Minggu, 31 Mei 2015

Article#425 - Melogaritmakan Gempa

Gempa bumi.
Agaknya cukup beralasan untuk mengatakan bahwa segenap warga Indonesia familiar dengan istilah yang satu ini. Posisi Indonesia yang ‘terjebak’ di antara benua Asia dan Australia turut andil dalam membentuk gugusan kepulauan yang rawan bencana geologis, semisal gempa dan gunung berapi. Sebagai hasilnya, banyak warga Indonesia pernah merasakan secara langsung getaran gempa, dan lebih banyak lagi yang tak asing dengan pemberitaan media akan terjadinya gempa.
Pada umumnya, pemberitaan akan gempa di media akan memuat berbagai informasi. Informasi yang paling umum adalah lokasi sumber gempa, beserta kedalamannya, disusul oleh kekuatan gempa. Kita biasanya akan menjumpai kekuatan gempa yang dinyatakan dalam angka, katakanlah 6.8, kemudian disusul singkatan SR.

Masalahnya, apa itu SR? Dan kenapa kekuatan gempa dinyatakan dalam bentuk demikian?


*****
Sekarang, anggaplah kita memutar waktu untuk seketika kembali ke masa 100 tahun yang lalu. Bagi mereka yang berkelana di tahun 1915 dan menerima informasi akan terjadinya gempa, mereka tidak akan mengenali sama sekali notasi semacam 6.8 SR sebagaimana tersebut di bagian sebelumnya. Ini berangkat dari kenyataan bahwa SR, yang merupakan singkatan dari Skala Richter, baru dipublikasikan 20 tahun setelahnya.

Charles Francis Richter (1900-1985) pada tahun 1930an adalah seorang fisikawan yang bekerja di Seismological Laboratory, atau Seismo Lab. Seismo Lab dikelola melalui kerjasama California Institute of Technology (Caltech) dengan Carnegie Institute for Science, dan berposisi di dekat kota Los Angeles, California, Amerika Serikat. Posisi Seismo Lab di California menjadi penting ketika menilik reputasi California salah satu daerah paling rawan gempa di wilayah Amerika Serikat. Sejarah panjang kegempaan California terentang hingga jutaan tahun silam, dengan salah satunya adalah gempa besar 1906 yang tercatat meluluhlantakkan sebagian besar kota San Francisco.
Disokong oleh keaktifan geologis wilayah California yang terus menebar gempa, Seismo Lab dengan cepat tumbuh besar dalam naungan Caltech, menjadi institusi penelitian kegempaan top dunia.

Sebagai institusi penelitian kegempaan kelas dunia, Seismo Lab menjadi rujukan utama dalam ilmu kegempaan di masanya. Termasuk menjadi lumbung dokumen ilmiah terkait aktivitas kegempaan di wilayah California selatan. Berbekal dokumentasi terkait, Seismo Lab berencana mempublikasikan laporan kegempaan ini secara rutin kepada khalayak ramai. Untuk memenuhi keperluan ini, diperlukan adanya sistem pengukuran untuk menggambarkan kekuatan gempa terkait secara seragam.
Richter, bekerjasama dengan atasannya Beno Gutenberg, mendapatkan inspirasi dari publikasi ilmiah Kiyoo Wadati (1902-1995) untuk menaksir kekuatan gempa dari besar pergerakan tanah yang ditimbulkannya. Berhubung gempa bumi pada dasarnya adalah kejadian berguncangnya permukaan Bumi, secara alamiah orang akan mengaitkan kekuatan gempa dengan besar guncangan yang terjadi.

Berangkat dari inspirasi ini, Richter kemudian menyusun acuan awal untuk skala Richter pada 1932, sebagai berikut:
Sebuah gempa pada jarak 100 km yang menggerakkan jarum seismograf Caltech sejauh 1 milimeter dari titik setimbang adalah gempa magnitudo 3.
Istilah “magnitudo” yang digunakan Richter dalam skala rancangannya konon berasal dari skala kecerlangan bintang, yang juga memakai satuan ‘magnitudo’. Sementara angka 3 dipilih Richter untuk menghindari kemungkinan tercatatnya gempa bermagnitudo “negatif”.

Sekarang, barangkali sebagian dari kita bertanya-tanya. Jika skala Richter memang menaksir kekuatan gempa berdasarkan besar guncangan, bagaimana bisa ada “guncangan negatif”?

Di sinilah inti dari penghitungan skala Richter.
Richter yang sedang merancang skala pun kebingungan dalam menentukan rentang skalanya. Betapa tidak, gempa yang cukup besar akan menggerakkan jarum seismograf Caltech hingga beberapa sentimeter, sementara gempa yang lebih kecil hanya menggerakkan jarum seismograf yang sama dalam kisaran mikrometer (1 mikrometer setara dengan seperseribu milimeter). Jika disesuaikan secara normal dengan acuan sebelumnya, maka gempa kecil akan tercatat dengan magnitudo kurang dari 1, sementara gempa besar bisa tercatat bermagnitudo 50, atau bahkan 100. Rentang yang demikian besar ini tentunya tidak nyaman digunakan dalam publikasi kelak.
Maka beruntunglah Richter, ketika dilema ini kemudian diatasi oleh usulan Gutenberg dengan usulan supaya Richter merancang ulang skalanya dengan skala logaritmik.

...Apa lagi ini, skala logaritmik?
Secara sederhana, dalam skala logaritmik, tiap satuan skala dihubungkan oleh hubungan berupa rasio, atau perbandingan. Ini berbeda dengan skala linear, di mana tiap satuan skala dihubungkan oleh hubungan selisih.
Menilik permasalahan skala Richter sebagai skala logaritmik, jika pergeseran jarum seismograf sebesar 1 milimeter mewakili magnitudo 3, maka pergeseran sebesar 1 sentimeter mewakili magnitudo 4, dan seterusnya. Magnitudo 6, alih-alih mewakili pergeseran dua kali lipat dari magnitudo 3, mewakili pergeseran seribu kali lipat, yaitu satu meter. Ini berbeda dengan skala Kelvin untuk suhu, misalnya, di mana suhu 400 Kelvin mewakili jumlah panas yang dua kali lebih besar dari suhu 200 Kelvin.

Dengan rancangan logaritmik ini, Richter dapat menyusun skalanya dalam satuan yang lebih “bersahabat” bagi khalayak ramai kelak. “Gempa besar” yang menggerakkan jarum seismograf dalam kisaran beberapa sentimeter, akan tercatat sebagai gempa bermagnitudo 4 hingga 5. Sementara gempa kecil yang menggerakkan jarum seismograf dalam kisaran beberapa milimeter, akan tercatat sebagai gempa bermagnitudo 0 hingga 1.

Ketika mempertimbangkan perbandingan kekuatan antara gempa kecil dan gempa besar di bagian sebelumnya, sekilas tampak jelas bagaimana skala logaritmik membantu menyederhanakan nilai perbandingan terkait. Akan tetapi, ketika diamati dari sudut pandang khalayak ramai yang terbiasa dengan skala linear (misalnya dalam besaran macam panjang, massa atau waktu), menyampaikan informasi dalam skala logaritmik cenderung akan memunculkan kesalahpahaman antara kalangan ilmuwan dan masyarakat.
Misalnya, karena skala Richter adalah skala logaritmik, gempa bermagnitudo 6.0 akan mengguncang muka Bumi 10 kali lebih kuat dari gempa bermagnitudo 5.0. Ketika diterjemahkan dalam bentuk total energi yang dilepaskan, gempa bermagnitudo 6.0 melepaskan energi 31,6 kali lebih besar dari energi yang dilepaskan gempa bermagnitudo 5.0. Perbandingan yang berat sebelah ini mungkin tak kentara ketika kita melihat angka magnitudo yang hanya berselang satu.

Diagram yang menggambarkan kaitan antara magnitudo sebuah gempa dengan energi yang dikandungnya.
sumber gambar

Contoh lain dapat diambil dari analisis gempa Jepang Timur tahun 2011.
Pada awalnya, gempa terkait tercatat memiliki nilai magnitudo 8.8 menurut Badan Meteorologi Jepang (JMA). Setelah perhitungan lebih lanjut, nilai tersebut direvisi menjadi 9.0, yang resmi diakui hingga kini.
Bagi kita yang terbiasa dengan skala linear, revisi ini akan dipandang remeh, mengingat selisihnya hanya 0.2, tidak besar. Akan tetapi, ketika kita mengembalikan kedua nilai ini pada jati dirinya sebagai angka dari skala logaritmik, kita akan mendapat informasi menarik: gempa bermagnitudo 9.0 melepaskan energi sekitar 2 kali energi gempa bermagnitudo 8.8. Meskipun kemudian kita tetap lebih bergidik ngeri membayangkan terjadinya dua gempa bermagnitudo 8.8 alih-alih satu gempa bermagnitudo 9.0.

Ketidakakraban khalayak ramai terhadap skala logaritmik yang diterapkan pada skala kekuatan gempa ini boleh jadi akan memunculkan masalah di berbagai sisi. Meskipun demikian, agaknya kita harus terus-menerus membiasakan diri dengan skala logaritmik yang terasa tidak alami ini. Sebagaimana permasalahan yang dihadapi Richter sebelumnya, mengungkapkan kekuatan gempa dalam skala linear pada akhirnya akan memberikan angka-angka besar untuk menggambarkan magnitudo gempa: misalnya magnitudo 3.000.000 alih-alih magnitudo 7, atau magnitudo 3.000.000.000 alih-alih magnitudo 9. Melihat kemungkinan ini, setidaknya saya akan sepakat bahwa mengungkapkan kekuatan gempa dalam skala logaritmik akan lebih mudah ketimbang mengungkapkannya dalam skala linear. Semoga para pembaca sekalian juga sepakat; kalaupun kita hendak memprotes, agaknya keadaan tak akan berubah, menilik skenario yang dijabarkan di atas.

.....
Sebagai penutup tulisan, beberapa pembaca mungkin memergoki hilangnya kosakata “skala Richter” di bagian belakang tulisan. Pada kenyataannya, “skala Richter” sebagaimana dikembangkan oleh Richter dan Gutenberg sudah digantikan skala yang lebih mutakhir. Skala ini, yang masih kerap disebut sebagai “skala Richter” di berita-berita kegempaan, sebenarnya adalah “skala kekuatan momen” (moment magnitude scale), dinyatakan dengan simbol MW.
Skala momen ini mengukur kekuatan gempa berdasarkan pergerakan sesungguhnya dari kulit bumi yang menghasilkan kegempaan, atau “momen gempa” (seismic moment).
Walaupun skala ini berbeda secara mendasar dengan skala Richter, keduanya sama-sama menggunakan skala logaritmik. Sehingga, dalam penerapannya saat ini, kedua skala dapat diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan nilai magnitudo yang setara bagi gempa yang sama.

Demikianlah kiranya. Mari mengakrabi lebih lanjut ragam pembelajaran di sekitar kita!

Jika ingin mempelajari lebih lanjut, silakan baca referensi berikut:
http://gizmodo.com/tracking-tremors-a-brief-history-of-the-richter-scale-484911351
http://www.theatlantic.com/technology/archive/2014/08/is-there-a-better-way-to-measure-earthquakes/379165/
https://www.scientificamerican.com/article/how-was-the-richter-scale/
http://earthquake.usgs.gov/learn/topics/measure.php
http://en.wikipedia.org/wiki/Moment_magnitude_scale
http://en.wikipedia.org/wiki/Richter_magnitude_scale
Lanjutkan baca »

Rabu, 27 Mei 2015

Article#424 - Cakrawala


Jangan khawatir, aku tidak akan ikut-ikut berlagak menyemangati dengan mengatakan, betapa kita sedang menatap langit yang sama. Mana mungkin langit kita akan sama, ketika lokasi kita saja tak persis sama?

Langit satu-dua menit yang lalu saja tidak sepenuhnya sama dengan langit yang sekarang. Walaupun kita tak beranjak dalam mengamatinya.
Lantas bagaimana kita akan berceloteh layaknya orang-orang, bahwa kita melihat langit yang sama? Ketika ada jarak bernama bujur, atau bernama lintang?

Sedikit saja berpindah bujur, kita akan mendapati bintang yang belum terbit di lokasi awal, atau bahkan sudah terbenam kala kita mencoba menggapainya. Mungkin dalam beberapa selang ia akan sama. Tetapi, detik ini juga?
Sedikit saja berpindah lintang, barangkali kita akan menyapa petak-petak angkasa yang belum pernah dijumpa, sembari kehilangan petak langit lain yang biasa disapa.

Oke, barangkali mereka yang mengumbar kesajaan langit dari dua tempat sedang membicarakan terang yang menghiasinya. Ada planet, ada bintang, dan tentu ada Bulan. Ada pula Matahari, yang meski juga adalah bintang, seringkali dikesampingkan karena terangnya yang menenggelamkan benda langit lainnya.
Jika mereka hendak bilang bahwa mereka mengamati benda langit yang sama, maka bukankah ada ribuan, atau jutaan orang lain yang juga mengamati benda langit yang sama? Lantas apa istimewanya ungkapan itu diutarakan?

.....
Jangan khawatir, ketika kita bersungguh dalam memberi suntikan semangat, kita tak perlu menjiplak kata-kata orang yang terkesan besar. Rasanya kata yang diuntai dalam ketulusan lebih dari cukup untuk menanggulanginya.

Langit kini dan langit esok tak akan sama, karena seisi semesta kita terus bergerak dalam lintasan tiap-tiapnya.
Tetapi, mereka yang sibuk menjiplak demi waham kebesaran, mungkin saja tidak pernah melihat konteks yang berbeda dari apa yang mereka jiplak.
Pun jua kita yang merasa hebat setelah mengritik mereka.

And it will be nice to be alone for a week or two
But I know that I will be right back here with you
Lanjutkan baca »

Minggu, 24 Mei 2015

Article#423 - Abstraksi Polinasi


Mungkin kita sekalian
Yang terbiasa mempertanyakan
Hadirnya senja lebih lama
Adalah kita yang mengabaikan semburat fajar
Sinarnya yang tak kita rasai
Terangnya yang tak kita resapi
Agaknya menghalangi sejuk pagi
Untuk hadir menyambangi
Menyisakan siang berkalang terik
Untuk tetes keringat menitik

Mungkin kita sekalian
Yang terbiasa menyerapahi kebekuan
Adalah yang merasa diliput hangat
Dalam setiap jejak perbuatan
Ketika dingin beranjak pergi
Lelehan salju merembesi Bumi
Memberi jalan bunga bersemi
Kita yang baru saja bangkit
Tidak sempat untuk mensyukuri
Bahkan ketika tetumbuhan merajai
Kita temukan panas matahari
Untuk diceramahi

Mungkin kita sekalian
Yang terbiasa mengeluhkan kebosanan
Mendambai kehidupan yang berwarna
Adalah kita yang tak banyak berusaha
Dalam memoles cita-cita
Kita boleh jadi abaikan mekar seroja
Atau semburat warna akasia
Atau aster yang menyala-nyala
Karena kita sibuk meratapi rontok sakura
Yang telah lama bersimbah tanah
Bersatu dengan asal mula

Mungkin kita sekalian
Yang bergelut hadapi ketidakpastian
Adalah kita yang semula mengesampingkan
Kemungkinan dari keberadaan pilihan
Adakah kita seksama melihat
Betapa dedaunan merimbun terlalu cepat?
Atau bebungaan yang mekar terlambat?
Pergantian masa demi masa
Boleh saja timbulkan simpang
Meninggalkan satu saja kepastian
Akan kembalinya hidup dari tidur panjang
Melanjutkan kelangsungan

Mungkin kita sekalian
Perlu banyak belajar dari sekitar
Ketika kita sibuk meratapi saat
Merusak sendiri alur perjalanan


Hari 7349, menyongsong senja di pinggir sungai.
Ahad, 24 Mei 2015, 17:48 (UT+9)
38°15'52.74"N, 140°51'46.83"E
Lanjutkan baca »

Kamis, 21 Mei 2015

Article#422 - Tiga Kebijakan

Ketika membicarakan kebijakan, pikiran kita umumnya akan terpaku pada dua sisi pemaknaan dari istilah yang diberikan.
Kita bisa saja berkutat pada kata dasarnya, "bijak"; sebuah kata yang biasa dipakai untuk melabeli mereka yang mendedikasikan diri sebagai lumbung petuah dan kutipan motivasi. Meskipun pada kenyataannya, "bijak" sendiri dapat dimaknai sebagai sifat "petah lidah": kepandaian dalam meracik kata-kata, membaurkan ragam dialektika—setidaknya demikianlah menurut KBBI. Atau "bijak" sebagai sifat orang yang senantiasa mendayagunakan akal budinya, sebagaimana mungkin sering kita temui dalam senarai cerita.
Kita pun bisa memaknai "kebijakan" sebagaimana penempatannya dalam tajuk berita, yang kerap kali diidentikkan dengan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh para pemangku kekuasaan. Tidak jelas juga, bagi penulis, kapan pemaknaan "kebijakan" yang ini dipopulerkan; apakah ini usaha pemerintah dalam mencitrakan dirinya sebagai kumpulan orang "bijak" yang peduli nasib rakyat, saya pun tak tahu.
Apakah kebijakan ini, jika diniatkan dengan niatan bijak, berhasil membuat bijak apa-apa yang ditujukan padanya kebijakan, kita pun mungkin lebih tak tahu.

Ada kebijakan yang tak mendengar. Seolah tak bergeming di hadapan ribuan, jutaan orang yang bersatu menyuarakan teriak senada, jerit seirama. Ia dengan tenangnya membiarkan sekian banyak manusia saling tabrak, baku hantam, adu kericuhan, toh mereka dibebaskan untuk melakukan apa yang mereka suka. Silakan saja ricuh sekeras yang kau bisa, itu hakmu, mereka para "orang bijak" pun tak akan terganggu. Tak pula repot-repot mencari tahu.

Ada kebijakan yang tak melihat. Seolah tak kenal ampun, mendobrak pakem dan hegemoni yang bercokol demi kebaikan bersama. Terbutakan oleh imaji akan sebuah negara yang besar, ia terus mendorong dirinya sebagai pelopor dari beragam pergerakan, pusat dari tiap mata badai gejolak dunia; toh ialah yang memicu bermulanya segala. Silakan saja kau membunuh sekian banyak cita mulia yang digaungkan, ia pun akan tetap membawamu berjalan, melangkah demi kebesaran yang tercitakan. Tak menyadari sesiapa di belakang yang setia berkalang.

Ada kebijakan yang tak berbicara. Hadirnya bisu, perangainya pun tampak jemu, seolah bosan melihat canda tawamu. Pergerakannya dalam menduduki kursi tertinggi pun senyap; tanpa banyak rusuh, tanpa banyak basa-basi sebagaimana umumnya penduduk negeri. Tetapi, ketika ia mulai menancapkan jemari ke penjuru negeri, dibawanya seisi negeri untuk mengikuti: bicarakan yang baik-baik, atau mati. Silakan saja berseru sekeras mungkin di depan khalayak ramai, yang selanjutnya akan kausapa adalah jemari jeruji. Jeruji sunyi, sepi, memaksa penghuninya untuk berdiam diri sebagaimana penguasa negeri. Tak menggubris kebusukan di sana-sini.

sumber
Di masa kini, ketika sesiapa yang menutup mata, lidah, maupun telinganya tak jelas terbedakan lagi, kombinasi ketiganya bercampur di sana di mari. Kau akan amati orang meneriakkan kejelasan nisbi, mempertunjukkan kebrengsekan imaji, mempertanyakan pendapat pribadi. Barangkali semua tampak tak indah, di depan aparat dan pejabat yang tiada kentara peduli.
Ketika mereka yang bercokol di kursi mewah mengeluarkan kebijakan, kita yang berkemul seisi angkasa sontak memprotesi.
Ketika mereka yang berhiaskan jas almamater mengeluarkan kebijakan untuk menanggapi kebijakan, tak lagi jelas batas antara peduli dan ditunggangi.
Dan ketika mereka yang bernafaskan aroma pertiwi mempertanyakan kebijakan, semua sontak saling mengkritisi tanpa dasar berarti.

Kebijakan tak tampak bijak? Mungkin memang tidak. Mungkin, mereka dari awalnya memang tak pernah semakna.
Sajak Pertemuan Mahasiswa
(WS Rendra)

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
Memeriksa keadaan.

Kita bertanya:
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata, “Kami ada maksud baik“
Dan kita bertanya: “Maksud baik untuk siapa?”

Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.

Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.

Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya:
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.

Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari
Matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
Menjadi ombak di samudra.

Di bawah matahari ini kita bertanya:
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana!

Jakarta, 1 Desember 1977

Malam kini mungkin tampak beranjak. Atau tidak pernah bangkit dari keterasingannya yang ditelan siang.
Mungkin, bagi kita yang senantiasa menatap masa kini yang ada di masa depan, kita punya ketidaktahuan yang sama akan apa-apa yang kita inginkan. Atau apa-apa yang kita takutkan.

Maka, izinkanlah kami-kami yang tak tahu apa-apa, untuk mundur teratur dari barisan yang kata kalian peduli nasib ramai manusia. Peduli, meski dengan cara yang membuat kita bertanya-tanya: jangan-jangan kalian sibuk mempertengkarkan hal yang sia-sia. Hal yang memberi kami semua alasan logis untuk tetap curiga.

Naskah sajak disadur dari azharologia.com.
Lanjutkan baca »

Senin, 18 Mei 2015

Article#421 - Eksitasi


Eksitasi, bisa berarti terpapar keceriaan berlebih.
Bisa saja berlebih ketika dibandingkan dengan situasi, atau sekadar kentara dari wajah nyengir.
Eksitasi, bisa berarti menerima energi lebih.
Bisa berupa energi suntikan dari segala di sisi, atau dari seruan jauh dalam sanubari.

Eksitasi, menerima energi hingga senang sekali.
Menapak tingkat yang lebih tinggi, berpendar dalam sinar tersendiri. Menerangi sekitar diri.

*****

Entah apa sebenarnya motivasi saya dalam mengetikkan senarai pendek kata di atas. Karena post ini sendiri dibuat semata untuk memproklamirkan bergantinya tajuk blog yang telah sekian lama diwarnai sebagai sebuah kanvas, menjadi apa yang (konon katanya) adalah eksperimen yang kepikiran. Mungkin karena ada urusan eksperimen yang belum kelar? Mungkin saja. Atau tidak.

Mungkin juga post ini dibuat dengan tujuan lain dalam kepala. Yah, siapa tahu.
Mudah-mudahan dengan dilakukannya perubahan tampilan, nafas yang disajikan tulisan-tulisan berikutnya bisa lebih segar. Bergizi, dan cukup berenergi untuk menebar eksitasi.

...
Demikianlah kiranya. Sampai jumpa dalam kesempatan selanjutnya!

(Foto oleh Putra Powet, dipublikasikan dengan izin)
Lanjutkan baca »

Sabtu, 16 Mei 2015

Article#420 - Bebersih

“Clean Up Your Own Mess!”



Siang tadi kebetulan saya dan istri harus makan siang di Sevel (7-11) karena sedang buru2. Sesudah membayar, kamipun mencari tempat duduk. Seperti biasa, banyak meja yang kosong tapi kotor dengan sisa makanan dan minuman yang dibiarkan di meja. Kami pun hanya bisa menghela napas dengan sedikit jengkel. Budaya membersihkan sisa makanan sendiri di restoran cepat saji memang belum umum di negeri ini.

Dulu saya pun termasuk yang tidak mengerti soal ini, sampai suatu saat saya tinggal di Australia selama 2 tahun untuk kuliah postgraduate. Di sana saya baru tahu bahwa di fast food joints (seperti McDonalds, Burger King, dll), pengunjung membersihkan sendiri mejanya seusai makan. Minimal sekedar membuang semua bungkusan, gelas kertas, dan sampah lain ke dalam tempat sampah yang disediakan. Sesudah kembali ke tanah air, kebiasaan ini tidak bisa saya hentikan. Sampai sekarang jika makan di McDonald’s atau restoran fast food lain, pasti sisa makanan saya bawa dengan tray (baki) ke tempat sampah, dan traydiletakkan di tempatnya. Kalau kebetulan makan di Starbucks yang menggunakan piring kaca, ya sesudah makan piringnya dikembalikan ke barista.

Di negeri ini perilaku ini memang belum dibiasakan. Mungkin banyak dari kita yang masih menyamaratakan perilaku di restoran biasa, di mana makanan diantarkan dan dibersihkan olehwaiter/waitress, dan restoran fast food, di mana kita mengambil sendiri makanan dan (seharusnya) membersihkan sendiri juga untuk pengguna meja berikutnya. Saya membaca tentang bagaimana pengunjung IKEA di Tangerang meninggalkan begitu saja sisa makanan mereka, sementara di semua IKEA di negara lain pengunjung sudah biasa membersihkan sisa makanannya sendiri (dengan mengembalikantray kotor ke lemari yang disediakan). Sevel sendiri tampak berusaha mengedukasi hal ini dengan menempelkan tulisan di setiap meja untuk membersihkan sendiri kotoran/sisa makanan kita. Mari kita lihat berapa lama dibutuhkan sampai orang-orang mulai terbiasa melakukannya.

Sebenarnya fenomena “meninggalkan sampah sendiri” bisa dimengerti secara kultural. Kita mungkin memang belum terbiasa saja dengan kebiasaan ini (walaupun restoran fast-food sudah ada di Indonesia selama puluhan tahun), dan juga karena tidak ada edukasi serius dari pihak pengelola restoran. Tetapi ada faktor2 lain yang mungkin menghambat bangsa kita untuk mau memulai kebiasaan membersihkan meja sendiri.

Waktu saya mengangkat isu ini di platform ask.fm, ada beberapa suara sumbang yang berkata “Ngapain sih dibersihin sendiri? Nanti keenakan dong para karyawannya, digaji tapi nggak kerja”. Beberapa follower lain juga menimpali dengan cerita ketika mereka hendak membersihkan sendiri sisa makanan mereka, mereka dicemooh oleh teman-teman dan bahkan ibu mereka sendiri.

Saya menyebut hal ini sebagai “mental majikan”. Sepanjang ada orang lain yang menurut kita sudah dibayar untuk membersihkan, kita merasa tidak berkewajiban membersihkan piring/meja kita sendiri. Bahkan kita merasa “rugi” jika harus melakukan itu, karena sudah orang lain yang diupah untuk melakukannya. Typicalkelas menengah/atas yang terbiasa memiliki Asisten Rumah Tangga. “Saya kan sudah bayar, jadi saya majikan. Masak saya juga yang membersihkan?!”

Padahal sebenarnya kalau kita perhatikan, restoran fast food memiliki jumlah staf yang sangat terbatas, dan hampir semuanya dialokasikan di belakang konter atau dapur, tidak seperti restoran “biasa” yang memang ada waiter/waitress yang kerjanya menunggui meja. Membersihkan piring sendiri tidak hanya soal membantu staf yang terbatas, tetapi juga perilaku memikirkan orang lain (being considerate) yang hendak menggunakan meja sesudah kita.

Saya jadi terpikir apakah “mental majikan” ini juga ada di aspek hidup lain kita, tidak hanya di restoran siap saji. Dari hal sesepele membuang sampah sembarangan dari mobil/motor kita, karena merasa toh ada “tukang sapu jalan”, sampai hal-hal serius seperti politik dan pemerintahan. Kita selalu merasa bahwa harus ada orang lain yang membersihkan kotoran dan sampah kita, always someone else to clean up our mess. Kita paling cepat mencerca presiden, menteri, gubernur, guru jika kita merasa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka, karena kita merasa sebagai “majikan”. Korupsi, Rupiah melemah, banjir, macet – oh itu salah pejabat! Anak sekolah berkelahi, mengakses pornografi, menggunakan narkoba – oh itu salah guru!Majikan tidak pernah salah.“Tapi kan gw udah bayar pajak nyet! Ya udah sepantasnya mereka kerja yang bener dong!” Yah, argumen ini memang ada benarnya. Pejabat publik dibayar dari pajak kita. Guru digaji dengan uang sekolah kita. Tetapi “mental majikan” juga tidak membantu sama sekali. Sama seperti tamu restoran fast food yang tidak membersihkan sendiri sisa makanannya akhirnya membuat restoran tersebut menjadi kotor dan tidak nyaman bagi semua orang.

Kita bisa sangat membantu layanan pejabat publik jika kita pun clean up our own mess. Banyak hal-hal “sampah” yang kita lakukan yang seharusnya bisa kita bersihkan sendiri. Dari literally “sampah” di sungai yang menyebabkan banjir, sampai masalah disiplin seperti tidak mengendarai motor melawan arah, berhenti dengan tertib di lampu merah, mengantri dengan tertib, hemat bahan bakar, mengajar anak moral yang baik, dan banyak sekali hal-hal yang bisa kita lakukan untuk membersihkan “sampah” kita sendiri.

“Mental majikan” adalah egois dan kekanakan. Seperti anak manja menjengkelkan yang selalu menyuruh-nyuruh Asisten Rumah Tangganya seperti raja kecil. Sepanjang bangsa kita masih penuh orang-orang bermental ini, niscaya banyak masalah sosial yang akan lambat sekali bisa diselesaikan. Lawan dari mental majikan ini adalah “mental independen”. Apa yang bisa saya kerjakan sendiri, kenapa menunggu orang lain? Ini bukan soal berharap orang lain yang toh sudah digaji untuk mengerjakan tugasnya. Ini soal membantu rumah besar yang bernama Indonesia ini “bersih” lebih cepat, untuk kenyamanan kita bersama.

Indonesia masih jauh dari ideal, masih banyak “sampah” masalah di masyarakat dan pemerintahan kita. Tetapi jika setiap kita mulai sedikit membantu dengan clean up our own mess, mungkin bisa membantu. Mungkin.

In the mean time, kita bisa mulai dengan sesederhana membersihkan sisa makanan kita di Sevel dan McDonald….
:)
Disadur dari https://manampiring17.wordpress.com/2015/05/02/clean-up-your-own-mess/.

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Rabu, 13 Mei 2015

Article#419 - Tirai


Dulu, saya pernah membuat keputusan yang salah dengan tetap bergelung di kamar setelah sebuah taifun berpisah jalan. Meski sang taifun telah menyapukan langit dan memberi jalan pada sinar mentari, saya justru memilih tak bergeming dari lokasi.
Maka pagi ini, berbekal jiwa yang lapar, saya memintas jalan menuju ruang terbuka. Di mana saya bisa kembali bertegur sapa dengan angkasa.
Dan inilah hasilnya.
(silakan klik foto untuk memperbesarnya)

(foto tidak diambil pagi ini)
(foto tidak diambil pagi ini)


(foto ini telah mengalami olah citra otomatis oleh Gugel)

Ada yang berkibar benderang pagi ini. Mengatur kembali ritme supaya tetap mengalir.
Menyusur diri dengan teliti, mengguncang sanubari.

Some might say, we will find a brighter day.
Lanjutkan baca »

Selasa, 12 Mei 2015

Article#418 - Kelambu

Mereka bilang, mega merah akan menjelang. Menyambut bayang yang memanjang untuk kemudian menyatu dalam satuan malam. Koor angin yang makin menggelora pun terus bersahutan, menderak jendela, menderui tiap telinga. Dari telinga mereka yang bergegas pulang menyudahi lelah bekerja, hingga peminat bingar yang dalam temaram meraja, bisikan itu bergemuruh menggetar kepala mereka. Seolah mengajak untuk sejenak menatap angkasa, menyaksikan sang mega merah perlahan merambati cakrawala.
Meski mereka tahu, langit sudah kelam sejak lama.

Mereka bilang, mega merah akan menjelang. Menyambut aliran yang mendorongnya bergerak, mengibaskan sisa-sisa dari masa emasnya yang bergelora. Seruan manusia yang bergiliran mencelotehi pemirsa perlahan beranjak menyeragamkan nada, meresapi kejayaan yang telah lewat di negeri seberang. Mega merah yang menjelang adalah yang terluka, terseret ujung daratan dan melemah sebelum waktunya. Sehingga ketika kita membuka pintu dan membiarkan mata menatap cakrawala, yang akan kita saksikan adalah mega merah yang kehilangan jati dirinya.
Hanyut terbawa awan yang tak sudi menceritakan kehebatannya.

Mereka bilang, mega merah akan menjelang. Jangan tanya mega merah bagi siapa, karena bagi mereka yang konon berlandaskan pengetahuan, kita semua adalah satu sesiapa. Mengecap nadi yang sama, menyesap pandir yang seirama. Seberingas apapun jua kau bersikeras, pada akhirnya kenyataan akan berbicara: manusia hanya pernah berkesempatan menderas kilau mega merah. Entah ia milik fajar, atau milik senja. Belum berkesempatan melihat mega dengan warna lainnya, yang mungkin hanya akan dijumpa di dunia lainnya dalam belantara antariksa.

Mereka bilang, mega merah akan menjelang. Tetapi di masa senja, yang kujumpa justru arakan awan yang berkemul menutupi kita dan seisinya. Tak menutup peluang, seperti itulah wujud rupa sang mega merah sebenarnya; ia tidak menjelma merah karena semangatnya memblokir sinar surya.
Mega yang tak lagi merah itu pun terus merambati langit.
Dan ketika sinar mentari kembali mendatangi di pagi hari, ia telah pergi, menyapukan arak awan untuk mewarnai langit. Bukan warna merah yang namanya ia kumandangkan. Melainkan warna langit biru, cahaya yang kehilangan jati diri merahnya.


Mereka tetap bilang, mega merah akan menjelang.
Entah kapan tepatnya ia datang.
Entah kapan pula ia kembali menerjang.
Lanjutkan baca »

Jumat, 08 Mei 2015

Article#417 - Mengharu Baru


Kita acapkali menyalahkaprahi berbagai situasi.
Bagi tiap-tiap kita yang rajin menyigi senarai vokabulari, jamak diketahui bahwa kata yang tercetuskan dalam keterulangan lebih sering mengandung makna yang tak terkait dengan komponen yang terulang. Seolah mencoba memperingatkan dengan peringatan yang paling tersirat: Berhati-hatilah dengan orang Indonesia. Mereka bisa dan biasa memadukan apa-apa yang semakna, serupa. Terbiasa pula menyelewengkannya dengan memberi makna yang benar-benar berbeda.

Dengan segala pengetahuan terpatri pada keahlian dalam mencampuradukkan makna, kita kemudian mendapati kata-kata yang tak semakna dipersatukan. Kata-kata yang dilekatkan oleh kebiasaan, memperoleh makna mereka dari apa yang dibiasakan.
Kemudian kita dapati kepala berkecamuk oleh kosakata. Mengharu biru dalam menerjemahkan makna dari tiap penggal kalimat.

....Mengharu biru?
Tentu. Saya tak yakin apakah kebanyakan dari kalian para pembaca, adalah individu yang sempat terperdaya oleh alih makna dalam keterulangan berbahasa, sebagaimana saya.
Kita tentu terbiasa mengidentikkan "haru" sebagai situasi yang menggambarkan kepekaan atau kerapuhan sebuah organ tubuh fantasi yang kita namai "hati". Ia biasa muncul menghiasi derai untai puisi, atau roman yang mendayu layu.
Sementara "biru" kita kenal sebagai warna yang menggambarkan pembawaan yang tenang. Ia kerap diidentiikkan dengan air, dengan perangainya yang tenang dan tidak memaksakan keinginan. Atau dengan langit yang tulus menyelubungi bersama tirai awan, hingga kedalaman yang tak terdefinisikan.

Pada akhirnya, makna yang resmi, yang disematkan kepada frase yang telah kita permainkan, adalah makna yang menyebarkan huru-hara. Makna yang memantik kerusuhan.
Entah sengaja atau tidak, yang jelas makna yang kemudian diresmikan ini adalah makna yang mungkin secara tak sadar akan kita simpulkan ketika berjumpa wujudnya. Ironi yang menarik jiwa, berupa makna yang meledak-ledak di balik tampilan durjana.

......
Kemudian angin hangat musim semi merasuki sukma.
Musim semi, yang dipanggil sebagaimana kerapuhan isi jiwa disapa. "Haru" yang semangatnya berakar pada bunga-bunga, bermekaran memenuhi sekejap pandang, mewarnai selayang tandang. "Haru" yang, dengan menariknya, mewakili jiwa yang senada dengan apa yang ditampakkan frase di bagian sebelumnya. Dengan jiwa yang tampak rapuh, sebagaimana kelopak yang mengering melapuk dan rontok, menumpuki bumi. Dengan makna yang tampak gagu antara ketenangan, keluwesan dan kedalaman pertumbuhan setelah lama meranggas.
Sebagaimana frase yang sama, juga dengan makna yang meledak-ledak. Merusuhi segenap muka dunia dengan ragam warnanya. Memancing huru-hara pada kehidupan yang terbangun untuk melanjutkan awal mulanya.

Inilah ia, saat di mana semangat baru bermula. Tanpa perlu sibuk dipertanyakan mengapa.

You read all my thoughts of passion
And the dreams of my delight
Whatever stirs my mottled frame
Well you keep it warm alight














Tentu saja, musim semi tidak semata soal bunga.
















Lanjutkan baca »

Kamis, 07 Mei 2015

Article#416 - Kutipan Hari Ini

“Flowers are fragile and ephemeral.
Even if you meant to protect them with a surrounding fence from wind and rain, they would die without sunlight. And a spindly fence has no power against a strong wind.”

~quoted from an English version of quote by Aoyama Yoshimasa, Japanese mangaka. Quoted at Monday, 13 April 2015, 08:36 (UT+9)

image source

Lanjutkan baca »

Selasa, 05 Mei 2015

Article#415 - Pesaing


Pepohonan dalam persaingan.
Berbaris di tepi jalan.
Bertepi tanpa punya tujuan.
Mencoba saingi pegunungan.
Bersaput salju, bertudung awan.
Menatap langit yang terlupakan.

Selasa, 5 Mei 2015, 13:04 (UT+9)
39°54'48.23"N, 141°02'57.78"E
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...