Jumat, 28 November 2014

Article#366 - Menjejak Bola Salju Kotor

Komet 67P/Churyumov-Gerasimenko, sebagaimana
dipotret oleh wahana Rosetta. sumber

Tulisan ini dikutip dari http://ekliptika.wordpress.com/2014/11/16/60-jam-hidup-singkat-di-inti-komet-setelah-mendarat-tanpa-penambat-dan-sempat-melompat/

Drama tujuh jam itu akhirnya berakhir (separuh) bahagia. Setelah berharap-harap cemas semenjak robot pendarat Philae melepaskan diri dan melayang pelan dari wahana takberawak Rosetta, para pengendali misi di pusat operasi European Space Agency (ESA)di Darmstadt (Jerman) bersorak gembira dalam suasana emosional. Badan antariksa gabungan negara-negara Eropa tersebut secara resmi menyatakan bahwa pada Rabu 12 November 2014 Tarikh Umum (TU) pukul 23:08 WIB robot Philae telah berlabuh dengan selamat di tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko. Inilah momen bersejarah, untuk pertama kalinya sebuah obyek cerdas buatan manusia berhasil melabuhkan diri secara perlahan (soft-landing) ke permukaan intikomet dan tetap berfungsi. Kini kita hidup di bawah bayang-bayang mendarat dan beroperasinya sebuah robot semi-otomatis di intikomet.
Gambar 1. Simulasi saat-saat robot pendarat Philae tepat menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko untuk berlabuh. Dalam kenyataannya, akibat tidak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan membuat Philae langsung melompat (terpental) kembali ke angkasa hingga dua kali begitu menyentuh tanah intikomet. Philae akhirnya benar-benar berlabuh pada titik yang jauhnya sekitar 1.000 meter dari lokasi yang direncanakan. Sumber: ESA, 2014.
Gambar 1. Simulasi saat-saat robot pendarat Philae tepat menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko untuk berlabuh. Dalam kenyataannya, akibat tidak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan membuat Philae langsung melompat (terpental) kembali ke angkasa hingga dua kali begitu menyentuh tanah intikomet. Philae akhirnya benar-benar berlabuh pada titik yang jauhnya sekitar 1.000 meter dari lokasi yang direncanakan. Sumber: ESA, 2014.
Berlabuhnya Philae bukanlah pendaratan yang sempurna. Kala ESA melakukan pengecekan jarak jauh terakhir sebelum pelepasan Rosetta dan Philae, baru ketahuan sistem pendorong mini di punggung Philae tak berfungsi. Padahal perannya krusial. Seharusnya saat Philae tepat menyentuh tanah intikomet, sistem pendorong akan otomatis menyala selama beberapa saat. Sehingga Philae tetap tertekan ke tanah dan tak berpotensi melompat (terpental) kembali ke langit. Namun begitu pengendali misi tetap memberikan lampu hijau bagi Philae untuk berangkat ke tujuan. Problem ini segera disusul masalah berikutnya yang tak kalah peliknya, yakni tidak berfungsinya sistem penambat otomatis. Seharusnya saat Philae tepat menyentuh tanah intikomet dan sedang tertekan ke bawah seiring aktifnya sistem pendorong punggung, ketiga kakinya akan otomatis menancapkan jangkar tombak berpengait ke tanah. Maka begitu sistem pendorong punggung berhenti beroperasi, Philae telah kokoh berlabuh.
Tak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan ini membuat Philae ibarat katak. Begitu menyentuh tanah intikomet, ia melompat-lompat hingga sedikitnya dua kali sebelum benar-benar berhenti. Philae sesungguhnya telah menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko pukul 22:33 WIB, atau 30 menit lebih awal dari pengumuman resmi ESA. Namun segera ia melesat lagi ke angkasa pada kecepatan 38 cm/detik (1,4 km/jam) untuk melambung setinggi sekitar 1.000 meter di atas tanah intikomet sebelum turun kembali. Begitu menyentuh tanah intikomet yang kedua kalinya, Philae kembali melenting. Namun kali ini dengan kecepatan jauh lebih rendah yakni hanya 3 cm/detik (0,11 km/jam) dan melambung hingga setinggi 20 meter di atas tanah intikomet. Barulah saat turun kembali, Philae sepenuhnya berhenti di posisi terakhirnya, meski dalam kondisi miring dan salah satu kakinya tak menapak tanah. Pendaratan yang melompat-lompat ini juga membuat posisi terakhir Philae meleset hingga sedikitnya 1.000 meter dari titik target pendaratannya semula.
Gambar 2. Estimasi lintasan yang ditempuh Philae kala dua kali melompat di atas tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko sebelum benar-benar berlabuh. Dimodelkan melalui gerak parabola dengan asumsi nilai percepatan gravitasi setempatnya tetap meski melambung hingga ketinggian tertentu di atas intikomet. Dalam kenyataannya mungkin tidak demikian. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari ESA.
Gambar 2. Estimasi lintasan yang ditempuh Philae kala dua kali melompat di atas tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko sebelum benar-benar berlabuh. Dimodelkan melalui gerak parabola dengan asumsi nilai percepatan gravitasi setempatnya tetap meski melambung hingga ketinggian tertentu di atas intikomet. Dalam kenyataannya mungkin tidak demikian. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari ESA.
Awalnya Philae direncanakan berlabuh di titik J yang belakangan diberi nama titik Agilkia/Agilika. Namun akibat lompatan-lompatan tersebut, kini Philae diyakini berada di sekitar titik B. Titik B adalah cekungan besar yang dasarnya relatif datar dipagari tebing-tebing melingkar di tepinya yang relatif curam. Sesungguhnya tempat ini ideal untuk pendaratan Philae. Tetapi kombinasi lokasi geografisnya dengan posisi komet Churyumov-Gerasimenko saat ini terhadap Matahari membuat kondisi pencahayaan Matahari di sini sangat buruk, dibandingkan di titik Agilkia.
Hibernasi
Meski dimana persisnya Philae berlabuh belum benar-benar diketahui, namun sejauh ini (hingga Sabtu 15 November 2014 TU) robot pendarat itu dalam kondisi normal. Sejumlah radas ilmiahnya diketahui berfungsi dengan baik. Salah satunya adalah radasMUPUS (Multi Purpose Sensor for Surface and Subsurface Science) yang membawa pasak sehingga akhirnya salah satu kaki Philae bisa tertambat ke tanah setelah pasak berhasil dibenamkan. Radas bor SD2 (drill sample and distribution subsystem) juga berfungsi dan bekerja mengebor hingga kedalaman 23 cm, membuat Philae kian kokoh tertambat. Radas-radas kamera pun berfungsi.
Dari citra-citra yang berhasil dikirimkan diketahui bahwa Philae mendarat di lereng sebuah tebing tinggi di sisi titik B. Ini mendatangkan masalah sangat serius, sebab Philaehanya tersinari cahaya Matahari selama sekitar 1,5 jam saja dari seharusnya 6 jam (periode rotasi intikomet Churyumov-Gerasimenko 12 jam). Akibatnya ia kekurangan sinar Matahari yang mencukupi guna mengisi baterenya lewat panel surya. Tanpa diisi memadai, batere Philae akan kehabisan daya listrik. Problem ini diperparah oleh lokasi titik B yang demikian rupa, sehingga ia baru akan mendapatkan pencahayaan Matahari penuh mulai Agustus 2015 TU mendatang.
Gambar 3. Sekuens citra (foto) yang diambil wahana Rosetta melalui radas kamera NavCam antara sebelum dan sesudah robot Philae menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko untuk pertama kalinya (12 November 2014 TU pukul 22:33 WIB). Philae menyentuh tanah intikomet tepat di sebelah kiri bongkahan batu besar di tengah citra ini. Philae akhirnya baru benar-benar berlabuh di titik sejauh sekitar 1.000 kilometer dari titik ini setelah melompat (melambung) hingga dua kali. Sumber: ESA, 2014.
Gambar 3. Sekuens citra (foto) yang diambil wahana Rosetta melalui radas kamera NavCam antara sebelum dan sesudah robot Philae menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko untuk pertama kalinya (12 November 2014 TU pukul 22:33 WIB). Philae menyentuh tanah intikomet tepat di sebelah kiri bongkahan batu besar di tengah citra ini. Philae akhirnya baru benar-benar berlabuh di titik sejauh sekitar 1.000 kilometer dari titik ini setelah melompat (melambung) hingga dua kali. Sumber: ESA, 2014.
Maka dalam kondisi tak tersinari cahaya Matahari mencukupi, Philae bakal berhibernasi di permukaan tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko begitu tenaga baterenya sangat menipis. Ini bakal terjadi di sekitar 64 jam pasca berlabuh. Tak menutup kemungkinan Philae bisa mati beku, mengingat permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko demikian dinginnya dengan suhu bervariasi antara minus 68 hingga minus 43 derajat Celcius. Sedangkan pemanas di tubuh Philae bergantung pasokan listrik dari baterenya. Bila misalnya pencahayaan Matahari tidak berubah hingga Agustus 2015 TU mendatang, tenaga listrik yang tersimpan di batere Philae bisa terkuras habis. Pertimbangan politis membuat Philae tak bisa membawa pemanas independen (yang tak tergantung listrik) semisal RHU (radioisotope heater unit) sebagaimana digunakan robot-robot pendarat/penjelajah dari Amerika Serikat. Pertimbangan yang sama juga membuat Philae bergantung sepenuhnya pada cahaya Matahari guna memasok listrik dan mengisi baterenya, ketimbang sumber listrik independen seperti RTG (radioisotope thermoelectric generator). Berhadapan dengan seluruh situasi tak menguntungkan ini, pengendali misi di Darmstadt telah menyiapkan diri untuk mengantisipasi bilamana Sabtu 15 November 2014 TU menjadi hari terakhir Philae dalam kondisi hidup. Pengendali misi telah mengirimkan perintah kepada robot semi-otomatis itu untuk berputar sedikit (hingga 35 derajat) guna memperbesar kemungkinan mengoptimalkan panel suryanya menghadap ke Matahari.
Meski nampaknya bakal berumur singkat, namun robot Philae bersama wahana Rosettabakal menulis bab baru yang mempertebal buku pengetahuan tata surya kita khususnya bagi salah satu anggota eksotisnya, komet. Lewat radas APXS (Alpha Proton X-ray Spectrometer), kita akan mengetahui komposisi unsur-unsur secara langsung di tanah intikomet. Dengan radas Ptolemy, rasio isotop-isotop stabil dalam substansi mudah menguap (volatil) di tanah komet bisa diketahui. Bagaimana sifat-sifat fisis tanah intikomet bisa terkuak melalui kinerja radas-radas MUPUS dan SD2. Struktur internal intikomet pun bisa diungkap melalui aksi radas CONSERT (COmet Nucleus Sounding Experiment by Radiowave Transmission), dengan mendeteksi gelombang radar yang dipancarkan wahana Rosetta dan dipantulkan oleh internal inti komet. Dan seperti apa karakteristik medan magnet lemah di intikomet beserta interaksinya dengan angin Matahari menjadi subyek penyelidikan radas ROMAP (Rosetta Lander Magnetometer and Plasma Monitor). Serta bagaimana panorama permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko telah diabadikan oleh radas kamera CIVA (Comet Nucleus Infrared and Visible Analyzer) dan ROLIS (Rosetta Lander Imaging System). Seluruh radas tadi telah bekerja dan telah mengirim data-data hasil kerjanya ke Bumi.
Gambar 4. Pemandangan di sekitar titik berlabuhnya Philae di permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko seperti diabadikan radas kamera CIVA. Karena kedudukan Philae miring dengan salah satu kakinya tidak menapak tanah, maka salah satu dari 6 kamera CIVA mengarah ke langit. Ia memperlihatkan butir-butir debu yang beterbangan dari tanah, sebuah ciri khas intikomet. Citra ini pun memperlihatkan betapa Philae mendarat di lokasi yang remang-remang, dengan sinar Matahari hanya terlihat di bagian kanan bawah citra. Sumber: ESA, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2014.
Gambar 4. Pemandangan di sekitar titik berlabuhnya Philae di permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko seperti diabadikan radas kamera CIVA. Karena kedudukan Philae miring dengan salah satu kakinya tidak menapak tanah, maka salah satu dari 6 kamera CIVA mengarah ke langit. Ia memperlihatkan butir-butir debu yang beterbangan dari tanah, sebuah ciri khas intikomet. Citra ini pun memperlihatkan betapa Philae mendarat di lokasi yang remang-remang, dengan sinar Matahari hanya terlihat di bagian kanan bawah citra. Sumber: ESA, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2014.
Butuh waktu berbulan-bulan ke depan bagi para astronom dan geolog keplanetan untuk menganalisis seluruh data yang dikirim Philae tersebut sebelum dipublikasikan. Namun jika dihitung semenjak Juni 2014 TU, yakni semenjak wahana Rosetta mulai mendekati inti komet Churyumov-Gerasimenko hingga sedekat 100 kilometer atau lebih dekat lagi, sejumlah fakta baru yang menarik tentangnya telah terungkap. Benda langit ini terkesan sebagai dua bulatan besar yang melekat menjadi satu membentuk geometri mirip bebek. Bulatan yang kecil berperan sebagai ‘kepala bebek’ yang dimensinya 2,5 km 2,5 km x 2 km. Sedangkan bulatan yang besar membentuk ‘badan bebek’ dan berukuran 4,1 km x 3,2 km x 1,3 km. Antara ‘kepala bebek’ dan ‘badan bebek’ dihubungkan oleh ‘leher’ yang adalah kawasan yang paling aktif mengemisikan gas dan debu di intikomet itu. Akankah bentuk unik ini dikarenakan ia sebagai benda langit kembar dempet (contact binary) ataukah sebagai benda langit biasa (tunggal) yang terpahat bagian tengahnya oleh semburan gas dan debu yang terfokus di sini sampai membentuk ‘leher’, masih menjadi bahan perdebatan.
Rosetta menunjukkan intikomet Churyumov-Gerasimenko bermassa sekitar 10 milyar metrik ton. Namun kerapatannya (massa jenisnya) cukup kecil, yakni hanya
4 gram 0,4 gram dalam setiap sentimeter kubiknya. Maka bila benda langit ini dibawa ke Bumi dan diletakkan dengan hati-hati di perairan Samudera Indonesia (Hindia) ataupun Pasifik, ia akan terapung. Sebagai imbasnya percepatan gravitasi di permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko ini pun sangat kecil. Akibat bentuknya yang mirip bebek, gravitasinya bervariasi di setiap titik di permukaanya. Konsekuensinya kecepatan lepas dari intikomet ini pun kecil, yakni sekitar 40 cm/detik (1,5 km/jam) atau lebih sedikit.
Gambar 5. Geometri intikomet Churyumov-Gerasimenko yang mirip bebek lengkap dengan 'kepala', 'leher' dan 'badan'-nya, berdasarkan observasi wahana Rosetta melalui radas kamerta NavCam. Agilkia terlerak di 'kepala' dan menjadi lokasi yang paling diunggulkan untuk berlabuhnya Philae. Namun tidak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan membuat Philae berlabuh di luar dari kawasan ideal ini dan justru kemungkinan berlokasi di lereng tebing terjal sejauh sekitar 1.000 meter dari pusat Agilkia. Sumber: ESA, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2014.
Gambar 5. Geometri intikomet Churyumov-Gerasimenko yang mirip bebek lengkap dengan ‘kepala’, ‘leher’ dan ‘badan’-nya, berdasarkan observasi wahana Rosetta melalui radas kamerta NavCam. Agilkia terlerak di ‘kepala’ dan menjadi lokasi yang paling diunggulkan untuk berlabuhnya Philae. Namun tidak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan membuat Philae berlabuh di luar dari kawasan ideal ini dan justru kemungkinan berlokasi di lereng tebing terjal sejauh sekitar 1.000 meter dari pusat Agilkia. Sumber: ESA, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2014.
Morfologi intikomet Churyumov-Gerasimenko terdiri atas lima bagian utama, yakni depresi (cekungan) berskala besar, kawasan terkonsolidasi, kawasan singkapan, kawasan dataran halus dan kawasan rapuh yang tertutupi debu tipis. Kekuatan tarik tanahnya sangat kecil yakni hanya sekitar 20 Pascal. Kolam-kolam material terlihat dimana-mana, mengingatkan pada bentuk gunung lumpur (mud volcano) di Bumi. Terdapat banyak retakan panjang hingga sepanjang ratusan meter, yang diduga terbentuk akibat pemuaian termal. Namun tidak terjadi perubahan bentang lahan di intikomet ini sepanjang kurun Juni hingga Oktober 2014 TU. Ada juga sejumlah bukit pasir, yang nampaknya terbentuk melalui proses saltasi saat debu-debu halus tertiup aliran gas hingga melayang ke satu tempat. Tapi tak ada singkapan/massa es di permukaan tanah intikomet. Bongkahan-bongkahan es hanya terlihat tatkala terjadi tanah longsor di lereng. Dan sebagai ciri khasnya, tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko pun melepaskan uap air dalam jumlah jumlah yang dinamis, sebanding dengan jaraknya ke Matahari.
Pada Juni 2014 TU silam, Rosetta mendeteksi intikomet Churyumov-Gerasimenko melepaskan 0,3 liter uap air dalam setiap detiknya. Dua bulan kemudian, yakni Agustus 2014 TU saat komet berjarak 538 juta kilometer (3,6 SA) dari Matahari, uap air yang diproduksi setiap detiknya meningkat menjadi 1 liter. Dan dalam tiga bulan kemudian yakni November 2014 TU, jumlah uap air setiap detiknya melonjak jadi 6 liter, dengan komet berjarak 431 juta kilometer (2,9 SA) dari Matahari. Rosetta juga memperlihatkan produksi uap air ini dipengaruhi oleh kondisi siang ataupun malam di intikomet, dengan produksi uap air di kala siang lebih besar. Uniknya, benda langit ini memiliki albedo 5,3 % atau hanya memantulkan 5,3 % cahaya Matahari yang menerpanya. Dengan demikian intikomet Churyumov-Gerasimenko sama gelapnya dengan batubara ataupun aspal di jalan raya. Ini juga menjadikan benda langit ini sebagai salah satu benda langit tergelap dalam tata surya kita. Sebagai pembanding, Bulan masih memantulkan 12 % cahaya Matahari yang mengenainya sementara Bumi bahkan lebih besar lagi, yakni 30 %.
Perjalanan Panjang
Berlabuhnya Philae menjadi kulminasi dari perjuangan panjang dalam seperempat abad terakhir guna mewujudkannya dari mimpi menjadi nyata. Perjuangan keras itu secara akumulatif melibatkan tak kurang dari 2.000 orang serta terus-menerus berhadapan dengan perubahan konsep, cekaknya anggaran, problem teknis, berbagai penundaan, rute yang kompleks, manuver-manuver yang menyerempet bahaya dan waktu yang panjang dalam mengarungi langit sebelum tiba di tujuan.
Gambar 6. Lintasan kompleks yang harus ditempuh wahana Rosetta dan robot pendarat Philae semenjak diluncurkan dari Bumi hingga tiba di intikomet Churyumov-Gerasimenko. Perjalanan panjang ini menempuh jarak tak kurang dari 7.100 juta kilometer dan memakan waktu tak kurang dari 10,5 tahun. Sumber: ESA, 2014 dengan modifikasi ke bahasa Indonesia oleh Sudibyo, 2014.
Gambar 6. Lintasan kompleks yang harus ditempuh wahana Rosetta dan robot pendarat Philae semenjak diluncurkan dari Bumi hingga tiba di intikomet Churyumov-Gerasimenko. Perjalanan panjang ini menempuh jarak tak kurang dari 7.100 juta kilometer dan memakan waktu tak kurang dari 10,5 tahun. Sumber: ESA, 2014 dengan modifikasi ke bahasa Indonesia oleh Sudibyo, 2014.
Semula ESA merancang misi antariksa ke komet sebagai program yang lebih ambisius, yakni pergi ke intikomet lantas mengebor tanahnya untuk mengambil sampel dan membawanya pulang kembali ke Bumi sehingga sampel tersebut bisa dianalisis leluasa. Namun pada 1993 TU ambisi ini berbenturan dengan terbatasnya dana. Sementara di seberang Samudera Atlantik badan antariksa Amerika Serikat (NASA) yang sedang mengembangkan misi antariksa sejenis di bawah tajuk CRAF (Comet Rendezvous Asteroid Flyby) bahkan memutuskan untuk membatalkan rencananya, juga atas alasan terbatasnya dana. Situasi ini memaksa ESA mengubah desain misi antariksanya secara radikal, sehingga hanya akan mendarat dan menganalisis sampel di tempat (in-situ) saja. Mulai saat inilah misi tersebut menemukan bentuknya dan diberi nama Rosetta, mengacu pada prasasti berhuruf hiroglif yang ditemukan di kota Rosetta (Mesir) dan menjadi kunci terpenting guna memahami peradaban Mesir Kuno. Sementara robot pendaratnya diberi nama Philae, yang merujuk pada nama sebuah pulau kecil di tengah-tengah Sungai Nil, di kompleks Bendungan Aswan, yang kaya akan bangunan-bangunan purbakala era Mesir Kuno namun kini sudah terendam air. Jauh kemudian hari, sebuah titik di intikomet dimana Philae direncanakan hendak berlabuh pun diberi namaAgilkia/Agilika, berdasarkan nama sebuah pulau kecil di dekat pulau Philae yang menjadi tempat bangunan-bangunan kuno dari pulau Philae dipindahkan dan direkonstruksi.
Masalah berikutnya yang menghantam Rosetta adalah bencana yang menimpa roket Ariane 5 pada 11 Desember 2002 TU, saat roket jumbo ini terpaksa diledakkan kala terbang hingga ketinggian 69 km akibat gangguan mesin. Padahal roket ini yang akan mengantar Rosetta menuju orbit Bumi pada 12 Januari 2003 TU. Akibatnya peluncuranRosetta terpaksa ditunda hingga dua kali guna memastikan masalah yang menghinggapi Ariane 5 bisa dibereskan. Penundaan ini memaksa pengendali misi mengubah sasaran Rosetta dari semula komet Wirtanen (46P) menjadi komet Churyumov-Gerasimenko (67P), dengan waktu berlabuh pun berubah dari semula 2011 TU menjadi 2014 TU.
Gambar 7. Wajah intikomet Churyumov-Gerasimenko dari dekat khususnya pada kawasan 'leher'-nya, diabadikan oleh wahana Rosetta dengan radas kamera Osiris yang beresolusi tinggi. Nampak tebing curam dengan garis-garis paralel membatasi 'kepala' dengan 'leher.' Garis-garis tersebut adalah retakan dan diduga merupakan kekar kolom. Didasarnya terdapat kolam-kolam material yang mengesankan menyerupai tumpukan sedimen gunung lumpur (mud volcano) di Bumi. Sumber: ESA, 2014.
Gambar 7. Wajah intikomet Churyumov-Gerasimenko dari dekat khususnya pada kawasan ‘leher’-nya, diabadikan oleh wahana Rosetta dengan radas kamera Osiris yang beresolusi tinggi. Nampak tebing curam dengan garis-garis paralel membatasi ‘kepala’ dengan ‘leher.’ Garis-garis tersebut adalah retakan dan diduga merupakan kekar kolom. Didasarnya terdapat kolam-kolam material yang mengesankan menyerupai tumpukan sedimen gunung lumpur (mud volcano) di Bumi. Sumber: ESA, 2014.
Wahana Rosetta dan robot pendarat Philae akhirnya terbang ke langit dengan digendong roket Ariane 5 pada 2 Maret 2004 TU, setahun lebih telat dari jadwal semula. Awalnya menempati orbit lonjong dengan perigee 200 km dan apogee 4.000 km, mesin roket pendorong lantas dinyalakan penuh yang membawa Rosetta keluar dari pengaruh gravitasi Bumi. Namun kecepatannya tidaklah cukup untuk menjangkau komet Churyumov-Gerasimenko. Rosetta harus bolak-balik di antara Bumi dan Mars guna memperoleh tambahan kecepatan dengan memanfaatkan gravitasi kedua planet tersebut, dimana Rosetta layaknya dilontarkan dari ketapel dan melesat lebih cepat tanpa harus menyalakan mesin roketnya. Rosetta harus lewat di dekat Bumi hingga tiga kali (masing-masing 4 Maret 2005 TU, 13 November 2007 TU dan 13 November 2009 TU) serta sekali di dekat Mars (25 Februari 2007 TU). Barulah selepas perlintasan dekat Bumi-nya yang ketiga, Rosetta menyusuri orbit yang langsung mengantarnya ke komet Churyumov-Gerasimenko. Saat itu Rosetta mendapatkan tambahan kecepatan 13.000 km/jam dan telah menempuh 4.500 juta kilometer dari 7.100 juta kilometer jarak yang harus direngkuhnya untuk tiba di tujuan.
Pada 7 Mei 2014 TU silam, saat tinggal berjarak 2 juta kilometer saja dari intikomet Churyumov-Gerasimenko, kecepatan relatif Rosetta terhadap sang komet masih sebesar 775 meter/detik (2.790 km/jam). Mulailah Rosetta menyalakan mesin roketnya yang diposisikan berlawanan dengan arah gerak Rosetta, sehingga kecepatannya melambat. Secara keseluruhan Rosetta menyalakan dan mematikan mesin roketnya secara berulang-ulang hingga 8 kali, sehingga pada 23 Juli 2014 TU kecepatan relatifnya terhadap intikomet tinggal 7,9 meter/detik (28,5 km/jam) dengan jarak tinggal 4.000 km. Pengereman terakhir berlangsung pada 6 Agustus 2014 TU, sehingga kecepatan relatifRosetta tinggal 1 meter/detik (3,6 km/jam) terhadap intikomet dengan jarak tinggal 100 km.
Gambar 8. Ukuran intikomet Churyumov-Gerasimenko jika dibandingkan dengan sebagian bentang lahan Jakarta. Bila komet ini dianggap bisa 'diapungkan' di atas pesisir utara Jakarta dan dipandang dari arah puncak Monumen Nasional. Dengan panjang 4 kilometer, maka praktis intikomet ini telah menutupi segenap kawasan Ancol. Sumber: Mutoha Arkanuddin, 2014.
Gambar 8. Ukuran intikomet Churyumov-Gerasimenko jika dibandingkan dengan sebagian bentang lahan Jakarta. Bila komet ini dianggap bisa ‘diapungkan’ di atas pesisir utara Jakarta dan dipandang dari arah puncak Monumen Nasional. Dengan panjang 4 kilometer, maka praktis intikomet ini telah menutupi segenap kawasan Ancol. Sumber: Mutoha Arkanuddin, 2014.
Meski kini Philae telah terlelap dalam hibernasinya dan bahkan berkemungkinan akan tertidur hingga mati, namun Rosetta akan terus melanjutkan penyelidikannya hingga setahun mendatang. Wahana ini akan terus mengawal intikomet Churyumov-Gerasimenko hingga setahun ke depan sembari memonitor segala perubahan di sang intikomet kala ia terus mendekat ke Matahari hingga melintasi titik perihelionnya.
Tulisan sebelumnya.
Referensi :
Lakdawalla. 2014. Report from Darmstadt: Philae Status and Early Rosetta Results from DPS. Planetary.org, 11 November 2014.
Amos. 2014. Rosetta: Battery Will Limit Life of Philae Comet Lander. BBC News, 13 November 2014.
ESA. 2014. Rosetta, Press Kit 12 November 2014 Landing on a Comet.
Lanjutkan baca »

Senin, 24 November 2014

Article#365 - Notasi Pigmentasi


Dengarkanlah senyum yang mengalun
Mendaras cerita dari suatu malam
Menderu salam yang terhatur
Menyeru mimpi yang tak teredam
Berseru lantang supaya tak padam
Berderap tangguh tanpa terekam
Di sela dedaunan kulihat temaram
Diselingi semburat merah sang halimun
Mereka bersatu dalam satu warna
Menghembus pagi dalam satu nada
Mereka bersinar dalam ragam semu
Meneteskan berbutir kilap embun

Kau dengar semangat yang melaju
Menerabas ranting tanpa terjatuh
Meski ia sepenuhnya tahu
Pada waktunya ia akan luluh
Berlepas diri dari paras beku
Ditengadahkan wajahnya menghadap langit
Menyintas arak awan yang berseri
Di tengah paparan panas Matahari
Hadir rangkaian kata dalam memori
Yang tak terungkap seorang diri
Ketika ia menyapa muka Bumi
Bersama beragam campur hidup
Merah, jingga, kuning, kelabu
Berbaring rendah berlandas haru
Mencuri waktu tanpa siapapun tahu

Maka dengarkan selayang pandang menyapu
Memindai segala rentang penjuru
Dari pojok yang tak kita tahu
Hingga daerah yang paling menyentuh
Menyingkap tabir, meniup lapis debu
Membaca kenyataan yang meluruh
Perlahan hilang, hingga menyeluruh
Menyamarkan diri di balik rimbun
Yang beranjak tenang lalu mengalun
Dedaunan kering bergoyang padu
Dan satu persatu jatuh mengayun
Sebagai kontras di hadap langit lembayung
Membedakan diri dalam rukun
Menyeragamkan diri dan bersatu
Menghembus ceriamu dalam jujur

Maka dengarkanlah hatimu yang berkeriut
Kudengar ia mulai ciut
Menghadapi dunia yang tak pandang bulu
Selagi berusaha mensyukuri hidup
Tak usahlah derita kau damba!
Biarkan derai bahagia yang meraja
Menyelusup mahligai Yang Diraja
Yang terhampar sepanjang bentang malam
Bertatahkan bulir bintang
Berselimutkan seisi angkasa
Ceritakan semua, tanpa ada jeda
Seolah kita takkan berjumpa fajar
Biar saja mata menjerit lelah
Tetapi sadar tubuh tak pedulikan
Sedari tadi pagi sudah teduh
Tanpa peduli jiwa mulai merana
Kuucapkan sapa jumpa untuk langit jauh
Mendesir semai yang tak tumbuh
Tanpa jiwamu yang berkelana jauh
Menyesap dengan penuh
Aroma kosong dedaunan musim gugur


Hari 7168, bersama rona wana berkuasa.
Dicatatkan dalam semangat kehampaan,
Senin, 24 November 2014, 18:12 (UT+9)
38°15'31.30"N, 140°50'20.53"E
Lanjutkan baca »

Kamis, 20 November 2014

Article#364 - Antara Cerita, Cipta dan Cita (Bagian 3): (Katanya) Sebuah Pertanggungjawaban

Ketika saya menamatkan tulisan bagian kedua untuk tajuk Antara Cerita, Cipta dan Cita, lebih dari dua tahun lalu, saya pikir itu adalah tulisan terakhir yang akan saya buat dalam tajuk yang sama. Nyatanya, setelah melalui dua tahun yang penuh warna, saya kembali duduk di sini, di depan layar yang biasa, mengolah kata demi kata. Melengkapi makna pada tajuk yang kekurangan warna, yang di bagian pertama dan kedua saya kira hanya cukup menjadi pemanis mata.
Catatan sebelum mulai: Ini bagian ketiga, bertema cipta. Tema yang tak terpikirkan ketika saya menggodok dua tulisan sebelumnya. Selamat membaca.

***

Kata-kata yang selanjutnya tersaji di balik pendar layar yang sedang kau telusuri ini diketikkan pada 20 November 2014.
Itu artinya, tujuh ratus tujuh puluh dua hari telah terbilang, sejak bagian kedua diluncurkan dengan tenang dari balik layar.
Tambahkan tiga, dan kurangi seratus, maka akan didapat jumlah hari terbilang menjelang akhir perjalanan.
Terheran dengan angka-angka besar yang disajikan? Agaknya kau tak sendirian. Beberapa pihak lain pernah memergoki saya sedang menuliskan berbagai rupa jangka waktu, tidak dalam wujud satuan atau belasan, tetapi ratusan. Agaknya, keisengan yang memusingkan ini berbuah sejak saya memusatkan perhatian pada keisengan mengamati bintang, yang entah bagaimana juntrungannya, ikut memperkaya wawasan mengenai waktu dan tanggal. (Untuk referensi: artikel 40artikel 72 dan artikel 209)

Sudahlah, apa yang terjadi biarlah terjadi. Yang kemarin telah pergi, yang akan datang belum mampir, maka di saat ini, mari memulai.

Katanya sih, mari memulai. Katanya.
Agaknya, sejak dulu saya telah mengembangkan ketertarikan tersendiri dalam membahas topik waktu. Baik sebagai satu-satunya besaran pokok a la Satuan Internasional yang tak bisa diamati secara jelas dan tegas, atau sebuah topik yang menjadi bahan favorit para penggubah dialektika dan filsafat. Dari 364 tulisan yang dengan sewenang-wenang ditampilkan dalam laman ini, terhitung ada 142 tulisan, termasuk tulisan yang sedang kau baca ini, yang setidaknya mencantumkan kata "waktu". Apa itu artinya saya telah sedemikian rajinnya mendokumentasikan besaran secara fisika, atau berlagak hebat dengan bermain dialektika dan filsafat, entahlah. Yang jelas, melihat interval antar tiap tulisan yang memuat waktu, kentara bahwa saya tak bosan-bosan menyertakan waktu dalam beragam gaya.

Tetapi, apa sebenarnya waktu itu?
Secara mudah, orang bisa saja menyebutkan, waktu itu tidak berwujud. Ia hanya menjadi nyata ketika orang mendapati pergerakannya. Baik dalam periodisasi atom sesium, dalam pergantian siang-malam, dalam pergerakan air pasang, dalam pergantian musim.
Dan perubahan tak hanya muncul dalam wujud-wujud terkait.
Ada perubahan pada pepohonan yang ranting-rantingnya makin bercabang, batang-batangnya makin kokoh, daun-daunnya makin luas, beraneka rupa. Ada perubahan pada mobil tua yang dibiarkan di parkiran entah sejak kapan, dengan cat yang terus mengelupas, dengan karat yang terus membuas. Ada perubahan pada wajah-wajah lama dalam ingatan, dengan sinar mata yang tak lagi tajam, detail kulit yang makin keriput. Ada perubahan yang menimbulkan perbedaan. Tanpa perlu menilik contoh-contoh ekstrem yang bertebaran kisahnya di sekeliling, ada juga perubahan yang menyelinap masuk dalam citraan paling sederhana. Perlahan menyebar, nyaris tanpa terasa indera. Tanpa disadari, apa yang lazim dikenali di masa lalu, kini menjadi objek yang asing. Perubahan yang hanya terasa kita melihat ke belakang, dan membandingkan.

Maka kita kemudian membawa definisi waktu dan perwujudannya pada perubahan.
Menyintas kembali napak tilas, mendaras tiap perubahan untuk menentukan sejauh mana waktu telah berjalan.

Dari sekian bulan yang dijatah bagi tiap-tiap kita tiap tahunnya, saya merasa beruntung dapat meluangkan setidaknya dua bulan dari jatah itu (khususnya dua tahun belakangan ini) untuk bebas berkelana di kampung halaman. Alasan yang dikemukakan pun tidak keren-keren amat, "relaksasi diri". Dalam waktu yang terluangkan itu, mungkin saya menjadi individu yang terlalu merdeka, saking banyaknya kegiatan yang dikumandangkan, serta menghilangnya kosakata "tugas" tanpa perlu banyak dipikirkan. (Meskipun, tentu saja, tidak berarti saya senantiasa memikirkan tugas manakala saya kembali ke tanah para samurai.)
Waktu dua bulan rentu saja berlimpah, tetapi tanpa pemanfaatan yang tepat sasaran, ia hanya akan berlalu tanpa kesan. Seperti saya tuliskan sebelumnya, saya meluangkan waktu ke kampung halaman untuk relaksasi, maka relaksasi apa yang lebih baik dari berkelana?
Maka, berkelanalah saya. Ke mana? Opsi paling mudah adalah mengunjungi rekan-rekan seperjuangan di masa MAN, yang kini melanjutkan perjuangan di kampus masing-masing. Mudah dari segi komunikasi, segi itinerari, segi akomodasi, juga segi konsumsi. Itulah hebatnya anak kos. Ada beberapa perjalanan yang sempat saya wacanakan untuk mengisi luang, baik bersama beberapa rekan, atau sendiri. Sebagian tinggalah wacana, tetapi syukurlah, yang terlaksana lebih banyak.

Dalam perjalanan menghampiri rekan-rekan lama, tentu saja yang kemudian akan kaujumpai adalah muka-muka lama. Jika kau menjumpai muka-muka tersebut dalam kekerapan yang jamak, kau akan cenderung menyambutnya sambil lalu. Tindakan selanjutnya pun beragam, entah kembali bergelut dalam kesibukan, menyalami dengan beragam lagak, atau berseru dalam beragam tindak.
Jika kekerapannya jarang, kecenderungan yang terjadi ketika kau menjumpainya lagi adalah bangkitnya percik ingatan dalam kepala. Bisa saja ada arsip ingatan yang kemudian membuka begitu saja, menarikmu paksa dalam glosari akan candaan lama, cerita lama, mimpi lama, kebengalan lama. Kau kemudian sibuk bernostalgia, mencecap setiap impuls yang seolah hadir kembali mengisi indera. Bisa juga, kejadian yang terdengar demikian berbunga-bunga itu tidak hadir. Alih-alih membuka arsip ingatan, yang lebih jamak dilakukan adalah membuka kartu: mengaku kalau sedang lapar. Yah, namanya juga anak muda.

Bagaimanapun juga, muka lama tak selalu bermakna kisah lama. Bisa saja ada satu-dua gurat ekstra yang tertoreh berkat berbagai kemungkinan. Bisa saja ada cerita dari sudut pandang berbeda, yang mengubah cara pandang. Bisa saja ada pembicaraan yang terus terkembang, tentang seorang kawan atau dua yang melesat dalam pencapaian cerlang. Bisa saja ada romansa yang berkembang, untuk kemudian terpangkas karena ditikung teman dekat.
Mengingat ada ruang kosong dalam memori akan sepak terjang beragam individu yang kaujumpai, kau akan memanfaatkan masa perjumpaan yang singkat itu, untuk mengumpulkan keping-keping cerita. Menyusunnya menjadi ragam cerita berbeda, tentang kehidupan yang berwarna setelah terpisahkan oleh tujuan selanjutnya.

Maka itulah yang saya (coba) lakukan dalam beberapa kunjungan ke domisili kuliah rekan-rekan saya tersebut. Mereka mungkin saja sudah memulai kembali kegiatan keseharian mereka di sekitar kampus, baik dalam artian kegiatan akademik (kuliah, tugas, survei), kegiatan organisatorik (kajian, rapat, kepanitiaan), atau kegiatan motorik (naik motor?). Kemudian sekonyong-konyong, tanpa angin tanpa hujan, saya mendatangi mereka. Tentu saja tanpa angin dan tanpa hujan, saya kan bukan badai. Apalagi cetar membahana. Deuh.
Sekilas berjumpa, maka kemudian mengalirlah keisengan. Sesekali lelucon garing yang mengeringkan suasana. Dan kemudian, pergi mencari makan. Di sela-sela rutinitas kehidupan yang ada, akan mengalirlah berbagai macam cerita. Terkadang cerita berkisar pada satu sosok tertentu yang sibuk “dipertandingkan”. Terkadang cerita berkisar pada beberapa individu yang mulai menorehkan nama. Terkadang cerita berkisar pada kecenderungan beberapa rekan yang mulai kentara.

Di muka, saya menuliskan bahwa bergulirnya waktu akan kauamati dengan adanya perubahan. Maka kita akan cenderung mencoba mencerna jangka waktu yang telah terlewat, dengan mengenang apa yang teringat dahulu. Dengan menghubungkannya ke kenyataan yang ada kini, satu demi satu perubahan akan ditelisik perlahan. Bukankah memang sesederhana itu kita menentukan perubahan?
Sesederhana apapun ia terdengar, seringkali melakukannya sendiri akan membawamu jauh dalam kontemplasi. Kautandai di mana tiap-tiap rekanmu kini berkiprah di berbagai medan perjuangan, meski mereka belum tentu tinggal di Medan memberi kontribusi dalam beragam peran. Tak berapa lama, kau mulai berdecak kagum atas capaian mereka yang mentereng, kontribusi mereka yang rajin mejeng. Mungkin terbersit rasa bangga di hati, mengingat deretan nama bertatahkan tinta emas itu adalah nama rekan-rekanmu yang pernah menempuh rona warna hidup di asrama, tiga tahun bersama.
Kemudian, sebagaimana umumnya naluri manusia, kau akan mulai melirik dirimu sendiri, mencoba membandingkan diri dengan apa yang baru saja kausebut “capaian mentereng” tadi.
Saya juga sempat melakukan hal yang sama. Kemudian, saya tertawa. Tawa yang tak keluar dari trakea, tetapi menggema luar binasa di dalam jiwa.

Sebelumnya, untuk memenuhi keinginan kita yang berniat membandingkan kadar sebuah keberhasilan, maka perlu pendefinisian yang lugas tentang dua hal: apa yang dimaksud keberhasilan, dan dari segi apa ia diukur. (Silakan baca artikel 73 dan artikel 156 jika ingin menyimak sudut pandang lain tentang keberhasilan)
Misalnya, mengukur keberhasilan studi seseorang dengan acuan keseimbangannya berprestasi. Baik dalam aspek akademik, organisatorik, atau motorik. Dengan menerapkan penilaian standar dalam membandingkan ketiga aspek ini, mungkin boleh saja saya mengatakan bahwa diri saya medioker dalam hal akademik, dan keroco dalam hal organisatorik. Ya, saya merasa saya cukup unggul dari rekan-rekan yang lain dalam hal motorik, khususnya ketika berkaitan dengan pergerakan dalam "tiga AN": jalan-jalan, makan-makan, dan pacaran liburan. Entahlah untuk hal yang lain. Jika keberhasilan saya diukur dari sudut pandang mereka yang menorehkan capain mentereng selama dan setelah lulus dari almamater, mungkin saja saya dikatakan gagal.
Maka apa yang saya lakukan dalam kondisi demikian? Tentu saja, menertawakan diri sendiri. Sebagaimana telah saya lakukan sedari tadi.

Memang indah bukan, menertawakan diri sendiri? Lagipula, saya sudah terbiasa menertawakan diri - terlepas dari apa saja sebenarnya capaian saya, yang saya rasa tak ada perlunya diceritakan di sini. Menertawakan diri, setelah menanyakan nilai ujian salah satu mapel di zaman MAN, hanya untuk memamerkan nilai saya yang tak kuat menggapai KKM. Membanggakan betapa saya selalu berpacu dengan nilai KKM bagi mapel lain, yang terus naik seiring naiknya tingkat, menyaingi naiknya harga BBM. Membanggakan bagaimana saya sering dipergoki berada di luar kelas ketika jam belajar masih berlangsung - satu tanda bahwa saat itu saya payah dalam bersembunyi.
Ada berbagai cuplik cerita lain, yang dapat menggambarkan dengan baik tips dan trik menertawakan diri sendiri. Meskipun mungkin ada kesempatan di lain waktu untuk membicarakannya.

Seindah apapun kedengarannya, tak ada kebebasan yang mutlak di dunia. Termasuk pula kebebasan saya untuk menertawakan diri sampai puas. Kau boleh bilang, tertawa dibatasi oleh tarikan nafas dan getaran pita suara. Tetapi tidak hanya mereka.

Kembali mengaitkan kelanjutan dengan bagian sebelumnya, saya menghabiskan porsi cukup besar dari waktu-waktu saya di kampung halaman untuk berbagi cerita dengan beberapa rekan. Mengingat rekan-rekan yang dimaksud adalah mereka yang dulu sama-sama mencecap pendidikan di MAN dulu, tak heran jika objek, predikat, maupun keterangan dalam tiap cerita dan percakapan jarang bergeser jauh dari almamater. Entah itu adalah para alumni yang dibicarakan, mereka yang masih berjuang di sana, tubuh-tubuh harfiah dan kiasan yang membangun kekokohannya. Juga mereka yang terus bolak balik berkalang di sana, entah dengan niat apa.
Ketika saya tak lagi bertatap muka dengan mereka, antusiasme dan semangat mereka juga tetap tersebar dengan bantuan teknologi masa kini. Acap kali beberapa rekan saya menemukan sebuah tulisan menarik mengenai capaian mentereng mereka yang masih menjajal pendidikan di almamater. Dan pada detik dibagikannya tulisan terkait di entah jejaring sosial yang mana, beberapa rekan saya akan membagikannya ke segala arah dengan bersemangat, kepada seluruh dunia untuk melihat.

Maka kembalilah membahana, nama besar almamater yang kian tersohor dengan jajaran prestasinya. Konon gedung tempat administrasi akademik dilakukan telah dipenuhi sedemikian rupa oleh lemari beraneka ukuran, dengan deretan piala dan medali menyinggahinya. Agaknya kita memang terbiasa, merasakan ciprat kebanggaan tatkala sesuatu hal yang berkaitan dengan kehidupan kita diapresiasi orang lain dengan hebatnya. Tak pelak, itu pula mungkin yang terjadi ketika entah teman seperjuanganmu, entah almamatermu, kembali bersinar dengan kilau prestasi terbaru.
Rasa bangga itu terus bersemai. Hingga kata-kata seorang guru kembali terngiang di kepala saya. Kata-kata yang saya nyaris lupa, hanya ikhtisarnya tertinggal dalam kepala.
"Senantiasa ingatlah, kalian adalah etalase almamater ini. Apa pendapat orang akan almamatermu, bergantung pula pada apa yang mereka lihat pada dirimu."
Ditemukan beberapa bulan lalu di arsip kampus.
Dulu, ketika saya pertama kali mendengar kata-kata sang guru, itu berarti saya harus bersikap sebagaimana yang diharapkan terlihat dari seorang yang membawa "panji-panji" almamater. Saya ingat kata-kata tersebut dituturkan ketika kami bersiap melakukan kunjungan ke beberapa lokasi. Kini, setelah lebih dari dua tahun saya terombang-ambing di tengah pergolakan kehidupan, meresapnya kata-kata tersebut membawa makna yang lebih tajam. Itu artinya, saya akan diharapkan untuk mampu berkontribusi dan berprestasi sebagaimana tersirat dari almamater saya.
Jelas, ini bukan sembarang harapan. Ada slogan di almamater yang menyiratkan para lulusannya untuk menjadi individu yang berprestasi, mandiri, dan islami. Satu kutipan yang pernah dicetuskan oleh sang penggagas almamater saya, adalah kutipan yang menyiratkan harapan akan generasi muda yang "berotak Jerman dan berhati Mekah". Apalagi jika mendengarkan ragam cerita dari guru tentang harapan-harapan yang ditanamkan di pundak kami semua dengan cara masing-masing. Mulai dari penyusunan kurikulum, kesungguhan mengajar, dan berbagai hal lain yang bahkan tak sanggup saya tuliskan satu persatu dalam tulisan ini. Harapan bagi kami-kami sekalian supaya menjadi generasi yang memajukan nama negara, bangsa, agama.

Lebih dari lima tahun lalu, detik diumumkannya nama saya di antara sekian ratus siswa/i baru bagi almamater, adalah detik di mana lembar baru takdir mulai terlaksana, harapan mulai tercurahkan. Sebuah hal yang saat itu tak saya ketahui apapun tentangnya. Ia menjadi permulaan bagi sekian ratus jiwa-jiwa muda untuk digembleng dalam struktur edukasi yang tak main-main, pembinaan diri yang tak main-main, juga akomodasi hidup yang tak main-main. Yang main-main mungkin hanya siswanya yang berusaha mengisi waktu luang, atau meluang-luangkan waktu. Ketika saya mulai tersadar akan adanya dan besarnya harapan atas kiprah kami, tentu saja tak ada pilihan untuk berhenti begitu saja. Bahkan kemudian saya akan demikian mudahnya melupakan hal tersebut dan kembali memfokuskan diri pada hal-hal yang disenangi.
Maka kini, setelah saya berhasil menghimpun informasi dengan lebih baik, harapan besar yang dipercayakan itu kembali tampak jelas, dalam segala ragam bentuknya. Beberapa mungkin akan setuju jika ia dikategorikan dengan amanah. Dan kita semua mungkin sudah mafhum, betapa sebuah amanah benar-benar serius. Apalagi banyak amanah. Apalagi dengan demikian banyaknya rekan-rekan bercerita bangga akan kemasyhuran nama almamater, yang kini terasa sebagai teguran demi teguran bertubi-tubi.

Merasa demikian berat menerimanya sebagai kenyataan? Apalagi saya. Yah, bagaimanapun juga, mengeluhkannya tak akan mengubah keadaan, pun tak juga memutar waktu kembali ke saat kita dihadapkan pada pilihan berjuang dalam almamater terkait.
Sejujurnya, saya sendiri pun mengharapkan ekspektasi yang rendah dari orang-orang di sekitar, akan capaian yang (mungkin) saya (tidak) torehkan di mana pun saya berada. Mengingat gaya saya yang seenaknya dalam belajar, terutama sejak menempatkan diri di salah satu bangku almamater, mungkin beberapa pihak akan skeptis atas apa yang bisa saya capai selama di bangku kuliah ini. Harapannya, sih. Tapi tahu apa kita akan kenyataan?

Maka langkah yang paling konkret untuk dirancang dan diperankan, tentunya adalah dengan mempertanggungjawabkan amanah yang (sebenarnya) diemban.
Sayangnya, dari sudut pandang mahasiswa medioker macam saya, menjadi figur "berprestasi, mandiri dan Islami" sebagaimana yang dicanangkan almamater mungkin jauh barbekyu dari api. Begitu pula halnya dengan "berotak Jerman dan berhati Mekah". Tak perlu dibandingkan dengan beberapa rekan yang mulai bersinar dengan segala macam prestasinya, karena saya akan tampak seperti remah-remah biskuit yang kadaluarsa kemarin.
Langkah yang kemudian saya ambil, adalah menetapkan "keberhasilan" versi saya sendiri. Versi di mana saya bisa terus mengungguli dan memperbaiki kondisi diri, selandai apapun gradiennya.

Di bagian sebelumnya, saya sempat mengatakan bahwa salah satu hal yang penting dalam memeriksa kadar 'keberhasilan' adalah menentukan standar 'keberhasilan' itu sendiri. Maka saya hubungkanlah proses ini dengan tujuan yang saya (pikir) sedang tuju. Hening, dan kemudian terbersit sebuah pertanyaan.
Memangnya, apa tujuan saya?
Dalam bagian kedua dulu, saya pernah menyatakan dengan gamblang bahwa saya (awalnya) tak berminat menjajal dunia perkuliahan bidang IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknik), dengan menghaturkan ucapan terima kasih kepada buku-buku Ippho Santosa dan Robert Kiyosaki yang akrab menjadi santapan saya selama kelas dua belas. Betul, tentu saja tidak termasuk astronomi yang demikian saya akrabi di masa itu (juga hingga saat ini, sih). Saya tidak pernah berminat membayangkan diri saya berkutat di dunia ilmiah sebagai seorang ilmuwan yang meneliti entah berapa banyak hal (sebagaimana pernah saya jadikan skenario di artikel 183), dan saat itu saya nyaris siap menjajal pendidikan akan hal yang bagi saya sama sekali baru. Bukankah pembaruan identik dengan penyegaran?
Tetapi, dalam bagian kedua juga, saya sedikit mencantumkan akan obrolan dengan ayah saya terkait apa yang akan ditempuh dalam dunia perkuliahan. Dan saat itu, barisan kata berikut memicu saya untuk menantang hidup, menandingi bahkan fantasi tergila yang pernah terbayang dalam kepala.
"Yang terpenting dari pendidikan sarjana bukan program studinya. Kemampuan sampingan yang didapat justru lebih penting."
Tentu saja, redaksi asli yang tertuturkan tidaklah tepat demikian. Meskipun demikian, ia tidak mempengaruhi isi kepala saya untuk bergolak mencetuskan berbagai skenario yang lebih menarik. Terbukti dengan banyaknya pertanyaan bernada heran yang kemudian saya dapat ketika (belum) melanjutkan langkah.
"...Tapi, dulu di SMA kan ikut..."
"...Tapi kan kamu bukan jurusan itu.."
"...Kok nggak nyambung..?"
Kutipan yang saya cantumkan sebelumnya mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, menilik nada penyampaian dari pertanyaan yang tertera. Tetapi, kesimpulan saya mungkin lebih "asyik".
"Pilihanmu akan jurusan kuliahmu mungkin menentukan masa kinimu, tetapi ia tidak menentukan masa depanmu."
Dengan pemikiran itu tertanam kuat dalam kepala, saya memutuskan untuk banting setir, bergabung dalam kancah perburuan kursi jurusan IPTEK. Saya meyakini, jurusan apapun yang saya ambil kini, tidak menentukan jurusan apa yang akan saya selami kelak ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan. Ilmu tidak akan menjadi sia-sia hanya karena kita tak lagi berkecimpung di dalamnya, toh?

Entah apakah ini merupakan bentuk pertanggungjawaban yang pantas atau tidak, atas segala amanah yang telah dipercayakan. Tetapi, saya sendiri melihat diri saya dua tahun lalu sebagai sosok yang naif, utopis, dan tidak cukup awas dalam memantau dinamika kehidupan. Melihat hal-hal tersebut, saya menilai diri perlu usaha ekstra dalam meningkatkan kualitas diri jika dibandingkan dengan rekan-rekan yang lain. Dan usaha ekstra dalam kasus ini diwujudkan dengan menerabas apa yang saya tak pernah impikan, sebagai usaha meraih kemampuan sampingan dalam segi interaksi dan dependensi sosial. Atau, dalam penggambaran yang diutarakan bung Diba, "belajar jadi manusia".

Berkembang menjadi seutuhnya manusia. sumber
.....Pandangan kembali berkelana ke masa kini.
Saya mungkin tak lagi mampu menceritakan detail perjalanan hidup dengan baik sebagaimana yang mungkin tampak di bagian pertama dan kedua. Tetapi, hal yang pasti: Keputusan saya berkelana ke negeri samurai ini telah memberikan kesempatan luar biasa bagi saya, untuk mengamati dunia dari beragam sudut pandang. Untuk berinteraksi dengan beragam individu dari beragam latar belakang, beragam gaya pergaulan. Untuk terus mengasah otak dalam menganalisa keadaan, mempertanyakan pembenaran, juga dalam perbendaharaan pengetahuan. Untuk menahbiskan jiwa saya sebagai jiwa yang sungguh-sungguh ingin merdeka, bebas dari kungkungan yang tak seperlunya ada.
Menilik perubahan yang terjadi dalam pemikiran saya dua tahun ini, dan bagaimana keras saya menilai diri yang lalu, saya mungkin boleh merasa telah banyak berimprovisasi dalam memercikkan pemikiran. Saya kembali menertawakan diri ketika menyadari perubahan yang telah terjadi dalam dua tahun ini. Dan kini saya mulai penasaran, perubahan apa saja yang bisa saya capai dalam dua tahun ke depan. Saat di mana saya akan menyudahi lembar cerita di negeri samurai ini, kembali menyapa kenyataan.

Cara saya menanggapi sebuah pertanggungjawaban boleh jadi tak bertanggungjawab. Semoga sih perwujudannya kelak lebih kentara dalam hal "pertanggungjawaban". Mengingat hidup ini dapat diringkas menjadi dua kegiatan: Membuat keputusan, dan mempertanggungjawabkan keputusan.
Ohiya, tadinya saya buat tulisan ini dengan maksud mengusung tema "cipta"? Saya tak yakin apakah ada unsur "cipta" yang disajikan dengan baik di sini. Semoga ada, meski secara tersirat.

Akhir kata, hidup ini menarik, bukan? Semoga kita tak terlalu lekat tertarik olehnya.
Salam kuper.



P.S. Terima kasih telah sudi membuang waktumu untuk menyelesaikan tulisan puanjang ini. Tulisan ini pada dasarnya saya buat untuk bahan menyindir diri sendiri, jadi mohon izinkan melimpahnya penggunaan ungkapan yang cukup 'keras' di sini. Semoga saya segera kembali ke jalan yang benar.
Bonus tulisan tentang kuliah di luar negeri: http://www.berkuliah.com/2014/11/kuliah-di-luar-negeri-ekspansi-atau-pamer-diri.html

Lanjutkan baca »

Minggu, 16 November 2014

Article#363 - Welcome To Planet... Ziemia



These illustrations from James Chapman manage to combine some of the things I've been quite fond of to during the latter years. Art, astronomy, and language, all combined to provide rich insight of differing culture's view to the heavens, while portraying it in a funnily interesting manner.
As rich as our culture might evolve to be, it will be likely to stay encapsulated within the only single planet capable of supporting life as we know it. Or, as Carl Sagan famously dubbed it, The Pale Blue Dot.
Therefore, it might seem appropriate to welcome our travelling minds back to reality.

Selamat datang di Bumi!
Welcome to the Earth!
ようこそ、地球へ!

You can find the original pictures here and here.
Chapman's site is focusing on expressions in various languages, from onomatopoeia to popular cultures. Be sure to take a look!
Lanjutkan baca »

Rabu, 12 November 2014

Article#362 - Reinkarnasi


Boleh jadi saya tak paham apa-apa.
Sebagai orang luar yang jarang mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan orang dalam, dulu saya bukanlah orang yang akan mampu memahami berbagai terminologi yang dipakai komunitas lain. Lebih-lebih untuk memakainya dalam kehidupan sehari-hari, melebihi profisiensi pencetusnya sendiri.

Karena saya acapkali menemui berbagai terminologi yang terasa asing, maka satu dari sedikit hal yang dapat saya lakukan untuk mengakalinya adalah dengan memeriksa penerapannya dalam keseharian. Mereka memakainya dalam kondisi ini, menerapkannya dengan cara begini, mengartikannya dengan cara tersendiri.
Awalnya iseng-iseng, sesuka hati. Sekadar mereguk dahaga kekepoan yang mendadak merasuki sanubari. Akhirnya terlalu asyik, sulit berhenti.

Berbagai terminologi yang saya temui ini, kemudian terangkum begitu saja dalam glosari. Senarai glosari di dalam memori, yang bahkan jarang aktif ketika benak sedang asyik menyigi terminologi. Aktivasi glosari dalam memori ini sendiri tak jarang terjadi tanpa disadari, ketika impuls sengaja dipancing untuk mencari karya yang bergizi. Makin rajin keisengan menyuplai memori dengan gizi, berbuah khazanah kosakata beragam versi. Khazanah yang kerap berarti di kala jiwa sedang membutuhkan sesuap alterkasi, untuk membenarkan tindakan diri.

Agaknya, beragam kebiasaan yang kita bentuk akan menimbun tanpa pernah digali.
Dari potensi yang luar biasa, untuk kemudian meredup, dan kemudian merekah secara bombastis.
Dari sesuatu yang dipandang remeh, ia tenggelam, dan menjelma sebagai perubahan yang tak pernah terbayangkan.

Ada potensi tak terkira, menanti di luar sana.
Dan boleh jadi saya memang tak paham apa-apa.

Take me away, 'cause I just don't wanna stay
And the lies you make me say are getting deeper every day
These are crazy days but they make me shine
Time keeps rolling by

Keterangan gambar: 

(kiri) Siklon tropis Nuri, 3 November 2014. Gambar diambil dari lance-modis.eosdis.nasa.gov
(kanan) Siklon ekstratropis "ex-Nuri", 9 November 2014. Gambar diambil dari earthdata.nasa.gov 
Kedua gambar dipadukan memanfaatkan situs fotor.com
Lanjutkan baca »

Senin, 10 November 2014

Article#361 - Kutipan Hari Ini

The truth is not always beautiful, nor beautiful words the truth.”
- Kenyataan tak selalu indah, sebagaimana indah tak selalu nyata.
~dikutip dari kata-kata Laozi (Lao Tzu) (604-531 STU*), filsuf dan penulis puisi Cina Kuno. Versi asli kutipan dalam bahasa Mandarin. Dikutip pada 9 November 2014, 19:38 (UT+9).
*STU = Sebelum Tarikh Umum

sumber

(Bonus: Sedikit tulisan terkait 10 November, Hari Pahlawan)
Lanjutkan baca »

Kamis, 06 November 2014

Article#360 - Hayate

早手
Pikiran yang melayang terbang.
Berkelebatlah seisi kepala, akan mereka yang terbiasa mengarungi keseharian dalam lampias. Mereka yang dengan mudahnya bergegas, menjemput segala kesempatan tanpa harap lepas. Dalam kecekatan mereka lepas landas, jauh meninggalkan sesiapa berbekas. Mereka yang kemudian dikenal sebagai sosok cerdas, sosok tangkas, membiarkan deretan capaian menikas. Mereka yang beraksi dalam lekas, yang sanggup tuntas sebelum aku sempat meringkas. Hingga aku tak kunjung tancap gas, hanya memandangi tanpa pungkas, atas mereka yang menggapai langit luas.

疾風
Angin kencang kembali menerjang.
Kini pikiranku gagal terbang, kembali menjatuhi raga yang kedinginan. Pandanganku kini menelaah langit kebiruan, yang menghampar sejauh tujuan. Tujuan yang hingga saat ini belum jelas juntrungannya. Bahkan arakan awan yang tampak di kejauhan, tak terkesan akan memberiku jawaban. Tentu saja, kan?
Kembali kupandangi langit, dengan berusaha menghindari sinar surya yang menyilaukan. Silau yang kukira bisa mengangkat sedikit hangat, ternyata kalah telak oleh deru angin petang. Menggilas kesadaran perlahan, aku beranjak menyiapkan kedatangan. Kedatangan ia yang menghembus kencang tanpa kenal lelah.


Kembali ia, datang menjelang.
Boleh jadi, karakter besar yang terukir di raganya itu hanyalah nama. Sebagaimana entah berapa banyak individu lain yang juga menyandang nama senada. Tak pernah kudengar, atau kubaca, ada orang yang menyelipkannya dalam keseharian. Begitu pula ia yang melaju dengan kencangnya, tak pernah bergeming untuk mengutarakan makna.
Sedikit yang kutahu saat itu, bahwa dalam karakter terkandung harapan. Harapan yang mengajak seluruh bangsa dari pedihnya kekalahan dan keterpurukan. Dengan pemaknaanya sebagai kelajuan dan kekuatan, diajaknya segenap warga untuk menyuarakan kebangkitan. Bagai sepoi angin yang mengawali topan, ajakan kecil-kecilan itu diejawantahkan sebagai sebuah pencapaian. Maka dunia hanya bisa menatap tercengang, ketika mereka menyerukan sebuah kemajuan. Sebuah pencapaian. Saat itu, harapan yang ternyatakan itu menjelma sebagai senjata, membungkam orang yang sempat memandangnya sebelah mata.
Dan saat ini, wujud harapan itu terpatri pada apa yang menjadikannya nyata, melewatiku tanpa tanda tanya.

早く来てはやくき
Mungkin sudah waktunya datang.
Entah apakah waktu malam yang segera menerjang, yang membuat ragaku mulai bergetar. Keras, tampak tak terpengaruh oleh jiwa yang telah berusaha memberi kehangatan. Angin kencang yang tetap trengginas, mega merah yang mulai meluas, menahanku memandangi rona senja yang seolah bersinar tanpa batas. Arakan awan cerah kini berubah menjadi bayang kelam, entah karena kalah berkilau dari langit yang temaram, atau karena ditinggal mentari yang hendak tenggelam.
Hembus angin kembali menyelusup ke badan. Kali ini, ragaku sudah lebih siap menghadangnya. Raga yang kini tak beringsut walau sejenak, merasa sudah siap untuk menantang keadaan. Ia pandang langit, ekspresinya seolah pongah. Sementara jiwa memandangnya cemas, seolah ia akan kembali melampaui batas. Menyusun makna dari istilah, dalam urutan yang dipaksakan.

Asahidake (2.291 m), Taman Nasional Daisetsuzan, Hokkaido.
Dipotret pada 19 September 2013.

Niseko-Hirafu (~260 m), Kutchan, Hokkaido.
Dipotret pada 28 Oktober 2014.
Fujisan (3.776 m), Prefektur Yamanashi & Shizuoka.
Dipotret dalam kondisi sedikit berawan (16 Oktober 2014), tanpa awan (19 Oktober 2014),
dan kondisi ditudungi awan lentikular (21 Oktober 2014).
Disusun memanfaatkan situs GIFMaker.me.
Pada akhirnya, aku batal mempertunjukkannya. Yang bisa kulakukan hanya mengemasi barang, kembali ke peraduan. Aku berpaling dari temaram senja, dengan gaya yang mengesankan sebuah tekad. Tekad tanpa rencana, kemauan tanpa tindakan.
Cepatlah datang, kenyataan. Sudah lama kita tak bersua.
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...