Jumat, 28 Februari 2014

Article#268 - Kutipan Hari Ini

"If you take away uncertainty, you take away motivation. Wanting to exceed your grasp is the nature of the human condition. There’s no magic to getting where we already know we can get."

~quoted from words of Peter "Pete" Athans (b. 1951), a US senior mountaineer. Quoted at Monday, 24th February, 2014, 19:31 (UT+9)

sumber

Lanjutkan baca »

Selasa, 25 Februari 2014

Article#267 - Secarik Kisah Beku (1): Sesalju

Butir-butir itu terus berjatuhan turun.
Dengan penuh takjub, Fandi memandangi gedung-gedung yang berlalu lalang, dari balik jendela bus. Tidak hanya gedung, orang-orang pun masih banyak yang berjalan mengiringinya. Semuanya berpadu di luar sana, bergerak menembus badai yang menerpa. Butir-butir putih yang melaju gesit tampak tak dihiraukan oleh mereka yang terus berjalan.

Bus kembali berhenti, kali ini di depan kampus. Dengan muka sumringah, Fandi bergerak gesit untuk membayar dan segera turun. Bersama teman seperjalannya Dimas, yang sudah setahun tinggal di kota itu, Fandi keluar dan menghadapkan diri pada butir-butir putih. Butir putih, yang terus menghujam bumi dengan galak sejak tadi.

"Kau sepertinya terlalu bersemangat, Fandi," ucap Dimas yang terakhir turun dari bus.
"Bagaimana tidak semangat," seru Fandi dalam langkahnya yang menghentak-hentak dahsyat. Mungkin dia merasa sedang membawa Sang Saka di tengah lapangan upacara. "Aku belum pernah lihat salju sebelumnya, Dim."

Dasar anak baru, Dimas menghela nafas.
"Menurutmu ini salju? Ini bukan salju loh."
Langkah Fandi yang dihentak-hentak mendadak loyo.
"Bukan salju?"

*****
sumber
Satu hal yang cukup menarik tentang salju adalah bahwa ia cukup dikenal, bahkan di negara-negara tropis yang notabene identik dengan cuaca yang panas sepanjang tahun. Di Indonesia sendiri, dengan pengecualian sebuah keterangan "di puncak Jayawijaya" yang sering terngiang di buku pelajaran sekolah, praktis tidak ada bentang es yang menggeletak. Tentu saja kita harus mencoret opsi kulkas, yang sama sekali tidak berkaitan dengan 'cuaca'.
Mungkin ada kaitannya dengan mudahnya akses informasi? Atau berkaitan dengan tidak turunnya salju di wilayah tropis? Banyak kesimpulan yang mungkin mempengaruhi.

Butir Air Lebih Dingin dari Es?

Kebanyakan orang mengenali salju sebagai analog hujan yang turun pada saat suhu udara cukup dingin. Sehingga, syarat-syarat umum yang diperlukan untuk turunnya sebuah hujan, secara umum bisa digunakan sebagai syarat turunnya salju di suatu daerah, dengan tambahan kriteria berupa suhu mendekati 0°C. Komposisi standar hujan sendiri berupa sekumpulan besar uap air, dan gaya yang mengangkat uap air ini lebih tinggi ke atmosfer. Gaya angkat ini membawa uap air ke bagian atmosfer yang lebih dingin, sehingga uap air ini mengembun menjadi butir-butir air. Kumpulan butir air ini kemudian tampak sebagai awan. 
Dalam kasus hujan, cerita akan berjalan dengan cukup sederhana; butir-butir air akan bergabung antar satu sama lain. Suatu saat ia sampai pada titik dimana ia terlalu berat untu bertahan dalam awan, dan mematuhi gravitasi untuk terjun menuju Bumi. Tetapi, dalam kasus salju, cerita sedikit berbeda.

Seperti yang mungkin dengan mudah terbayang, dalam suhu yang cukup dingin, butir-butir air ini bisa juga membeku menjadi kristal es. Sedingin apa? Nol derajat Celsius?
Rupanya, tidak begitu. Mari dibongkar: butir-butir air murni baru membeku ketika suhu sudah turun hingga -48°C. Mulai dari suhu itu, butir air baru akan membeku secara otomatis. (Contoh dari kondisi tersebut digambarkan dalam video di tautan berikut.)
Tapi selama ini air membeku di suhu 0°C, bukan -48°C? Benar, suhu 0°C adalah suhu dimana es meleleh, dan air cair membeku. Buktinya, termometer Celsius, yang skalanya dibuat berdasarkan titik beku dan didih air, mencatat titik beku air pada nol derajat.

Lalu, bagaimana butir air bisa bertahan dalam wujud cair hingga suhu sedingin itu?
Perbedaan yang menentukan dalam hal ini adalah kemurnian butir air terkait. Pada butir air yang hampir murni, dimana-mana hanya ada molekul air yang seragam dan kedinginan. Karena nyaris tak ada perbedaan dalam kelompok besar air tersebut, molekul-molekul air ini merasa nyaman dengan keadaannya, dan tak tertarik untuk bersatu membangun kristal es.

Proses nukleasi, berupa gelembung karbon dioksida yang
menempel pada cincin. Gambar disadur dari sini.
Supaya molekul air tersebut segera berpadu membangun kristal es tanpa mendingin hingga -48°C, diperlukan "gangguan" dari pihak luar. "Gangguan" yang paling umum dalam kasus ini adalah memberikan setitik ketidakseragaman pada butir air terkait, misalnya dengan menambahkan sebutir debu mikroskopik. Penambahan sebutir debu mikroskopik ini akan mengganggu 'kenyamanan' molekul yang berdiam dalam butir air itu, dan mendorong molekul-molekul air untuk bergabung. Molekul yang bergabung dengan debu mikroskopik kita ini tidak suka berdesak-desakan, sehingga mereka akan mengatur posisi mereka dengan teratur dan rapi, menjalani sebuah proses yang disebut "nukleasi", yang secara bahasa berarti "pembentukan inti". Selama suhu lingkungan masih di bawah 0°C, nukleasi akan terus berlangsung, sedemikian hingga paduan molekul air yang tersusun rapi itu membentuk sebuah kristal es.
(Tambahan: proses nukleasi juga berperan dalam pembentukan buih di dasar panci berisi air yang sedang mendidih, atau dalam botol soda, dll. Mungkin proses nukleasi juga diadaptasi dalam proses berafiliasinya orang-orang ke kelompok tertentu?)

Hujan Dingin, Belum Tentu Salju

Sekarang, awan terkait sudah menampung sekian banyak kristal es yang terus tumbuh. Sebagaimana yang terjadi pada butir air hujan, kristal es ini terus tumbuh, sampai ia terlalu berat untuk tetap menghuni awan. Maka beramai-ramai kristal es berjatuhan ke Bumi, sembari 'merekrut' butir-butir air yang mungkin dijumpai.
Tentunya, atmosfer Bumi bukanlah satu kesatuan massa udara yang seragam. Kadar air di satu bagian atmosfer akan berbeda dengan kadar air di bagian lain. Temperatur di satu lapisan atmosfer pun juga berbeda dengan temperatur di lapisan lainnya.
Perbedaan ini, terutama yang berkaitan dengan temperatur, menghasilkan 4 jenis presipitasi (hasil pengembunan uap air di atmosfer yang jatuh kembali ke muka Bumi–pen.) dalam musim dingin.

Keempat jenis tersebut dibedakan oleh keberadaan massa udara hangat (diatas 0°C) pada jalannya menuju muka Bumi.
Jenis-jenis presipitasi dalam musim dingin. Daerah oranye
mewakili massa udara hangat (suhu di atas 0°C), sementara
daerah biru mewakili massa udara dingin (suhu di bawah 0°C).
sumber

  • Pada kondisi pertama, massa udara hangat dominan menguasai jalur sang kristal es, termasuk di dekat tanah. Sehingga kristal es tersebut segera mencair, dan tetap dalam keadaan cair saat ia menyentuh muka Bumi. Jenis yang ini dikenal sebagai hujan.
  • Kondisi kedua, alih-alih ditemani massa udara hangat sepanjang perjalanan, butir kristal es yang telah mencair itu kembali bertemu massa udara dingin. Butir-butir air tidak sempat membeku sebelum mencapai segenap muka Bumi, tetapi membeku setelah bersentuhan dengan objek-objek di permukaan, melapisinya dengan es. Jenis yang ini dikenal sebagai 'hujan beku' (freezing rain).
  • Kondisi ketiga, massa udara hangat yang dihadapi butir kristal es tidak setebal pada kondisi pertama dan kedua. Karenanya, butir kristal es yang telah meleleh itu bisa kembali membeku, membentuk butir-butir kecil es. Jenis ini dikenal sebagai 'sleet', yang dalam ekuivalensinya di Wikipedia bahasa Melayu diartikan sebagai "hujan es".
  • Kondisi keempat, tidak ada massa udara hangat yang signifikan untuk melelehkan kristal es, sehingga mereka bisa mencapai permukaan Bumi dalam bentuk kristal. Bentuk yang biasa disebut salju.
Awan kumulonimbus, dipotret dari Tokyo, 20 Agustus 2007.
Selain bahaya hujan es, awan ini juga identik dengan kondisi
badai petir dan angin kencang.
Gambar disadur dari sini
Khusus bagi kondisi ketiga, mungkin dari kalian ada yang akan membandingkannya dengan 'hujan es' yang kadang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, atau istilah bahasa Inggrisnya 'hail'. Bedanya dengan 'sleet' bisa dibandingkan dari besar partikel es yang dijatuhkan; 'sleet' cenderung lebih kecil, kurang lebih sebesar kepala jarum, sementara 'hail' kadang-kadang bisa mencapai ukuran kelereng atau lebih.
Juga, manakala 'sleet' praktis bisa terjadi pada semua awan yang membawa cukup cadangan air, 'hail' hanya terbentuk dalam awan badai yang dikenal dengan nama kumulonimbus. Ukuran keping hujan es yang cukup besar adalah hasil dari pergerakannya yang berputar-putar antara bagian bawah dan atas awan, dimana temperaturnya cukup untuk membekukan butir-butir air yang ada.
Sesuai dengan karakteristiknya, maka 'sleet' hanya terjadi ketika suhu udara dekat tanah berada di bawah titik beku. Sementara 'hail' tetap bisa terjadi ketika suhu udara berada jauh diatas titik beku (diatas 15°C), karena keping-keping es yang terbentuk cukup besar, sehingga berpeluang tidak habis mencair sebelum sampai ke muka Bumi.

Keping Salju yang Nyentrik

Sebelumnya sempat dibahas bahwa perbedaan kondisi atmosfer dalam perjalanan sebutir kristal es bisa menghasilkan perbedaan tertentu. Perbedaan yang muncul tersebut, pada gilirannya, ikut membentuk keping-keping salju yang berjatuhan dalam bentuknya masing-masing.
Dalam perjalanannya jatuh ke muka Bumi, si keping salju senantiasa 'merekrut' butir-butir air yang ia temui di perjalanannya. Bagaimana dan dimana butir-butir ini bergabung memperluas kristal salju akan sangat bergantung pada kondisi lingkungan ketika satu persatu butir air bergabung padanya.

Penelitian dan rasa kepo orang-orang akan wujud keping salju ini mendapat banyak kemajuan ketika Wilson A. Bentley (1865-1931) mempublikasikan hhasil fotografinya, yang memanfaatkan mikroskop untuk memotret hingga 5.000 keping salju. Hasil foto Bentley menunjukkan keberagaman yang begitu luas antar bentuk-bentuk keping salju yang terpotret, meskipun secara umum bentuk-bentuk keping salju yang demikian beragam itu kemudian dikelompokkan tahun 1951. Adalah IACS (International Association of Cyrospheric Sciences) yang mengelompokkan bentuk-bentuk keping salju, ke dalam 10 bentuk umum sebagaimana diperlihatkan oleh gambar berikut.

Klasifikasi 10 bentuk umum keping salju oleh IACS. Gambar disadur dari sini.
Berbagai studi lebih lanjut oleh Kenneth Libbrecht, profesor fisika di California Institute of Technology, menyibak lebih lanjut hubungan antara kondisi udara (terutama kelembapan dan suhu) dengan bentuk keping salju yang dihasilkan. Secara umum, makin kering dan dingin kondisi udara saat pembentukan, makin sederhana bentuk keping salju yang terbentuk.

Hubungan antara kelembapan udara, suhu, dan bentuk keping
salju yang terbentuk. Gambar disadur dari sini.

Menilik sensitivitas yang ada dalam proses ini, bisa disimpulkan, bahwa secara praktis akan sangat sulit mendapatkan dua keping salju yang identik. Kalau yang nyentrik, banyak.
Tetapi, dari sekian banyak keping salju tersebut, ataupun sepuluh bentuk yang disetujui pengelompokannya, semua keping salju ini mematuhi tata letak kristal yang sama: Bentuk segi enam.
Bentuk segienam ini sendiri berasal dari susunan atom hidrogen dan oksigen penyusun molekul air, yang seluruhnya tertata dalam bangun-bangun segienam, dan pada akhirnya menjadi kesatuan keping salju yang juga berbasis bentuk segi enam.
Kesimpulan: Jika kau diberikan gambar keping salju dengan tata kristal segi lima, tujuh, kemungkinan besar itu bukan keping salju sungguhan. Meskipun terkadang keping salju bersudut tiga atau dua belas pun bisa terbentuk.

Jika ingin menikmati suguhan lebih mengenai proses terbentuknya kristal es, berikut ini adalah video pendek buatan Vyacheslav Ivanov yang menampilkan pertumbuhan sekeping salju. Silakan simak video snow-motion berikut, dan keterangan lebih lanjut bisa dikunjungi di laman ini.



Tertarik untuk tahu lebih lanjut? Berikut beberapa referensi dan bahan bacaan lanjutan:
http://en.wikipedia.org/wiki/Snowflake
http://www.weather.com/encyclopedia/winter/precip.html
http://www.ehow.com/list_6903877_conditions-needed-snow_.html
http://www.wunderground.com/news/sleet-freezing-rain-difference-20121123
http://www.ehow.com/how-does_4563981_snow-form.html
http://www.sciencedaily.com/releases/2011/11/111123133123.htm
http://chemistry.about.com/od/snowsnowflakes/tp/snowflakeshapes.htm
http://www.its.caltech.edu/~atomic/snowcrystals/class/class.htm
http://www.iflscience.com/chemistry/watch-snowflake-form-your-eyes

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya, nanti!
Lanjutkan baca »

Minggu, 16 Februari 2014

Article#266 - Berdamai

Para leluhur telah menceritakan secara turun temurun, kepada mereka generasi muda yang menjejak bumi nusantara. Konon katanya, tanah nusantara, yang juga disebut zamrud khatulistiwa itu, adalah tanah kaya hara. Berkat tanah yang kaya hara inilah, kebudayaan lama nusantara berhasil menancapkan namanya sebagai penghasil utama barang dagangan favorit di masa itu, rempah-rempah. Satu persatu kerajaan besar bersemai, tumbuh, dan tumbang, silih berganti memerankan pusat perdagangan di Asia Tenggara pada abad pertengahan. Dan tentu saja, tidak melupakan datangnya armada-armada kolonial yang tergiur oleh kekayaan rempah. belum lagi bicara masalah barang tambang yang seolah tersebar dimana-mana. Gemah ripah loh jinawi.

Akan tetapi, dari sekian banyak penduduk bumi nusantara, banyak yang cukup menikmati apa yang tersuguh di tanah nusantara. Di sekitar mereka dapat mereka temui banyak puncak menjulang, mengerdilkan pemukiman manusia di sela-sela jemari kakinya. Sesekali mereka mengepul, seolah mengingatkan manusia-manusia kerdil itu, bahwa bukan hanya mereka yang hidup mendiami bumi nusantara. Sesekali mereka terbatuk-batuk, melemparkan berbagai rupa rempah batuan ke sekitar. Tanpa rasa pamrih, mereka sebar rempah batuan, dengan segala macam zat hara di dalamnya, ke sekitar. Tak peduli, apakah para manusia-manusia di bawah sana peduli. Toh bagi mereka, yang penting adalah mereka hidup aman, nyaman. Toto tentrem kerto raharjo.

Sesekali, kawan, salah satu dari puncak-puncak berkepul asap itu, ia bergetar, dan melontarkan segenap isinya ke sekitar. Kehidupan manusia-manusia kerdil itu, yang biasanya tentram dan damai, kini terusik oleh rempah bebatuan yang menghujani rumah-rumah mereka, air minum mereka, taman-taman mereka. Kenyamanan mereka terusik, sehingga mereka namai apa yang mengusik itu sebagai "bencana". Dan keamanan mereka pun turut terusik, dan beramai-ramai mereka menjulukinya "musibah".
Terkadang, mungkin ada dari kita yang berpikir, betapa sombongnya para manusia. Sebuah fenomena bisa dijuluki "keajaiban", ketika ia berlaku sesuai kehendak manusia akan kenyamanan yang mereka tuntut selalu. Akan tetapi, ketika fenomena ini berlaku dengan jalan yang menandingi kehendak manusia, mereka sebut itu "musibah".
Ada yang mengaitkan mereka dengan Tuhan yang memberi peringatan. Atau Tuhan yang marah. Tetapi, bukankah mereka menjuluki demikian, karena perlakuan bumi yang mengalahkan kehendak mereka?

Aku tak tahu banyak mengenainya, dan aku tak yakin apakah yang terhatur dalam larik-larik selanjutnya adalah larik yang layak dipertanggungjawabkan. 
Tetapi, bagiku, perlakuan bumi, sebagaimana sistem-sistem besar di seantero alam semesta, adalah perlakuan yang berkesinambungan. Ia terus membangun, meskipun terkadang dengan menghancurkan. Ia terus memperbarui, meskipun ditemani gerus erosi. Dalam sekian juta tahun, kesinambungan proses ini terus terjaga oleh sumber panas dari dalam, yang menyuplai energi bagi apa yang ada di permukaan sana. Dan ketika manusia-manusia, yang kerdil, yang tak signifikan, menjadi satu dari sekian banyak anggota penghuni permukaan sana, apa kaupikir bumi akan tunduk begitu saja?

Bagiku, bumi terus berproses. Mungkin juga, ia terus berkomunikasi dengan penghuni yang menandai parasnya dimana-mana. Baik dengan cara yang sejalan dengan kehendak manusia, maupun cara yang mengalahkan.
Ketika selalu kentara bahwa bumi berkekuatan jauh mengalahkan para manusia, garis kodrat akan mendorong manusia, supaya mengakrabkan diri. Membuat hidup mereka lebih akur dengan alam sekitar. Dengan harapan, manusia akan merubah gaya pandang mereka yang sibuk memelototi diri mereka, menjadi gaya pandang yang melihat dirinya sendiri sebagai unsur luar.
Supaya mereka melihat segala proses yang berkesinambungan ini, sebagai bagian dari sistem besar. Sistem karya-Nya, yang mencipta segala karya secara paripurna. Dan mereka tak lagi berkacak pinggang, mengeluhkan proses alamiah yang membuat mereka merasa kerepotan.

Mungkin, aku memimpikan suatu saat, dimana manusia melihat pergolakan alam sekitar mereka, sebagai cara alam berbicara kepada manusia. Menyampaikan apa yang diperlukan, dengan caranya.
Bukan dianggap sebagai wujud kemarahan, meskipun mungkin saja ada sejumput di dalamnya. Entah datang dari siapa.

Dan kuharap pula, saat mereka memandangi apa yang dihamparkan oleh alam sekitar, apa yang disuguhkan meski dengan cara yang menyebalkan, saat itu kita tertegun sejenak. Tanpa kesombongan, tanpa kekesalan akan kehendak yang terkalahkan, dan kembali membuka ingatan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

Kolom letusan gunung Kelud dengan sambaran petir, 13-14 Februari 2014. Dipotret dari sisi utara
lapangan SMAN 3 Blitar. Sila cek tautan berikut untuk info lebih akan letusan. sumber gambar

Lanjutkan baca »

Kamis, 13 Februari 2014

Article#265 - 90000 pengunjung...

Mungkin, selain menjadi ajang pengingat jejak peralanan laman aneh ini, kolom tulisan napak tilas menjadi salah satu pojok di laman ini. Pojok dimana penulis bisa menelurkan berbagai tulisan yang tida bertele-tele seperti biasanya. Tapi mungkin loh ya. Sepertinya, tulisan yang satu ini pun akan kembali bertele-tele seperti yang sudah-sudah.
Sebelum keburu berlele-lele, mari lanjutkan.

Hal yang bagi penulis paling menarik dalam napak tilas edisi kali ini adalah, ini terjadi di awal libur panjang. Serupa dengan post bertajuk napak tilas di edisi sebelumnya, kecuali bahwa libur kali ini adalah libur yang lebih panjang. Cukup panjang, sehingga mendorong beberapa anak yang bosan dengan kekosongan, untuk melakukan berbagai proyek atau perjalanan dalam mengisi libur. Tentunya, dengan cara masing-masing.
Cara apa saja? Banyak. 
Sayangnya, penulis masih saja rela berkutat di depan layar komputer. Sehingga mumpung penulis masih membuka mata fisik dan mata hatinya (?), mungkin perlu diberitahukan bersama post ini, bahwa telah hampir 53 hari berlalu sejak tercapainya angka delapan puluh ribu. Dan kini, pada angka sembilan puluh ribu kunjungan, statistik laman blog memperlihatkan tren perlambatan yang kembali berlanjut. Mungkin ada hubungannya dengan periode libur semester ganjil yang kebanyakan berada di awal tahun? Iya. Tidak. Bisa jadi. 
Yang jelas, ia baru saja terjadi sekitar 45 menit yang lalu, pada Jumat, 14 Februari 2014, 00:35 (UT+9). Maka mari bersukacita dalam menghitung hari menuju enam digit. Mungkin sebentar lagi. Mungkin juga tidak. Mungkin bisa jadi. (?)
sumber
Akan ada rentetan post yang menyusul, maka siapkan jiwa kalian supaya tak terguncang.
Sampai jumpa, nanti!


Lanjutkan baca »

Selasa, 11 Februari 2014

Article#264 - Selamat Pagi, Mas Presiden!

Ditulis oleh Roy Thaniago. Dipublikasikan pada 30 Maret 2009.


“Ya, yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda…”
- Pramoedya Ananta Toer -
Mulailah membaca catatan kecil ini – yang mungkin tidak ada gunanya, juga gaungnya – dengan sepotong ucapan: Selamat malam generasi tua!
BUKAN karena benar-benar sudah malam kalau ucapan itu kita layangkan. Tapi ini semacam salam perpisahan, salam menjelang tidur. Sepucuk salam pengantar istirahat buat para pemimpin tua sebuah bangsa yang juga mulai menua.
Sayangnya, menuanya bangsa ini tidak diimbangi dengan kedewasaan dan kearifan, kesejahteraan dan kemapanan. Tapi malah, dengan rapor buruk negara, ketuaan bangsa Indonesia makin renta dengan hadirnya ‘keriput’ korupsi, ‘flek’ kemiskinan, ‘TBC’ buta huruf, ‘osteoporosis’ terorisme, ‘asma’ pelanggaran HAM, serta ‘stroke’ pendidikan rendah. Maka sudah lengkaplah sosok renta bangsa Indonesia dengan segala tetekbengek yang melacur di sekujur tubuhnya. Bangsa Indonesia laksana seorang saudagar kaya yang menghabiskan sisa hidupnya dengan berjuang melawan penyakit di atas ranjang. Saudagar itu, dengan puluhan hiasan mewah yang menggelayot di tubuhnya, tidak lagi mampu berdiri melihat cucu-cucunya yang gemuk sedang berlarian di halaman rumahnya yang luas.

Sudah 10 tahun sejak lengsernya Mbah Harto, kumandang reformasi didengungkan. Tapi bangsa ini masih duduk manis di depan televisi menonton sinetron tolol. Tak mencoba menggeser tubuh untuk memperbaiki bagian rumah yang rusak. Tak berupaya mencari sofa yang lebih empuk atau mengganti warna cat dinding yang mulai mengelupas. Hingga mulai sadar dengan lahirnya ketidaknyamanan dan keengganan untuk tetap berkata: Saya baik-baik saja.

Silih berganti – seperti menang gambreng – satu per satu pemimpin gaek menjabat sebagai presiden. Mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY. Semuanya menjalankan pemerintahan dengan baik. Bahkan teramat baik hingga tak berani melakukan perubahan radikal yang membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Di antara generasi tua itu seperti ada halangan untuk berpikir dan bertindak revolusioner. Mekanisme menjadi presiden lewat parpol membuat mereka melakukan kompromi-kompromi politik yang anomali bagi masyarakat awam. Misalnya saja, dengan dukungan beberapa parpol yang berkoalisi, seorang presiden terpilih menjadi tidak mudah dalam membuat keputusan yang mungkin saja merugikan salah satu parpol. Kompromi-kompromi macam inilah yang senantiasa menghambat kemajuan Indonesia.

Lain hal, para generasi tua, dengan rentang usia yang melintas pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, dijangkiti kultur kebanyakan birokrat kita yang busuk. Dari kolusi sampai korupsi. Nepotisme sampai jual beli hukum. Yang mungkin daftar kebusukan itu tak cukup ditampung dari Sabang sampai Merauke.

Kultur macam ini jugalah yang sangat mengganggu proses Indonesia menjadi negara yang disegani. Sistem boleh ciamik dan modern. Fasilitas boleh canggih dan mengadopsi Barat. Tapi selama kultur manusia yang menjalankan sistem tersebut busuk, tidak menjadi istimewalah ke-ciamik-an dan ke-modern-an itu. Selama kultur manusia pemakai fasilitas tersebut bobrok, ada baiknya sikap malu yang mesti dipasang ketika menggotong predikat canggih dan adopsi Barat itu.

Bukan itu saja, para generasi tua sudah terperangkap dalam perspektif waktu yang sempit. Mereka hidup di jaman yang baru, tapi membawa pemikiran lama. Sebuah jaman harus diperlakukan lewat tuntutan kebutuhan jaman tersebut. Itu syarat sebuah kebaruan.

Namun, yang terjadi sekarang, kepemimpinan bangsa hanya dihuni oleh nama-nama lama yang mengalami rentang waktu yang dipenuhi kultur busuk para birokrat dan juga melalui proses mekanisme parpol yang buruk. Sebut saja nama Megawati (61), Wiranto (61), Amien Rais (64), Akbar Tanjung (62), SBY (58), Sutiyoso (63), Sultan Jogja (62), serta Jusuf Kalla (66). Mereka semua pernah hidup di era pemerintahan yang kulturnya busuk. Mereka juga bertumbuh dalam sistem parpol yang tidak berorientasi kepada rakyat. Jadi percuma saja bila ada generasi tua yang bersih, memimpin. Karena sebersih apapun, dia sudah terbiasa dengan kultur busuk birokrat, akrab dengan kompromi-kompromi, serta terperangkapnya dalam perspektif waktu yang sempit.

Oleh karena itu, kita sekalian BERHAK menolehkan perhatian pada orang-orang lain di luar generasi tua. Orang-orang lain tersebut dengan ideologi dan mimpinya pantas dibukakan jalan menuju kepemimpinan bangsa. Orang-orang lain tersebut, yang tidak pernah terlibat dalam kultur busuk tersebut, layak diberi kesempatan menggawangi kursi Presiden Indonesia. Tak lain dan tak bukan, adalah mereka orang-orang baru dengan semangat dan pemikiran yang baru, yakni para generasi muda bangsa.

Maka layaklah ucapan selamat malam di awal tadi, kita serukan pada mereka generasi tua. Dan dengan santun kita antarkan mereka untuk beristirahat menunggu gerbong Indonesia Jaya yang dikomandoi para generasi muda.

Siapa Generasi Muda?

Tapi masih adakah generasi dengan syarat-syarat yang sudah diurai pada halaman sebelah tadi di dalam negara berjumlah 230 juta penduduk ini? Agak sulit menjawabnya bila kita belum memahami siapa generasi muda yang dimaksud.

Generasi muda adalah mereka yang berusia muda. Kalau bicara angka, mungkin angka 35-50 adalah kisarannya. Tapi sebuah angka bukanlah syarat mutlak seseorang dikategorikan sebagai generasi muda. Ia bisa saja berusia di atas 50, namun memiliki pikiran yang baru (muda), kultur yang baru (belum pernah terlibat dalam kerja parpol atau pemerintahan yang korup), semangat yang baru, juga mimpi yang baru.

Dalam wacana mencari pemimpin muda ini, generasi tua yang dituduh bertanggungjawab karena tidak melakukan regenerasi, berkilah. Mereka menganggap bahwa kepemimpinan mereka bukanlah mau diri sendiri, tapi keadaan yang mengharuskan mereka maju kembali dalam bursa capres. Bahkan dengan sangat jantan mereka menantang lahirnya para pemimpin dari generasi yang lebih muda dari mereka.

Namun apa yang terjadi menunjukkan mereka tidak dengan sungguh mengatakan itu. Orang muda selalu berdiri di bawah bayang-bayang generasi tua. Coba kita lihat PAN (Partai Amanat Nasional) yang dipimpin oleh orang muda seperti Soetrisno Bachir, ternyata masih dibayangi oleh sosok Amien Rais di belakangnya. Sehingga belakangan kita sama-sama saksikan usaha mati-matian dari Soetrisno Bachir dalam mencitrakan dirinya ke masyarakat lewat iklan-iklan yang kerap menganggu kenyamanan ketika menonton atau pun membaca media massa. Bukankah ini akibat dari tidak mulusnya regenerasi partai politik? Atau pada regenerasi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang memasang Muhaimin Iskandar sebagai boneka. Karena toh suara Gus Dur tetap yang menahkodai arah PKB. Sebuah gerontokrasiyang tidak dengan sungguh memberi peluang bagi orang muda untuk memimpin.

Pada hal lain, kita bisa lihat bagaimana orang muda hanya dijadikan komoditi politik semata. Tentunya parpol-parpol amat menyadari suara besar yang dapat diraup dari kaum muda. Dalam konteks berbicara Pemilu 2009, dari 170 juta usia pemilih, 59% berusia muda, yakni 20-40 tahun. Dengan mewacanakan pemimpin kaum muda, yakni dengan memasangkan kaum tua dengan kaum muda dalam bursa capres, parpol berharap dapat mendulang suara banyak dengan kandidat kaum muda sebagai pemikat. (bandingkan dengan kemenangan Pilkada Jawa Barat yang mengusung Heryawan dengan Dede Yusuf sebagai orang muda – keduanya berumur 41 tahun. Atau Pilkada Sulawesi Selatan yang dimenangi oleh pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang, di mana Nu’mang masih berusia 45 tahun)

Hal inilah yang disebutkan di atas sebagai komoditi politik. Orang muda hanya diberi posisi sebagai alasan strategis menjalankan program tim sukses. Orang muda hanyalah alat. Orang muda hanya sebuah objek, bukan subjek yang berhak menentukan arahnya sendiri.

Jadi, memang susah – bukan tidak mungkin – mencari pemimpin dari generasi muda. Mereka dianggap tidak ada oleh masyarakat. Kalaupun ada, mereka hanya pribadi-pribadi yang kadang anonim dan berdiri sendiri tanpa basis massa. Mereka bukan tidak ada, tapi mereka ditiadakan kaum tua.

Orang Muda Becus

Mendengar nama Benigno Aquino Jr., mungkin kita langsung mengasosiasikannya pada sebuah nama, Corazon Aquino. Ya, Ninoy – panggilan Benigno – adalah suami dari Corazon, mantan presiden Filipina. Benigno muda aktif berpolitik. Ia menjadi walikota pada usia yang sangat muda, 22 tahun. Lalu berlanjut menjadi gubernur pada usia 28 tahun. Dalam usia 34 tahun, ia masuk sebagai senator termuda Filipina saat itu. Akhirnya karena tindaktanduk politiknya, ia dihukum mati oleh Ferdinand Marcos, presiden Filipina saat itu. Namun tak lama sang istri, Corazon, melanjutkan misi politik suaminya, yang mengantarnya pada kursi Presiden Filipina di tahun 1986.

Di belahan dunia lain, ada tokoh muda seperti Evo Morales yang memimpin Bolivia pada usia 47 tahun. Juga ada Bashar Al Assad dari Suriah yang menjadi presiden pada usia yang belum genap 45 tahun. Ada juga Hugo Chaves yang menjadi presiden Venezuela pada usia 44 tahun. Di Amerika, nama pemimpin muda berderet dari J.F. Kennedy (berusia 43 tahun ketika menjabat presiden), Bill Clinton (47), sampai yang ramai dibicarakan sekarang, Barack Obama (47).

Nama-nama dalam negeri pun tak kalah bersaing. Soekarno, Sang Fajar dari Timur itu, memimpin PNI (Partai Nasional Indonesia) pada usia yang belia, 26 tahun. Dan akhirnya menduduki kursi kepresidenan pada usia 44 tahun. Atau lihat Hatta dan Sjahrir yang menjadi wakil presiden dan perdana mentri di usianya yang ke-43 dan 36 tahun.

Singkat kata, stereotip tidak becus, berlagak doang, urakan, sulit diatur, apatis, dan seterusnya, dan seterusnya yang disematkan pada orang muda, boleh menjadi tidak sepenuhnya benar setelah kita melihat deretan prestasi yang diukir nama-nama orang muda di atas. Lewat mereka kita melihat bahwa orang muda bisa memimpin dengan becus. Bukan saja memimpin. Tapi dengan perubahan radikal yang dilakukan, orang muda dapat menjadi agen pembaharu pada satu keadaan yang carutmarut.

Gerakan Korektif

Di Indonesia, setelah lama dikurung dalam suatu jaman yang otoriter, yakni selama 3 dekade Orde Baru berkuasa, di mana rakyat melulu menjadi objek, menghasilkan kenihilan generasi muda. Sikap Soeharto yang melanggengkan kekuasaan tak memberi ruang berpikir untuk membidani kehadiran generasi berikutnya. Sehingga stok orang muda Indonesia yang berpolitik menjadi kosong.

Bukan itu saja. Sikap otoriter dan represif yang digunakan, membuat rakyat tak lagi mempunyai mimpi. Rakyat menganggap mimpi merupakan barang mewah untuk dikonsumsi. Maka rakyat hanya berharap, tak lagi bermimpi. Berharap agar pemimpin bangsa membawa mereka ke arah yang lebih baik. Namun tidak pernah berhasrat untuk membangun mimpi mereka sendiri. Rakyat menyerahkan mimpinya kepada pemimpin. Dan inilah yang melahirkan sebuah generasi muda yang apatis.

Sikap apatis ini ditunjukkan dengan enggannnya orang muda untuk membangun mimpi rakyat lewat politik. Mereka menganggap bahwa politik kotor dan culas, dan hanya dengan menjauhkan diri darinya, orang muda dapat terus mempertahankan idealismenya. Sehingga, selama ini masyarakat hanya menyaksikan aksi kolektif orang muda yang dibangun dalam ranah gerakan protes. Orang muda hanya menjadi gerakan korektif. Selama tidak ada yang perlu dikoreksi, mereka hilang dari peredaran dalam upaya membangun bangsa.

Di sisi lain, di mana orang muda gerah terhadap parpol, justru lewat parpol itu pulalah jalan menuju kepemimpinan dibukakan. Pada kondisi ini, perlu dipikirkan mengenai wacana calon presiden independen yang tidak berdasarkan parpol. Atau memang para elit politik tua kita seakan sudah membentengi lingkaran kekuasaan mereka dengan undang-undang yang rapih, yang menghambat para orang muda untuk maju sebagai pemimpin.

Sekali lagi: Selamat Malam…

Bila pandangan sudah berkelana sampai pada baris ini, berarti catatan kecil ini sebentar lagi mau pamit. Pergi menjauh dari mata-mata yang menyapu kata-kata. Catatan ini akan kembali berpencar menjadi kata-kata yang berdiri sendiri-sendiri. Kata-kata ini yang kemudian mencari jalan sunyi untuk ditempuh. Sebuah jalan spiritual untuk menemukan kawanan kata yang lain, hingga berkumpul membentuk suatu panorama kalimat, atau suatu bangunan gagasan yang muluk.

Memang harus muluk untuk membangun mimpi. Karena mimpi adalah pribadi yang menjauh dari dunia realitas. Dunia nyata yang kejam dan tirus. Siapa yang tak pernah bermimpi, mungkin ia tak pernah merasakan buruknya dunia ini.

Kata-kata itu – dalam kesunyiannya – menemukan bentuk kembali. Mereka berkumpul dan membentuk sebuah kalimat. Dengan sopannya mereka membungkuk dan saling bergandeng merangkai diri:

Selamat malam, generasi tua…

Selamat pagi, Mas Presiden!

Istilah:

1. Istilah kedokteran: gerontologi. Artinya menunjukkan pada satu fase mulainya penuaan dalam kehidupan seorang manusia. Dalam konteks politik, istilah ini diadopsi yang maknanya kurang lebih keadaan politik yang dikuasai kaum tua.
*****
Menemukan dan membaca tulisan ini, kembali mengingatkan penulis akan pagelaran politik yang sedang ditata karpetnya. Menghitung hari, antara terbit dan terbenam matahari, perlahan pagelaran ini mendatangi. Banyak orang bilang, ini pesta, selebrasi, pesta demokrasi. Atau mungkin pesta para tikus berdasi diatas pencari suap nasi. Mencicip amis krasi-krasi dan isasi-isasi yang tengiknya makin basi.
Mungkin ada dari kita yang telah muak akan media. Mereka yang mencekoki masyarakat dengan limpasan klise yang banyaknya tersia. Atau ada pula dari kita yang terbuai oleh madat bernama citra, yang alih-alih memperindah, malah jadi sekadar permak.
Penulis belum menentukan akan seperti apa ia ambil peran, itupun jika ia benar-benar mengambil perannya. Tetapi, sepertinya, penulis harus ikut ambil bagian. Entah dari sisi mana, entah bagaimana, meski mungkin jelas akan mengarahkan kemana.
Perhatikan dengan baik, bagaimana jadinya negeri ini. Negeri ini, yang tumbuh bersama berbagai jiwa di dalamnya. 
Karena sebuah negara, adalah cerminan rakyatnya.
.....
Lanjutkan baca »

Sabtu, 08 Februari 2014

Article#263 - Relaksasi


Kata-kata di tulisan ini diketikkan beriringan dengan sekian banyak keping salju yang berhamburan di luar sana. Di seantero negeri samurai ini. Seolah mengajak semua yang berkutat dalam segala urusan, untuk meninggalkannya sejenak, menatap langit dengan keping-kepingnya yang berjatuhan.
Mengajak mereka yang tenggelam dengan segala macam kesibukan nonstop, untuk berhenti.
Untuk meletakkan semua hal sejenak.
Melepaskan beban di pundak.
Menyambut angin yang menyibak.
Dan mereguk salju yang memuncak.

Semoga apa-apa yang diturunkan, bermanfaat bagi kita semua.

Selamat liburan musim semi! Bagi kalian yang merayakan.

I hope there's no ghost when I dream,
Telling me to change everything they see.
Falling back into my memories,
Wake me up now, don't fall asleep with me.


Lanjutkan baca »

Rabu, 05 Februari 2014

Article#262 - Imajinasi

.....
Bisakah manusia melampaui keterbatasannya?
Ceritanya menelusur sampai jauh, berlembar-lembar di belakang, dalam Abad Pertengahan. Dimotori oleh keinginan mereka yang mendamba kebahagiaan hidup, berlomba-lombalah orang mencoba menemukan kunci utama, yang bisa mewujudkan kebahagiaan versi mereka sendiri. Setidaknya ada tiga yang mereka coba wujudkan: sumber kehidupan abadi, sumber kesehatan abadi, sumber kekayaan abadi.

Manusia sejak dahulu banyak yang takut akan suatu fase bernama kematian. Sepertinya kebanyakan dari mereka adalah orang yang demikian betah mereguk berbagai jenis kenikmatan dunia. Sebagaimana dinyatakan oleh Isaac Newton, sebuah objek yang diam akan cenderung untuk tetap diam, kecuali dia dipaksa bergerak. Kebanyakan patuh ketika 'dipaksa' bergerak, menuju pintu gerbang kematian. Sebagian lagi, tidak yakin apakah mereka bisa melawan sang 'paksaan', berusaha menemukan eliksir mujarab yang konon mampu memperpanjang hidup manusia, menjadikannya abadi di dunia. Ini yang pertama.

Teruntuk yang kedua, sepertinya penulis tidak perlu menjelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana orang mendambakan kesehatan. Terutama di saat sakitnya; lagipula siapa juga dari kita yang sama sekali tak pernah merasakan sakit? Baik sakit raga atau sakit jiwa. (eh)
Banyak orang ingin mengecap segala macam nikmat dunia, tanpa perlu bersusah payah dalam derita. Maka mereka mendamba sebuah obat, yang dengannya segala penyakit akan tersembuhkan.

Dan demi yang ketiga, mereka wujudkan segala daya upaya, entah bagaimana cara, mengubah logam "biasa" menjadi logam "mulia". Logam mulia sendiri dinamai demikian karena sifatnya yang stabil, tidak dengan begitu mudahnya bereaksi dengan suatu zat yang menghampirinya. Persis macam bangsawan-bangsawan yang konon selalu menjaga pergaulan dan segala tindak-tanduk mereka. Dan tentu saja, karena kestabilannya inilah, logam mulia memegang tampuk penting dalam urusan berniaga dan bernegara sejak zaman prasejarah.
Tampuk yang penting, artinya ia adalah barang berharga, dan rasanya semua mafhum jika emas dan perak identik dengan kemewahan dan kekayaan, hingga sekarang.

*****

sumber

'Cause now, more than ever,
What we need is laugh, to replace all the despair.
Something good, and something beautiful.
If only we could see. If only.

Dari sudut pandang jiwa-jiwa yang memandang pertanyaan masa lalu sebagai sebuah tinggalan sejarah, mungkin beberapa keabadian yang diincar oleh generasi sebelumnya ini adalah sesuatu yang lebih layak jadi tertawaan. Mungkin saja. Lagipula, sekarang, banyak dari kita telah terbiasa akan kenyataan, bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Ketiga aspek yang telah dibahas sebelumnya, intinya adalah keabadian, dan keabadian bisa dikatakan sebagai satu bentuk kesempurnaan.

Huuh. Para alkemis yang mampu melihat hidup masa kini mungkin akan dikecewakan oleh hal ini. Mereka ingn terus mengembangkan kemampuan. Mereka yakin, masih ada harapan. Tetapi harapan ini luput dari penglihatan jiwa-jiwa yang merana, mereka yang kini berserakan di dunia fana.
Entah apa yang ada di pikiran mereka. Terserah, mereka yang mana.

Sebagian dari mereka yang senang berjuang, mungkin pernah merasakan saat-saat dimana seluruh semesta, alih-alih berkonspirasi untuk membantu mewujudkan keinginan mereka, justru berbalik menjadi senjata makan tuan. Mungkin karena sang semesta tak sudi dijadikan sekadar alat, apalagi senjata. Akhirnya, sang semesta memamerkan segala macam kuasanya, atas jiwa-jiwa kita yang tak berdaya. Satu persatu mereka bertumbangan, menyerah setelah diterpakan kenyataan. Sebagian yang lain mengambil celah untuk mencari keuntungan. Kesempatan di tengah kesempitan.

Sebagian yang lain, ada pula yang sadar, bahwa tujuan itu, akhir dari segala pencapaian yang mereka tuju itu, mungkin tidak benar-benar ada. Ia hanyalah produk angan mereka yang demikian dimabuk buai harapan. Mereka sempat menoleh ke belakang, ke rekan-rekan yang bertumbangan atau lari tunggang-langgang. Akan tetapi, candu harap itu sudah demikian merasuk ke sanubari mereka, lubuk jiwa terdalam mereka. Akhirnya, mereka yang tersisa ini bertahan. Atau begitulah yang terlihat.

Orang bilang, apa-apa yang mencandu itu akan mengaburkan kita dari melihat harapan dan melihat kenyataan. Dan demikian pula mereka, tak lagi mampu membedakan mana yang mana. Yang mereka peduli, mereka punya candu, dan dengan candu mereka ini, mereka yakin mereka punya kekuatan untuk melanjutkan. Melanjutkan sesuatu yang belum sempat terselesaikan. Meskipun tak akan pernah sampai tujuan. Sehingga akhirnya mereka melanjutkan, walaupun kini mereka berjuang tanpa tentu arah. Yang mereka mau, dipandu oleh harap-harap si candu, adalah untuk terus maju.
Di titik inilah, mereka telah melupakan tujuan awal mereka sebagai "tujuan" sesungguhnya. Dengan demikian santai, mereka berjuang sesuai apa yang mereka rasa perlu, apa yang mereka rasa mencukupi. Tak perlu buru-buru—toh tujuan yang sebelumnya diburu itu tidak ada. Maka santai saja, jalani perjuangan dengan senyuman, dan berbahagialah. Kekhawatiran tidak akan membawanya kemana-mana, dan kecemasan hanya akan membuatnya membabi buta.
Maka mereka berjuang dalam tenang, dalam senang.

Mungkinkah ada kaitan antara kebahagiaan dan tiadanya tujuan? Entahlah. Tetapi, mungkin ada kaitan antara kebahagiaan dan tiadanya tekanan. Mengingat tekanan biasanya akan menuntut berkembangnya kecemasan dan kekhawatiran. Tekanan yang memaksa seorang individu untuk berubah, supaya sealur, seirama, searus. Tanpa tekanan itu, cukuplah seorang jiwa manusia dengan dirinya apa adanya, tanpa perlu memikirkan apa-apa.

Satu hal menjadi masalah. (Atau bukan masalah?)
Hidup manusia yang relatif tanpa tekanan hanyalah hidup seorang anak kecil.
Mungkin karena itulah, kita dapati seorang anak kecil menjadi pribadi yang paling murni dari segala manusia? Mereka yang senantiasa bersemangat dengan adanya pembaruan. Mereka yang selalu bahagia berkarya dan mencipta. Terlepas dari segala gurat muram dan duka dari lingkungan sekitarnya.


Dengan sentuhan sederhana, apa-apa yang biasa pun dengan mudah menjadi luar biasa. Selama bukan luar binasa, tak apa lah ya.


Entahlah. Mungkin dunia sudah muak dengan koar tanpa dasar berpijak. Tak perlulah kuurai serangkaian kata, karena dengan hidup yang mengalir demikian indah, ada tidaknya pijakan tak jadi masalah. Karena kita bisa terbang dalam pikiran kita. Tak ada batas, melawan kenyataan, karena tiada yang nyata ketika hanya tersimpan dalam benak pikiran.

Terima kasih, telah mengenalkanku pada warna dunia.
Juga pada mahligai kenyataan yang tak rupa nyatanya.
Yang kuharap, juntai benang itu terus mengait asa,
Untuk mempertemukan kembali pada saatnya.

There's so much left to say
And before this moment slips away
What a wonderful life
For as long as you've been at my side
And I want you to know
....
Lanjutkan baca »

Minggu, 02 Februari 2014

Article#261 - Bunga (Akan) Mekar

真っ白な 雪道に 春風香る
Masshirona, yuki michi ni, harukaze kaoru
わたしは なつかしい
Watashi wa, natsukashii 
あの街を 思い出す
Ano machi wo, omoidasu

叶えたい 夢もあった
Kanaetai, yume mo atta 
変わりたい 自分もいた
Kawaritai, jibun mo ita
今はただ なつかしい
Ima wa tada, natsukashii 
あの人を 思い出す
Ano hito wo, omoi dasu

誰かの歌が聞こえる
Dareka no uta ga kikoeru
誰かを励ましてる
Dareka wo hagemashiteru
誰かの笑顔が見える
Dareka no egao ga mieru
悲しみの向こう側に
Kanashimi no mukou gawa ni

花は 花は 花は咲く
Hana wa, hana wa, hana wa saku
いつか生まれる君に
Itsuka umareru kimini 
花は 花は 花は咲く
Hana wa, hana wa, hana wa saku
わたしは何を残しただろう
Watashi wa nani wo nokoshita darou 

夜空の 向こうの 朝の気配に
Yozora no, mukou no, asa no kehai ni
わたしは なつかしい
Watashi wa, natsukashii 
あの日々を 思い出す
Ano hibi wo, omoidasu

傷ついて 傷つけて
Kizutsuite, kizutsukete 
報われず 泣いたりして
Mukuwarezu, naitarishite
今はただ 愛おしい
Ima wa tada, itooshii 
あの人を 思い出す
Ano hito wo, omoidasu

誰かの想いが見える
Dareka no omoi ga mieru 
誰かと結ばれてる
Dareka to musubareteru
誰かの未来が見える
Dareka no mirai ga mieru 
悲しみの向こう側に
Kanashimi no mukougawa ni

花は 花は 花は咲く
Hana wa, hana wa, hana wa saku
いつか生まれる君に
Itsuka umareru kimini 
花は 花は 花は咲く
Hana wa, hana wa, hana wa saku
わたしは何を残しただろう
Watashi wa nani wo nokoshita darou 

花は 花は 花は咲く
Hana wa, hana wa, hana wa saku
いつか生まれる君に
Itsuka umareru kimini 
花は 花は 花は咲く
Hana wa, hana wa, hana wa saku
わたしは何を残しただろう
Watashi wa nani wo nokoshita darou 

花は 花は 花は咲く
Hana wa, hana wa, hana wa saku
いつか生まれる君に
Itsuka umareru kimi ni 
花は 花は 花は咲く
Hana wa, hana wa, hana wa saku
いつか恋する君のために
Itsuka koisuru kimi no tame ni


Terjemah bahasa Indonesia (abal-abal, versi penulis)
Hiruplah aroma musim semi yang akan berhembus
Pada jalan yang bersaput putih murni salju
Kotaku yang kurindukan

Ada mimpi yang masih ingin kugapai
Ada diri ini yang ingin kuperbaiki
Bagaimana kurindu mereka
Yang hadirnya kudamba

Kudengar seorang bernyanyi
Seorang lagi tersemangati
Kulihat seorang tersenyum
Tinggalkan kesedihan hidup

Bunga akan mekar, sungguh bunga akan mekar
Untuk semua yang telah dan akan terlahirkan
Bunga akan mekar, sungguh bunga akan mekar
Dan aku tak tahu apa yang telah tertinggal

Lihatlah, pagi sedang bersiap menjelang
Di sebaliknya malam sedang menghilang
Hari-hari yang terus terbayang

Kita terlukai, dan melukai
Yang tak terbalas, jua tertangis
Bagaimana kurindu mereka
Yang hadirnya kudamba

Kulihat seorang dalam harap
Dengan yang lain terhubungkan
Kulihat masa depan tersingkap
Tinggalkan lembar kesedihan

Bunga akan mekar, sungguh bunga akan mekar
Untuk semua yang telah dan akan terlahirkan
Bunga akan mekar, sungguh bunga akan mekar
Dan aku tak tahu apa yang telah tertinggal

Bunga akan mekar, sungguh bunga akan mekar
Untuk semua yang telah dan akan terlahirkan
Bunga akan mekar, sungguh bunga akan mekar
Untukmu yang akan memahami makna cinta

Bagi yang berminat untuk mendengarkan, bisa menyimak video berikut. Tenang, bukan versi terjemahan diatas, tapi versi aslinya. (Bocoran - terjemah diatas disarikan dengan bantuan subtitel pada video berikut.)



Cerita yang lebih menarik mungkin ada di balik pembuatan lagu terkait, berikut videonya. 
Masih ingat dengan kisah Gempa Besar Jepang Timur, 11 Maret 2011 lalu? Selain mencatatkan diri sebagai salah satu gempa terbesar yang terdokumentasikan (magnitudo 9.0 SR), gempa tersebut, berikut dengan tsunami yang dihasilkannya, tercatat sebagai peristiwa alam dengan nilai kerugian terbesar, dan salah satu yang paling mematikan di Jepang dalam seratus tahun terakhir. Konon katanya, sang perdana menteri, Naoto Kan, saat itu membandingkan kejadian tersebut dengan kehancuran Jepang pasca Perang Dunia 2.
Tetapi, di tengah demikian banyak ucapan belasungkawa, beserta bantuan yang mengalir untuk Negeri Sakura, sekelompok orang di jajaran NHK (badan penyiaran nasional Jepang) mengambil langkah lain. Dengan menggaet Shunji Iwai dan Yoko Kanno, NHK menyusun sebuah lagu yang didedikasikan untuk mereka yang terdampak. Kedua nama tersebut, secara berurut, berperan sebagai penulis lirik serta komponis lagu.
Dalam video yang ditayangkan diatas, seluruh figur yang ditampilkan, termasuk dua nama yang tersebut sebelumnya, merupakan figur asal prefektur (badan pemerintahan setara provinsi) Iwate, Miyagi dan Fukushima, wilayah yang terdampak paling parah dalam peristiwa Maret 2011 tersebut.
Lagu ini juga telah digubah dalam versi bahasa Inggris, yang kemudian dibawakan oleh grup vokal multinasional Il Divo
*****
Mungkin arti itu yang mereka maksudkan.
Tak harus menjadi orang yang lepas dari derita, untuk ikut membantu sesama.
Tak harus menjadi orang yang terdampak, untuk merasakan apa yang mereka rasa.
.....
Saya masih harus banyak belajar.
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...