Selasa, 22 Desember 2015

Article#497 - Nadir



Hening bersambut gigil menyapa keseluruhan jalan.
Langkah kaki yang menapak di malam itu bukanlah langkah yang tangguh. Terseok ragu, tersipu meniti kerikil tajam bernama kelanjutan hidup.

Mendaras ragu gemintang yang gemilang menaburi tirai malam, akan lebih dari cukup untuk memberitahu sesiapa di jalan itu akan waktu yang menderu. Sesiapa yang tetap bergerak menantang beku bertalu. Tetapi sosok itu, sosok yang bertopang di atas kaki goyahnya itu, tak mau tahu menahu.
Malam terus menukik terjerembab menuju gelap. Rerumputan di pinggir jalan pun menderik keriut. Hijau yang menatahinya di masa jaya telah lama pudar diterkam raksa yang terus terjun. Dicabik-cabik angin barat yang membeku. Dihunjamkan ke tanah oleh tapak-tapak lugu.

Sosok itu terus menapaki seantero jalan. Menghadapi malam yang paling panjang. Menghadapi tergelincirnya Matahari ke kedudukan terendah dalam medan pandangnya. Ia menapaki kenyataan ketika ia mengalir perlahan menuju gorong pikiran yang tak terselamatkan. Ia menghadapi kebekuan yang terus menggurat rekah tajam menghias kulit keringnya. Sayat yang terus menganga, makin dalam menjerat pinta manusia menuju datangnya semburat surya.
Ia menyapa pagi yang segera tiba, menggamit tirai malam angkasa menjelang fajar. Secercah sinar yang menyinari lansekap dunia sekitar. Sama sepertinya, dunia sekitar itu kering, menggigil, dan bertahan dalam kerapuhan bangunnya.

Ia memaki. Persetan akan segala macam buai angan! Jika yang bisa mereka semua lakukan hanya memicu delusi berkepanjangan dalam kepala. Lupakan segala macam kalimat pemanis soal adanya arah atas. Lupakan segala penyemangat yang didengungkan dengan menguras harta dari mereka yang gelap mata. Lupakan segala basa-basi yang tak kaudengungkan sepenuh hati, berpura-pura simpati, memasang tampang peduli, setelah itu pergi, tiada sekali kembali.

Menjelang sebuah pagi yang sunyi, tiada nadir sudi merambat naik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...