Minggu, 30 September 2012

Article#92 - Antara Cerita, Cipta dan Cita (Bagian 1): Ada Apa di Depan Sana?

Entah sih saya mau apa dengan judulnya. Tapi lupakan lah, yang penting fokus ke cerita.
Postingan yang satu ini saya buat berkenaan dengan 'pesenan' dari beberapa anak yang pengen membantu adek kelas kami di IC dalam menapaki perjuangan menuju dunia perkuliahan, yang mirip-mirip es krim Feast: kulitnya keras, tapi kalau ditekan terlalu kuat malah bocor eskrimnya ke luar. Supaya enak ceritanya, saya mau cerita dari awal aja. Bener-bener dari awal.
Entah apa ada cipta di dalamnya, kalaupun ada itu bukan bahasan disini. Saya tak yakin bisa menciptakan bahkan sebuah kegilaan akut tanpa henti supaya bisa punya alasan untuk libur, misalnya. Saya masukkan hanya supaya pas tiga kata (terus kenapa?).
Catatan sebelum mulai: Ini bagian pertama, bertema cita. Bagian kedua bisa anda lihat disini.

***

Cerita tentang cita. 
"Apa cita-cita kalian?"
Itu pertanyaan yang begitu sering menyusup ke otak kita melalui telinga, hati dan sanubari kita di masa-masa awal pendidikan. Saya masih cukup ingat bagaimana saya seringnya hanya terdiam membeku ketika ada yang menanyakan cita-cita. Jelas, sebagai anak TK, tahu apa saya soal perencanaan dan tujuan hidup? Yang saya tahu palingan main game, buku dan sekumpulan anak tidak jelas di TK. Karena bingung dan sang guru menuntut jawaban, akhirnya saya berikan jawaban sekenanya. Ketika lagi senang main game perang, saya bilang mau jadi tentara. Ketika lagi senang main game pesawat, saya jawab saja 'jadi pilot'. Tapi, jawaban tanpa makna. Saya lihat anak-anak lain begitu antusias menyebutkan bagaimana mereka melihat diri mereka di masa depan. saya akui, bagi sebagian besar orang, sangat menyenangkan melihat anak-anak menyatakan impian dan citanya, tetapi saya tak tahu harus menjawab apa.

Dan itu terus berlanjut hingga SD dan SMP. Seiring berlalunya waktu, saya mulai berpikir bahwa kebanyakan profesi yang dahulu saya sebutkan sebagai cita-cita, tidak sepenuhnya saya senangi. Tetapi terkadang pertanyaan semacam itu tetap ada, dan seiring dengan hilangnya 'kepercayaan' saya akan cita-cita yang biasa saya dengungkan sebatas suara dari mulut belaka itu, saya jadi makin bingung harus menjawab apa. Untungnya, dengan kepribadian yang jarang serius, saya bisa sedikit mengakali (baca: mengelak) pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sedikit retorik: 'Masuk surga' atau 'Berguna bagi bangsa dan negara', tanpa pernah menyebutkan secara spesifik berupa sebuah profesi atau apapunlah itu. Bahkan keputusan saya untuk melanjutkan ke bangku sekolah berasrama ditentukan sepekan menjelang penutupan pendaftaran.

Sebagai seorang anak manusia tanpa cita-cita yang konkret (yang paling konkret saja berupa memberi kontribusi bagi bangsa dan negara, tipikal nian ya..), saya memasuki MAN dengan berbagai pertanyaan seputar kelanjutan studi. Mau dibawa kemana diri ini? Maunya sih, menjadi orang yang berguna. Tetapi, lewat mana?
Saya masih ingat, sejak kelas 10 sudah ada beberapa anak yang memantapkan tujuan mereka, seperti pilihan jurusan (apakah ilmu alam ataupun ilmu sosial), atau bahkan jurusan kuliah masing-masing. Ada yang sudah yakin dan berusaha keras untuk mencapai jurusan kedokteran. Ada yang mendambakan jurusan hubungan internasional. Ada yang ingin jadi presiden, banyak lah. Dan saya, seperti biasa, hanya mendengarkan sembari sedikit mengomentari atau menertawakan diri sendiri secara satiris dan tersembunyi.
(musik India mengalun) Akankah cahaya penerang menuju jalan tersebut datang?
(musik dimatikan) Tentu saja ceritanya tidak se-melankolis itu.
Dan selanjutnya, bahkan hingga kelas 12, dimana rekan-rekan seperjuangan saya sudah mulai mencoba mengguratkan jalur hidup mereka sesuai Peta Hidup masing-masing (ohiya, pada Oktober-November 2010 saya dan seluruh rekan seperjuangan dan seangkatan saya diminta mengguratkan rencana hidup dalan sebuah rangkaian gambar bertema kronologis yang dinamai Peta Hidup. Meskipun saya tahu program tersebut bagus, tetapi dengan kondisi hidup saya yang tak terencana, bagaimana saya akan bisa mengguratkan sebuah peta kronologis yang indah?), yang saya lakukan terkait rencana kuliah kebanyakan hanya mendengarkan kata-kata orang, manggut-manggut, dan berjalan pergi sambil terkadang menghapusnya dari memori. Sebenarnya, terima kasih kepada program Muatan Lokal, saya mendapatkan ketertarikan untuk berkecimpung dalam dunia bisnis. Tetapi saya tak penah memikirkannya secara benar-benar serius, paling tidak sampai muncul program bimbingan kuliah dan beberapa orang dengan gelar sarjana di bidang psikologi berusaha mengorek bakat dan minat saya beserta rekan seperjuangan. Saya pernah mendengar usulan 'bidang matematika', 'bidang manajemen', 'bidang linguistik dan literatur', meskipun sebenarnya hampir semuanya berasal dari komentar saya sendiri. Bahkan jawaban sang psikolog pada akhirnya adalah "Kamu bisa memilih dimana saja, yang penting kamu menyukainya". Wah, tidak banyak membantu. Tetapi tak apa, karena saya memang tak begitu mengharap bantuan mereka.

Akhir masa studi makin dekat, dan delegasi dari berbagai universitas mulai datang menawarkan bangku kuliah (bukan 'bangku' secara harfiah) kepada saya dan para rekan seperjuangan. Beberapa saya ikuti, dan beberapa lainnya tidak, tentu saja. Dan nampaknya mulai dari sinilah cerita menuju bangku kuliah dimulai.

Kepada orang-orang dan rekanan saya yang bertanya, jawaban sudah mulai bergeser dari jawaban bertema idealis yang tadi, ke arah studi yang lebih konkret. Seringnya saya menjawab 'bisnis', 'manajemen' atau 'linguistik', pilihan yang saya akui tidak umum bagi seorang anak IPA, apalagi seorang anak IPA yang saat itu masih cukup tekun menggeluti bidang astronomi. Tetapi yah peduli amat, kuliah toh untuk belajar, kan? Bukan untuk cari kerja, apalagi cari gengsi. Paling tidak, itulah pendapat saya.
Tetap saja, pertanyaan yang sama tetap muncul: Kalau begitu, terus kau mau kemana? Apa kau tahu ada apa di depan sana? 
Banyak persimpangan di depan. Jika kau telah tentukan tujuan, akan mudah untuk menentukan kemana kau harus menuju. Meskipun jalanmu bisa saja berubah, paling tidak kau dapat segera menemukan kembali rute yang tepat menuju akhir perjalanan yang kau inginkan.
Lalu bagaimana jika belum tahu tujuan perjalanan...?
Dasar gendeng!! Tak tendang saja kau...!! Ya tentukanlah segera? Atau kau akan biarkan angin ketidaktahuan membawamu entah kemana, atau lebih parah lagi, tak bisa kemana-mana? 

Mungkin sebuah cita tanpa cerita tak akan banyak artinya, tetapi sebuah cerita tanpa cita akan kehilangan jiwa sejatinya. Sehingga, baik kau membaca cita ataupun cerita, jangan tanggalkan dan tinggalkan salah satunya. (:g)

(bersambung ke Bagian 2)
Lanjutkan baca »

Rabu, 26 September 2012

Article#91 - Setapak Langkah Ke Depan

Kulirik kembali seisi kamar ini.
Kini diriku disini, di depan layar ini. Meskipun sudah terbiasa duduk di depan layar laptop, kali ini sedikit berbeda situasinya.

Di luar kamar hanya terdengar kicauan burung dan jangkrik yang memburu makan malamnya. Semburat bulan, yang warnanya putih keperakan. Warna yang menghiasi malam dengan angin sepoi-sepoi ini, yang tak pernah kulihat sebelumnya. Biasanya selalu semburat kekuningan pucat, seolah terkena hepatitis.
Kali ini, kesunyian terasa berbeda. Aku telah terbiasa akan kesunyian, tetapi entah kenapa kesunyian kali ini terasa berbeda. Terlalu rumit untuk dijelaskan. Bahkan kadangkala muncul pikiran, bukan akulah orang yang layak hadir disini. Seharusnya aku tetap duduk manis di tempat yang biasa, menyeduh cokelat panas untuk liburan yang tak berkelanjutan.

Tetapi, ya sudahlah, bulan yang kulihat pun tetaplah bulan yang sama. Mungkin bintang yang terlihat sedikit berbeda, tetapi tetap saja langit akan terhias olehnya. Meskipun kau mau memprotes takdir sebanyak apapun, takdir tak akan bergeming. Jadi buat apa protes? Toh segala macam keanehan ini mungkin hanya ada dalam benakmu saja. Hanya jeritan jiwa belaka.
Sebenarnya, dengan berakhirnya masa liburan, akan tiba masa perjuangan. Daripada menghabiskan waktu menggalau tanpa juntrungan, lebih baik belajar yang baik dan membuat perubahan bagi bangsa. Karena hidup adalah tentang bagaimana kau menyikapi apa yang ada.

Mari, mulai membiasakan berpikir untuk membuat kontribusi. Mungkin perjuangan memang berat, tetapi apa kah masih layak disebut berjuang jika yang kau lakukan hanya hal remeh?

Setapak langkah ke depan bagi manusia akan mengawali sebuah lompatan besar bagi umat manusia.

Perlahan, awan mulai menyibak bulan yang bercahaya. Apakah cahayaku sepertinya, hanya menunggu angin sejuk datang untuk menyibak awan yang menutupinya? Goresan takdir sekali lagi akan mencatat jawabannya.

Hari 6379, di tengah alunan kesunyian.
Kamis, 27 September 2012, 01:05 (UT+9)
38°16'40.69"N, 140°51'05.98"E

Lanjutkan baca »

Selasa, 25 September 2012

Article#90 - 9000 pengunjung...

Yah, melanjutkan tren yang sudah ada sebelumnya, nampaknya makin lama keberadaan blog ini makin nampak di tengah kemelut masyarakat. Setelah beberapa hari banjir kunjungan, dan kemudian melalui hari-hari yang relatif tenang (dalam arti jumlah kunjungan harian relatif stabil), pada 24 September 2012, 18:56 (UT+9), hanya sekitar sejam setelah sampainya saya di rumah baru saya untuk entah beberapa waktu ke depan (nantikan artikel selanjutnya untuk mengetahui lebih lanjut soal ini), saya memutuskan untuk mengunjungi blog yang aneh ini, dan saya hanya bisa melongo ke layar yang menampilkan statistik blog.
Yah, kira-kira seperti itulah. Hanya dalam 13 hari, 21 jam dan 8 menit, jumlah pengunjung ini bertambah seribu lagi menjadi 9000. Rekor yang saling susul menyusul mungkin akan menjadi momentum penentu datangnya keributan yang akan mulai bergelora di blog ini.
Sip, ini artikel pertama di tempat bernaung saya yang baru. Artikel selanjutnya (mungkin) akan mengupas lebih tipis tentang tempat bernaung ini. Selamat menanti!
Lanjutkan baca »

Minggu, 23 September 2012

Article#89 - Jiwa Manusia, Jiwa yang Mencari Kestabilan

Saya sedang asik menelusur dunia maya (lagi), dengan segala macam corak kemelut yang ada, dengan taburan berbagai hal yang membuat semuanya berwarna aneh... Huah. Sudahi saja melanturnya. Dan kemudian merenungkan beberapa hal. Hal-hal yang tak saling berkaitan, tetapi saya memaksanya untuk berkaitan (lah).

Terkadang saya iri akan jiwa anak-anak. Jiwa yang bersih, jiwa yang tulus, tanpa coreng-moreng indoktrinasi yang sudah banyak memperkeruh citra kebanyakan orang saat ini. Lihatlah bagaimana seorang anak bisa dengan begitu mudah mengajak orang lain kepada kebaikan, dan melarang orang lain daripada keburukan. Saya yakin sebagian besar dari kalian pernah berkeinginan mengingatkan orang yang sedang berbuat hal buruk, tetapi karena berbagai hal, niat tersebut diurungkannya. Ketika teringat ini, saya terkadang menjadi iri akan murninya jiwa seorang anak. Anak yang tak kenal batas dalam bermimpi, dan anak yang tak kenal takut dalam berbuat dan menyebarkan hal baik. Ingin rasanya mewarisi jiwa bersih dan tulusnya.

Terkadang, saya kagum akan semangat para pemuda. Lihatlah bagaimana para pemuda pejuang berseru dengan lantangnya, memperjuangkan nasib mereka dari ketertindasan dan keterjajahan. Tentunya kalian pernah mendengar kata-kata sang proklamator yang namanya kini menerbangkan ribuan penumpang tiap harinya, Ir. Soekarno, "Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". Ini bukan sekadar omong kosong. Pemuda terkenal dengan semangatnya yang luar biasa, dan memang mereka sedang berada pada performa terbaiknya. Kalian tentu masih ingat kilasan peristiwa Rengasdengklok. Semua faktor itu, didukung dengan pola pikir yang cerdas dan tangkas, membuat semangat seorang pemuda sangat mungkin untuk mengguncangkan dunia sekalipun. Sebuah semangat yang hebat untuk dimiliki, karena tak semua orang mampu mengendalikannya dengan bijak.

Saya juga sering kagum akan kebijaksanaan orang tua. Bagaimana mereka dengan tenang menghadapi, berfikir, dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan kepala dingin, kontras memang dengan pemuda yang umumnya penuh semangat. Kalau semangat pemuda diibaratkan sebagai api yang berkobar-kobar, kebijaksanaan orang tua dapat diibaratkan sebagai air yang menjaga dan mengendalikan api yang berkobar itu, sehingga ia tak melalap benda-benda di sekitarnya. Persis seperti konflik beberapa hari sebelum Proklamasi RI dulu. Memang, kebijaksanaan banyak dibutuhkan, karena dengan inilah kita bisa menahan iri dari gejolak emosi yang meluap-luap layaknya air bah.

Lalu, sekarang dari semua itu, saya harus pilih yang mana? Mungkin memang sulit jika harus memilih salah satu, tetapi, daripada begitu, lebih baik kalau berpikir sedikit beda. Seperti penjual parfum, alih-alih menentukan bahan mana yang kualitas wangi-nya paling oke, mereka mengumpulkan dan mengombinasikan bahan-bahan tersebut sehingga didapatlah parfum dengan kualitas terbaik. Analoginya dapat kan...?

Selamat menikmati hari yang indah ini...!
(;g)
Lanjutkan baca »

Minggu, 16 September 2012

Article#88 - Kutipan Hari Ini

‎"Whenever you find yourself on the side of the majority, it is time to pause and reflect—Tiap kali kau menyadari dirimu berada pada golongan mayoritas, berhenti sejenak dan renungkanlah (mengapa kau ada disana)." 

~dikutip dan diterjemahkan secara sedikit asal dari kutipan milik Mark Twain, 10 September 2012, 14:38 (UT+7). Bahasa asli kutipan dipertahankan.
Lanjutkan baca »

Article#87 - Sebuah Dunia Berselimut Ilusi

Okeh, saya tahu, seperti kebanyakan artikel saya akhir-akhir ini, dengan hiasan judul yang dibumbui terlalu banyak kiasan, sehingga kiasan-kiasan yang ada seolah meluber ke segala arah, termasuk ke kata-kata yang saya ketikkan sebelumnya. Tetapi tak masalah, kan. Lagipula saya baru saja melalui dua pekan tanpa satupun artikel yang saya sumbangkan. Padahal ada banyak hal yang berputar-putar di kepala saya, menunggu pelampiasan, pembongkaran, atau mungkin pelapisan dengan pemikiran baru yang saya rasa autentik, atau paling tidak, bersih dari kontaminasi pola pikir sepihak yang terlalu besar. Masalah utamanya adalah dua sindrom besar yang selama ini menghinggapi hati saya (ciaah)... yah, mungkin lebih tepatnya mempengaruhi diri saya secara keseluruhan: sindrom ketidakfokusan dan sindrom ketidakrajinan. Yah, kira-kira penyakit tipikal anak beranjak kuliah lah (eh)... Oke, langsung saja.

***

Sepanjang perjalanan hidup, kalian tentu sudah bertemu dengan begitu banyak orang. Yang secara unik diciptakan, tanpa satupun yang persis sama. Bahkan anak kembar identik, yang katanya bagai pinang dibelah dua itu, masih memiliki banyak sekali perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Alih-alih pinang dibelah dua, saya lebih suka menganalogikannya dengan uang kertas dibelah dua (yang sudah barang tentu tidak bisa sembarangan kita lakukan). Kebiasaan di lingkungan sekitar kebanyak orang mengajarkan untuk memberikan kesan awal yang positif kepada orang yang baru saja dikenal (meskipun, pada akhirnya, banyak juga yang membelot dan acuh akan kebiasaan tersebut). Dan dari sinilah, kebanyakan orang (bahkan termasuk sebagian diantara anda-anda sekalian) membentuk kebiasaan berupa pembentukan citra diri yang baik.

Tentu saja, hal ini sangat lumrah, bahkan yang tak melakukannya mungkin akan dipertanyakan tingkah lakunya. Namun situasi berubah, saat negara api menyerang pencitraan itu dimanfaatkan sebagai alibi untuk menutupi kondisi diri yang sebenarnya. Jika pencitraan awal diibaratkan sebagai bedak kosmetik, pencitraan dengan alibi sudah menumpuk terlalu banyak bedak, sehingga mengeras dan bahkan menutupi wajah layaknya sebuah topeng. Yap, wajah palsu.

Di sekitar kalian tentu banyak orang-orang 'bertopeng semu' itu, mondar-mandir mengurusi berbagai hal yang menjadi kesibukan mereka diatas permukaan bumi. Para penjilat, dengan topengnya yang menawan berusaha memukau sedemikian banyak orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Para penipu, dengan topeng kejujuran yang dihias begitu indah, berkeliling menawarkan kepercayaan dalam bentuk ilusi kepada orang-orang. Para pemalu yang tragis, yang tak ingin terlalu banyak orang mewarnai wajah hidupnya, memakai topeng terbesar, yang menyembunyikan mereka dari dunia luar. Dan banyak yang lainnya.

Ilusi Dua Wajah
Melalui topeng-topeng itu, mereka menciptakan ilusi. Ilusi, yang berhasil melenakan mayoritas umat manusia di tengah perjalanan di dunia yang fana ini. Yang sudah terlalu mencandu akan ilusi keindahan dunia, sehingga hanya manggut-manggut ketika disodori ilusi lagi, tanpa bisa menahan dan mengendalikan dirinya. Yang akhirnya justru menimbulkan ilusi-ilusi baru yang terus menyebar kemana-mana.

Banyak orang yang sudah menjadi budak ilusi dunia. Menghalalkan segala macam ilusi, apapun jua, demi mengejar ilusi dunia selanjutnya, yang kemudian membuat mereka mengejar ilusi dunia lebih lanjut lagi. Banyak yang lain, melapisi diri dengan ilusi dunia, demi meraih popularitas semu, kepercayaan semu, bahkan kebaikan semu. Dan mereka tak pernah sadar, ketika membentuk identitas semu, orang yang berbuat baik padanya hanya berbuat baik pada identitas semu itu, seperti pernah penulis singgung di artikel 62. Pada akhirnya, semua kebahagiaan yang ia terima, tragisnya, tetaplah ilusi belaka. Bagai lingkaran setan, semua ilusi ini seolah menutupi dunia dengan kabut yang pekat dan menyesatkan. Memang ada, tetapi orang tidak sadar saking pekatnya ilusi di segala arah. Mereka kira ilusi itulah langit yang sesungguhnya, dunia yang sesungguhnya.

Sadarlah, ilusi ada dimana-mana. Ada pada perjalanan yang sepi di pagi hari, ada pada seorang bapak-bapak kantoran yang mengepulkan asap layaknya kepundan, ada pada uang yang beredar tiap rekening demi rekening, ada pada seorang disana yang kau damba, bahkan ada jauh didalam dirimu sendiri. Pernah sadarkah engkau, ketika kau mengejar sesuatu yang sebenarnya ilusi namun kau mengejarnya seolah itu nyata? Pernah sadarkah engkau, bahwa ketika kau melapisi diri dengan ilusi, yang kau dapatkan sebagai ganjarannya juga hanya ilusi? Ketika kau sadar, pernahkah kau merenungi betapa dunia ini berselimut ilusi? Dan pernahkah kau berusaha untuk menemukan cahaya pencerah yang akan menuntunmu, tidak hanya di dekatmu, tetapi juga di dalam hatimu? Karena, kalau kata orang, hati nurani tak pernah bisa bohong.

Bahkan, mungkin semua tulisan ini hanya ilusi tambahan dari seorang yang terlalu lama berkubang dalam ilusi. Tetapi, bahkan seorang yang terjebak kabut ilusi bisa menemukan cahayanya, bukan? (:g)
Lanjutkan baca »

Selasa, 11 September 2012

Article#86 - 8000 pengunjung...

Kalau orang bilang, anomali itu menyangkut sesuatu yang aneh atau tidak sesuai dengan keadaan normal (<- ya memang itu kan definisi aneh?). Lalu... apa hubungannya dengan postingan ini? Oke, langsung saja. Pada 23 Agustus lalu, ketika saya memasang artikel mengenai tercapainya angka 7000 pengunjung, rupanya 23 Agustus juga adalah tanggal jadi dari blog ini. Alhasil, di hari itu, berkat tautan yang saya sebar dimana-mana, banyak orang berdatangan ke blog ini melalui tautan terkait dan membuat jumlah pengunjung harian untuk pertama kalinya melebihi angka 100 (tepatnya 113, meskipun kebanyakan mungkin cuma penasaran, sebodoh apa sih isi blog aneh yang disebarluaskan orang yang tak jelas itu..).

Namun, tentu saja, cerita tak selesai sampai disitu. Meskipun bulan September menandai mulainya kiprah dunia sekolah (sekaligus pula dunia kuliah), tetapi dalam 4 hari terakhir, 'aliran pengunjung' menuju blog ini mendadak begitu lancar seolah baru dibuka sumbatnya. Kebanyakan membuka artikel mengenai pesawat terbang, tetapi yang mengejutkan itu adalah alirannya. Dalam 100 jam terakhir (sejak 7 September 2012 jam 05:02) saja tercatat ada 351 kunjungan, dan dalam sepekan terakhir pengunjung artikel pesawat itu saja mencapai (tepat) 200 kunjungan. Dengan semua kontribusi yang tak bisa dijelaskan bagaimana terjadinya itu, semalam, tepatnya pada 10 September 2012, 19:48 WIB, tercapailah angka 8000 pengunjung. Peningkatan sebanyak 1000 kunjungan dilalui dalam 18 hari 15 jam 28 menit, rekor tercepat sejauh ini.
Mungkin sekian dulu, untuk beberapa waktu ke depan akan terbit artikel yang sedikit 'berbobot'. Hati-hati di jalan! (?)
Lanjutkan baca »

Sabtu, 08 September 2012

Article#85 - Menangkap Para Penjudi

Zaman sekarang ini, kata orang dosa makin laku. Seolah paradigma masyarakat sudah bergeser, bahwa yang dosa itu baik dan pahala itu buruk. Perbuatan dosa, dari yang paling sepele macam ngambil jambu dari pohon jambu tetangga, hingga yang paling berat macam korupsi, yang uangnya saja bisa sampai belasan kilogram massanya. Apalagi dosanya, yah.
Singkat cerita, kegemaran berbuat dosa juga sampai di kota C. Seorang opsir polisi dibuat mencak-mencak oleh adanya laporan mengenai 4 orang yang berjudi di pos satpam kantor polisi. Bayangkan, di kantor polisi. Dengan gusar, ia mendatangi pos dan didapatinya 4 orang sedang duduk-duduk di pos.
Dengan marah ia berteriak,
"Tahukah kalian, berjudi merupakan tindakan yang melanggar hukum?" teriak opsir polisi itu dengan kerasnya kepada semua orang. Orang pertama hanya menjawab,
"Aku tak berjudi, Pak. Di sini aku hanya melihat-lihat saja."
Kemudian opsir polisi itu menanyai orang yang kedua: "Bagaimana dengan dirimu?"
"Aku di sini sedang menunggu bus."
Tak berapa lama, orang yang ketiga menceletuk: "Pak, aku di sini juga hanya menunggu pacarku."
Opsir polisi itu selanjutnya mengalihkan sorotan matanya ke orang yang ke empat, melihat tangannya sedang memegang kartu truf, maka ia segera menegurnya dengan penuh keyakinan: "Sekarang semua barang bukti sudah ada di tanganmu, kamu tak mungkin lagi menyangkalnya, ayo berkatalah secara terus terang!"
Dia melirik kepada opsir polisi itu, kemudian menjawab dengan tenang: "Kalau begitu aku berjudi dengan siapa? Coba Bapak jelaskan!"
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...