Melangkah dalam ketergesaan, mengambil rehat dalam keterpaksaan.
Ketika kau memutuskan untuk mengambil sebuah tajuk yang teramat umum didengar untuk digunakan mengawali sebuah karya tulisan, barangkali kau akan tergelak dalam sembarang saat, memandangnya sebagai usaha melawak. Usaha melawak untuk membuat orang tertawa mungkin adalah salah satu cara yang terdengar menyedihkan bagi seseorang dalam meraih atensi atau eksistensinya di sebuah komunitas. Tetapi, menilik kenyataan yang terjadi di awal tulisan ini, sebuah situasi yang agaknya lebih menyedihkan—khususnya dari sudut pandang kepenulisan—memang sedang merambahi diri.
Kita bisa saja menghabiskan sekian waktu membual akan perlunya masa reses setelah keaktifan yang sekian lama, demi menjaga kelangsungan kualitas dari karya yang ditelurkan. Tetapi, seringkali ia didapati sebagai kalimat jitu pengelak dari kebuntuan yang sedang dihadapi dalam menjaga ketekunan. Entah makhluk bengal dari mana ketekunan itu, dan kenapa dia perlu mendapat serapahnya di dalam tulisan ini, bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan secara dalam. Tidak ketika ada isu yang lebih besar untuk diredam: isu menjaga harga diri dengan terus memproduksi.
Kita bisa saja berkilah bahwa kita telah terlarut dalam berbagai kegiatan beraneka rupa. Silakan saja deskripsikan dengan terang, bagaimana tiap kerut dinamikanya mengerat sepotong demi sepotong dari waktu berharga yang bisa dihabiskan untuk sekian banyak hal. Kemudian kita sibuk menghabiskan waktu yang tersisa untuk menyalahkan segala macam kesibukan dalam hidup; hal yang jika dipikir, tidaklah layak masuk dalam daftar kegiatan tiap-tiap kita manusia yang jernih akalnya.
Di kemudian cerita, kita mendapati sisa waktu yang terus mengerucut menuju pemberhentian, sebagai pemicu berkobarnya nyala. Kembali memantik secercah sisa semangat yang telah lama pudar sinarnya, terbuai oleh kita yang berdelusi akan ketidakbisaan dalam menguatkan tekad. Membakar segenap alasan, menjadi awal dari robohnya dinding tunakarya yang selama ini kita singgahi, kita permaki, kita sandari sebagai fondasi. Fondasi gila yang menemani diri berfantasi, melenakan diri dari apa-apa yang menjadikan tiap detik berarti.
Tiap-tiap kita menggeber diri terlalu rupa. Hingga membuat jiwa terlupa akan raga.
Maka izinkan tiap-tiap kita untuk mengambil nafas. Menghirup molekul-molekul yang bergelimpangan membetulkan segala macam rusak yang tercipta dari kita yang terlalu memaksa. Memberi jiwa yang terejawantah dari sadar yang mengampu cita.
Menjalankan kembali roda kehidupan dalam warna yang terbarukan.
And all the roads that lead you there were winding
And all the lights that light the way are blinding
There are many things that I would like to say to you
But I don't know how
Kang, sumpah.
BalasHapusAku ngga ngerti apa yang dimaksud, kebanyakan katanya menggunakan kata yang tidak biasa dikalangan orang awam.
Tapi aye suka, terutama fotonya.
*Berharap aye juga bisa buat blog
Hahaha.
HapusKalau soal kata-kata, ndak usah dipikir, biasanya post begini memang jadi ajang meracau. Post yang didedikasikan buat majang koleksi potoh.
Btw itu tulisan jadi dalam 15 menit loh.
Buat aja silakan
1. Atensi
Hapus2. Dinamika
Dll.
Katanya aye nggak ngerti.
Cuma beberapa artikel yang aye paham 100%.
Biasanya kata serapan macam atensi (dari "attention") itu asal dipake supaya sesuai rimanya, sih.
HapusSeenggaknya kedua kata itu masuk ke KBBI.
Itu fotonya semua di Jepang?
HapusIya.
HapusPost beginian itu koleksi foto aye sepanjang sebulan sebelumnya
Kang,di paragraf pertama ada satu huruf yang tidak terbawa.
HapusSudah dibetulkan
HapusMasih belum tuh.
HapusWah ternyata ada dua huruf yang terlewat, bukan satu.
Hapus"r" pada "karya", "i" dalam "lebih".
Tengks infonya
Jiah, masih ada tuh...
Hapus1 kata lagi.
Masa'? Paragraf pertama sepertinya sudah aman. Kata yang mana?
Hapus