Senin, 31 Agustus 2015

Article#459 - Tenggang


Kuhadapkan wajah pada semburat senja, saat ia bersiap mengucap jumpa pada dunia. Sinar kemerahannya menyorot temaram, memikat pantul awan silang menyiku. Seolah menyindir mereka yang banyak menggebu dalam apa yang tak perlu.
Sinarnya pun terus temaram dikekang malam. Membiarkan aku tertelan kelanjutan pikiran akan hidup yang tak menahu.

Kuhadapkan dekap pada wajah purnama, yang bersinar bangga dalam gulita. Sinarnya yang megah telah merajai awan, bahkan ketika malam belum sejenak berpijak. Seolah menyindir mereka yang banyak mencari pembenaran untuk tidak bertindak.
Sinarnya pun terus benderang membelenggu malam. Membiarkan aku menjaring cercah yang tak menentu.

Bersemayam dalam jejaring rangka bangunan, aku yang menanti kelanjutan tidak akan menyatakan bahwa aku sedang datang kembali pada kenyataan. Atau pergi dari kenyataan. Karena kenyataan ada pada setiap hela nafas kita, setiap denyut nadi kita. Apa yang menyertai sepanjang hayat, dan di sebagian besarnya kita kesampingkan. Atau kita nafikan keberadaanya.

Pada akhirnya, kenyataan tetap menjerat kita semua. Terlepas apapun sikap kita terhadapnya. Terlepas dari bagaimana ia menjadikan kita nantinya.

Kini
Di sanubari Bumi yang terjurai temaram Matahari
Ada sebagian kita yang bicara kenyataan tanpa tahu pasti
Dan kini
Di serambi Bumi yang oleh rembulan terbingkai 
Ada sebagian kita menjalin masa kini untuk masa nanti
Lanjutkan baca »

Jumat, 28 Agustus 2015

Article#458 - Kutipan Hari Ini

“How long is forever, you ask? Sometimes, just one second.”
~quoted and rewritten from the words of Charles Lutwidge Dodgson a.k.a Lewis Carroll (1832-1898), English writer, mathematician, logician, deacon, and photographer, in his work Alice in the Wonderland.
Quoted at Thursday, 27th August, 2015, 20:36 (UT+7).

image source
Lanjutkan baca »

Rabu, 26 Agustus 2015

Article#457 - 200000 Pengunjung!!

Jika Anda yang berjumpa dengan tulisan aneh terbaru dari laman blog saya ini adalah Anda yang telah terbiasa menyambanginya sejak lama, maka Anda mungkin akan memergoki, betapa lama saya tidak lagi mempublikasikan laman terkait napak tilas perjalanan saya mengarungi dunia blog. Tentu saja, sejak saya menorehkan angka seratus ribu pada April 2014 yang lalu, saya perlu mendapatkan seratus ribu pengunjung lagi supaya bisa menyuguhkan laman napak tilas selanjutnya. Titik yang dimaksud adalah titik dua ratus ribu kunjungan, yang tercapai pada Rabu, 26 Agustus 2015, 09:54 (UT+7), 507 hari setelah angka seratus ribu tercapai.

sumber gambar

Saya yang sekarang bukanlah saya yang menyimpan cukup minat untuk menderetkan kata demi kata. Saya masih menolak menerima kenyataan berakhirnya libur belum mengumpulkan cukup motivasi untuk kembali bermain mimpi, maka tulisan kali ini dicukupkan sampai di sini.
Nantikan tulisan selanjutnya, nanti!
(:g)
Lanjutkan baca »

Senin, 24 Agustus 2015

Article#456 - Stagnasi Kondensasi


Dalam setiap debur kerontang
Yang berkeriut pada terik siang
Ada senyap yang menanti senja
Menyapa dunia menuju gulita
Bersama semua tak tentu arah
Menyibak semesta, membuncah
Apakah kaulihat tabur gemintang?
Merajai angkasa di balik pandang?
Mereka tak pernah menatap iba
Atas kita manusia seisi dunia
Karena khazanah sarat makna
Masih terjumpa medan pandang

Dalam setiap percikan limpas
Yang membasuh barang sejenak
Ada desau udara mengumpat
Memaki kotoran yang tak lekang
Adakah takdir menyapa manusia?
Saat kerjap bersambut sirna?
Kita menadahi nyata penghujan
Dari arakan awan menghilang
Mereka tampak melirik pasrah
Menatapi kita tak terjamah basah
Bersama rerumputan meranggas
Berpijak pada nyawa yang tersisa

Dalam setiap deras tampias
Yang membanjiri relung jiwa
Ada deru badai berkelebat
Meneriaki wajah nekat yang basah
Untuk berhenti berlagak hebat
Segera pulang, bergelung hangat
Adakah hidup mendera merdeka?
Ketika kuyup merajai jiwa raga?
Tetesan hujan saling bersahutan
Mengunci derum laju kehidupan
Mengajak tiap kita memandang
Pelepas dahaga mencurah dunia

Dalam tiap deras aliran
Ada yang terhanyut bersama kepastian
Membasuh dosa dari sekujur dunia
Bersatu segala rupa menuju samudra


Hari 7441, menabuh tabir sunyi.
Senin, 24 Agustus 2015, 22:12 (UT+7)
6°52'59.60"S, 107°36'46.54"E
Lanjutkan baca »

Minggu, 23 Agustus 2015

Article#455 - Empat Tahun, Tepat Mengalun

Zaman berubah.
Bersamanya berubah pula dunia tiap-tiap kita, perjalanan kita.
Paradigma kita. Pemikiran kita. Dan jua kenyataan kita.

.....
Segala usaha dalam membuat awalan dari tulisan ini tampak megah, agaknya telah membuat saya terlalu lama berkutat dalam menciptakan kalimat-kalimat megah tanpa asa. Entah apa karena saya ingin (sekali-kali) bersikap serius dalam mengawali sebuah tulisan, atau semata karena saya terjebak kebodohan dan mengira kalimat bermegah akan membuat tulisan tampak berkualitas.
Atau saya terlalu iseng membuat kalimat yang demikian panjang.

Serius atau tidak, pada akhirnya tidak banyak membedakan faedah.
Karena post ini hadir semata untuk menandai empat tahun berkiprahnya laman aneh ini di dunia maya.

sumber
Membicarakan soal empat tahun, apalagi bagi pemuda tanggung macam saya, umumnya akan mengingatkan pada masa kuliah. Pesan yang terasa lebih kuat ketika memperhitungkan betapa saya telah menghabiskan sebagian besar waktu saya bersama laman blog aneh ini di dunia perkuliahan.
Maka, secara otomatis laman blog ini telah merekam perlahan-lahan, bagaimana pemikiran dan gaya penyampaian saya berubah dari masa ke masa. Blog ini diawali pada masa di mana saya masihlah seorang remaja bodoh yang kurang awas dalam menilas dunia. Dan kini, di penanda empat tahun bergulirnya blog, saya yang (untungnya) masih telaten membodohi diri di laman ini adalah seorang pemuda tanggung yang mencoba menggilai pembangkangan doktrinnya lebih lagi. Entah apa arti dari semua yang saya tulis tadi.
Meskipun demkian, semoga apa-apa keisengan yang terhaturkan dalam empat tahun ke belakang dapat menjadi bahan keisengan bagi kalian semua para pembaca, pun jua apabila mendapat manfaat darinya.

Empat tahun, tepat mengalun.
Lambat laun cepat membangun.

(silakan ke sini kalau mau lihat post pembuka)
Lanjutkan baca »

Jumat, 21 Agustus 2015

Article#454 - Vantage


Do you notice how the Moon looks dark compared to the Earth, or the Moon we used to see at nighttime? Well, the Moon really is that "dark"; it only reflects about 12% of the light it receives.
Do you notice the lack of dark patches on the Moon's surface as we know it? Well, because it really is not the lunar face as we know it. Here, guys, the Moons shows you its far side—or, as some of you might prefer to call it, its dark side. Which is really not "dark" in any way.
And of course, the most obvious: It revolves around the Earth!


Some of the most intriguing questions in science are those seems to be so obvious, people do not bother questioning it anymore. For instance, we may consider the fact of the Moon orbiting Earth as an "obvious" statement, especially considering how we got really used to the concepts of lunar phases during schooltime. However, as obvious as it might seem, our understanding of it may have been very vague, as most of us do not obtain enough perspectives when staying on Earth's surface.

The newly launched DSCOVR satellite (Deep Space Climate ObserVatoRy), albeit was not launched for such purposes, provided itself to be an useful tool in helping us puny humans understanding the motions.
Situated on a location known as Lagrangian Point 1 (L1), about 1,5 million kilometers from Earth, DSCOVR occassionally acquires a nice view of the Moon transiting Earth, once in about six months. From about four times further than the Moon is from Earth, DSCOVR is conveniently placed to capture the images of Moon passing over Earth within several hours. Something that is actually is not in DSCOVR's to-do list.

But, well, this kind of vantage point is not bad at all, right?

image source 1
image source 2
Lanjutkan baca »

Selasa, 18 Agustus 2015

Article#453 - Aberasi

Manusia melukis bahagia pada wajah muram durjana.
Manusia menerka canda tawa pada kerjap derita.
Manusia memahat nyata dari keping kepalsuan.


Lini masa akhir-akhir ini menghangat seiring dimulainya masa orientasi bagi mahasiswa baru. Mereka yang baru saja menyelesaikan titian masa sekolah dengan melewati serangkaian ujian, kini dihadapkan kepada miniatur dunia nyata, tersaji dalam tiap jengkal kehidupan dunia kuliah.
Kerap kali terdengar, betapa peralihan dari masa sekolah ke masa kuliah adalah penahbisan seseorang menjadi manusia dewasa. Menjadi manusia seutuhnya, yang dituntut dan diharapkan peranannya dalam tiap komunitas di mana saja ia berada. Setelah bertahun-tahun bergulat menjalani masa remaja, seorang anak manusia yang beranjak memasuki dunia kuliah diharapkan telah siap beralih dari manusia remaja menjadi manusia dewasa. Ciri remaja, yang identik dengan masa pencarian jati diri, diharapkan segera meluruh berganti ciri dewasa yang identik dengan partisipasi sosial.

Meski kemudian kita bertanya-tanya, bagaimana seorang remaja kemudian dapat "mencari jati dirinya". Entah di mana hilangnya jati diri itu, jarang pula orang dewasa repot-repot memberi tahu. Seolah pencarian jati diri adalah proses yang pasti dilalui oleh setiap anak manusia, dan tanpa perlu diberi tahu pun, lambat laun ia akan ditemukan jua.
Padahal "jati diri" itu pun kemudian samar pula adanya. Entah apa wujud, rupa, rasa dan perangai jati diri itu. Bukankah tiap orang punya jati diri berbeda? Maka bagaimana seorang tahu dan yakin, jika jati diri yang ia "temukan" adalah jati dirinya? Bukan jati diri orang lain yang tersasar?
Dan kemudian, bagaimana pula seorang anak manusia mencari dan menemukan jati dirinya? Apa ia benar-benar mencarinya, di tiap sela batu karang dunia? Atau ia dijatuhi oleh jati dirinya, bergelimpangan runtuh seperti durian?

Jika ia tidak mencari, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa ia mencari jati dirinya? Dan bagaimana pula kita mengklaim sepihak, kalau itulah jati diri atau bukan?

Usaha memahami makna pencarian jati diri, pada gilirannya jamak bermuara pada ungkapan yang tak lagi asing di telinga kita: menjadi diri sendiri. Pernyataan yang tampak megah, sungguh berkelas ia. Banyak orang asal mengucapkannya dengan wajah sumringah, merasa jadi manusia paling bijak nan berjasa. Sementara makna dalam untai katanya menjadi hampa.
"Menjadi" diri sendiri? Logika sederhana tentu akan memberitahu kita, bahwa kata "menjadi" bermakna beralih dari satu fase ke fase lain. Satu wujud ke wujud lain. Satu sifat ke sifat lain.
Dalam pemahaman ini, makna ungkapan megah "menjadi diri sendiri" justru menyiratkan makna yang demikian berlawanan: "Setelah menjadi orang lain, jadilah diri sendiri". Entah macam apa wujud "orang lain", atau wujudnya "diri sendiri". Yakinkah kita, jika kita sekarang menyifati "diri sendiri"? Atau menyifati "orang lain" yang kita labeli sesuka hati sebagai identitas diri? Belum tentu pula kita mengerti.

Orang bilang, harus menjadi orang lain dahulu sebelum menjadi diri sendiri? Tentu saja. Bagaimana pasalnya seseorang "menjadi" diri sendiri, ketika ia adalah "dirinya sendiri" sejak awal?
Lagipula, apa pula itu "jati diri" atau "diri sendiri"? Siapa yang menentukan kebenaran identitasnya? Siapa pula yang berhak memutuskan bagaimana sebuah paket identitas dapat disebut "jati diri", "diri sendiri", atqu malah bukan keduanya?

Kita yang bodoh berkelana di dunia untuk terus bertanya, dan senarai tulisan bodoh yang tergelar ini pun tidak pula hadir untuk memberi jawabnya.
Tetapi, ketika sanubari mendapati diri lelah menghadapi berbagai definisi yang hanya berputar-putar dan merasa dirinya pintar, barangkali ia akan muak dan membuang semua ketidakjelaaan yang beredar.

Ada orang bilang, solusi senantiasa hadir sebagai wujud yang paling sederhana dalam menjelaskan persoalan, serumit apapun ia tampak terdengar. Maka kemudian, sanubari sebagian kita mungkin saja berontak dan kembali menyelesaikan segala hal dari awal. Dengan cara sederhana: jujur akan apa yang benar diinginkan. Jujur dalam usaha mengakui ketidaktahuan, tanpa perlu melapisi diri dengan waham kebesaran. Jujur akan apa yang benar-benar didambakan, meski wujudnya di awal masih samar. Jujur akan usaha memperjuangkan apa-apa yang dicitakan.

Maka kita terus menelusuri kemungkinan demi kemungkinan, memastikan apa-apa yang benar diinginkan.
Maka kita terus mendalami pengetahuan, dalam usaha menambal ketidaktahuan yang terus memusingkan.
Maka kita terus menetapkan titian demi tujuan, melanggengkan jalan tanpa banyak risau akan ia di hadapan.
Maka kita terus berjalan dalam segala kesempatan, menghidupi impian dalam tiap detik kehidupan.

Kita yang bodoh, barangkali merasa cukup dengan kebebasan dari apa yang tidak kita pahami. Tetapi, sebagian kita yang lebih bodoh lagi, merasa sudah cukuplah ia merasa bebas, dan mengekang diri dalam pencarian. Menjadi pengelana tanpa ketakutan. Menjadi pembelajar tanpa tujuan. Menjadi hingar kehidupan yang tampak tak berkesudahan.

Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains.
Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka.
Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan.
Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang.
Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin.
Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan.
Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!

~ Andrea Hirata, Edensor—sic

Hari 7435, mengembus awan pegunungan.
Senin, 17 Agustus 2015, 10:44 (UT+7)
0°15'48.78"S, 100°14'32.33"E

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Jumat, 14 Agustus 2015

Article#452 - Melintas Batas

Semua berawal dari usaha menyelesaikan sebuah cerita lama.
Tersebutlah seorang anak manusia, yang senarai ceritanya berisikan kebodohan dan kegilaan. Ia yang telah meniti langkah jauh dalam perjalanan panjangnya, beranjak untuk menapaki jenjang terakhir menuju penyelesaian ceritanya. Dan ketika ia salah meracik sikap dalam menghadapinya, kebodohan yang berkuasa menghentikannya dari usaha untuk sampai ke akhir perjalanan.

Kita tentu sering mendengar, bagaimana serangkaian manusia yang tidak menggapai tujuan akan berusaha mencari kesempatan kedua. Kesempatan bodoh di mana ia pikir akan ada celah untuk melanjutkan harapannya, mereguk sepenuhnya apa yang sempat menguap dari jangkauan akibat keteledoran. Kesempatan bodoh di mana ia berkesempatan melanjutkn isi cerita dengan gaya berbeda, karena ia sadar memutar waktu dan kembali berlaga lewat jalur biasa tak mengundang cukup faedah.

Maka, beruntunglah manusia-manusia bodoh yang mendapatkan kesempatan kedua. Kesempatan yang tentunya demikian didambakan, akan dikejar para anak manusia dengan segenap kegilaan yang ia bisa lancarkan.

Awalnya, niatan sebatas menyelesaikan cerita lama yang penutupnya tertunda. Yang terjadi kemudian dan seterusnya, adalah sejarah kita, juga sejarah mereka.
Ketika kita melaju melintas batas, sekat-sekat budaya yang terburai akan menyapukan jalan bagi sejarah tiap-tiap kita. Bersatu dalam perbedaan, berkumpul dalam semesta semua.

9th International Olympiad on Astronomy and Astrophysics (IOAA), 26th July to 4th August, 2015










Lanjutkan baca »

Senin, 10 Agustus 2015

Article#451 - Identitas


Membicarakan segenap warga dunia berarti juga membicarakan identitas yang melekat pada tiap-tiapnya. Kalau kata orang, nama adalah doa. Tetapi, nama juga dapat menyiratkan latar belakang para penyandangnya.

Dalam hal menyematkan nama, segenap warga Indonesia mendapatkan keuntungan dari tiadanya aturan yang mengikat dalam penamaan. Artinya, tiap-tiap warga Indonesia diberi hak untuk menyematkan nama dengan susunan dan gaya seperti apapun yang ia suka. Bebas mengumpulkan senarai nama dari beragam latar belakang budaya, hingga yang diberi nama kelimpungan tiap kali hendak berkenalan.
Meskipun demikian, nama-nama segenap warga Indonesia masih cenderung berkerabat dalam berbagai pakem penyusunan eidentitas. Alhasil, mereka yang menyeliseihi pakem akan dikenali sebagai mereka yang "namanya antik".

Meski kemudian nama-nama yang "antik" ini akan sulit dilupakan, kenampakan nama mereka yang "tampil beda" akan jamak mengundang permasalahan dalam keseharian. Sepanjang interaksi sang penyandang nama dengan individu atau kelompok di sekitarnya, akan ada saja satu-dua perselisihan terkait kesalahan pengucapan, pengejaan, atau segala macam informasi yang tak sampai dari pengucap ke pendengar.

Apakah namamu "antik"? Cukup periksa saja, seberapa sering dirimu terlibat masalah kecil soal nama dengan mereka yang tidak terbiasa.

Bagaimana denganmu?
Lanjutkan baca »

Kamis, 06 Agustus 2015

Article#450 - Memento

PRELUDE


One called Little Boy, one called Fat Man. Three days apart. The one implicit in the other.


Brothers.


If a person were to film them falling, it would have to be from a great distance, through a veil of Japanese cities: old homes, new factories, idling cars, passing carts, and kites. Little Boy or Fat Man a black spot, center-screen. Encircled, in future broadcasts, by white light: an emphatic moon where otherwise they would be missed, descending as the gnat-speck plummets.


Until pika don—“flash boom.”


Or one might film them from the plane above. Some enterprising journalist or rising military star would begin with the shell in profile, waiting in the plane’s cold, clamorous womb. It would fill the screen.



Then the hatch would open underneath. Fat Man or Little Boy would drop out of sight. The camera would pan down to watch the bomb shrink until it was a pinprick. Until it could not be sorted from the landscape below—the factories, the homes, the tangle of power lines.



Until pika don.



The swell of light.

(from Fat Man and Little Boy, by Mike Meginnis)


*****

A mushroom-shaped cloud arose above Hiroshima, taken by Enola Gay
flying over Matsuyama, Shikoku.
(National Archives/International Business Times)
The names of Hiroshima and Nagasaki easily carves its places in our minds. I can't really tell of what actually happened during all those past ordeals within the history classes, but one can easily tell how famous those names have become, engrazed even in the minds of the historically illiterate fellows. Being exposed to the vague version of what actually happened during the last days of World War II, I decided to set foot on those two places, as my destiny set its view on the Japanese archipelago about three years ago.
Hiroshima, Nagasaki. Three days apart, three hundred kilometers apart. Two names that are, to date, remains the only places where a nuclear weapon was used in any sorts of warfare.

That was only when I realized, how far I would be residing from the cities. Sendai is known for being the biggest city within the Tohoku (literally means "northeast") area, while both Hiroshima and Nagasaki were situated within the western part of the country. Hindered by my own ordeals more than the distance, I was forced to put any sort of visit to the cities out of consideration.
At least for the next two and a half years.

***

Thursday, 12th March, 2015.
I woke up to the fact that the day will be the last of my travel days during early March. Marked as my most ambitious solo travel to date, with thousand of kilometers and twelve days consumed on board, a visit to the center of Hiroshima is planned to conclude the travel. Quite unknowingly, the day also marked day number 900 since I set foot on Japanese soil for the first time.

As every devoted tourists would have done, I approached Hiroshima from the west, stopping by Miyajima. This might sound peculiar the first time you hear it, considering that I am staying in the eastern part of the country. But in fact, I came across Hiroshima after spending several days wandering around Kyushu, the southernmost (and westernmost) of Japanese main islands. Which (hopefully) clears the speculation.
Arriving at late Wednesday afternoon of 11th March—which also coincides with 4th commemoration of Great East Japan Earthquake—I found myself in an unfavorable time for a little travel, thus waited for the morning to come.

...And so the morning came.
I hadn't pay much attention to the city life in Hiroshima during the previous night, but as you get used to Japanese transportation and some dose of internet, getting anywhere for your own travel is an easy deal.
You can easily catch a tram (or 電鉄 dentetsu, as they call it in the native Japanese) stopping by Hiroshima station—generally speaking, the main station of a city is the easiest starting point for your trip anywhere in Japan. And after ensuring that the trams I took was the one heading for the eponymous Atomic-bomb Dome (原爆ドーム genbaku dōmu), it's time to depart.

Inside the tram—apologies for the overexposure
As sophisticated as Japanese transportation system have become, trams appear to remain a specialty of western Japanese cities—in the east, only Hakodate appears to keep it operational. As a lone self-proclaimed traveller from the eastern side of a country, that day became my first time experiencing trams in Japan; even though I saw trams commuting around Kagoshima and Kumamoto just a few days earlier. 160 yen for one-way travel easily paid off.

Spacious (広 hiro) roads; staying true as Hiroshima
From the stopping point, the infamous dome was only a little walk away. I suppose it would be only natural to rush to the iconic memorial of the atomic bombing, preserved as the way it was just after the bombing. Or at least that's what various sources from the internet told me.
I approached the site, but I was not aware that the dome was on for quite a surprise.

A-Bomb Dome with.... scaffolds?
TL;DR: There is a maintenance going on till 31st March, 2015. 
Apparently they were conducting a survey on the durability of the structure. And I arrived just 19 days prior to the completion of the survey. Lucky me, I guess? A-Bomb Dome with scaffolds was not an everyday scene, I guess?
.....
The show must go on, hence the tour commenced yet again. Let the photos be your guide.

(to be continued)

A-Bomb Dome by the riverside

The T-shaped Aioi Bridge (相生橋 Aioi-bashi); side view. Its distinctive shape apparently 
makes for a nice target for Enola Gay. The atomic bomb actually detonated a few hundred meters away.
A description about the effects of bombing on Aioi Bridge
Hiroshima Peace Memorial (formerly Hiroshima Prefectural Industrial Promotion Hall),
in comparison before and after the bombing
An elderly man (probably old enough to have lived at the time of the bombing?) sitting by the riverside, occasionally throwing some bread crumbs to the nearby crowd of pigeons.
Children's Peace Monument
Hiroshima Peace Memorial Museum
The current Hiroshima Peace Memorial Park was built on an open field created by the atomic bombing in 1945, south of Aioi Bridge. Prior to the bombing, the location was a piece of the city's bustling political and commercial center; the sheer energy from the detonation reduced it all into rubbles.
At 1949, it was decided that the location would not be rebuilt as a city center—instead, the whole area were dedicated to peace memorial facilities.

The Memorial Cenotaph. A-Bomb Dome can be seen on the background.
After a little walk across the park, it would be only natural to stop over the museum. I decided to go inside anyway, even though time constraint was getting high (I only have about an hour left before I head for Kobe). Being a traveller at a shortage of memory space for documentation—I know right, such timing—I didn't manage to snatch plentiful photos during my visit.

Long story short about the main museum: It definitely succeed in portraying the bitter reality of the bombing as it happened. Filled with several exhibitions ranging from photographs, remains of victim's belongings, or even remains of the victims themselves.

Exhibition of the photos of the initial blast
One of the more famous exhibition: A pocket watch frozen in time, right at 8:15.
A depiction of the bomb's fireball, about a second after the detonation
While the first half of the exhibition blatantly portrays the horror of the bombing day, the second half of the exhibitions portrayed the aftermath of the bombing on Hiroshima, i.e. the reconstruction of the city, its devotion on promoting peace to the world, all that kind of stuffs. The message conveyed within the second half of the exhibition was subtly similar to what I have seen around the tsunami-struck area of northeastern Japan: it was about how the community managed to recover after a disaster, and prevail yet again.

A view of the cenotaph and A-Bomb Dome
Last photo of A-Bomb Dome, up close. Still with the scaffolds.

The dome is standing as a memento of the bombing victims, as an epitome of warfare destruction. It feels as if the haunting figure was trying to convey something to the puny humans walking all around it.
It's as if it was going to tell an old story. Story from seventy years ago. About memories that couldn't just let go. About the peaceful future we're longing to.

The dome stood still, frozen in time. A time where a series of warfare brought a country, its people, and its dignity to stake. A time where an arguably unnecessary acts of war led to unnecessary losses.
The atomic bombings on Hiroshima and Nagasaki may not be the trigger of Japanese surrender as well as the end of World War II. But it sure signify the last episodes of the war, just like the A-Bomb Dome signify the last episodes of my spring travel. As well as my years to come.

*****
A photograph of Hiroshima atomic bomb explosion, as taken by
Yoshito Matsushige, 2.5 kms away.
image source
An aerial photo of Hiroshima before the bombing. The city is noticably divided into several delta islands (島 shima);
staying true to its identity as Hiroshima. And well, they're quite spacious (広 hiro), too.
image source
A burnt child helmet and tricycle, now an exhibit in the museum.
(image source; be wary of disturbing contents)
-o0o-
A white road.
A white road in Hiroshima.
Mother walked that scorching road
Barefooted,
Working clothes all torn.
And I, who had been born
Just 40 days before,
Held in those arms,
Gazed up with eyes of innocence
To where the deep blue sky
Stretched wide, she said.
The white mushroom cloud
Moved like a sea slug,
Growing wide, and wider still.
Mid-summer phantoms
And those hateful things
That happened long ago
Are all so infinitely sad.
The image of that single
Long white road
Lies in the corner of my mother's heart
And mine
And does not even try do die.
The road stretches on and on;
An endless road,
White, dust-covered, soiled by grief.
The road began that moment,
The road without an end,
The road we've walked without a pause,
For fourteen years.
Mother is tired.
And I am tired.
And when beset by waves
Of sadness and exhaustion
She lay a while to rest.
Her tears fell on my face
And left their patterns in the dust.
A white road.
A white road in Hiroshima.

-as depicted on a video exhibition in Hiroshima Peace Museum

Last but not as fast, more on the perspectives of the bombing:
http://foreignpolicy.com/2013/05/30/the-bomb-didnt-beat-japan-stalin-did/
http://www.mconway.net/page1/page15/files/Shock%20of%20Atomic%20Bomb.pdf
https://en.wikipedia.org/wiki/Debate_over_the_atomic_bombings_of_Hiroshima_and_Nagasaki#Impact_on_surrender
http://www.globalresearch.ca/the-real-reason-america-used-nuclear-weapons-against-japan-it-was-not-to-end-the-war-or-save-lives/5308192

Lanjutkan baca »

Selasa, 04 Agustus 2015

Article#449 - Kilasan Kisah


Melanjutkan kehidupan dari satu episode ke episode berikutnya, berarti menceburkan diri dalam beragam kelarutan yang mewarnai setiap sisi kehidupan.
Dalam beberapa waktu, kesibukan yang amat sangat mungkin akan menyita perhatian tiap-tiap kita dari seisi dunia, menjadikan tiap kita bergelimang penat. Dalam waktu lainnya, kita-kita mungkin saja berkalang bosan di tengah luang, mencari sesuap kegiatan untuk dilimpahi perhatian.

Pada senarai perjalanan kita menghidupi dunia fana, awal dan akhir adalah keniscayaan atas segala hal. Konsep abstrak yang tampak riil seperti episode kehidupan pun tak pelak ikut tergarisi nasib ini.
Sehingga, kita dapati episode demi episode atas kehidupan kita datang silih berganti. Baik disela jeda, atau terus berderak, mereka terus bergulir mematuhi seruan zaman, memetakan alur hidup tiap kita menjadi cerita demi cerita. Baik berupa epik yang merangkum keparipurnaan kisah hidup seorang anak manusia, baik berupa episode yang mencatut-catut momen istimewa manusia. Atau tidak keduanya. Atau dikotomi antara sebagian dan keseluruhan memang tidak pernah riil adanya.

Pada tiap-tiap episode kehidupan pula, celoteh Einstein yang seratus tahun lalu terwujudkan sebagai teori relativitas menuai bentuk nyatanya dalam ranah berbeda. Kita yang menikmati tiap-tiap momen kehidupan mungkin tidak pernah sekalipun melaju menyaingi sigapnya cahaya, akan tetapi deras aliran momen-momen yang ada kemudian menentukan seberapa lambat waktu terasa berjalan bagi tiap-tiap kita.
Penulis dulu pernah mengutarakan betapa banyaknya hal baru yang didapat akan membuat kita lebih banyak menuangkan perhatian pada kejadian, membuat waktu seolah melambat. Kalian yang sedang dirundung kasmaran mungkin dapat memahaminya dengan hebat. Tetapi, karena setiap momen indah tak bisa merenggut label kefanaan dari raganya, pada akhirnya ia akan meluruh, lenyap termakan perubahan.

Zaman berubah. Hidup berubah. Cara pandang kita juga barangkali berubah. Akan tetapi, perubahan tidak akan berubah dalam hal keniscayaannya untuk terus datang.

Maybe I will never be all the things that I wanna be
Now is not the time to cry, now's the time to find out why
I think you're the same as me

We see things they'll never see














































































Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...