kepulauan yang rawan bencana geologis, semisal gempa dan gunung berapi. Sebagai hasilnya, banyak warga Indonesia pernah merasakan secara langsung getaran gempa, dan lebih banyak lagi yang tak asing dengan pemberitaan media akan terjadinya gempa.
Pada umumnya, pemberitaan akan gempa di media akan memuat berbagai informasi. Informasi yang paling umum adalah lokasi sumber gempa, beserta kedalamannya, disusul oleh kekuatan gempa. Kita biasanya akan menjumpai kekuatan gempa yang dinyatakan dalam angka, katakanlah 6.8, kemudian disusul singkatan SR.

Masalahnya, apa itu SR? Dan kenapa kekuatan gempa dinyatakan dalam bentuk demikian?


*****
Sekarang, anggaplah kita memutar waktu untuk seketika kembali ke masa 100 tahun yang lalu. Bagi mereka yang berkelana di tahun 1915 dan menerima informasi akan terjadinya gempa, mereka tidak akan mengenali sama sekali notasi semacam 6.8 SR sebagaimana tersebut di bagian sebelumnya. Ini berangkat dari kenyataan bahwa SR, yang merupakan singkatan dari Skala Richter, baru dipublikasikan 20 tahun setelahnya.

Charles Francis Richter (1900-1985) pada tahun 1930an adalah seorang fisikawan yang bekerja di Seismological Laboratory, atau Seismo Lab. Seismo Lab dikelola melalui kerjasama California Institute of Technology (Caltech) dengan Carnegie Institute for Science, dan berposisi di dekat kota Los Angeles, California, Amerika Serikat. Posisi Seismo Lab di California menjadi penting ketika menilik reputasi California salah satu daerah paling rawan gempa di wilayah Amerika Serikat. Sejarah panjang kegempaan California terentang hingga jutaan tahun silam, dengan salah satunya adalah gempa besar 1906 yang tercatat meluluhlantakkan sebagian besar kota San Francisco.
Disokong oleh keaktifan geologis wilayah California yang terus menebar gempa, Seismo Lab dengan cepat tumbuh besar dalam naungan Caltech, menjadi institusi penelitian kegempaan top dunia.

Sebagai institusi penelitian kegempaan kelas dunia, Seismo Lab menjadi rujukan utama dalam ilmu kegempaan di masanya. Termasuk menjadi lumbung dokumen ilmiah terkait aktivitas kegempaan di wilayah California selatan. Berbekal dokumentasi terkait, Seismo Lab berencana mempublikasikan laporan kegempaan ini secara rutin kepada khalayak ramai. Untuk memenuhi keperluan ini, diperlukan adanya sistem pengukuran untuk menggambarkan kekuatan gempa terkait secara seragam.
Richter, bekerjasama dengan atasannya Beno Gutenberg, mendapatkan inspirasi dari publikasi ilmiah Kiyoo Wadati (1902-1995) untuk menaksir kekuatan gempa dari besar pergerakan tanah yang ditimbulkannya. Berhubung gempa bumi pada dasarnya adalah kejadian berguncangnya permukaan Bumi, secara alamiah orang akan mengaitkan kekuatan gempa dengan besar guncangan yang terjadi.

Berangkat dari inspirasi ini, Richter kemudian menyusun acuan awal untuk skala Richter pada 1932, sebagai berikut:
Sebuah gempa pada jarak 100 km yang menggerakkan jarum seismograf Caltech sejauh 1 milimeter dari titik setimbang adalah gempa magnitudo 3.
Istilah “magnitudo” yang digunakan Richter dalam skala rancangannya konon berasal dari skala kecerlangan bintang, yang juga memakai satuan ‘magnitudo’. Sementara angka 3 dipilih Richter untuk menghindari kemungkinan tercatatnya gempa bermagnitudo “negatif”.

Sekarang, barangkali sebagian dari kita bertanya-tanya. Jika skala Richter memang menaksir kekuatan gempa berdasarkan besar guncangan, bagaimana bisa ada “guncangan negatif”?

Di sinilah inti dari penghitungan skala Richter.
Richter yang sedang merancang skala pun kebingungan dalam menentukan rentang skalanya. Betapa tidak, gempa yang cukup besar akan menggerakkan jarum seismograf Caltech hingga beberapa sentimeter, sementara gempa yang lebih kecil hanya menggerakkan jarum seismograf yang sama dalam kisaran mikrometer (1 mikrometer setara dengan seperseribu milimeter). Jika disesuaikan secara normal dengan acuan sebelumnya, maka gempa kecil akan tercatat dengan magnitudo kurang dari 1, sementara gempa besar bisa tercatat bermagnitudo 50, atau bahkan 100. Rentang yang demikian besar ini tentunya tidak nyaman digunakan dalam publikasi kelak.
Maka beruntunglah Richter, ketika dilema ini kemudian diatasi oleh usulan Gutenberg dengan usulan supaya Richter merancang ulang skalanya dengan skala logaritmik.

...Apa lagi ini, skala logaritmik?
Secara sederhana, dalam skala logaritmik, tiap satuan skala dihubungkan oleh hubungan berupa rasio, atau perbandingan. Ini berbeda dengan skala linear, di mana tiap satuan skala dihubungkan oleh hubungan selisih.
Menilik permasalahan skala Richter sebagai skala logaritmik, jika pergeseran jarum seismograf sebesar 1 milimeter mewakili magnitudo 3, maka pergeseran sebesar 1 sentimeter mewakili magnitudo 4, dan seterusnya. Magnitudo 6, alih-alih mewakili pergeseran dua kali lipat dari magnitudo 3, mewakili pergeseran seribu kali lipat, yaitu satu meter. Ini berbeda dengan skala Kelvin untuk suhu, misalnya, di mana suhu 400 Kelvin mewakili jumlah panas yang dua kali lebih besar dari suhu 200 Kelvin.

Dengan rancangan logaritmik ini, Richter dapat menyusun skalanya dalam satuan yang lebih “bersahabat” bagi khalayak ramai kelak. “Gempa besar” yang menggerakkan jarum seismograf dalam kisaran beberapa sentimeter, akan tercatat sebagai gempa bermagnitudo 4 hingga 5. Sementara gempa kecil yang menggerakkan jarum seismograf dalam kisaran beberapa milimeter, akan tercatat sebagai gempa bermagnitudo 0 hingga 1.

Ketika mempertimbangkan perbandingan kekuatan antara gempa kecil dan gempa besar di bagian sebelumnya, sekilas tampak jelas bagaimana skala logaritmik membantu menyederhanakan nilai perbandingan terkait. Akan tetapi, ketika diamati dari sudut pandang khalayak ramai yang terbiasa dengan skala linear (misalnya dalam besaran macam panjang, massa atau waktu), menyampaikan informasi dalam skala logaritmik cenderung akan memunculkan kesalahpahaman antara kalangan ilmuwan dan masyarakat.
Misalnya, karena skala Richter adalah skala logaritmik, gempa bermagnitudo 6.0 akan mengguncang muka Bumi 10 kali lebih kuat dari gempa bermagnitudo 5.0. Ketika diterjemahkan dalam bentuk total energi yang dilepaskan, gempa bermagnitudo 6.0 melepaskan energi 31,6 kali lebih besar dari energi yang dilepaskan gempa bermagnitudo 5.0. Perbandingan yang berat sebelah ini mungkin tak kentara ketika kita melihat angka magnitudo yang hanya berselang satu.

Diagram yang menggambarkan kaitan antara magnitudo sebuah gempa dengan energi yang dikandungnya.
sumber gambar

Contoh lain dapat diambil dari analisis gempa Jepang Timur tahun 2011.
Pada awalnya, gempa terkait tercatat memiliki nilai magnitudo 8.8 menurut Badan Meteorologi Jepang (JMA). Setelah perhitungan lebih lanjut, nilai tersebut direvisi menjadi 9.0, yang resmi diakui hingga kini.
Bagi kita yang terbiasa dengan skala linear, revisi ini akan dipandang remeh, mengingat selisihnya hanya 0.2, tidak besar. Akan tetapi, ketika kita mengembalikan kedua nilai ini pada jati dirinya sebagai angka dari skala logaritmik, kita akan mendapat informasi menarik: gempa bermagnitudo 9.0 melepaskan energi sekitar 2 kali energi gempa bermagnitudo 8.8. Meskipun kemudian kita tetap lebih bergidik ngeri membayangkan terjadinya dua gempa bermagnitudo 8.8 alih-alih satu gempa bermagnitudo 9.0.

Ketidakakraban khalayak ramai terhadap skala logaritmik yang diterapkan pada skala kekuatan gempa ini boleh jadi akan memunculkan masalah di berbagai sisi. Meskipun demikian, agaknya kita harus terus-menerus membiasakan diri dengan skala logaritmik yang terasa tidak alami ini. Sebagaimana permasalahan yang dihadapi Richter sebelumnya, mengungkapkan kekuatan gempa dalam skala linear pada akhirnya akan memberikan angka-angka besar untuk menggambarkan magnitudo gempa: misalnya magnitudo 3.000.000 alih-alih magnitudo 7, atau magnitudo 3.000.000.000 alih-alih magnitudo 9. Melihat kemungkinan ini, setidaknya saya akan sepakat bahwa mengungkapkan kekuatan gempa dalam skala logaritmik akan lebih mudah ketimbang mengungkapkannya dalam skala linear. Semoga para pembaca sekalian juga sepakat; kalaupun kita hendak memprotes, agaknya keadaan tak akan berubah, menilik skenario yang dijabarkan di atas.

.....
Sebagai penutup tulisan, beberapa pembaca mungkin memergoki hilangnya kosakata “skala Richter” di bagian belakang tulisan. Pada kenyataannya, “skala Richter” sebagaimana dikembangkan oleh Richter dan Gutenberg sudah digantikan skala yang lebih mutakhir. Skala ini, yang masih kerap disebut sebagai “skala Richter” di berita-berita kegempaan, sebenarnya adalah “skala kekuatan momen” (moment magnitude scale), dinyatakan dengan simbol MW.
Skala momen ini mengukur kekuatan gempa berdasarkan pergerakan sesungguhnya dari kulit bumi yang menghasilkan kegempaan, atau “momen gempa” (seismic moment).
Walaupun skala ini berbeda secara mendasar dengan skala Richter, keduanya sama-sama menggunakan skala logaritmik. Sehingga, dalam penerapannya saat ini, kedua skala dapat diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan nilai magnitudo yang setara bagi gempa yang sama.

Demikianlah kiranya. Mari mengakrabi lebih lanjut ragam pembelajaran di sekitar kita!

Jika ingin mempelajari lebih lanjut, silakan baca referensi berikut:
http://gizmodo.com/tracking-tremors-a-brief-history-of-the-richter-scale-484911351
http://www.theatlantic.com/technology/archive/2014/08/is-there-a-better-way-to-measure-earthquakes/379165/
https://www.scientificamerican.com/article/how-was-the-richter-scale/
http://earthquake.usgs.gov/learn/topics/measure.php
http://en.wikipedia.org/wiki/Moment_magnitude_scale
http://en.wikipedia.org/wiki/Richter_magnitude_scale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...