Senin, 29 Februari 2016

Article#520 - Pemuluran


Agaknya memang tidak perlu menjadi sejenius Einstein untuk bisa memahami berbagai pernak-pernik warna hidup.
Iya, Einstein yang itu. Einstein yang biasa diidentikkan dengan kecerdasan di atas rata-rata, kejeniusan, keenceran otak. Einstein yang paling gamblang mewakili gambaran umum akan orang pintar yang urakan. Einstein yang namanya sering dicatut dalam berbagai kutipan yang entah pernah dia tuturkan atau tidak.
Tak perlu kita piawai memahami teori-teorinya yang terkenal. Membedakan relativitas umum dan khusus. Menjelaskan betapa E = mc2 tiada sangkutpautnya dengan relativitas. (re: persamaan tersebut terkait hubungan massa-energi). Menceritakan betapa hadiah nobel yang diterimanya bukanlah tentang teori relativitas.

Tiga contoh yang membahas relativitas di atas seakan menguatkan praduga bahwa relativitas lah yang demikian marak diidentikkan dengan figur seorang Einstein. Nama relativitas demikian memikat bagi beragam kalangan, terutama mereka yang percaya kemutlakan tiada berkecambah di seantero dunia. Meskipun pada gilirannya teori relativitas itu sendiri memberikan sebuah standar yang diyakini mutlak dalam kerangka pemikiran relativitas: tentang betapa kecepatan cahaya konstan dalam ruang hampa. Bahkan kecepatan cahaya disinyalir berada di mahligai tertinggi, melampaui konsep dasar gerak sebagai sesuatu yang relatif terhadap acuan.
Entah apakah mereka menyadarinya. Bahkan, entah mereka pernah menyelami makna relativitas barang sejenak.

Faktanya, berapa banyak sih dari kita yang merasa perlu mempelajari ketiga contoh yang tersebut di atas? Apalagi dengan penuturan akan betapa ketiganya mungkin tidak signifikan bagi seseorang yang sedang menjalani perjuangan hidup. Meskipun, tentu saja, itu bergantung apa yang kau perjuangkan dalam hidup. Jika kau sedang memperjuangkan seseorang yang ingin kaubuat menemanimu sepanjang sisa hidupmu, agaknya manifestasi relativitas yang akan terpakai dalam usahamu menggapai impian itu hanyalah relativitas persepsi antar sekian banyak pihak. Sekian banyak pihak yang terbenam dalam urusan tiap-tiapnya. Jika kau adalah seorang ilmuwan yang berkutat dengan permainan khas partikel partikel eksotis berukuran ultramini, atau benda-benda langit eksotis yang tak jua bisa dimengerti, mungkin pemahaman akan sederetan teori penuh kalkulasi pembuat pusing itu menjadi demikian berarti.

Pada akhirnya, kita-kita rakyat biasa dengan cita-cita sederhana tak butuh segala macam omong pusing yang terukir dalam tiap ejawantah aljabar dalam persamaan. Kita hanya butuh cita-cita yang sesuai realita dan terjangkau indera untuk melanjutkan segenap kehidupan.
Kita tidak butuh segala macam ocehan soal massa yang mendistorsi fabrik ruang-waktu di sekitarnya sebagai perwujudan relativitas, ketika hal sepele macam lambatnya waktu ketika menunggu dapat memberikan contoh yang lebih nyata. Kita tidak butuh segala macam postulat soal cahaya sebagai kecepatan tercepat di alam semesta dengan kelajuan konstan di ruang hampa, manakala momen-momen krusial dan kenyataan yang tak terkira dapat menjumpa nyata kita dalam sepersekian kejap mata.

Kita wajah-wajah sederhana, bisa saja hanya mendamba bahagia tanpa banyak syarat. Dan kita tak butuh kerumitan kosakata untuk merasakan baranya di dalam jiwa.
Lanjutkan baca »

Kamis, 25 Februari 2016

Article#519 - Free Speech?

I'm not an endorser of the so-called free speech, freedom of speech or whatever, but at times people can be way overboard in trying to allegedly protect their freedom of speech. You tell them how bad their opinion is, and they frame you of limiting their freedom of speech. You can tell them how their rants are out of topic, are offensive and insensitive, are utter nonsense, and they will still be hiding in their own justification: the so-called freedom of speech.
Like, if you really hate the idea of your opinion being questioned, why even put them into spotlight in the first place?

In that way, this xkcd comic really puts it into perspective.


Of course, as a good and civil person, I will also give way to let you see how people responded to Randall's opinion on free speech.

See you around!
Lanjutkan baca »

Minggu, 21 Februari 2016

Article#518 - Residu


Ketika euforia jauh berakhir. Ketika canda tawa permainan telah lama bergulir. Ketika yang terjatuh tak lagi hadir.
Ketika residu yang menggunduk berserak bisu. Ketika lidahnya kelu oleh beku. Ketika sosoknya diam membatu.
Pada gunduk jenazah sesalju yang sudah kehilangan pesonanya itu, debu menemukan tempat bernaung. Terhempas dari sekian banyak kendaraan yang melaju di jalan itu. Tak bosannya mereka berkumpul berkalang menjadi satu dengan daun-daun.

Kelak, ketika residu beku itu telah laju ke hadiratmu, ia tak akan meninggalkan air hasil lelehannya di hadapmu. Akan tertinggal tepat di tempat itu, selapis debu dan hampar daun yang pernah mendapat tempat di sisi residu itu. Yang akan memberi testimoni akan perjuangannya menghadapi terik di sudut kota itu. Terus hingga adanya ia dientaskan oleh entah apapun pengganggu.

Ketika tiba saat itu.
Ketika itu.

Lanjutkan baca »

Kamis, 18 Februari 2016

Article#517 - Melepas Dingin

Ketika takdir telah jelas menggariskan bagi saya bahwa musim dingin kali ini akan menjadi musim dingin terakhir saya di Jepang, saya suda memutuskan untuk mencoba memaksimalkan tiap detik sesapnya. Meskipun pada prakteknya saya cukup rajin mendokumentasikan berbagai maam kenyataan di sekitar saya sejak datang ke Jepang, jarang saya temukan ketertarikan untuk memotret suasana musim dingin selain.... tentu saja salju. (Mungkin beberapa dari kalian pembaca yang taat mungkin mulai jengah mendengar topik ini berkali-kali.)

Kemungkinan besar saya tidak akan menjumpa musim dingin tahun depan. Maka, sebagai salam perpisahan, saya haturkan dokumentasi dari keadian salju paling signifikan yang menghujani kota Sendai sepanjang musim dingin ini—yang ketiganya terjadi di bulan Januari. (Mungkin saja ada kejadian selanjutnya selama saya bercokol di tanah air, tapi tentu saja ia tidak akan saya sertakan di sini).

Sampai jumpa dengan musim dingin berikutnya. Jika saya masih tersampaikan kepadanya.

18 Januari 2016





















24-25 Januari 2016








30 Januari 2016













Lanjutkan baca »

Senin, 15 Februari 2016

Article#516 - Menyapa Kembali

Menilas sekitar tiga setengah tahun ke belakang, ada sewujud bocah yang berusaha melawan kenyataan. Ia majukan tanggal penahbisannya enam bulan lebih cepat, seolah ia punya kuasa untuk begitu saja melakukannya. Meski ia menjalani tahun-tahun dengan kesadaran yang meningkat akan tidak bergemingnya penahbisan yang ia nantikan, tekadnya dari awal tidak berubah: menyudahi segala urusan tepat pada waktunya.

Menilas perjalanan enam bulan ke belakang, barangkali lika-liku yang demikian parah terbebankan jelang kepulangan sebelumnya membuat persiapan menuju lepas landas kali ini lebih tak terasa. Tanpa kentara tugas yang menumpuk untuk dientaskan jelang tenggat mendatang, jemari waktu seolah memutar dunia makin cepat menuju keberangkatan.

Menjejak garbarata yang mengajak enyah dari pijak tanah, ada perjalanan yang terentang untuk mengantar kembali pulang. Untuk menyesap jiwa raga sebelum episode penghabisan. Untuk menggapai jiwa raga yang terserak sepanjang jalan. Untuk menyambung paripurna pada cerita lama yang masih membuka sekian tanda tanya.

Menjejak petak terakhir bumi matahari terbit, menyesap nanti kala lara menggamit.
Saya pamit.





Lanjutkan baca »

Jumat, 12 Februari 2016

Article#515 - Gravitational Waves, Explained

This is quite a big deal, so I ain't gonna waste your time reading these lines of mine. Would not even bother about the fact that I shared two posts from one similar source in a span of about two weeks. Gosh, who would bother differentiating their sources at a moment like this.
Full spead ahead!

Courtesy of PhD Comics.
This comic and video are now available in: FrenchItalianPortugueseHungarian, and (video only) Spanish, Hebrew and Chinese (use subtitles).




 




More here: https://www.youtube.com/watch?v=s06_jRK939I
Lanjutkan baca »

Rabu, 10 Februari 2016

Article#514 - Persepsi


Memijak akhir. Menerabas batas. Menjumpa awal.
Terhitung dalam satuan waktu antara galeri yang sedang kau kunjungi ini dengan galeri sebelumnya, awan musim dingin menyapukan sekian banyak serpih. Seserpih yang telah bercerita demikian banyak akan lika-likunya memberantas hidup yang keras. Seserpih yang sudah demikian lemah ketika mendatangi muka dunia, di mana ia bertekuk lutut dalam penghabisan.
Seserpih yang padanya demikian banyak jiwa sedunia mencerita soal damba. Tentang cita untuk menjejak satu dari sekian petak daerah di mana ia biasa bertapa dalam beberapa masa. Tentang rasa penasaran akan menjalani hidup dalam segenap sepermainan tumpuknya.
Atau seserpih yang padanya demikian banyak jiwa menyerapah durjana. Tentang kesuraman dan warna-warna yang perlahan mati dimakan zaman. Tentang damba untuk menjejak jauh bebas dari kuasanya. Tentang penantian panjang menuju pengenyahan hadirnya.

Agaknya kita seringkali dibutakan ketika berdialektika soal pengkutuban dari beragam hal yang ada di sekitar. Sekian banyak pasang lawan kata diperkenalkan pada telinga, merasuk sekian dalam di kepala sepanjang sisa usia. Sehingga kita besar dalam paradigma akan adanya dua rupa. Akan adanya terang yang membasmi gelap. Akan adanya panas yang mengusir dingin. Akan adanya dekat yang memberangus jauh. Akan adanya utara yang menyelisihi selatan, adanya tinggi yang menyaingi rendah.
Dan tentu saja kita melaju lebih jauh dari itu. Manusia konon adalah jawara ketika kita bicara soal penerapan prinsip dasar, dan dalam hal ini agaknya kita akan kembali mengoptimalkan apa yang tertanam demikian keras, membatu dalam jiwa. Maka kita seolah mengamini saja manakala seorang Bush berkoar keras: Kamu bersama kita, atau melawan kita. Tidak ada opsi ketiga, apatah keempat kelima.
Kita amini mereka yang berkoar mengkritisi sebuah perwujudan sebagai pendukung setia bagi lawan.
Bahkan kita seolah mengamini tidak adanya peluang untuk bercokol di antara kedua sisi. Kita sesapi hidup yang terkungkung dalam paradigma dua ekstremitas hitam dan putih.

Pada akhirnya, mereka yang meletupkan duga ke sembarang arah, mungkin masih lelah mencari arah melangkah. Definisi bodoh yang berdengung dari beragam makna mungkin hanyalah hasil dari mereka yang kurang awas. Soal segala rupa prasangka, soal segenap raga nyata.
Pun begitu juga mereka yang terus menyerbu dari satu arah, mungkin karena dari sanalah mereka dapat berpijak dengan mudah. Sebuah strategi yang memungkinkan mereka untuk bersuara, meluncurkan pendapat. Walaupun pendekatan pragmatis yang mereka lakukan mungkin menyalahi idealisme yang telanjur membakar tenggorokan mereka dengan gairah berceramah.

Mungkin mereka memang lelah. Mungkin kita semua lelah.

These could be the best days of our lives
But I don't think we've been living very wise




















































Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...