Kamis, 31 Juli 2014

Article#324 - Lacrime di Giulietta


Menggemari seni rupa? Musik? Bercerita?
Kalau begitu, gabungkan saja semuanya!
...
Mungkin itu yang tercetus di benak trio seniman asal Italia, Lab, ketika mereka memutuskan bekerjasama dengan komposer Matteo Negrin untuk menghasilkan video di atas. Lab, trio yang beranggotakan Luca Cattaneo, Alberto Filippini, dan Alice Ninni tersebut, mengkhususkan keahlian mereka dalam dunia proyek desain web ataupun desain grafis. Sementara Matteo Negrin menginginkan sebuah konsep yang di luar kebiasaan untuk merefleksikan karyanya, Lacrime di Giulietta alias Air Mata Juliet. Maka kemudian mereka berkumpul. Berembuk. Berkecamuk. Berburu nyamuk. (lah) Dan tercetuslah ide "Music painting", yang digambarkan melalui kutipan berikut:
“..We deal with projects about graphic and web design, video and photography. With the composer Matteo Negrin, we decided to make a video for his song‘Lacrime di Giulietta’, experimenting a new technique that we called ‘Music painting’, a sort of music animation, painting notes on a score, telling a story. We wanted to tell a story giving a civic and environmental message, in a soft and kind way.”
Singkat cerita, video di atas direkam dalam waktu 15 jam dalam satu rekaman. Dengan sekian banyak dosis pengeditan, didapatkanlah video yang melaju sesuai dengan ritme lagu yang tersedia.
Video asli bisa kau kunjungi dengan judul MUSIC PAINTING - Glocal Sound - Matteo Negrin. Atau, kalau sedang kurang bersemangat mencari, berikut penulis sertakan jendela menuju video terkait.


***
Hujan tanpa diduga turun, hari ini. 
Hujan yang deras.
Dengan angin yang bertiup ganas, 
Jiwa yang lemah itu mungkin memaknai hujan sebagai jeritan yang menahannya, tetap di tempat.
Terus mengendap di tempat yang nyaman ini, berganti kulit berulang kali, menggerogoti kesalahan dengan tameng lain lagi. 
Tetapi, sentakan halilintar membuat hujan tak perlu repot-repot menyuarakan usahanya.
Bagai hilang akal, ia memandangi pohon yang batangnya melengkung, tetes air yang menyerang tanpa ampun. 
Dan bagai kembali mendapat akal, ia tersentak.
Sudah waktunya jiwa itu menguliti kudapan yang baru.
Yang mungkin akan menahannya bergumul dengan haru ndaru langit biru.
....
Kalau ia mau.

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Senin, 28 Juli 2014

Article#323 - Cermatilah

Ada seorang saudagar di Baghdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam di dalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.

Suatu hari, ketika sedang mengamati kolamnya itu, terlintas sebuah ide di benak si saudagar. Ide yang kemudian ia sampaikan lewat sebuah sayembara di depan istana baginda Sultan.
“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh dirham,” kata saudagar itu. Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam.

Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya.
“Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh dirham,” kata si saudagar.
“Baiklah akan kucoba,” jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam di situ,” kata si saudagar.

Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu.

“Istriku,” kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh dirham? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya.”
“Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.”

Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”

Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh dirham, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi.

Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan.”
Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masa' api bisa masuk ke dalam air?”
“Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.”

Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya didengar, Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.
“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.” Doanya dalam hati.

Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan.
“Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah.”
“Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
“Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis.

Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”

“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Keluar dari Istana, Abu Nawas segera mendatangi rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya Senin depan.

Hari Senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah digelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.

Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.”

Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul di hadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan. “Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.

Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar. Baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas ke halaman belakang rumah, diikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan.
Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu Nawas sambil mengangkat mukanya ke atas.

“Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah.

“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”

“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah sepuluh dirham jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah sepuluh dirham dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar. “Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.”

“Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”
“Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”

Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya.

“Sekarang aku ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan dihukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan orang-orang pembesar dihukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar.”

Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga.

Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan.

Sebuah catatan bagi penulis sendiri pada khususnya, dan bagi kita semua pada umumnya. 
~disadur dan diterjemahkan pada Senin, 28 Juli 2014/1 Syawal 1435 H, 06:47 (UT+9), mengisi momen Idul Fitri 1435 H.
Disadur dari salah satu bagian kisah Abu Nawas.

sumber

Lanjutkan baca »

Minggu, 27 Juli 2014

Article#322 - Bulan Yang (Terlihat) Besar

12 Juli 2014, 18:27 WIB (UT+7).
Pada waktu ini, Bulan mencapai posisi terjauh dari Matahari, dilihat dari Bumi. Sebuah momen yang biasa kita kenal dengan istilah "Bulan purnama". Di sekitar momen tersebut, Bulan bersinar dengan porsi wajahnya yang paling mendekati bulat sempurna, dalam cerlang yang paling paripurna.
Purnama kali ini, selain menandai pengingat berlalunya tengah bulan bagi umat Islam yang sedang menjalankan ibadah Ramadhan, juga dinikmati oleh banyak orang di penjuru dunia karena posisi Bulan yang tergolong cukup dekat ke Bumi di masa purnamanya. Bulan pada posisi ini, yang kemudian populer dengan julukan
supermoon, berhasil menarik perhatian ekstra bagi pecinta angkasa untuk sejenak menyintas cakrawala petang, berusaha menangkap citraan Bulan yang tampak (sedikit) lebih cerlang dari biasanya. Sayangnya, tentu saja, julukan 'super' bagi Bulan di saat tersebut tidak se-'super' kedengarannya, terlepas apakah para astronom akan cukup tega untuk membuyarkan animo masyarakat dalam mengamati Bulan. Bagi penulis, menilik istilah supermoon yang memperdayakan dan sekaligus memberi harapan palsu (?) istilah "purnama perigee" yang lebih ilmiah akan dipakai di tulisan ini.
(Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai seluk beluk purnama 
perigeesila kunjungi laman ini)

27 Juli 2014, 05:43 WIB (UT+7).
Pada waktu ini, Bulan mencapai posisi terdekat dari Matahari, dilihat dari Bumi. Sebuah momen yang disebut juga sebagai konjungsi/
ijtima'. Tepat pada momen ini, Bulan berada pada fase "Bulan baru", yang berarti kepastian pergantian bulan menurut kalender Islam akan ditetapkan pada sore harinya, pertama kali Matahari terbenam sejak konjungsi terjadi.
Ini artinya, bulan Ramadhan yang telah sedemikian digandrungi dalam 29 hari terakhir ini, akan segera beranjak pergi. Karena ia tak selamanya bergulir di sini. Banyak dari kita yang bersukacita menyambut Idul Fitri, banyak yang bersuka-duka memenuhi jalur mudik, namun tetap banyak ang bersedih, mengharap sepenuh hati, menanti Ramadhan untuk datang lagi.


Bulan Ramadhan senantiasa menjadi bulan terbesar bagi umat Islam setiap tahunnya. Seakan menekankan pada segenap umat manusia, salah satu kenampakan Bulan paling besar dan terang pun tersuguh di tengah bulan Ramadhan kali ini. penulis pun tak mau kalah, dan menyuguhkan foto-foto hasil jepretan orang di berbagai daerah dunia dalam mengabadikan momen purnama perigee. Meskipun, mungkin penulis perlu mengingatkan kepada para pembaca sekalian, bahwa kenampakan Bulan di foto-foto di bawah terlihat besar hanya karena teknik fotografi yang digunakan dalam memotret citra Bulan. Bukan Bulan yang terlihat sedemikian besar; justru objek di sekitar Bulan lah yang terlihat demikian kecil-kecil.
(Jika tertarik dengan koleksi foto-foto Bulan, sila kunjungi juga laman ini)
Tambahan: Melewatkan momen purnama perigee tersebut? Purnama perigee untuk tahun 2014 masih bisa kausaksikan pada 10-11 Agustus dan 8-9 September mendatang. Segera tandai kalendermu!

Purnama perigee yang terbit di sebalik rumah-rumah di Olvera, Provinsi
Cadiz, Spanyol. (Jon Nazca/Reuters)
Purnama perigee, sebagaimana dipotret dari Olathe, Kansas, AS.
(John Sleezer/Kansas City Star/MCT)
Purnama perigee di balik Seattle Municipal Tower, Seattle,
Washington, AS. (Chuck Hilliard)
Purnama perigee dengan pesawat di latar depan, dipotret dari Rideau Canal,
Ottawa, Kanada. (Blair Gable/Reuters)

































Jika mata telah sampai pada bagian ini, artinya tulisan ini siap undur diri. Pergi meninggalkan tatap yang menari, mengiringi bulan Ramadhan yang akan pergi. Mungkin ada bahagia yang terbebas dari dahaga. Ada gumam yang kurang lama terasa. Ada sesal yang tak sanggup terkata. Ada hati yang sesak oleh perpisahan. Tapi di atas itu semua, mungkin kita akan terus mendoa, supaya berjumpa kembali dengan Ramadhan berikutnya.

sumber

Mengikuti post yang siap beranjak, penulis pun hendak pamit kepada kalian yang masih setia membaca.
Semoga segala yang terusahakan adalah hal yang berguna.
(:g)
Lanjutkan baca »

Selasa, 22 Juli 2014

Article#321 - Planets Unite


That picture depicted above represents all the 9 planets of the Solar System, painted as one unity on a single canvas, scanned into a .JPG file, and rotated clockwise 90°. Wait, wait, some of you may have been ready to launch your objections. Before you lot have the opportunity to do so, I have to stress that the picture is completed back in the 1990s (as theweathernetwork.com wrote), well before the dreadful resolution of IAU General Assembly in Praha, 2006, on which Pluto's status as a planet was demoted. The lil' icy world has been since called "dwarf planet", and many seem to be against that idea.

Let's forget all the fuss over Pluto's status for now. About the artist, Steve Gildea, he teaches digital design (or so we are told by io9.com) in Massachussetts, United States of 'Murica. He is quite into painting, which would seem to be an understatement once you go through his galleries here.
I don't make it to find out more about him, but looks like our fellow artist is old enough to have one of his son posting about his painting in Reddit.

What, still arguing about Pluto? Case closed. It's his defeat. Just accept it like a man, please.
But I'm a woman!
Look... um, well, whatever. As I mentioned above, the case is closed. Pluto is no longer classified as the significant figurines of the Solar System, which are the planets. Therefore, we need a newer insight regarding this Solar System depiction.

There are some versions of this, which – beats me – is made from combining photographs. And while there are some of them in pandawhale.com, my favorite is this one below.

Eight planets as one. Created by Redditor Jupiter-x; sources are mentioned
in the link.
One more, the original style of Steve Gildea's painting. At least, as it appears on his website.

"Planetary Suite", as painted by Steve Gildea.
An oil painting on canvas, composed of 9 panels which
comprises 6'x13'3" (182.88 cm x 403.86 cm) in total.
(Collection of Merrimack College)
Eventually, I might have to emphasize that the planets' depiction in a single canvas is meant to unite those planet as one body. Be it with or without the poor Pluto, a depiction of the planets combined will be likely to "suite" for the time being.
As for Pluto, you can keep on going, regaining your mighty planetary status back. But be very well aware, or your supporters might lose faith in you.

Planets, Unite!

Here in my mind
You know you might find
Something that you
You thought you once knew
But now it's all gone
And you know it's no fun
Lanjutkan baca »

Sabtu, 19 Juli 2014

Article#320 - Ayo Pulang Kampung!

Akhir Ramadhan semakin mendekat.

Hal ini biasa berarti meningkatnya antusiasme masyarakat menyambut datangnya Idul Fitri, atau meningkatnya rasa takut kehilangan Ramadhan yang sedang bersiap berangkat. Bagi para penyedia jasa moda transportasi, mendekatnya akhir Ramadhan berarti bersiapnya mereka menuju salah satu masa tersibuk dalam dunia transportasi tiap tahunnya. Entah memanfaatkan jalan raya, rel, gelombang laut, atau aliran udara, armada transportasi akan dikerahkan dalam mengangkut jutaan orang yang hendak pulang ke kampung halaman, berbaur kembali dengan keluarganya dalam suasana hari raya. Bagi mereka yang menempuh debu panas di jalan raya, ribuan armada transportasi pribadi juga akan ikut meramaikan keadaan, bersatu sebagai satu arus mudik yang berpencar menuju tiap-tiap tujuan.

Arus mudik yang debitnya senantiasa bertumbuh tiap tahun ini pun kerap menimbulkan berita duka dari mereka yang tak berhasil mencapai tujuan. Jumlahnya yang cukup mencolok, terutama dalam jangka waktu pendek arus mudik dan balik, mungkin mengilhami Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) Republik Indonesia untuk menelurkan iklan layanan masyarakat terbarunya. Iklan yang ditelurkan ini, berjudul "Ayo Mudik - Selamat Pulang Kampung" tidak sekadar menyampaikan pesan dalam nada datar, tetapi menyampaikan pesan dalam kemasan animasi dan musik yang asyik dinikmati.
Bagi yang sudah penasaran, silakan menyimak lewat jendela di bawah.

Jalan-jalan pulang kampung
Bersama dengan keluarga
Waspada di jalan selalu
Agar sehat slamat ceria
Reff:
Ingatlah
Waspada s'lalu
Silahturahmi harus berlanjut
Selamat pulang kampung
Pulang kampung harus selamat
Mengemudi dengan hati-hati
Jauhkan alat komunikasi
Cek slalu segala kondisi
Barang bawaan dibatasi
Reff
Interlude:
Jalan raya harus dijaga
Karna milik bersama
Patuhi rambu lalu lintas
Jangan lewati batas
Pilih kendaraan yang aman
Nikmati perjalanan
Jangan lupa keluarga menunggu di rumah
Pelan-pelan asal selamat
Reff (2x)
Coda:
Selamat pulang kampung
Pulang kampung harus selamat
Sebagaimana tercantum di laman indonesiakreatif.net, ilustrasi dan desain pada video digarap oleh @gustopo, dengan @kennikoop dan @arifmad_ menggarap animasi video. Jingle disusun oleh RWEBHINDA.
Chord jingle
Verse
D D/C# D D/A (2x)
D D/C# Bm A
G A D
Reff
D D/C# Bm
A G D
Bm F#m G A
D A G A Bm
G A D
Interlude
Bm F#m G D (2x) D/C#
Bm F#m G D
Bm F#m G A
Coda
D D/C# Bm G A D
Dalam perkembangan publikasi iklan layanan masyarakat terkait, beberapa pihak menyadari kemiripan gaya animasi dan musik dalam iklan dengan sebuah iklan lain yang diunggah ke situs berbagi video, YouTube, pada November 2012 lalu. Iklan terkait, dijuduli "Dumb Ways To Die", adalah iklan layanan masyarakat yang dipublikasikan oleh Metro Trains Melbourne, pengelola jalur kereta untuk lingkup kota Melbourne, Victoria, Australia.
Perbandingan tampilan pada iklan dari KemenPU
(atas), dan iklan dari Metro Trains Melbourne (bawah)
Untuk mengawali episode kemiripan yang ada, kedua video sama-sama berfungsi sebagai iklan layanan masyarakat yang menyebarkan pesan keselamatan di lingkup transportasi publik. Gaya animasi kedua video pun terlihat mirip, walaupun seiring perjalanan mengarungi video, mungkin kemiripan itu tidak lagi terlalu kentara. Ohiya, musik pengiring kedua video pun terasa cukup mirip, terutama di bagian awal. Jika berminat menganalisa kedua video, penulis telah siapkan jendela kedua untuk menonton video versi Australia, di bawah ini. Selamat menikmati.


Tanggapan penulis
Terlepas dari kemiripan yang ada antara kedua foto, menurut penulis, pengembangan pada sisi animasi dan musik pada iklan KemenPU tersebut sudah cukup bagus. Sebagai iklan dari Kementerian, di iklan juga dimuat secara tersirat capaian KemenPU, dengan jembatan Suramadu dan jalur tol Bali Mandara cukup kentara ditampilkan.
Berbagai ide ekstra yang disertakan pada animasi dan musik pengiring membantu melepaskan iklan ini dari bayang-bayang iklan Dumb Ways To Die yang lebih dulu tersohor.

Bagi penulis, iklan KemenPU ini dapat dijadikan langkah awal yang bagus untuk pertumbuhan industri kreatif dalam negeri. Berbagai kejadian akhir-akhir ini telah membantu melejitkan perhatian masyarakat akan industri kreatif, juga akan potensi kreativitas besar yang tersimpan di generasi muda saat ini. Kalau diarahkan pada penerapan yang tepat guna, saya bisa melihat masa depan industri kreatif Indonesia yang demikian cerah.
....Mari kita saksikan beberapa tahun ke depan.

Mungkin demikianlah berpatah-patah kata dari penulis.
Akhir kata; selamat pulang kampung, pulang kampung harus selamat~
(:g)
Lanjutkan baca »

Kamis, 17 Juli 2014

Article#319 - Kutipan Hari Ini

Air berkumpul dengan air.
Minyak berkumpul dengan minyak.
Setiap orang berkumpul dengan jenis & wataknya.
~kutipan yang menurut sumber berasal dari Tan Malaka, salah satu tokoh di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, sekaligus Pahlawan Nasional. Dikutip pada Sabtu, 12 Juli 2014, 23:13 (UT+9).

sumber

Lanjutkan baca »

Senin, 14 Juli 2014

Article#318 - Ramadhan Mubarak!

Ramadhan sudah setengah jalan!

Kenyataan yang cukup menyentak kesadaran, mungkin? Apalagi, bagi sebagian dari kita, bulan Ramadhan adalam momen yang senantiasa dinanti-nantikan setiap tahunnya. Mulai dari mahasiswa yang bahagia dengan "kewajiban" untuk mengurangi pengeluaran harian, mahasiswa yang menanti-nantikan undangan berbuka puasa dari teman-teman lama, mahasiswa yang kekurangan motivasi dalam usahanya menurunkan berat badan, atau mahasiswa yang merasa kurang bersemangat dalam beribadah kepada Tuhannya.
Kenapa mahasiswa semua contohnya? Waduh, maaf, mungkin karena saya mengetik isi tulisan ini dari sudut pandang seorang mahasiswa. Meskipun saya harap situasi yang saya jelaskan dalam tiap kasus di atas dapat dianalogikan dalam kasus-kasus lain yang mungkin kalian temukan.

Bagi lebih dari satu miliar Muslim di seluruh penjuru dunia, Ramadhan menjadi momen yang paling dinanti-nantikan, juga momen yang paling diperbincangkan. Hal ini terutama terjadi ketika orang-orang sedang menentukan awal bulan Ramadhan, yang menurut dasar hukum terkuat ditandai dengan terlihatnya bulan sabit tipis (hilal) di ufuk barat tepat setelah Matahari terbenam. (klik di sini untuk info lebih lanjut.)
Tetapi, tentu saja Ramadhan tidak terbatas di sekitar penentuan hilal. Hilal kan susah dilihat. Mungkin karena dia malu-malu melihat semut merah di dinding. Sebagaimana penulis sedikit gambarkan di atas, banyak citarasa kehidupan sosial yang bisa dicecap dengan lebih segar dan membahagiakan ketika dilangsungkan di tengah bulan Ramadhan. Tentu saja, selama semua itu dicecap setelah masuk waktu Maghrib. Kalau sebelum itu, batal atuh puasanya.

Untuk mengentalkan citarasa menarik dari bulan Ramadhan, berikut penulis persembahkan sebuah cerita, diikuti beberapa lembar meme. Selamat menikmati.

***
There were two white christian men, Adam and Jack, whose plane crashed into a desert. Luckily they survived unharmed. As they traveled through the hot desert looking for food and water, they gave up and sat down, thinking of what to do.
As the dust in the air settled, they suddenly could view a mosque ahead. They became very hopeful. But then Adam said ''Muslims are there. They might help us if we say we are muslim.'' Then Jack said ''No way, I won't say I'm muslim, I'm gonna be honest''.
So Adam and Jack went to the Mosque ahead and were greeted by an Arab Muslim, who asked what their names were.
Adam thought of a Muslim name and said, 'My name is Muhammed'. And Jack said 'My name is Jack'.
The Arab man said 'Hello Jack.' And told these other men to take Jack and give him food and drink.
Then he turned to Adam and said, 'Salaam Muhammed. Ramadan Mubarak!
(source)
sumber
Balada tarawih. sumber
Observasi ekstra. sumber
sumber
Hayoh ngapain kamuh. sumber

Hayoh. sumber
Eh ketelen. sumber
"Date", sure. sumber
Dari tolok ukur masing-masing kita, mungkin ada yang merasa Ramadhan ini telah ia lewati dengan luar biasa, dengan maksimal. Mungkin ada juga yang merasa pencapaian dalam Ramadhan ini masih sangat kurang dari apa yang ia targetkan. Yah, separuh Ramadhan di tahun 1435 Hijriah ini sudah berlalu, tetapi masih ada separuh Ramadhan lagi untuk dioptimalkan. (Re: penulis sedang menyindir diri sendiri.)
Untuk sedikit menggugah keceriaan dalam beramal dan/atau berkarya, berikut dua komik strip dari komikus Prancis, The Muslim Show. Selamat menikmati (lagi).

sumber
sumber
Di sisi lain, bulan Ramadhan kali ini juga menyimpan berbagai cerita dari sudut pandang ilmu astronomi.
Mengesampingkan segala hal yang default terkait Ramadhan, seperti fase Bulan dan hilal, mungkin penulis perlu memberitahukan bahwa sepanjang pekan ini, kita bisa memanfaatkan posisi Matahari sekitar pukul 16:18 WIB tiap sore untuk menentukan arah kiblat. Ketepatan cara ini pun cukup memadai. Sekitar tanggal 16 Juli, 16:18 WIB, Matahari akan terletak pada posisi paling baik dalam menentukan arah kiblat, karena pada saat itu, bagi pengamat di daerah Ka'bah, Matahari terlihat berada tepat di atas kepala. Sehingga posisi matahari pada waktu tersebut (dan kurang lebih 2 hari sebelum dan sesudahnya) dapat dijadikan patokan yang akurat untuk meluruskan arah kiblat kita semua. (Lebih lanjut mengenai hal ini dapat dibaca di laman berikut.)
Juga, bulan purnama Ramadhan yang (kurang lebih) menandai berlalunya setengah bulan Ramadhan beberapa waktu lalu, dilabeli sebagai purnama perigee (atau dengan istilah lebih populer, supermoon) pertama dalam tahun 2014. Pemakaian nama "purnama perigee" sendiri dimaksudkan sebagai upaya meluruskan kesalahan pemahaman masyarakat yang sering muncul ketika mendengar istilah "supermoon", berkat adanya awalan super-. (Ulasan lengkap mengenai purnama perigee bisa dibaca di laman berikut.)

Akhir kata, kita mungkin melewati hari-hari Ramadhan dengan tenang tanpa kurang suatu apa. Tetapi tidak semua orang seberuntung kita. Terutama rekan-rekan kita di Gaza, Suriah, Mesir, Afrika Tengah, Sudan dan banyak daerah lain yang terus dilanda konflik berkepanjangan. Penulis tidak akan banyak berkata-kata mengenai masalah ini, cukup diwakilkan oleh kedua gambar berikut.

sumber
sumber
Dengan demikian, usailah sudah kerjaan penulis dalam post kali ini.
Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

(:g)
Lanjutkan baca »

Jumat, 11 Juli 2014

Article#317 - Setangkup Es Krim


Setangkup es krim itu bergetar lembut di tanganku. Sejuk, gemetar, setengah beku.
Kuciduk perlahan tiap gumpal es krim dalam kalem. Sesekali sedikit, sesekali banyak hingga kepala pusing akibat perubahan suhu yang jauh. Ada sensasi yang membuatku mencandu, pada getar dinginnya yang bertalu-talu. Ada rasa yang terus berseru, seolah menyuarakan diri lewat tiap ucapku.

Ada tawa menyeruak dari kawan di sebelahku. Tawa pengisi senja hari itu, tawa ceria mereka yang bercengkrama di balik ragam sibuk. Mungkin hanya perbedaan dalam bahasa, busana dan bergaya yang mencirikan mereka sebagai anak rantau. Para pembeda yang tengah memeras prestasi lewat giling waktu.
Ya, ada tawa. Di mana-mana. Entah sebanyak apa yang tak kuhiraukan.

Beberapa cuplik cerita nampak berkilat dari gumpal es krim yang kuciduk. Seolah ingin menceritakan seisi wujudnya dalam sungguh. Tempo dunia bagai melambat, sementara aku terduduk. Bagai penonton yang setia, menyaksikan tiap keping drama mengalir sebelum tersantap.
Kusaksikan dengan takzim, kilatan kisah seorang anak bodoh dengan es krimnya, menetes ke sana kemari. Kusaksikan dengan teliti, gurat-gurat cerita lama, yang dengan bodoh kutelisik dari tekstur es krim dalam genggaman. Seolah buih-buih yang menyeruak memutar ulang percakapan yang pernah terlintas. Seolah aliran krim yang telah melemas mewakili nyali yang sebelum waktunya telah terempas.

Beramai orang pernah mengomentari kebiasaanku dalam menciduk es krim. Perlahan, tenang, hingga terlalu santai. Semua komentar hanya kujawab sekenanya, sementara kepalaku sendiri bertanya-tanya. Mungkin aku terlalu menghayati setiap cidukan. Mungkin aku jadi terlampau santai akibat terbawa aliran. Atau mungkin aku demikian antusias mendengarkan bait-bait cerita. Walaupun akal sehat menamparku, mengingatkan bahwa tidak ada es krim yang bercerita kepada pembelinya. Apalagi hingga berderai canda tawa. Iya, sepertinya seseorang terlalu sibuk memperhatikan pantulan dari apa yang telah lewat. Hingga dilihatnya pantulan dari segala arah. Tetapi, tidak juga. Pantulan dari aliran krim itu tetap menempati posisi spesial.
Di akhir kalimat, kesemuanya tetap menjadi alasan.

Aku sempat tak sadar kalau aku tak lagi memperhatikan es krim. Sibuk menyelusup bait cerita yang sibuk bercerita dalam kepala. Hingga setetes es krim yang hampir menetes membawaku kembali ke alam nyata. Tersadar. Berpaling.
Hampir saja aku diseret pikiranku untuk kembali berkelana. Tetes es krim yang tumpah. Kenaifan yang membuncah. Semua seolah disuarakan kompak. Es krim yang sedari tadi kugenggam, kini menyisakan krim yang telah cair. Menghangat dalam sekejap akibat hangatnya cerita yang datang. Krim yang bercampur aduk dalam ragam warna. Seolah mewakili dunia yang menertawakanku bersama kenyataan.
Aku kalah. Pikiranku diseret pergi. Kembali ke masa itu.
Tempat itu.
Sosok itu.
Canda tawa itu.
Kerjap sore itu.

Ketika berhasil kembali ke dunia nyata, kuputuskan menenggak seisi krim cair itu. Bersama segenap cerita yang kubiarkan menceramahi kerongkongan dan lambungku. Gelas dan sendok plastik itu duduk membisu. Dan di hadapan mereka, sorot mataku tertawa parau.
Adalah sebuah kepastian bagi setangkup es krim untuk meleleh, ketika ia ada di tanganmu. Kecuali tanganmu lebih beku dari keping salju.
Maka ia melelehlah. Lelehan berisi kerjap, yang terasa meneriakiku.
Kucoba menyimak lagi bagai orang sakit. Katanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tetapi, dengan uang, aku bisa membeli es krim. Dan bagiku, es krim sama saja dengan kebahagiaan.
Telingaku tertawa renyah, dan kubiarkan ceramah es krim sore itu. Menampung, menggelembung dalam teduh.

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Rabu, 09 Juli 2014

Article#316 - Leaving The Majority

Leaving the party in disguise
The way of which they despise
Look for tomorrow, within their pride
Whether they will stand out, or hide
They would like you to compromise
To put your principles aside
When majority's set to be right
Our stories are nonetheless a delight

Here about to leave
Is the one to bear the blame
Outcry of the moaning empty heads
I can't wait for it
Let alone bewilder the stage
Embrace the benign heart of empty eyes
Something to get back 
By the morning
Other part of the script will be done
Light years back
A ride to embark
From this point onward

A simple visualization of Earth's population distribution, as portrayed by
Reddit user valeriepieris. The picture above is taken from another thread
discussing the "circle" (denoted in negative color),
with the sentence being added later.
More explanation here.
I might be one of those guys who used to have that certain debates going on in their heads. Whether I should do something only because everyone else does it, or because everyone thinks it is right, or because it is right. One's words about truth being subjective, is in itself a subjective statement, since of course one may claim such a truth as an absolute one. It should be noted, however, that you can only do such stuff when your principle of affirming it is strong enough.
For the lot, such principle is called "religion". Some others refused to be denominated in any kind of religious entity, mostly the Westerners who had gone through centuries of Dark Age due to over-controlling religious institution. They would prefer simpler names such as "ideals" or "principles".

Long story short, I have long decided to put my perspective out of the majority. There's not many to rely on them; as those so-called wise guys said, the better ones are those who are able to stand out. Those who dare enough to be different, simply because they extricate well enough about that heck they are doing.
Now if thou pay heed unto the majority of those who live on Earth, they will but lead thee astray from the path of God: they follow but other people's conjectures, and they themselves do nothing but guess. (Qur'an 6: 116)
I'm also walking out of the majority's way. Indeed; not completely. Might never be completed? I don't know.
At the very least, I hope I'm continuously progressing.
Lanjutkan baca »

Senin, 07 Juli 2014

Article#315 - Negeri Jungkat-Jungkit

[versi belum komplit]

"Mardis!"
Sebuah tepukan di bahu, dengan suara itu. Mardis tahu betul siapa yang kini berada di belakangnya. Ia berpaling dan menghadap sosok Pak Kardi, guru musiknya di kelas XI ini.
"Ada apa, Pak?"
"Pak Yasa ingin bertemu kamu di kantornya," Pak Kardi menjelaskan singkat.
"Ooh. Sekarang Pak?"
"Pak Yasa sih bilangnya sehabis makan siang. Kamu sudah makan siang?"
"Sudah Pak,"
Pak Kardi merapikan rambut gondrongnya.
"Kalau begitu tunggu saja dulu. Tadi saya lihat Pak Yasa masih ada di kantin. Mungkin jam 1 beliau kembali ke kantornya."
"Baik. Terima kasih Pak Kardi!" sahut Mardis bersemangat.
"Sukses ya, Dis!" sahut Pak Kardi.
Mendengar sahutan pak Kardi itu, Mardis makin yakin, pemanggilan dirinya ke ruangan Pak Yasa adalah untuk membicarakan lomba puisi tingkat provinsi bulan depan.

Dengan langkah yang makin ringan, Mardis melangkah menuju mading OSIS. Salah satu lokasi favoritnya dalam menghabiskan waktu senggang di sela-sela kegiatan sekolahnya. Meskipun kemudian pikirannya tidak juga lepas dari lomba yang, Mardis yakini, akan diikutinya.

....
Pak Yasa, sang kepala sekolah, menatap piring nasi uduk kosong di hadapannya. Pikiran beliau berkecamuk.
Hanya tinggal 29 hari menuju lomba Bulan Bahasa tingkat provinsi. Lomba yang biasanya menjadi ajang pengukuhan nama sekolah pimpinannya sebagai langganan juara. Tetapi, untuk tahun ini, mulai muncul kekhawatiran akan kemungkinan sekolahnya pulang menggondol piala seperti yang sudah-sudah. Jumlah siswa yang mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba ini masih jauh di bawah jumlah yang diharapkan pak Yasa. Kalau terus menunggu para siswa mendaftar, bisa-bisa kita tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan para siswa, batin Pak Yasa.

Sepanjang tengah hari itu, pikiran Pak Yasa tak juga lepas dari urusan lomba terkait. Sejak ia membayar nasi uduk pesanannya, berjalan ke gedung sekolah, hingga menyalami beberapa siswa yang berpapasan dengannya. Tetapi di depan ruang kerjanya, sepertinya jawaban untuk kecamuk pikiran Pak Yasa sudah menunggu.
Mardis berdiri memandangi berbagai pengumuman yang ditempel di mading depan ruang Kepala Sekolah. Matanya masih menelusuri jadwal akademik semester ganjil ketika ia mendengar sapaan ramah Pak Yasa.
"Wah, sudah di sini rupanya, Dis. Maaf ya, kamu jadi menunggu."
"Tidak apa, Pak," Mardis mengulurkan tangan menyalami Pak Yasa.
Pak Yasa mengajak Mardis untuk memasuki ruang kerja Kepala Sekolah.

"Mungkin kamu sudah menerka, Dis, kalau tujuan saya memanggilmu ke ruangan ini adalah untuk membicarakan perihal keikutsertaanmu dalam lomba Bulan Bahasa, bulan depan. Seperti yang kami umumkan dulu, dari semua anak yang mengikuti seleksi pekan lalu, akan ada beberapa nama yang dipanggil langsung oleh saya, sebagai Kepala Sekolah. Nama-nama yang dipanggil adalah yang dipertimbangkan menjadi perwakilan sekolah dalam menghadapi lomba bulan depan." ulas Pak Yasa.
 
Mardis masih mendengarkan dengan takzim, berusaha menyembunyikan kegembiraan. Belum waktunya bergembira.
"Sejak kemarin, sudah ada beberapa siswa yang dipanggil, seperi kamu sekarang ini. Tujuan kami memanggil langsung calon peserta lomba, adalah untuk menilai secara langsung kemampuan kalian. Seperti saya yakin kamu pahami, Dis, kita ingin mengirimkan siswa-siswi terbaik kita dalam lomba tersebut."
Mardis mengangguk.
"Sekarang, untuk penilaian dari saya, kamu akan diminta membacakan lagi puisi yang kamu bawakan di seleksi pekan lalu. Kamu sudah siap?" Pak Yasa bertanya.
"Siap, Pak." Mardis menjawab dengan mantap.

Mardis mengambil nafas sejenak. Ia mengambil naskah puisi dari dalam tas. Memulai pembawaan puisinya.

Tersebut sebuah negeri yang katanya impian
Berbalut harapan yang ditaburi imaji
Sebagai surga bagi mereka yang mendambanya
Ya, inilah negeri jungkat-jungkit
Negeri di mana satu pihak bisa merasa paling benar
Dan pihak lain dicapnya bergelimang dosa

Semua pendapat lawan dianggapnya tiada makna
Dianggapnya hanya mencari pembenaran
Lewat seruan sederhana, berkumandang
"Yang tidak bersama kita, merekalah pihak mungkar!"
Padahal jika demikian, apalah bedanya mereka
Dengan kesesatan yang konon mereka coba enyahkan?

Di negeri jungkat-jungkit, kebenaran tak terasa maknanya
Tinggallah ia berupa nama yang dipuja-puja
Banyak yang telah muak melihat penistaan di layar kaca
Ketika para elit pejabat beramai menjilati label kebenaran

Sebagaimana anjing mengemis pada tuannya
Demi sepiring kuasa dan segenggam harta
Mereka gadaikan nilai dan prinsip
Demi kursi yang ingin mereka cicip
Mereka akan rela saling tusuk, saling gigit
Persis sekumpulan hyena berebut bangkai politik

Maka masihkah kau mengernyit heran?
Ketika di negeri jungkat-jungkit
Ada pihak yang membubarkan diri dari pesta
Berdiri di luar ruang, mengamati sebelum pergi
Dengan kernyit heran melingkupi ekspresi

Ada mereka yang mengaku peduli akan nasib bangsa
Dengan kutip yang bahkan belum tentu Brecht ucapkan
Mereka keluarkan ejekan buta politik
Sebagai ironi bagi para muka tebal anti kritik

Tentu saja, karena ini negeri jungkat-jungkit
Mereka yang ikut berpesta, merasa memberi peranan
Artinya, yang pergi dari pesta semuanya lepas tangan
Dan tak layak ambil jatah dalam kesuksesan

Bual hampa yang ditelan orang mentah-mentah
Kini berkecambah sebagai adu sumpah serapah
Kericuhan merekah antar dua sisi mata uang
Uang yang membeli logika dan akal sehat
Uang yang terhamburkan tanpa tentu tujuan

Maka, hingga kini di negeri jungkat-jungkit
Belum banyak yang bisa menerima kenyataan
Jangankan sekadar bicara nyelekit
Pilihan hidupnya saja hasil ikut-ikutan

Adu pengidolaan bodoh yang bangga dengan perannya
Ada yang bilang, pendukung mewakili yang didukungnya
Kalimat yang paling nyata mewakili ini semua
Di atas saling jilat, di bawah saling silat
Di atas adu domba, di bawah adu damba

Beginilah kawan, negeri jungkat-jungkit
Berdiri di satu pihak berarti melawan pihak lain
Menentang opini satu sisi berarti menyanjung sisi lain
Bagai pasukan paman Sam, menjajahi ragam negeri
Berburu teroris dengan menebar teror kesana kemari

Menepuk wajah lawan hingga kehitaman
Hitam oleh abu gosong tangan sendiri
Menyanggah fitnah dengan mendustai kenyataan
Mendompleng nama kebenaran untuk ongkang-ongkang kaki
Dengan semua kekonyolan moral di segala arah
Masihkah kau heran, ada yang melangkah pergi?

Mungkin kami meninggalkan arena pesta ini
Tetapi ingat, karena ini negeri jungkat-jungkit
Mana mungkin kami hanya bersantai, duduk manis
Tak perlu menanti lantai berjungkat, atau berjungkit

Menggerak raga sendiri untuk bergerak berubah
Bukan lewat puja-puji figur kinyis-kinyis
Mari, kawal negeri jungkat-jungkit dalam perbaikan
Karena kontribusi tak sesempit celupan jari


sumber gambar
Lanjutkan baca »

Jumat, 04 Juli 2014

Article#314 - Pity The Nation


Pity the nation that is full of beliefs and empty of religion.

Pity the nation that wears a cloth it does not weave
and eats a bread it does not harvest.

Pity the nation that acclaims the bully as hero,
and that deems the glittering conqueror bountiful.

Pity a nation that despises a passion in its dream,
yet submits in its awakening.

Pity the nation that raises not its voice
save when it walks in a funeral,
boasts not except among its ruins,
and will rebel not save when its neck is laid
between the sword and the block.

Pity the nation whose statesman is a fox,
whose philosopher is a juggler,
and whose art is the art of patching and mimicking

Pity the nation that welcomes its new ruler with trumpeting,
and farewells him with hooting,
only to welcome another with trumpeting again.

Pity the nation whose sages are dumb with years
and whose strongmen are yet in the cradle.

Pity the nation divided into fragments,
each fragment deeming itself a nation.


(Khalil Gibran. 1933. Pity The Nation, from the posthumous book The Garden of The Prophet)

photo credit
Lanjutkan baca »

Kamis, 03 Juli 2014

Article#313 - Pagelaran Politik, Dagelan Penuh Rintik

Seantero Nusantara seolah bersorak semarak.
Hari itu, 9 Mei 2014. Sekitar 30 hari setelah dilangsungkannya apa yang konon disebutkan sebagai “pesta demokrasi lima tahunan”, mereka yang ikut terlibat dalam menghitungi jumlah suara akhirnya mengumumkan secara resmi hasil dari “pesta” tersebut.
Hasil yang tak terlalu membuat orang-orang ternganga, sebenarnya. Hasil yang dipublikasikan penghitung suara tak jauh berbeda dengan hasil yang digulirkan oleh para “tukang kepo” pensurvei, hanya dalam hitungan hari sejak “pesta” jilid pertama digulirkan. Sekumpulan orang “tukang kepo” ini sudah siap siaga untuk mendata persebaran suara dalam berbagai sampel di wilayah Indonesia, sehingga hasilnya sudah bisa dinikmati di berbagai media cetak dan media layar kaca dalam waktu singkat.

Puas dengan penyajian data persebaran suara hasil “pesta” jilid awal, jutaan kepala di seluruh penjuru Indonesia justru makin mencandu berita. Mata kepala mereka seolah tak lagi melepaskan perhatian dari berita-berita suguhan media massa. Mulai dari yang paling netral seperti hasil liga sepakbola di negeri seberang lautan, hingga yang paling timpang seperti hasil liga sepakbola punya negeri sendiri. (eh) Berita juga bervariasi dari yang membicarakan berbagai harga barang yang naik, hingga tentu saja, membicarakan petinggi-petinggi “simbol” yang sebelumnya “berlaga” dalam “pesta”. Dengan takzim, jutaan pasang mata menyaksikan, mengamati. Mengamati bagaimana para petinggi saling sikut, saling tubruk, saling membujuk, saling ikut-ikut. Mencari-cari sebuah “tujuan bersama” yang konon menjadi untai retorika butut. Mungkin, sebuah konsekuensi dari sistem yang kusut nan acakadut.

Tak butuh lama untuk menerka, mana saja figur-figur yang akan dijadikan produk unggulan dalam memperebutkan kemenangan dalam “pesta” jilid kedua. Sudah ada dua figur yang dijadikan maskot untuk menggalang suara dari segala arah, bahkan sebelum “pesta” jilid pertama digulirkan. Oleh karenanya, perhatian sebagian orang kemudian beralih ke pergerakan “simbol” sang penguasa bertahan. Pak Beye, sang penguasa, konon berencana menyertakan “simbolnya” untuk ikut serta dalam percaturan produk unggulan dalam negeri di “pesta” jilid kedua. Namun, karena berbagai hal, seperti “simbol” lain yang terus menguumpalkan diri masing-masing ke dua figur yang telah beredar, dan mungkin karena sang penguasa sudah lelah, niatan mengusung “produk tengah” yang sebelumnya gencar pun kemudian diurungkan. (Baru-baru ini kubu Pak Beye merapat ke salah satu kubu.) Akhirnya, pada 1 Juni, disahkanlah kedua pasang figur untuk menjajakan diri, bertarung merebut hati sekian ratus juta orang yang akan menjadi tanggung jawab utama dalam tampuk kepimpinan mereka kelak.

Kini, tujuan bagi kedua kubu pendukung sang figur, sebut saja figur P dan W, adalah memastikan figur yang ia usung tersebut akan mengambil hati banyak orang. Tentu saja, suara dukungan orang-orang akan menguntungkan kubu mereka dalam perputaran “pesta” jilid kedua nanti. Dengan waktu hanya 35 hari, kedua kubu yang telah menyiapkan ahli strategi masing-masing pun memulai perburuan suara.
Jika di negeri Holiwud sana ada “The Hunger Games”, mungkin tak salah jika menjuluki yang berlangsung di Nusantara kali ini, dengan julukan “The Voter Games”.

Sebagai figur yang mempertunjukkan dirinya pada publik sebagai kandidat dalam “pesta” jilid kedua, baik figur W ataupun figur P sudah mempersiapkan dirinya menghadapi berbagai macam reaksi dari masyarakat. Reaksi yang kedua figur ini (juga oleh kubu pendukungnya) coba arahkan supaya mendukung dan ikut menyebarluaskan kelebihan sang figur sebagai pemimpin negeri Indonesia yang luas dan beraneka cita rasa.
Sebuah kemewahan era masa kini bernama internet telah terbukti andal dalam menyebarkan rekam jejak kedua figur yang bak bertatahkan perbuatan dan batuan mulia. Dengan dosis kampanye yang bertubi-tubi, perlahan warga mulai merapatkan barisan ke kedua arah. Ada yang merasa figur junjungannya berwibawa dalam bicara, tegas dalam tindakan, dan mampu mengenyahkan wajah-wajah korup dai pemerintahan. (Konon foto si figur pun bagus ketika dijadikan perangkap tikus.) Ada juga yang merasa figur junjungannya merakyat, tidak meninggikan diri, dan beraksi dengan tulus sebagaimana mesin ATM meloloskan fulus.

Sebagaimana bisa diduga, tak butuh lama bagi warga melek internet seantero Indonesia untuk mulai mendapatkan akses menuju liputan berisi catatan-catatan tentang figur. Catatan yang selama ini tak tercakup dalam introduksi kedua figur. Dari pujian paling bernoda gula-gula, hingga cerca bertabur noda-noda, kedua figur seolah punya jatahnya masing-masing. Jatah yang selama ini seolah tersembunyi di balik lipatan naskah rekam jejak mereka yang mentereng.
Bagai anak-anak yang baru menemukan hal baru, dengan semangat mereka memperkenalkan ke seluruh penjuru dunia akan apa saja yang baru saja ditemuinya. Dengan bangga, penuh semangat berbagi pengetahuan. Toh saya tidak menulisnya, hanya membagikan.

sumber
Bagai jamur tumbuh di musim jamur, berbagai jenis tulisan mengenai kedua figur pun beredar luas di seantero dunia maya. Kalau yang dibagikan berita bagus, mungkin tidak masalah. Sayangnya, konon tulisan-tulisan yang disebarkan itu tidak terjamin kualitasnya. Tidak perlu langsung membiarakan kecenderungan isi tulisan yang menjatuhkan satu kubu dan/atau mengangkat kubu lain. Tulisan-tulisan tersebut saja seringkali murni membicarakan opini sang penulis, tidak memberikan penjelasan yang konkret, atau bahkan asal mencatut fakta.
Tulisan-tulisan sejenis ini kemudian dikumpulkan dalam satu kategori, yang kemudian menjadi akrab di telinga jutaan warga Indonesia dengan menghangatnya suasana menjelang “pesta”. Black campaign, atau dalam bahasa Indonesia disebut kampanye hitam. Selama penyampaian tulisan bernada menyerang salah satu kubu dengan tuduhan, label "kampanye hitam" akan senantiasa melekat padanya. Ada juga istilah negative campaign alias kampanye negatif, yang intinya membeberkan kekurangan salah satu figur, tetapi berdasarkan data dan fakta yang ditemukan. Yaa, pada prakteknya sih, banyak yang mengategorikan kedua jenis ini berdasarkan satu hal sederhana: apakah ia suka dengan isi beritanya.

sumber
Kosakata yang baru bagi sebagian penikmat media ini pun dengan cepat menjadi istilah populer dalam menyikapi berbagai tulisan yang berseliweran di media-media dunia maya. Cakupannya pun menjadi demikian luas, mulai dari opini yang dituangkan, publikasi media online yang diselewengkan, data-data yang dibelokkan, isu-isu yang dihembuskan.
Maka dimulailah sekian banyak "pertarungan" antar warga. Yang satu mendukung kubu W, satunya mendukung kubu P, saling serang pendapat, ricuh. Ada yang membagikan kampanye hitam, tidak mau mendengarkan nasihat orang lain, ricuh. Ada yang sedemikian ngefans akan salah satu kubu,
dan menutup mata ketika dibeberkan kekurangan sang idola, marah, sebel. Dan entah berapa banyak contoh lagi yang bisa diambil dari seluruh penjuru negeri.
Hingga akhirnya ada pihak yang memutuskan pengedaran karyanya berikut, sebagai perwujudan dari sikap yang tidak menginginkan "pertarungan" di segala arah. Walaupun isinya jadi terasa seperti seseorang yang merindukan mantan. Mantan yang memutuskan hubungan akibat perbedaan pandangan politik.

sumber
Untungnya, dari sekian banyak berita negatif ataupun hitam yang menghiasi panca indera warga, beberapa pihak lain juga memutuskan untuk menggelar lapak bagi sisi lain kampanye: kampanye kreatif. Beberapa pemilik akun YouTube, seperti CameoProject dan Eka Gustiwana, mengunggah berbagai video yang membahas berbagai sisi seputar figur, baik sisi kampanye gelap, ataupun sisi keisengan. Jika kau mengunjungi fanspage resmi masing-masing figur pun, akan kautemui berbagai bentuk kampanye versi kubu masing-masing, sesekali diselingi ilustrasi program kerja yang mereka canangkan. Sebagian pendukung dari masing-masing kubu juga memutuskan untuk menyusun jargon kampanye dalam lagu gubahan masing-masing. (Meskipun aransemen jargon terkait memanfaatkan aransemen lagu yang sudah lebih dulu populer, bahkan sempat menimbulkan permasalahan hak cipta.)

Tetapi, sepanjang pengamatan penulis yang nyaris tidak bersentuhan secara langsung dengan berbagai macam kampanye yang ada, bentuk kampanye yang paling mudah diamati adalah orang-orang yang menempeli foto profilnya di media sosial. Tempelan yang dinamai "twibbon" ini (ada yang tahu asbabun nuzul dari istilah ini?) sebenarnya sudah sejak lama beredar, biasa digunakan sebagai bukti dukungan atas suatu kegiatan/program. Kelebihan twibbon dalam hal ini adalah menandai diri orang yang memasangnya sebagai pendukung dari apa-apa yang ia pasang di foto profilnya. Mereka para tukang kampanye pun dengan senang hati ikut membuat twibbon, dan menyebarluaskannya dengan bantuan jejaring sosial yang demikian padat.

Contoh twibbon yang dipakai dalam kampanye kali ini. sumber
Cara ini terbukti sukses, dengan membanjirnya orang-orang yang menempelkan twibbon ini di foto profilnya masing-masing. Sedikit keliling di akun media sosialmu mungkin akan memberitahukan, seberapa banyak garuda merah atau angka 2 yang beredar di segala arah. (Iya, asas "LUBER" dari "LUBER JURDIL" mungkin sudah berganti makna menjadi "Tumpah".)
Dan tentu saja, orang Indonesia termasuk orang paling kreatif dalam urusan mengakali sesuatu, dari yang tidak (perlu) serius macam kampanye, sampai yang serius macam mengakali celah-celah dalam hukum. Urusan twibbon ini pun tidak lepas dari hal yang diakali oleh otak-otak kreatif negeri.
Berikut beberapa contohnya.

Karena tidak semua orang dengan yakin memilih salah satu kubu.
Dibuat oleh M. Dio Danarianto.
Foto profil Twitter @FadliMH
Foto profil Facebook milik Iskandar Zulkarnain, salah satu Taplok
pada OSKM ITB 2013
Foto profil Twitter @QDJY
Karena 1 ditambah 2 sama dengan 3.
Foto profil laman The Real Suara Rumput Liar
(Jangan protes, yang satu ini diunggah pada 17 Juni lalu)
...dan aku benci... mencantumkan sumber.. (eh)
Saya juga tak paham, kenapa pesepakbola yang satu ini ikut terlibat.
sumber ada di sini
Foto profil Facebook milik Anas Zakaria
Foto profil Facebook milik Umar Hanif Al Faruqy,
dalam rangka 101 tahun Hari Purbakala Indonesia.
Foto profil Twitter @yeahmahasiswa.
Tuh, kuliah empat tahun ajah, yah.
Foto profil Facebook milik Diaz Jubairy
Kampanye bersepeda di sisi kiri jalan.
Foto profil Facebook milik Adam Badra Cahaya.
Oke sip, Jik.
Foto diunggah di laman Tumblr milik Aji Resindra Widya
alias resindraburiza (?)
Foto profil Twitter @victorkamang
Sabar ya Pak. Nyonya Suharti aja berdiri entah udah berapa puluh tahun.
Bagaimana dengan penulis? Jika penulis harus menempatkan posisinya di sini, maka inilah yang akan penulis usung.

Apa maksudnya Berani Beda? Silakan klik laman ini saja.
.....
Waktu menunjukkan tinggal kurang dari sepekan lagi menuju pagelaran "pesta" jilid kedua. Sebagian dari kalian mungkin akan berharap kubu P yang menang, sebagian yang lain akan berharap kubu W yang menang. Harapan muluk penulis beserta banyak yang lain, mungkin adalah harapan supaya hasil dari "pesta" jilid kedua ini bisa diterima oleh semua pihak dengan baik. Dan, ketika kontestan yang terpilih dalam "pesta" menerima mandat untuk menduduki tahta istana, semua atribut pertikaian yang sebelumnya digadang-gadang  hendaknya dilepaskan. Bagi mereka yang memutus ikatan pertemanan, baik di dunia nyata atau media sosial, hendaknya akur kembali. Bagi mereka yang memutuskan hubungan romansa, hendaknya bersatu lagi, atau lebih baik lagi jika disahkan oleh hukum negeri. Dan, tak peduli siapa kawan, siapa lawan dulu di masa kampanye, semoga semua mendukung usaha memperbaiki keadaan. (Maaf klise)

Mungkin saya perlu mengutip kumpulan nasihat berikut.
● Berhentilah menuntut ilmu, karena ilmu tidak bersalah.
● Jangan membalas budi karena belum tentu Budi yang melakukannya.
● Jangan mengarungi lautan, karena karung lebih cocok untuk beras.
● Berhenti juga menimba ilmu, karena ilmu tidak ada di dalam sumur.
● Jangan lupa daratan, karena kalau lupa daratan akan tinggal dimana?
● Jangan ngurusin orang karena belum tentu orang itu pengen kurus.
● Dan janganlah bangga menjadi atasan. Karena di Pasar Baru atasan 10 rb dapat 3

(sumber)
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat, dan tidak garing seperti kain yang dijemur di beranda.
Salam lemper!

Bonus
Kabar gembira bagi kita semua...?
Perwujudan kedua figur kandidat sebagai Pusheen.
Hasil karya @gunawanrudy

Tidak perlu dijelaskan lagi, ya.
sumber gambar
sumber

(Tulisan ini adalah hasil kerjasama penulis dengan M. Dio Danarianto dan David Orlando Kurniawan)
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...