Rabu, 31 Desember 2014

Article#375 - Merangkai Warna, Mengurai Makna

Malam ini, aku masih melihat tirai malam berselimutkan beludru yang biasa. Sepoi angin yang menyusup ke dalam raga yang biasa. Derum-derum yang berlomba, mendecitkan teriakan malam yang biasa. Jiwa-raga yang berkalang kebisingan, mencandu sorak bising yang biasa. Sinar bangga sang Bulan, yang menderu menyimpulkan segala bayang yang biasa.
Sekilas tiada beda! Langit yang kering, bersih dari jajahan arak awan. Angin malam meraja, menggetarkan bangunan beserta nyali penghuninya. Kendaraan yang berlomba, berpencar dalam sigap pada tiap-tiap tujuan. Kerumunan yang bergembira, mengulang rutinitas tanpa kenal bosan. Rembulan yang tegas, menantang cerlang lampu metropolitan.

Pada nyatanya, memang tiada beda! Segala suara yang terdengar jelas berkumandang dalam segala terjemah pada detik-detik tertulisnya untai kata ini, memang sudah biasa dikumandangkan. Berkumandang entah sembarang saat, menyigi telinga-telinga yang tak sudi menepi barang sejenak Berkumandang dalam bentuk bait-bait yang menjelma, menutupi cakrawala dengan bayang kokohnya. Berkumandang dalam larik-larik yang terlepas dari dahan, berayun bertumpuk di dasar sebelum ada yang menyapu bersih semuanya. Berkumandang dalam segala serapah, celetukan yang terpercikkan tanpa pernah terayak.
Pada kenyataannya, di antara kita memang masih ada yang bergelut gamang, untuk sejenak bertegur sapa dengan kenyataan. Kenyataan yang berbicara dalam bahasa yang kita terjemahkan. Bahasa yang senantiasa terlantunkan tanpa rajin diperdengarkan. Lantunan yang mengubah derap zaman tanpa banyak diperhatikan.

Maka, sebagian dari kita mengambil keputusan untuk kembali bersahabat dengan realita. Menepuk bahu yang terhuyung dalam tenaga yang nyaris tiada, menyapa wajah ceria yang tampak hampir kehilangan rona bahagia. Menyalami hidup yang menyesap udara lamat-lamat, untuk menyerukan seruan lirih yang menggetarkan. Menggetarkan relung hati, nyaris tanpa menggetar timpani.

Malam ini, aku mendengar suara di kepala bercerita. Dongeng asing akan mereka yang merana dalam bahasa yang paling kudamba. Celoteh asing akan mereka yang mengiba dalam nada yang paling setia. Enkripsi asing akan mereka yang meminta dalam harap yang paling tersimpan. Masing-masing dan kesemuanya bercokol sebagai sederetan istilah yang dikesampingkan oleh pikiran, membiasakan keasingan istilah supaya tak diperhitungkan. Semua sebelum jiwa tersadar, bahwa dunia ini luas. Luasnya lingkup bagi kebrengsekan yang trengginas, memoles cerita yang tak rela dibalas.

Maka malam ini, aku sejenak menembus derak angin yang membekukan, mencoba mengurai makna yang tak kulihat.
Merangkai kenyataan, akan kita yang terlahir dari warna sama. Akan kita yang bernafas dalam pendar rona yang beraneka. Akan kita yang berkembang dari arah yang sama, menyesap butir-butir gizi penguat jiwa raga. Akan kita yang menyerap nilai dari berbagai arah, mewujud sebagai ciri tiap kita. Akan kita yang mengecat dunia sekitar dalam pekat corak yang berbeda. Akan kita yang tumbuh dalam semangat yang sama, dalam corak motif yang mewarnai dunia. Akan kita yang kemudian tumbuh besar dalam pengkotakkan atas remah kecil perbedaan. Akan kita yang bertindak, menjadikan kita semua nyata dalam kontras. Akan kita yang bersiap bangun, meniti jalan yang terlimpas.

Malam ini, kulihat kita berdiri di persimpangan. Derap angin mungkin akan menggeser sebagian kita ke satu jalan. Deraknya mungkin akan mengusir sebagian yang lain menuju satu jalan. Berbagai ragam kita, yang tampak dalam bungkus citra yang senada, kini menjelmakan diri sebagai apa-apa yang berbeda corak noda. Corak noda yang telah disandikan oleh larik-larik yang tak kita pedulikan. Larik yang disusun dari senarai kata tanpa suara. Yang tanpanya kita mulai meniti jalan.
Satu-dua jalan yang membawa pengikutnya menuju beragam tujuan.
Satu-dua jalan yang tersajikan, yang dari sini mungkin akan menyulam segala macam perbedaan.

Pada akhirnya, memang tiada beda. Kita hanya jarang rela untuk peka.
Semoga kita senantiasa berbahagia, walaupun bahagia adalah pilihan.

35°42'38.11"N, 139°45'36.47"E, 31 Desember 2014, 20:36 (UT+9).
Todaiakamonmae (東大赤門前), Bunkyo-ku, Tokyo.

Hari 7205, ditemani derak angin metropolitan malam.
Kamis, 1 Januari 2015, 00:59 (UT+9)
35°43'18.51"N, 139°48'05.43"E
Lanjutkan baca »

Selasa, 30 Desember 2014

Article#374 - Masa Depan Sebuah Tulisan


”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”
- Ali ibn Abi Thalib
Rasanya makin menarik, ketika sebuah kutipan bisa diterapkan secara harfiah. Yah, walaupun yang diikat adalah sekumpulan besar elektron yang aktif bergerak, bukan ilmu. Memangnya apa itu ilmu? Apakah upaya manusia akan pengendalian elektron ini dapat disebut ilmu? Kalau bisa pun, mengapa gitu?

Ada banyak proyek-proyek inovatif yang diusung di situs Kickstarter ini. Adakah wadah serupa untuk menampung inovasi dalam negeri? Terutama dari mereka yang berkecimpung di lomba macam LKIR atau sejenisnya. (Re: penulis tidak termasuk golongan anak-anak tersebut; penulis hanya rakyat biasa yang senang mengisengi semuanya.)
Mungkin saja ini akan menjadi tren global dalam sepuluh-dua puluh tahun ke depan? Siapa tahu.

Masa depan memang menarik untuk dinantikan, ya? Selama kita tak hanya menantikannya. Selama kita masih berkesempatan meraihnya.


.....
Lebih jauh mengenai Circuit Scribe dapat disimak di sumber gambar di atas: https://www.kickstarter.com/projects/electroninks/circuit-scribe-draw-circuits-instantly
Teruntuk kalian yang kepo, koneksinya bagus, tapi males baca: http://youtu.be/wqvFT4qTNm8
Lanjutkan baca »

Minggu, 28 Desember 2014

Article#373 - Selimut Putih Abu

Ketika Kelud menyerukan letusannya di tengah Februari lalu, saya mendapati beberapa rekan saya berada di daerah yang terdampak secara langsung oleh abu letusan Kelud. Pada letusan tersebut, Kelud meletuskan cukup banyak material untuk membuat kota Yogyakarta, sekitar 300 km ke arah barat, bermandikan abu sedemikian rupa—konon dengan curah abu yang lebih deras dibanding abu dari letusan Merapi 2010, yang hanya berjarak sekitar 20 kilometer ke utara Yogyakarta. "Ashmageddon" ini menyiratkan besarnya skala letusan Kelud saat itu – yang termasuk letusan terbesar 2014 – meskipun, untungnya, tidak menelan banyak korban jiwa. (Klik tautan berikut untuk membaca penjelasan ilmiah dan galeri foto terkait letusan.)

Oke, saya akan sudahi kegandrungan vuklanologis saya di sini.
Saya sempat mengamati, bagaimana rekan-rekan saya di lokasi saat itu memberitakan turunnya "salju abu", menganalogikan abu vulkanik yang berjatuhan dengan kristal salju yang memang masih menghampari seantero belahan Bumi utara saat itu. Langit yag mendung pekat tak tertembus sinar mentari, partikulat yang berjatuhan dari langit, mungkin membuat jatuhnya abu vulkanik dan kristal salju terlihat demikian mirip. Khususnya, ketika dilihat dari sudut pandang foto, yang menuturkan ruang dan waktu dalam bisu.
Foto tak menceritakan bagaimana partikel abu itu berjatuhan (mengingat sudut pandang saya yang sudah jamak menyaksikan salju, tetapi belum sekalipun menyaksikan abu), juga tak menceritakan ketiadaan hawa dingin yang menyeruak bersama jatuhnya mereka.

.....
Kemudian waktu berjalan. Berlari, bahkan mungkin terasa.
27 September 2014 menandai kelanjutan perjalanan saya di bumi para samurai, setelah bergelung dalam pengharapan di 51 hari sebelumnya. Pendaratan di kota Nagoya, yang menjadi lokasi pelarian berdasarkan alasan yang sangat standar (re: perbandingan biaya tiket), dilanjutkan dengan perjalanan menggunakan bus dari Nagoya ke Tokyo di siang harinya.

Siang hari yang sama, ketika sebuah gunung meletus, nyaris tanpa peringatan, sekitar 100 kilometer arah timur laut Nagoya. Gunung Ontake meletus di siang hari akhir pekan, ketika ratusan pendaki masih menyusuri wilayah gunung. Setidaknya 57 pendaki tewas dalam letusan tersebut, menjadikannya letusan paling mematikan dalam 112 tahun terakhir di Jepang.

Puluhan, mungkin ratusan foto tersebar di dunia maya, menampakkan wajah wilayah puncak gunung Ontake yang berselimutkan abu vulkanik. Foto-foto yang kebanyakan darinya menampilkan usaha tim penyelamat dalam mengevakuasi entah jenazah ataupun korban yang selamat.

Tiga bulan kemudian, ketika musim dingin kembali menguasai pegunungan Jepang, beberapa pihak memutuskan untuk terbang kembali ke wilayah puncak gunung, mengamati kenampakan daerah yang berselimutkan abu tiga bulan sebelumnya.
Dan saya sepertinya paham, kenapa tutupan abu dan salju bisa terlihat serupa. Meski tetap beda warna.

(atas) Lingkungan kuil dekat puncak gunung Ontake yang berselimutkan abu, 4 Oktober 2014. Gambar diambil dari news.nationalpost.com
(bawah) Lingkungan kuil dekat puncak gunung Ontake yang berselimutkan salju, 27 Desember 2014. Gambar diambil dari ajw.asahi.com
Kedua gambar dipadukan memanfaatkan situs fotor.com
Lanjutkan baca »

Sabtu, 27 Desember 2014

Article#372 - Kontradiksi


Aku pernah menyingkap gorden jendela di pagi hari, mendapati sinar mentari menyeruak ke sanubari. Perlahan, terasa kamar memuai bersama mentari yang meninggi. Akupun menggerakkan sendi, ketika temperatur yang naik mengizinkanku untuk beranjak melerai diri. Selimut yang terlipat rapi, semangat yang mewangi, dan hangatnya diri mendorongku mulai beraksi. Tanpa basa-basi, daun jendela kuraih, dan kubuka selebar mungkin. Alhasil, diri disambut angin dingin, membiar raga lama bergidik.

Aku pernah berkalang kebosanan dalam derai hati, mendapati keterulangan jadwal setiap hari. Perlahan, rutinitas bertambah makin menjemukan dari hari ke hari. Maka kuputuskan untuk pergi, meraba nasib yang iseng ingin meraba hal yang tidak diketahui. Pakaian yang terlipat rapi, semangat yang melambing tinggi, dan hangatnya sambutan terakhir melepasku meninggalkan negeri. Tanpa basa-nasi, kucetuskan kelanjutan tahun-tahun di lokasi, hanya untuk mendapati diri berkalang di tempat yang sama berulang kali. Alhasil, tujuan yang telah beralih, memaksaku menghapus jemu dengan sedikit berkeliling negeri.

Aku pernah mereguk bergelas-gelas motivasi. Sebagai jiwa yang masih sibuk memindai tujuan untuk disinggahi, aku menjadi satu dari sekian jiwa yang menenggak ilusi dalam dosis tinggi. Terkaburkan oleh fantasi, dengan harapan yang melambung tinggi, aku mendapati jiwa berkeping, terbang kesana kemari. Tanpa basa-basi, aku terus berlagak sebagai si ahli, hingga tiba situasi ketika aku menubruk kenyataan, terjatuh ke haribaan Bumi. Maka kudapati, diriku yang bangkit kembali, adalah diri yang senantiasa mengkritisi, menarik diri dari pembenaran tiada akhir.

Aku pernah bertukar pikir dengan jiwa beragam generasi. Mereka yang tumbuh dari perjuangan keras di dunia ini, mereka yang menyesap seteguk-dua teguk kearifan dalam sanubari. Aku biarkan beragam generasi saling beradu dalam satu kongsi, berseteru dalam satu amunisi. Kuletakkan diri di sisi, menonton keramaian yang berseru dari ragam isi. Tanpa basa-basi, kita biarkan diri berargumentasi, menyerukan pelabelan dalam apa yang kita segel sebagai sebuah prinsip. Prinsip yang darinya kita menelurkan olah pikir, ketika kita dengan lihai berucap tanpa pikir. Prinsip yang dengan senang hati digadai, berkompromi dengan keinginan yang merasuki nurani.






Masih panjang perjalanan ini, menuju posisi di mana kita bisa menyigi pemikiran beragam diri, dan meyakinkan diri untuk mengerti.
Menyikapi kondisi tanpa kontradiksi, melengkapi yang belum terisi tanpa menyelisihi.

Hari 7201, bersama ular besi yang lapar.
Dicatatkan dalam getar kesilauan,
Sabtu, 27 Desember 2014, 16:42 (UT+9)
37°56'38.10"N, 139°20'05.23"E
Lanjutkan baca »

Selasa, 23 Desember 2014

Article#371 - Pelurusan


Mungkin, untuk kali ini, gambar mampu berbicara lebih banyak dari untai kata.
Semoga yang terucapkan adalah yang bermanfaat.

(Sumber gambar dari laman The Muslim Show)
Lanjutkan baca »

Jumat, 19 Desember 2014

Article#370 - European Reforestation

This article is taken from The Washington Post.

Watch: How Europe is greener now than 100 years ago

December 4
 




Within the last 100 years, Europe has experienced two World Wars, the end of communism, the emergence of the European Union and a series of other transformative political and economic developments. A team of scientists has now been able to visualize the impact of historical events in maps that show the growth and decline of settlements, forests and croplands.

The map, shown above, is the result of a research project led by Dutch scholar Richard Fuchs from the University of Wageningen. Besides regional political and economic trends, Europe's landscape was shaped by several larger developments of the 20th century, according to Fuchs.
The following maps preview some of the affected regions which we will explain and show in detail throughout this post.

 
"More than 100 years ago, timber was used for almost everything: as fuel wood, for metal production, furniture, house construction. Hence, at around 1900 there was hardly any forest areas left in Europe. Especially after World War II, many countries started massive afforestation programs which are still running today," Fuchs told The Washington Post.

As a result, Europe's forests grew by a third over the last 100 years. At the same time, cropland decreased due to technological innovations such as motorization, better drainage and irrigation systems: Relatively fewer area was needed to produce the same amount of food. Furthermore, many people migrated from rural to urban areas, or overseas.

Fuchs' fascinating conclusion: Forests and settlements grew at the same time and Europe is a much greener continent today than it was 100 years ago. A closer look at different regions and countries reveals Europe's recovery from the deforestation of past centuries.

In France, Spain and Italy, reforestation was particularly visible.


In the southern French region of Vaucluse, entire mountain ranges were de-forested at the beginning of the 20th century, but the country invested heavily to reverse the trend. Meanwhile, agricultural projects in southern Spain transformed once arid, barren areas into profitable agricultural fields or even forests.

 
A similar development was documented in Italy. Former cropland were abandoned due to market competition, urbanization and emigration. Today, many parts of the Apennine Mountains (located on the right side of the map below) are dominated by grasslands and forests again.

 
The end of communism also led to forest growth in eastern Europe


In eastern Europe, many forests re-grew after the end of the Soviet Union. Fuchs and his colleagues explain the development with the fact that many privatized agricultural farms were less competitive on the global market. Therefore, farmers abandoned unprofitable cropland. Particularly in Romania and Poland, former cropland was taken back by nature afterward, first turning into grassland and later into forests.

In the 1990s, Europe also introduced a Common Agricultural Policy which stated that only highly productive areas should be used as cropland, in order to prevent inefficiency. Hence, fields got continuously bigger to better manage and maintain them with machines. Marginal land, however, was given up.





Scandinavian forests recovered to supply other countries


To the north of formerly communist Estonia, Latvia and Lithuania, Scandinavian countries were able to re-grow most of their forests (and are continuing to do so today) to keep up with timer demand, as they substituted most other suppliers in Europe that had practically used up most of their own wood resources.
 
Elsewhere, re-forestation programs soon had a visible impact, as well...

 
... as more and more people moved into urban areas 

 
What you see here is among of the most populous areas of Europe: London (the growing, red area in the upper part of the picture), Paris (lower left side), and Brussels (in the middle). Although London experienced its most significant population growth in the 19th century, the city's suburbs grew massively in the 20th century and continue to do so.
The city of Paris itself actually lost inhabitants over the 20th century due to gentrification and higher rents, but you can clearly see how its suburbs became more and more populous throughout the century.
Britain recovered from excessive timber demand, as the Netherlands expanded its forests

 
Both the Netherlands and Britain had empires that relied heavily on the sea and their naval strength. In order to build ships, they needed wood -- and in 1900, only 2 - 3 percent of their territory was still covered with forests. Both countries have since been able to increase their forest area to 10-12 percent, as data from 2010 shows. The Netherlands also pursued another major project, visible on maps: It reclaimed the Zuiderzee bay with dams and drainage systems to gain more land.
A closer look at England and Ireland shows that both countries are nevertheless still mainly covered with grassland, while re-forestation has been particularly successful in Scotland.

 
Lazaro Gamio contributed to this post.

On the side note, it's important to note that this reforestation occurs after long series of deforestation, with only a small fraction of the ancient European forest remained pristine. But still, it gives a cheerful light to the hope of reforestation, noting that the usual timelapse of this kind of picture is the reverse.

Maybe that's all for now. See you around!
Lanjutkan baca »

Rabu, 17 Desember 2014

Article#369 - Yukiguni


Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan dan kebebasan
Yang mencintai Bumi

Mungkin adalah suatu hal yang menarik, jika kutipan puisi karya Sanento Yuliman ini dicantumkan dalam sebuah tulisan yang dicatatkan dari lokasi ini. Lokasi di mana seseorang bisa mengumandangkan kemerdekaan jiwa, di tengah kerumunan orang yang sibuk dalam masing-masing urusan. Lokasi di mana seseorang bisa menenggelamkan dirinya sekian lama, berenang dalam lautan pustaka dan gelombang wawasan. Lokasi di mana seseorang bisa mencabut butir-butir nyawa waktu yang seolah tiada habisnya, perlahan menuju pemberhentian. Lokasi yang beragam analoginya telah menjadi tempatku berinteraksi dengan entah berapa banyak manusia, baik yang jiwanya masih beredar atau yang sudah berpulang.
Kemudian kukatakan lokasi itu sebagai tempat keleluasaan dan kebebasan. Tentu saja, bagi jiwa-jiwa tertentu yang senang berliang di dalam senarai kalimat tanpa tanda jeda.

Maka kemudian aku melihat ke luar jendela. Tak perlu jauh-jauh, untuk mendengarkan seru angin yang menguarkan kuasanya, berderik bersama pepohonan yang sedang giat berdansa. Satu-satu pepohonan berayun berirama, meskipun dalam cakupan yang luas, irama itu hanyalah perubahan berkala dari apa yang menderui mereka.
Tak hanya mereka tampaknya. Ada pula rombongan kristal putih yang menari-nari riang dalam partai besar. Tanpa peduli dinginnya malam, tanpa peduli tiupan angin yang menusuk, mereka tampak tak kalah bahagia dengan sekian jiwa manusia yang menggelung dirinya dalam kehangatan artifisial. Tampak pula sebagian mereka yang telah berhenti berdansa, kini bertengger di manapun mereka menapak. Terkadang melapisi dedaunan, terkadang melapisi sebelah sepatu yang tertinggal di pinggir trotoar.
Kemudian kaulihat saput putih cemerlang menutupi segala benda, di segala arah.

Maka, itukah udara jernih? Deru teduh yang kudengar dibisikkan setiap kali mereka datang menyapa?
Maka, itukah burung yang terbang? Siluet yang kulihat merajai angkasa, entah melayang tenang menuju siapa?
Maka, itukah keleluasaan? Menari-nari indah tanpa mengenal kekhawatiran, tak perduli deru angin dan gelap awan?
Maka, itukah kebebasan? Bertengger di mana saja ia tertambat, bersatu dengan kawannya segala rupa di sekitar?


Rupanya, tak hanya di sekitar lokasiku kini.
Sekian banyak kristal-kristal yang tampak tanpa tanggungan itu juga ikut menghujani seantero negeri. Seolah ingin membisikkan ke segala arah, akan sejuknya sebuah tiupan udara jernih. Seolah ingin menyambut burung-burung yang terbang, dengan gigih menerjang keras badai. Seolah ingin mempertunjukkan tarian tanpa henti, teruntuk waktu yang tak mereka miliki. Seolah ingin menghinggapi segala lokasi, memberi kilap putih bersih.

Selamat datang di negara salju. Negara di mana tumpukan selimut putih akan bertumbuh hingga hadirnya bunga, nanti. Negara di mana sebuah kebebasan yang diwakili oleh tarian kristal tanpa henti, menggiring orang-orang untuk berkumpul dalam kantong hangat masing-masing. Membuat mereka semua bergumul dalam kedinginan. Raga mereka boleh saja terpenjara, tetapi jiwa mereka merdeka. Leluasa, dan bebas, dalam kungkungan suatu hal yang tampak memenjarakan.

Sementara bunga-bunga kristal, di negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara sesalju menumpuk melapis
Sementara Desember menabur gerimis



Gambar paling atas disadur dari NASA EOSDIS Worldview; gambar lainnya diambil dari dokumen pribadi.
Lanjutkan baca »

Sabtu, 06 Desember 2014

Article#368 - Butterflies and Hurricanes


It has long been said that our actions in the present will in some way shape our future. The simple dos and don'ts we encounter in our daily life will easily lead us to decision-making point: to do or not to do. Starting from each decisions, we pick one scenario over the other to commit as our present. When we look at the sheer number of these somewhat petty decisions, they all have each of their own scenarios, which in the bigger picture encapsulates the seemingly infinite possibilities of scenarios you might be able to do. Even twenty of do-or-do-not decisions you make would have resulted in more than a million possible scenarios of your life, simply as a result of those decisions. Exponents aren't to be taken so lightly, y'know.
The calculations grow much more complicated when you take other, possibly contributing other factors into account. More factors, more contributors, and what you will get is an infinite number of scenarios possible to be generated.

Meet our fellow butterfly.
From what the name may imply, please don't think of them as a bunch of butter flying around. These radiantly colored insects are often symbolized as a representation of various stuffs. Some people will look at the life it goes through, and convey its philosophy as self-transformation, be it from a troublesome creature to a lovable one, a bad personality to a better one, rebirth of a new individual, or whatever you might like to employ of the meaning. Some other will look at a butterfly freed itself from its cocoon, or the way it wanders around the colorful things such as flowers (butterfly in itself comprises a wide variety of color patterns). and then will convey it as a symbol of freedom.
Aside of those philosophers-wannabe may think of, many seem to agree that butterfly is a symbol of happiness - while a great deal of them seems to be oblivious to the fact that most butterflies do not last longer than a month, which will give bad impression to the notion of happiness, with which general people are already accustomed to.

Then there comes hurricanes.
Hurricanes, typhoons, cyclone, or whatever different cultures around the world call it, are essentially same systems. They generate from the same kind of warm tropical waters, develop as a kind of gigantic engine with heat from the tropical water vapor as the energy source. They will absorb, they will develop. And in return of everything they absorbed, there comes torrential rains at its shades. Some might say that those tropical systems alike produce winds, while some other might say that the reality is that the winds which helps them grow.
Some will look at the violent winds it bring along, accompanying the surges, the dense overcast, as well as the heavy rain. They might call it  a symbol of hardships due to the struggle of the puny humans living within their wake. While they are struggling to cope with the lashes of rains and winds the system brings, some of them seems to be oblivious of the fact that typhoons alike lose its source of energy as soon as they reach land. Well, not to mention that most typhoons' lifespan ranges within a week or two, a pretty weak gargantuan compared to a much smaller butterfly.

It's started as different, seemingly unrelated stuffs happening around. Collect more pictures and you will start to see the connections. Henceforth, while examining the pieces of pictures you got in depth, you started to see parts of a bigger picture. The one complete picture shrouded in confusion, where we the people walked and hit each other in frustration. You keep looking, and by the time you reach the general idea, it's after the complete picture itself has concluded.
Just like the flutter of butterfly's wings, the greatest change may start from a tiny, negligible acts. The very acts that you might never consider, let alone perceive.

You've got to be the best
You've got to change the world
And use this chance to be heard
Your time is now


A photo posted by 佐藤 謙太 (@kkkkenta) on


Meanwhile, in the howling land of the rising sun, the mighty winter weather still deliver its sheer power to the grounds and the puny humans beneath. Some might say that the darker night implies the closer dawn. Closer dawn means that Sun is about to rise, which is often being used of a portrayal of cheers coming after hardships, as I wrote in an earlier occasion.
Well, sunlight may help relieve yourself of the wintry grip. But, aside of that, sunlight will provide you the sight of winter wonderland. Which, in my case, is completely worth the struggle.

So never mind the darkness
We still can find a way
'Cause nothing lasts forever
Even cold December rain


The lovely comic of our fellow butterfly above  can be found in this site.
Lanjutkan baca »

Selasa, 02 Desember 2014

Article#367 - Belajar Untuk Ibadah, Prestasi Untuk Dakwah


Untaian kata tersebut pertama kali saya dengar dari rekan-rekan pengurus tim olimpiade Fisika di almamater, yang (jika saya tak salah ingat) mencantumkannya di soal tes. Kutipan tersebut makin sering berkumandang di antara beberapa rekan saya yang juga alumni olimpiade sains di zaman kelas sebelas dan dua belas. Agaknya delegasi olimpiade almamater di tahun selanjutnya merasa "tercerahkan" dengan kutipan tersebut, sehingga setidaknya sejak digelarnya olimpiade tingkat nasional tahun lalu, untai kata tersebut dinobatkan sebagai slogan resmi (?) delegasi olimpiade besutan almamater.

Entahlah bagaimana kejadian sebenarnya.
Redaksi yang paling terpercaya dari semua yang saya ketahui adalah yang bersumber dari rekan saya, oom Salman, yang menyatakan secara eksplisit bahwa pencetus pertama untai kata tersebut (setidaknya di dalam lingkungan almamater) adalah Thomas Alfa Edison, seorang penemu dari negeri Paman Sam sana medalis emas olimpiade fisika tingkat nasional yang diundang mendidik anggota Klub Bidang Studi Fisika di almamater saya dulu. Ia sendiri mencantumkannya dalam tautan yang telah saya sediakan di atas.
Meskipun saya tak bisa sepenuhnya memastikan, jika dari sumber yang samalah untai kata yang dijadikan slogan favorit berbagai kalangan itu berasal.

Satu hal yang pasti, slogan tersebut, beserta beragam variannya, kembali dipopulerkan oleh beberapa delegasi almamater yang menoreh prestasi di sebuah ajang baru. (Foto dilampirkan di awal post ini).
Saya sengaja baru mempublikasikannya hari ini, tidak sebagaimana banyak rekan saya yang memutuskan untuk membocorkan hasil sebelum tayangannya diputar di televisi, sembari berusaha menahan euforia yang mungkin tidak diperlukan. Entah karena tidak jelas juntrungannya, atau karena rasa bangga yang disorakkan rekan-rekan di ujung sana terdengar sebagai teguran demi teguran yang memenuhi kepala saya.

....
Bagaimanapun juga, selamat, kontingen almamater. Terima kasih sudah mengingatkan saya kembali akan banyak hal. Dari hal yang membangkitkan kenangan, hingga hal yang seharusnya dipertanggungjawabkan.

Catatan:
Foto di atas disadur dari status fesbuk Pak Away Baidhowy, guru Aqidah Akhlaq di masa MAN dulu.
Info lanjutan terkait acara yang dimaksud dapat dibaca di laman Kementerian Agama ini dan laman Rajawali Televisi (RTV).
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...