Jumat, 31 Juli 2015

Article#447 - Memintas Alam Maya

Bagi mereka yang biasa bersimbah segala macam kegilaan di dunia maya, agaknya tulisan yang memicu pemikiran tidak senantiasa tersedia.

Tetapi, ketika hadirnya tersaji di depan mata kita, lintas pikiran yang kemudian tercetuskan bisa saja menjadi pemikiran berkelanjutan.

Selamat menyaksikan.











Lanjutkan baca »

Senin, 27 Juli 2015

Article#446 - Tengadah


Kita yang berkalang gemintang
Adalah kita yang gerah akan segala kebrengsekan 
Menjalari segala rupa indera

Kita yang menghadap kemegahan
Adalah kita yang muak menatap wajah-wajah jumawa
Meringis menuntut perhatian

Kita yang menggalang harapan
Adalah kita yang tak menggubris kepalsuan niatan
Bersaput seringai manis muka

Dan kita yang menyesap teduh rembulan
Adalah kita yang mengobarkan bara semangat
Beranjak menyapa nyata


Hari 7413, mendaras pergerakan awan.
Senin, 27 Juli 2015, 22:44 (UT+7)
7°36'31.42"S, 110°12'19.98"E
Lanjutkan baca »

Jumat, 24 Juli 2015

Article#445 - Paspor




PASSPORT



Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki paspor. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus paspor. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa paspor manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya paspor. Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa paspor ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya. Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ketiga dari Revolusi Industri. Dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
cap-passport
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki paspor. Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKn yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide-nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronunciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya paspor itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya dari mana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini di paspornya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki paspor. Paspor adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya paspor dari uang negara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

~disadur dari http://iskandarmuda.blog.uns.ac.id/2011/09/08/passport-by-rhenald-kasali/, dengan beberapa pengubahan.
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Rabu, 22 Juli 2015

Article#444 - Konjungsi

Jika kalian bingung akan apa tujuan sebenarnya dari post ini, izinkan penulis untuk merangkumnya dalam ungkapan berikut: 10% rencana panjang, 62% pencomotan gambar, dan 68% pengalihan isu dari kegagalan rencana.
Selamat menikmati.

*****
Jupiter beserta keempat bulan Galilean (kiri bawah) beserta sabit Venus (kanan atas), sebagaimana
dipotret dari PoznaƄ, Polandia, 30 Juni 2015.
(APOD/Adam Tomaszewski)
Ketika penulis menapaki bumi di bawah langit senja cerah yang menghiasi seantero bulan Mei, sesekali pandang berjumpa dengan dua titik cahaya yang berkilau benderang di langit barat. Kedua titik ini, yang belakangan terbongkar identitasnya sebagai dua planet (Venus dan Jupiter), tampak bergerak pelan bersama mengarungi langit sejak bulan April; pada Mei, mereka terus mendekat menuju "pertemuan" terdekat mereka (dilihat dari Bumi) setidaknya dalam 15 tahun terakhir.

Rencana pun kemudian disusun, untuk mengabadikan pergerakan kedua planet sepanjang bulan-bulan tengah tahun 2015. Apa daya, kemalasan penulis yang bersatu dengan cuaca labil awal musim hujan membuat rencana tersebut luntur begitu saja.
Alhasil, yang penulis bisa lakukan kini hanyalah mengamatinya melalui piranti lunak. Atau melalui kamera mereka yang berhasil mengabadikan momen demi momen "bertemunya" kedua planet.

Kompilasi foto Venus-Jupiter antara 27 Juni - 1 Juli 2015, sebagaimana dipotret
dari Melaka, Malaysia.
(FalakOnline/Fadzli Razi)
Animasi pergerakan Jupiter (redup) dan Venus (terang) dengan pandang horizontal
pada 9 Juni - 10 Juli 2015. Waktu pada kolom bawah dinyatakan dalam WIB (UT+7),
Gambar diperoleh dari simulasi oleh piranti lunak Stellarium 0.12.0.
Animasi pergerakan Jupiter (tengah) beserta keempat bulan Galilean, dan Venus (terang, bergerak) dengan
pandang ekuatorial 
pada 29 Juni - 1 Juli 2015. Karena sudut pandang dipusatkan pada Jupiter, bintangdi latar belakang terlihat bergerak ke arah kanan atas.
Gambar diperoleh dari simulasi oleh piranti lunak Stellarium 0.12.0.
Akhir kata, berhubung sebagian besar isi post ini adalah hasil simulasi, maka penulis akan menutupnya dengan hasil simulasi pula.
Tepatnya, citraan Venus, Jupiter, serta keempat bulan Galilean pada kondisi (kurang lebih) terdekat antar kedua planet. Tentunya, memanfaatkan piranti lunak Stellarium 0.12.0.


Berminat mengunjungi galeri Venus dan Jupiter? Silakan mulai dari laman berikut:
http://earthsky.org/todays-image/venus-and-jupiter-west-after-sunset-june-2015
http://news.nationalgeographic.com/2015/07/2015701-venus-jupiter-pictures-around-world/

Sampai jumpa dalam serapah selanjutnya!
Lanjutkan baca »

Senin, 20 Juli 2015

Article#443 - Destinasi


Mahligai tak bergeming
Terik mendesir sunyi
Di hadapan bingar mentari pagi
Arakan awan berbaris
Kelambu mengurai hari
Sepanjang lintas tinggi di langit

Kita hidup bukan untuk menggugu
Segenap label-label nisbi
Yang oleh orang digilai
Kita hidup bukan untuk terpaku
Menjadi raga tanpa isi
Yang jiwanya tergadai

Maka di awal hari
Di mana sejuk sepi menghampiri
Ada jiwa yang bersiap menguasai hari
Dan pada akhir petang
Di mana bayang nyata menjelang
Ada jiwa yang mengucap tenang
Untuk melangkah kembali pulang












Hari 7404, mendaras pergerakan awan.
Ahad, 19 Juli 2015, 17:44 (UT+7)
6°18'13.77"S, 106°50'36.29"E
Lanjutkan baca »

Sabtu, 18 Juli 2015

Article#442 - Semburat

Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar tentang senja yang lebih merona merah dari fajar. Entah apakah benar demikian adanya—agaknya sebagian besar dari kita bukanlah manusia yang senantiasa berkesempatan meluangkan waktunya untuk memintas datang fajar atau lepas senja. Kita pun tak tahu pula, apakah mereka yang pertama mencetuskan falsafah tersebut adalah mereka yang senantiasa menyerta senja dan fajar. Bisa saja mereka sembarang berfalsafah, atau sekadar menyampaikan faedah. Bisa saja mereka seperti kita, terkagum-kagum akan pengetahuan baru dan bersemangat menyebarkannya.

Barangkali, membuktikan kebenarannya dengan menilas senja demi senja, atau fajar demi fajar, bukanlah opsi yang cukup mnguntungkan bagi sebagian besar kita.
Maka kemudian tercetuslah tanya: Kalau senja benar lebih merah adanya dari fajar, apa gerangan penyebabnya?
Apa ada kaitannya dengan perputaran Bumi? Memang, perputaran Bumi yang cenderung ajek dalam satu arah membuat kita menyambut mentari dalam naungan fajar, untuk kemudian meninggalkannya dalam naungan senja.
Tetapi, ketika ditelisik pun, laju perputaran Bumi yang tak sampai setengah kilometer per detiknya ini justru tampak kerdil ketika bersanding dengan kecepatan cahaya. Mungkinkan laju yang kerdil ini mempengaruhi kenampakan cahaya mentari yang tiba, membuatnya sedikit memerah? Agaknya tidak.

Maka kita mengalihkan dugaan pada tabir udara Bumi kita.
Adakah kemungkinan beda kualitas tabir udara pada pagi dan sore hari mempengaruhi perbedaan pada warna fajar dan senja? Kita pun belum tentu yakin pula akannya.
Mungkinkah warna senja adalah warna fajar yang dikotori ragam sisa kesibukan manusia? Dari debu, asap pabrik, bau knalpot, bahkan hingga peluh kita yang mengejar tujuan hidup.
Atau mungkin, senja adalah warna mentari yang meredup, terkesiap dalam sekilas sigi atas penduduk Bumi.


Apapun maknanya, sepertinya kita tak akan mengarah pada pemahaman akan senja yang memerah sebagai perpisahan pada dunia fana. Karena kita belum tentu memahami, apa yang hendak disampaikan dengan warna sedemikian.
Tempat kita, agaknya, adalah untuk menikmati pandangnya. Memahami prosesnya. Dan tidak kehilangan takjub atasnya.

Semburat fajar beranjak
Membukakan hari pada jiwa yang terlambat bertindak
Sementara semburat senja menjumpa
Merampungkan hari bagi jiwa pendekap nelangsa
Lanjutkan baca »

Kamis, 16 Juli 2015

Article#441 - Menjumpa Raja Kegelapan

Animasi kenampakan Pluto sejak pertama ditemukan pada Februari 1930, hingga melintasnya wahana
New Horizons pada Juli 2015.
sumber gambar

Ada perjalanan panjang yang harus ditempuh untuk sebuah pencapaian.
Ketika kita memutar jarum tahun kembali menuju angka 1930, dunia ilmiah baru saja mendapatkan berita akan ditemukannya planet baru, belakangan dinamai Pluto. Didaulat sebagai planet kesembilan, penelitian lebih lanjut perlahan mengungkap jati diri Pluto sebagai benda langit yang lain dari apa yang telah dikenal umat manusia. Baik itu planet kebumian, planet gas, atau benda-benda kecil macam asteroid dan komet.

Status keplanetan Pluto yang masih dipertahankan ini perlahan mulai luntur sejak beragam benda langit ditemukan di luar orbit Neptunus. Penemuan Eris pada 2005, yang didapati berbobot melebihi Pluto pun "memaksa" komunitas astronomi untuk mendefinisikan istilah "planet" untuk pertama kalinya pada 2006.

Sebelum Pluto "dipecat" dari perbendaharaan keplanetan, sebuah wahana antariksa telah diluncurkan untuk melintasi sistem Pluto. Dengan lima bulannya–di mana salah satu demikian besar hingga menggiring Pluto berdansa dalam putaran gravitasi–Pluto tetap menjanjikan kejutan yang dinanti oleh khalayak astronom di seantero Bumi.

Ia berawal sebagai titik cahaya, yang kecilnya nyaris tak terindera. Dan kini, ia perlahan tumbuh menjadi cakram dengan segala fiturnya, menyuguhi keingintahuan penduduk Bumi yang setia menyaksikan.

Mari menilas sudut pandang akan Pluto, menyimak pertumbuhan pengetahuan kita akannya seiring berhembus zaman.

Pluto (ditunjuk oleh panah), sebagaimana teramati pada
pelat fotografi yang digunakan oleh Clyde Tombaugh pada
23 dan 29 Januari 1930.
sumber gambar
Sistem Pluto, sebagaimana teramati pada 22 Juli 1978 oleh James Christy.
Pluto adalah noktah hitam di tengah tiap gambar. Noktah ini teramati
berubah bentuk secara teratur setiap kira-kira 6,4 hari, yang kemudian
berbuah ditemukannya Charon.
sumber gambar
Pluto (kiri bawah) dan Charon, sebagaimana diamati melalui Faint Object Camera
pada teleskop antariksa Hubble, 1994.
sumber gambar
Sistem Pluto, dengan Pluto-Charon di tengah, dan dua satelit yang baru ditemukan
(Nix dan Hydra) pada 2006. Dipotret oleh teleskop antariksa Hubble.
sumber gambar
Pluto, sebagaimana teramati oleh wahana New Horizons
pada 21 dan 24 September 2006.
sumber gambar
Peta kecerlangan global Pluto, sebagaimana direkam oleh
teleskop antariksa Hubble pada 2010.
sumber gambar
Sistem Pluto-Charon, sebagaimana teramati oleh wahana New Horizons
antara 25 hingga 31 Januari 2015.
sumber gambar
Sistem Pluto-Charon, sebagaimana teramati oleh wahana New Horizons
antara 12 hingga 18 April 2015.
sumber gambar
Sistem Pluto (P), beserta kelima bulannya: Charon (C), Nix (N), Hydra (H),
Styx (S), Kerberos (K). Foto diambil pada 1 Juli 2015.
sumber gambar


Sekarang, waktunya untuk menggabungkan Pluto bersama rekan-rekannya sesama non-planet. Semoga Pluto berbahagia, ya. (?)

Galeri "benda non-planet" Tata Surya.
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Selasa, 14 Juli 2015

Article#440 - Pluto, At Last

Note: This post was published at the exact time where New Horizons marks its closest approach to the dwarf planet Pluto. The featured article by Nadia Drake delivers a brief introduction to the history of Pluto, New Horizons, and what to expect as we puny humans see Pluto in detail through the eyes of New Horizons, as published in National Geographic Magazine.

*****

Published: July 2015

Art depicting the New Horizons spacecraft as it passes Pluto

Spacecraft Will Reach Pluto in July, Revealing Last Face in Solar System

After almost a decade in flight, New Horizons is approaching the enigmatic dwarf planet. What it will find there is anybody’s guess.

By Nadia Drake
Art by Dana Berry
Small, cold, and absurdly far away, Pluto has always been selfish with its secrets. Since its discovery in 1930, the dwarf planet has revolved beyond reach, its frosty surface a blurred mystery that even the most powerful telescopes can’t bring into focus. We know about Pluto. But we don’t really know it.
That will change on July 14, when NASA’s New Horizons spacecraft is scheduled to fly within 8,000 miles of the frozen dwarf. It’s a risky maneuver, but if all goes well, the fleeting close encounter will unveil the last of the classical solar system’s unexplored worlds. We’ll finally get to meet the former ninth planet face-to-face—to really see its surface and that of its largest moon, Charon. Scientists have some guesses about what they might find, but the only thing they can say for sure is that Pluto promises to be a surprise. (Read more on Nadia Drake’s blog at National Geographic, No Place Like Home.)
“The Pluto we imagined will just go away like smoke,” says Alan Stern, New Horizons’ principal investigator.
The X-Files
It wouldn’t be the first time Pluto has confounded expectations. In 2006, the year New Horizons was launched, Pluto vanished from the list of planets and reappeared as a “dwarf planet.” That, of course, had more to do with astronomers on Earth than any celestial sleight of hand, but the truth is, Pluto has been a tough world to crack since before it was discovered. (See what scientists say about Pluto’s status as a planet.)
As early as the 1840s, a tricky calculus foretold the existence of a planet beyond the orbit of Neptune. Calculations based on Neptune’s mass suggested that the ice giant’s orbit, and that of its neighbor Uranus, didn’t quite fit the predictions of planetary motion. So some astronomers reasoned that at least one large, undiscovered world at the edge of the solar system must be jostling the ice giants and causing them to trace errant paths around the sun.
By the turn of the century, the hunt for that missing planet had gathered momentum: Whoever found it would earn the shiny distinction of discovering the first new planet in more than 50 years. Calling the rogue world “Planet X,” Boston aristocrat Percival Lowell—perhaps best known for claiming to have spotted irrigation canals on the surface of Mars—vigorously took up the search. Lowell had built his own observatoryin Flagstaff, Arizona, and in 1905 it became the epicenter of the search for Planet X, with Lowell calculating and recalculating its probable position and borrowing equipment for the hunt. But Lowell died in 1916, without knowing that Planet X really existed.
Fast-forward to 1930. Late one February afternoon, 24-year-old Clyde Tombaughwas parked in his spot at Lowell Observatory. A transplant from the farm fields of Kansas, Tombaugh had been assigned the task of searching for Lowell’s elusive planet. He had no formal training in astronomy but had developed a skill for building telescopes, sometimes from old car parts and other improbable items.
He was also something of a perfectionist. “When I planted the kafir corn and milo maize,” he wrote in his 1980 memoir, “the rows across the field had to be straight as an arrow or I was unhappy. Later, every planet-suspect, no matter how faint, had to be checked out ... It was the most tedious work I’d ever done.”
Tombaugh spent about a year searching for the missing world, using an instrument called a blink comparator. The noisy machine let viewers flip back and forth between long exposures of the sky, often containing hundreds of thousands of stars, taken several days apart. Anything that traveled a significant distance during that time—a planet or an asteroid, for example—would appear to move as the images flipped.
On that late afternoon—it was February 18—Tombaugh was manning the comparator and squinting at thousands of stars, evaluating each one by eye. Suddenly, in photos taken six days apart in January, he spied a small speck of light that didn’t stay put. In one image, it was to the left of two bright stars. In the next, it had jumped a few millimeters to the right of those stars. Tombaugh flipped back and forth between the images and watched the spot leaping in and out of its original position. He grabbed a ruler and measured the precise difference in the spot’s position. Then he found another photo of the sky, taken earlier in January, and searched for the same spot. Finally, he used a hand-magnifier to confirm the potential planet’s presence in one more set of photos, taken by a different camera. After 45 minutes, Tombaugh was convinced.
He had found Planet X.
“You look at the spot that is Pluto, and it’s a pretty dinky little spot,” says Will Grundy, a New Horizons team member who works at Lowell Observatory. “You really had to stare at these things. How he didn’t just go blind, I don’t know.”
After weeks of follow-up observations, Lowell Observatory announced Tombaugh’s find on March 13, which happened to coincide with the 75th anniversary of Lowell’s birth.
But almost immediately, astronomers knew something was wrong. The jumping point of light was much too faint to be Planet X. Even the best telescopes of the day couldn’t resolve the planet’s disk, which meant the object was small—much too small to account for the meanderings of the ice giants.
“They were expecting something brighter than that, something bigger than that,” saysOwen Gingerich, an emeritus astronomer and historian at the Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics. “But they assumed, nevertheless, that it was probably Earth size. So, much smaller than Uranus and Neptune, but a respectable sort of planet.”
Indeed, the world’s size has never deterred its fans. Right away, Lowell Observatory had to figure out what to name the new planet. Hundreds of letters poured in. “Minerva” was an early front-runner. Lowell’s widow, Constance, who’d held up the search for Planet X while battling the observatory for Lowell’s fortune after his death, suggested “Percival” and “Lowell”—and then, abandoning humility altogether, “Constance.”
Across the ocean, an 11-year-old English girl named Venetia Burney casually proposed the name “Pluto,” after the Roman god of the underworld. It seemed an appropriately dark name for a planet on the dusky fringe, and it followed the mythological naming convention. Conveniently, the word also contained Percival Lowell’s initials. And so on May 1, Lowell Observatory announced that Planet X would be named Pluto.
But with its peculiar, tilted orbit and confoundingly small size, the world remained an enigma. Over the years the estimated mass of Tombaugh’s planet continued to shrink and shrink … and shrink, until it finally shrank itself out of planethood altogether and was rechristened a dwarf planet in 2006.
By observing Pluto’s interaction with its satellite Charon, scientists now know Pluto’s mass is a mere two-thousandths that of Earth. Discovered in 1978, Charon is almost half the size of Pluto—so big the two actually form a binary system. They revolve around a point in the space between them, a double-dwarf planet churning away in the center of an astoundingly complex system containing at least four more moons.
Scientists suspect there may be yet more moons around Pluto, some perhaps sharing or swapping orbits and maybe chaotically rotating instead of gracefully pirouetting. (Read “Pluto’s Moons Dance to a Random Beat.”)
“I would not be surprised at being surprised by finding something really pathologically weird like that,” says Alex Parker, a postdoc on the New Horizons team.
By the late 1980s, NASA’s Voyager 2 spacecraft had swept through the realm of the giant planets and revealed the real mass of Neptune. When that number, which is the equivalent of about 17 Earths, is plugged into those old equations used to predict the existence of a ninth planet, everything works as expected. Uranus traces a predictable, boring path around the sun. There never was another large planet tugging at its orbit. But if not for the faulty math, and one man’s prodigious patience, we could have waited decades to discover the little world that really is out there.
Violent Birth
No longer a planet and no longer a misfit, Pluto isn’t even one of a kind anymore. It’s one of thousands of worlds populating the Kuiper belt—a vast debris ring beyond Neptune that’s home to countless comets and icy dwarfs. Long ago erased from Earth, fingerprints from the early ages of the solar system are still pressed into these 4.6-billion-year-old chunks, waiting to be matched with theories describing the solar system’s turbulent early years.
The Kuiper belt’s architecture points to a violent rearrangement of the giant planets early on, a great migration that sent small bodies flying and turned the solar system into an overgrown shooting gallery. Scientists are hoping to use the craters dotting Pluto’s and Charon’s surfaces to take a survey of the Kuiper belt population and reconstruct how it has changed over time. Although tricky to make, those measurements are essential for reconciling ideas about how the migration of the giant planets sculpted the early solar system. “We think the Kuiper belt was a lot more massive early on,” Stern says.
What we learn from the dwarf planet could also give scientists a peek at the processes that shaped an early Earth into the planet we know. Once, a gassy envelope of hydrogen and helium surrounded our infant world. Over millions of years, that atmosphere escaped into space. Pluto is the only place in the solar system where we can study something similar happening today, Stern says, even though its atmosphere is made from nitrogen.
The similarities don’t end there. Scientists think Pluto’s moon Charon formed out of a giant impact, much like the one that produced our own moon. But while our moon congealed out of the molten disk of debris created by the collision, Charon was blown off from Pluto relatively intact. And while our moon’s growth left our skies relatively clear, Pluto’s weaker gravity allowed debris from the smashup to fly farther afield, seeding the binary system with space rubble that could make New Horizons’ visit more than a little treacherous.
Dangerous Passage
Launched from Florida’s Cape Canaveral, NASA’s spacecraft shot through the solar system, covering an average of nearly a million miles a day. It arrived at Jupiter just over a year later, and used the giant planet’s gravity as a speed booster to shave almost four years off the total travel time. But even with that boost, New Horizons would still take another eight years to reach the former planet, which is on average about 40 times as far from the sun as Earth is. It’s pretty chilly that far out. Temperatures on Pluto can reach close to -400 degrees Fahrenheit.
Scientists don’t really know what they will find there—or if the spacecraft’s sizzling speed will take it safely through the Pluto system, booby-trapped as it might be with hidden moons and deadly dust particles. “Anything the size of a grain of sand is potentially dangerous to the spacecraft,” says the SETI Institute’s Mark Showalter, a member of the mission’s hazard assessment team. “If it cuts an electrical connection or hits a computer processing unit, it could damage the spacecraft irreparably.”
The weeks leading up to the Pluto encounter will be punctuated with tense analyses of the newest images from New Horizons. As Tombaugh did eight decades earlier, the team will be searching for anything that moves, telltale pixels signaling a hidden moon that might be shedding dust. “We’re on the crow’s nest ... looking out for rocky shoals ahead,” Showalter says.
Scientists have planned several alternate trajectories through the Pluto system, should such perils appear. All the alternatives would come at a cost to mission science. But nothing is worth setting a course that would put the spacecraft at risk. “The reason we go to places we haven’t been before is to see what’s there,” Showalter says. “We’re going for the surprise, and I just hope it’s not the wrong kind of surprise.”
Team members are placing bets on what those good surprises will be. They already know that the dwarf planet will be reddish, a hue imparted by sunlight reacting with organic molecules on its surface, and covered in different ices. Blurry Hubble imageshave revealed both extremely dark and extremely bright patches on Pluto, and some scientists suspect that smears of organic compounds are painting parts of the dwarf planet dark. Other regions of the surface show hints of seasonal frosts forming across the multicolored terrain, and scientists would not be shocked to see plumes erupting from Pluto, as on Neptune’s largest moon, Triton. Hovering overhead is a puffy nitrogen atmosphere, potentially 350 times as voluminous as Pluto itself.
“I suspect we’re going to see hazes and maybe thick clouds,” says team member Fran Bagenal of the University of Colorado Boulder.
But team members are guessing about everything from Pluto’s diameter to the number of new moons to whether there will be craters, canyons, or cryovolcanoes on Pluto and Charon. Some team members even think Charon might steal the show from its sibling. “It’s an amazingly rich system for such a small place, and probably a lot of what we think we know is wrong,” says John Spencer of the Southwest Research Institute in Boulder, Colorado.
To truly know Pluto, we must go there, set aside the mirrors and lenses of Earth, and stare at the world from its doorstep. It’s taken 85 years, but we are at last going to meet Tombaugh’s contentious little planet. And in a way, he will too: Tucked aboard New Horizons is a small vial of Tombaugh’s ashes, a symbolic envoy that will sail by Pluto and head farther into the Kuiper belt, perhaps chasing down another little world to explore.
The cosmos has always been a part of Nadia Drake’s life. Her father, astronomer Frank Drake, conducted the first SETI (search for extraterrestrial intelligence) experiment, in 1960. Read more of her work at ngm.com/phenomena.
Lanjutkan baca »

Sabtu, 11 Juli 2015

Article#439 - Seberkas Mentari


Salah satu fitur utama yang senantiasa menyertai musim panas di negeri samurai adalah musim hujannya. Bertele-tele terutama di antara kedua bulan tengah tahun, ia terbentuk sebagai pengejawantahan persaingan antara dua massa udara yang berebut pengaruh masing-masing. Satu massa udara adalah massa udara hangat yang bersimbah uap air dari wilayah tropis dan subtropis, sementara massa udara lainnya adalah sisa massa udara (relatif) dingin yang masih bercokol dari masa puncak kejayaannya di musim dingin.

Ketika Matahari memutuskan untuk kembali membagikan cercah cahayanya dalam porsi yang besar ke dunia utara, massa udara dingin yang sekian lama menghuni Asia Timur perlahan mendapati pengaruhnya digerogoti. Bergerak perlahan, udara hangat dari selatan menantang udara dingin dari utara, yang terwujudkan sebagai sebuah lajur hujan (stationary front) di garda pertemuan antara keduanya.

Juni dan Juli adalah waktu di mana lajur hujan akibat persaingan kedua massa udara ini perlahan membasuh segenap bumi samurai dengan hujan. Ke mana perginya lajur hujan selanjutnya, ditentukan oleh adu kekuatan antara massa udara utara dan selatan yang memperebutkan kekuasaannya. Dalam jangka pendek, sesekali lajur hujan bergerak "mundur" ke arah selatan, ketika massa udara utara sedikit mengalahkan kekuatan massa udara selatan. Tetapi dalam jangka panjang, kecenderungan yang ada adalah massa udara selatan yang terus menguat, mendorong lajur hujan terus mendarasi Bumi ke arah utara.
Dalam perambatannya ini, lajur hujan perlahan melemah, hingga ia benar pudar, memberi jalan untuk datangnya musim panas yang sesungguhnya—yang betulan panas, lembab lagi.

Sebagaimana umumnya hujan, banyak petani yang menyambut uluran tangan segarnya demi hasil panen berlimpah. Dan banyak pula kaum urban yang menghabiskan waktunya menyerapahi tubuh basah, kaki berlumpur, atau cucian yang tak jua kering.
Musim hujan ini identik dengan cuaca berawan atau hujan berkesinambungan, maka beberapa dari kita agaknya akan mendapati cahaya Matahari tidak menyapa sanubari dalam sekian hitung hari. Tetapi, ada pula kala di mana lajur hujan yang biasa bersemayam itu seolah pergi, menyisakan langit untuk dicercahi mentari.

Arakan awan, ranting dedaunan, dan ketidaktahuan para manusia yang melanjutkan kehidupan. Semuanya tetap diberkasi oleh sinar mentari, yang tak ambil pusing akan mengeluhi hari.

Failed the life in the city
All the fonies that roam at night
When I've gone, yeah, you look like you missed me
So come along with me, don't ask why
It's alright


































































Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...