Senin, 30 November 2015

Article#490 - Alpukat Dan Kebahasaan

Saya sempat tercengang saat menghadapi fakta bahwa “alpukat”, kata yang sehari-hari saya (dan insya Allah orang awam lain) pahami sebagai pohon yang menghasilkan buah berkulit hijau itu, ternyata tidak ada dalam kamus.

Kata yang mirip alpukat dan ada di dalam kamus adalah “alpukah”. Saya sempat mengira bahwa alpukah adalah alpukat, atau setidaknya masih saudaraan sama alpukat karena perbedaan keduanya hanya di huruf akhirnya saja. Akan tetapi, saat membaca artinya, ia ternyata tidak mewakili tanaman, buah-buahan apalagi sayuran. Saya tercengang dengan kebodohan saya, dan takjub dengan kecanggihan kamus itu.

Tetapi kemudian saya senyam-senyum saat memikirkan sebuah kalimat yang, amat saya yakini, belum pernah ditulis di mana pun, “Dia gagal karena seumur hidupnya tidak mempunyai alpukah.”

Orang yang terbiasa dengan transliterasi bunyi kalimat Arab akan tertipu habis-habisan. Ia akan beranggapan bahwa alpukah pada kalimat tersebut adalah alpukat yang ta’ marbutoh-nya dibaca sukun sebab diwakafkan, sebagaimana “jannatun” yang di KBBI ditulis janah (sorga). Kalau ia lugu sekaligus malas, ia akan menerima begitu saja bahwa untuk berhasil ia harus memiliki alpukat. Padahal alpukah, seturut KBBI, adalah kemauan untuk berbuat; daya upaya; inisiatif.

Berbahasa, terutama bagi para penganjur syari’at bahasa, tak ubahnya memasuki ruangan yang memiliki dua kamar. Kamar pertama; berbahasa dengan menggunakan ragam baku. Kamar kedua, berbahasa dengan memakai ragam tidak baku. Pemisah keduanya jelas, yakni kamus. Implikasi dari jelasnya sekat ini pun tidak remang-remang. Bahwa penggunaan ragam baku menunjukan kualitas intelektual, pendidikan, dan prestise seseorang. Sebaliknya, pemakaian ragam tidak baku adalah indikasi tunaintelektual.

Lantas apa arti “baku”? Masih seturut KBBI, baku (yang relevan dengan permasalahan ini) mempunyai arti; 1. Pokok; utama. KBBI memberi contoh; nasi adalah makanan pokok/utama bagi rakyat Indonesia. 2. Tolok ukur yang berlaku untuk kualitas atau kuantitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. Contoh; Baku emas berarti penilaian berdasarkan nilai harga emas.

Kata alpukat tidak ada dalam kamus. Oleh karena itu, alpukat adalah kata yang tidak baku. Melihat arti baku dalam KBBI di atas, perkara ini menghasilkan dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, alpukat bukan kata pokok, utama, dan bagus bagi orang Indonesia. Artinya, bagi orang Indonesia, kata alpukat ini adalah kata kelas bawah, berkasta rendah, dan jelata. Kemungkinan kedua, alpukat adalah kata yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan orang Indonesia. Itu berarti alpukat adalah sejenis lema asing bagi orang Indonesia yang jika Anda datang ke kafe kemudian memesan jus alpukat, si pelayan akan kebingungan dan bertanya kepada Anda apa definisi alpukat.

Yang baku, yang bagus, dan yang benar untuk simbol buah berkulit hijau, dagingnya tebal lunak berwarna kuning kehijau-hijauan dan rasanya lezat itu adalah AVOKAD. Buah avokad, begitu seharusnya Anda bilang karena demikianlah menurut KBBI. Kenapa avokad, karena kata itu diserap dari bahasa Inggris; avocado, dan yang mendekati bahasa aslinya setelah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia adalah avokad. Canggih benar!

Apakah avokad ini tanaman asli Inggris atau negara yang berbahasa Inggris? Bukan. Buah ini berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah (seperti Guatemala, Honduras, Kosta Rika, dsb). Apakah buah ini dibawa ke Indonesia oleh orang Inggris? Juga bukan. Buah ini diperkenalkan ke Indonesia oleh orang Belanda pada abad ke 19. Terus hubungane karo Inggris opo, Ndul ?! Yo, embuh.

Tapi kita boleh berasumsi bahwa kata avokad bisa jadi dipetik dari langit, tepatnya langit Inggris, lalu dengan pertimbangan yang hanya bisa dipahami oleh para kampiun bahasa, diletakkanlah kata itu ke KBBI.

Oleh karena itu, jangan pernah berkhayal bahwa kamus adalah kumpulan kata dan penjelasan maknanya, yang disusun dengan bersumber pada penuturnya. Jangan pula memimpikan kamus yang sekedar memuat kata menurut abjad tanpa menjadi hakim. Terimalah apa adanya, bahwa kamus berfungsi untuk menentukan nilai sebuah kata. Bahwa cengkeh, sebagaimana alpukat, adalah kata yang tidak baik dan tidak benar. Begitu juga kata hembus, hisap, himpit, hadang, kempes, dan tentu saja ostrali, itu semua tidak baik dan tidak benar.

Sejuta orang bisa mengucapkan kata-kata itu setiap hari, sejuta orang bisa juga menuliskannya setiap menit, tapi sekali tidak baik, tetap tidak baik, sekali salah, tetap salah, dan karena itu amit-amit jabang bayi kalau kata-kata kotor itu dimasukkan ke KBBI. Populer belum tentu baik dan benar, bukan?

Lalu siapa yang menentukan suatu kata bernilai baik dan benar? Siapa yang menentukan kata embus yang jarang digunakan dimasukan ke KBBI, sementara “hembus” yang lebih populer tidak dimasukan? Atau jelas-jelas yang dipakai itu “hadang”, kenapa yang dimasukan ke KBBI “adang”, siapa yang menentukan?

Yang menentukan itu jelaslah bukan orang kebanyakan yang setiap hari membanting pikiran untuk memikirkan cara bayar kontrakan tiap bulan. Orang-orang bodoh ini jelas tidak punya waktu untuk memikirkan bahasa. Jadi, masalah kata yang baik dan benar itu cukuplah ditangani secuuil cerdik pandai yang sepenuh hidupnya diabdikan untuk bahasa.
Demokrasi sudah punya bilik sendiri. Biarlah dalam urusan bahasa ini diberlakukan sistem aristokrasi.

(kutipan dan gambar disadur dari http://mojok.co/2015/10/alpukat-dan-bahaya-berbahasa-ala-mojok/)
Lanjutkan baca »

Minggu, 29 November 2015

Article#489 - Trajektori

[apdet terbaru: 27 Januari 2016, 18:49 (UT+9)]

.....
Kau tahu betul, kalau aku terbiasa menghargai mereka yang berani menjalani hidup sesuai apa yang benar-benar mereka dambakan. Meski yang didambakan itu tidak umum didamba oleh masyarakat. Meski dambaan seseorang itu sendiri berubah-ubah adanya. Tak apa! Bagiku, yang terpenting adalah mereka berani melawan arus, demi menekuni apa-apa yang ingin ia tekuni.
Apalagi ilmuwan. Kau tentu tahu betul seperti apa para ilmuwan itu, lebih dari aku. Dan kau tentu tahu betul, "ilmuwan" mana yang kumaksud: mereka yang getol bergelut dalam dunia akademis, melakukan penelitian demi penelitian.

Bahwa menjadi mereka itu berat, itu sudah tentu. Apalagi ketika merenungkan jalan panjang yang ditempuh seorang anak manusia menuju penahbisan dirinya sebagai "ilmuwan". Sekian banyak gelar, sekian tahun pembelajaran, sekian tahun lagi penelitian.
Bahwa mereka telaten, itu sudah tentu. Kita semua lahir dan tumbuh sebagai individu yang kerap mempertanyakan berbagai hal. Tetapi tidak setiap kita tumbuh untuk mendedikasikan diri kepada pertanyaan-pertanyaan yang terus bersemai itu; mencurahkan segenap waktu dan sumber daya untuk meladeni ketidaktahuan itu satu persatu. Meski mengurusi semua pertanyaan itu mungkin akan menghabiskan seumur hidup.

Aku melihat pula bagaimana mereka demikian betah memelototi entah apa yang mereka gandrungi sedemikian rupa. Kau tahu kawan, ketika seseorang sedemikian mencandunya pada apa-apa yang ia senangi, hal-hal lain acapkali tak terasa berarti. Bahkan hingga hal primitif dan bodoh macam mencari makan dan bertahan hidup.
Kerja, kerja, kerja. Apakah demikian adanya kepatutan dalam berkehidupan? Dalam ritme yang terus menerus sama? Dikejar oleh sesuatu yang sama secara berkelanjutan? Mengejar sesuatu yang sama tapi terus tak tergapai tangan?
Apakah begitu cara kita seharusnya bertahan dan membahagiakan seantero hidup?

Aku kemudian menengadahkan kepala, menghadap haribaan langit yang senantiasa berjaya menaungi fana manusia. Aku menolehkan pandangan, dan ada sehampar rupa bumi yang mengerdilkan tiap-tiap raga sombong kita. Di sekitarku ada sekian banyak jiwa-jiwa tanpa tanda jasa yang bergelimang tiap-tiap ceritera. Dan di dalamku ada sekian banyak sistematika yang berjalan lancar, menyokong kepala menelurkan cuplik demi cuplik cerita.
Kukira, betapa mudah bagi segenap kita untuk mensyukuri berjalannya ragam rupa penghidupan.
Maka aku terheran, melihat apa yang dulu biasa kuidentikkan sebagai mereka yang menggenggam setia impiannya. Ketika mereka abai dari berjuta pesona yang dapat ditawarkan semesa. Ketika dalam pandang kosong mereka menatap dunia sekitar, yang berkecamuk di dalam kepala mereka justru
kekhawatiran. Sebagaimana banyak kekhawatiran yang biasa didengungkan mereka yang terjebak dalam rimte datar tanpa kesudahan. Sebagaimana apa-apa yang paling kuhindari dari berbagai rupa penghidupan.

Tidak, sekali-kali aku tidak akan pernah menjalani jejak hidup mereka. Tidak, jika mereka menghalangi jiwa yang lemah ini dari kesempatan mensyukuri kehidupan tanpa batasan.

Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan yang seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.
- Seno Gumira Ajidarma
sumber


Lanjutkan baca »

Rabu, 25 November 2015

Article#488 - Saya Menggurui, Maka Saya Ke Surga

Oleh: Zen RS

Jumlah guru di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah orang yang menggurui. 

Andai saja bakat terpendam sebagai guru itu bisa disalurkan dengan tepat, niscaya tak akan ada sekolah di Indonesia yang kekurangan guru. Sistem pendidikan nasional kita malah mungkin akan kelebihan guru. Bakal banyak sekali orang-orang pintar dari kota yang antri bertransmigrasi ke pelosok-pelosok untuk menyalurkan bakat terpendamnya menjadi guru itu.  

Bayangkan jika para pemilik akun Twitter dengan follower ribuan yang terbiasa memberi kultwit itu berdiri di depan kelas, di hadapan 20 atau 30 murid yang tak beralas kaki, memberikan senarai pengetahuan tentang pentingnya protein, bahaya iluminati, bejatnya neolib, kelemahan JIL, sampai bicara tentang fungsi gelandang bertahan dalam sepakbola 17 Agustusan – misalnya. 

“Menjadi guru” dan “menggurui” memang tidak identik. Mungkin mirip-mirip, tapi tak persis. 

Bahasa Indonesia (tentu saja menurut versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus yang sudah besar sejak dari fisiknya itu) membedakan dengan jelas antara “mengajar”, “mengajari” dan “menggurui”.

Jika “mengajar” berarti “memberi pelajaran”, dan “mengajari” berarti “memberi pelajaran kepada…”, maka “menggurui”  diberi arti “menjadikan dirinya sebagai guru”. Jika “mengajar” diikuti dengan “mengajari”, maka “menggurui” tidak didahului “mengguru”. Bahasa Indonesia tak kenal “mengguru”, yang ada hanya “menggurui”.

Menarik benar menelisik istilah “menggurui” ini. Lagi-lagi dengan kembali pada kamus yang besar sejak dari nama dan fisiknya itu, dalam istilah “menggurui” itu tersirat makna seperti “mengangkat/memposisikan diri sendiri sebagai guru”. 

Karena bangsa Indonesia dikenal rendah hati dan tidak sombong, maka istilah “menggurui” ini punya rasa-bahasa yang tidak menyenangkan.  Sebagai bangsa Timur (tentu Timur itu kalau dipandang dari arah Barat), perilaku mematut-matut diri sendiri, mengangkat-angkat diri sendiri, mengganteng-gantengkan diri sendiri, atau memuji-muji diri sendiri itu umumnya dianggap tak elok dan tak pantas. Tidak terkecuali “mengangkat/memposisikan diri sendiri sebagai guru” alias “menggurui” itu tadi.

Itulah kiranya kenapa “menggurui” punya konotasi buruk. 

Guru itu, kan, mulia, tulus, berpengetahuan, punya keluhuran budi yang patut ditiru, serta memiliki kewaskitaan yang adi. Maka sangat tidak berperike-timur-an sekali kalau ada yang mengangkat/mempososisikan dirinya sebagai orang dengan ciri-ciri keren macam itu. Situ siapa, sih, ngaku-ngaku begitu? 

Bahasa Inggris punya padanan yang agak berdekatan dengan istilah “menggurui” yaitu “patronizing”. Dalam sejumlah kamus, “patronizing” umumnya diartikan sebagai perilaku/tindakan/ucapan yang menunjukkan kepercayaan bahwa dirinya memang lebih baik/lebih berpengetahuan dari yang lain. Dalam istilah “patronizing”, tidak ada kesan malu-malu kucing dengan membawa-bawa kata mulia “guru”. Kesan “sok”-nya diakui dengan lebih terus terang.

Uniknya, istilah “patronizing” itu justru seringkali melekat pada keseharian “guru” di Indonesia. 

Dalam suasana dan iklim pendidikan di Indonesia yang masih lekat dengan suasana feodal, guru (baik di SD maupun di perguruan tinggi) justru seringkali diposisikan sebagai pusat ilmu pengetahuan, sumber kebenaran, dan kadang bahkan jadi rujukan moral. Peserta didik akhirnya menjadi si pasif yang menengadahkan tangan menunggu curahan ilmu pengetahuan, kebajikan dan kewaskitaan. 

Dalam iklim pendidikan seperti ini, ironisnya, kita tak pernah menggunakan istilah “menggurui”. Klaim sebagai pemangku otoritas ilmu pengetahuan dan kebajikan itu diterima begitu saja sebagai kewajaran yang alamiah. Padahal iklim pendidikan seperti itulah yang dengan sempurna mengejawantahkan apa yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “patronizing”.

Para pembangkang biasanya tak akan betah bahkan tak sudi membiarkan pantatnya menancap terlalu lama di kursi kelas jika iklim pendidikannya seperti itu. 

Soe Hok Gie, dalam catatan harian yang ditulisnya saat masih duduk di bangku SMA,  mengungkapkan penolakannya dengan kalimat bersayap yang telengas:  “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” 

Atau menarik juga dinukilkan bagaimana Jacob Slauerhoff, penyair Belanda yang masyhur dengan sajak-sajak dengan latar laut dan samudera, menggelar perlawanan terhadap guru yang “patronizing”.

Dalam salah satu sesi perkuliahan, Slauerhoff datang terlambat pada sesi kuliah Dr. Kijzer (pengampu mata kuliah pembedahan dengan mayat sebagai alat praktikum). Slauerhoff menyelinap masuk, tapi Kijzer menangkap basah penyusupan itu. Kijzer langsung menyergap: “Sudah datang, Raja Penyair?”
Slauerhoff, yang sajak-sajaknya punya gema dalam sajak-sajak Chairil Anwar itu, langsung membalas dengan lebih sadis. Katanya, “Ya, Kaisar bangkai, aku sudah tiba!”

Sampai di sini, agaknya menjadi jelas bahwa istilah “menggurui” memang hanya mungkin muncul di luar sistem pendidikan formal. Karena di luar sistem yang formal itulah makanya seseorang bisa “mengangkat/menjadikan dirinya sebagai guru” alias “menggurui” walaupun tidak ada yang meminta. Dan itu juga kenapa orang lain bisa dengan enteng pula menolak “pengangkatan sepihak” macam itu.

Yang membuat “menggurui” jadi lebih problematis disebabkan karena itu tak sebatas perkara ilmu pengetahuan. Jika “menggurui” hanya berkisar di urusan sains dan ilmu pengetahuan, sih, mungkin bisa lebih diterima. Benar atau salah dalam sains dan ilmu pengetahuan bisa diminimalisir debat kusirnya karena biar bagaimana pun punya ukuran dan standar-standarnya yang (relatif) baku.


“Menggurui” jadi lebih rumit karena seringkali – atau belakangan-- juga mencakup soal-soal lain: moral, akhlak, etika, perilaku, kadar keimanan sampai tetek bengek nasionalisme. Dan dalam soal-soal abstrak macam itu, khotbah jadi metode yang lebih mudah sekaligus lebih menggiurkan untuk dipraktikkan ketimbang diskusi dan debat. 

Aksiomanya bukan lagi “Saya berpikir maka saya ada”, tapi “Saya menggurui maka saya ke surga”. 

Selamat Hari Guru!

Lanjutkan baca »

Kamis, 19 November 2015

Article#487 - Elegi

Kita bisa saja menentukan bahwa kita ingin bersedih hanya akan hal-hal besar. Atas impian besar. Atas nilai-nilai megah nan mulia. Atas tahta kebaikan yang diidamkan senarai umat manusia.
Pada nyatanya, ketika ia benar-benar datang, dia tak akan berbasa-basi menantimu menentukan seberapa layak apa-apa yang kaualami itu kau sedihi adanya: Begitu saja ia datang, tanpa ampun menyapu segala nyata. Begitu saja ia menerjang, tanpa sadar kau telah tersapu jauh oleh arusnya.

Saat itu, bisa jadi kau lupa sepenuhnya segala batasan kelayakan, standar ataupun kadar moral pantas. Hal-hal yang menyeretnya datang menerjangmu mungkin saja hal yang kau biasa pandang remeh, dan tidak layak mengaduk jiwamu sedemikian rupa.
Meski bisa saja kamu menganggapnya besar tanpa barang tersadar.
Mereka-mereka yang terbenam dalam lautan emosi, adalah mereka yang telinganya tersumbat dari kedatangan segala macam opini. Maka ketika kau yang mengalami, mungkin memang kau tak akan peduli dengan segala ragam nasihat yang menghujam bertubi.

Kau hanya akan mencari apa-apa yang peduli. Apa-apa yang membuat hal remeh menjadi penting. Apa-apa yang mendamaikan kecamuk di dalam diri.


Terduduk di kursi kereta yang melaju itu, aku mengamati pigura yang tak bergeming di sisi bangku itu. Seolah menatap sosok yang ia hadapi ketika ia sesekali menoleh melirik sepetak porsi Bumi. Seolah memastikan bahwa dirinya tetap hadir meski hanya di pelat fotografi.
Atau hanya aku yang berlagak memahami.


Lanjutkan baca »

Selasa, 17 November 2015

Article#486 - Kutipan Hari Ini

The ultimate weakness of violence is that it is a descending spiral, begetting the very thing it seeks to destroy. Instead of diminishing evil, it multiplies it.
Through violence you may murder the liar, but you cannot murder the lie, nor establish the truth.
Through violence you may murder the hater, but you do not murder hate.
In fact, violence merely increases hate. So it goes.
Returning violence for violence multiplies violence, adding deeper darkness to a night already devoid of stars.
Darkness cannot drive out darkness: only light can do that.
Hate cannot drive out hate: only love can do that.

~quoted from the words of Martin Luther King Jr. (1929-1968), American humanitarian activist.
Quoted at Saturday, 14th November, 2015, 08:38 (UT+9).

image source
Lanjutkan baca »

Minggu, 15 November 2015

Article#485 - Melaju

Kereta itu terus menggeliat. Terus menyapu kantuk dari wajah mereka yang terjaga barang sekelebat.

Aku mengerjap sekilas, meskipun pagi telah beberapa jam lalu beranjak meninggalkan singgasananya. Salah satu alasanku segera beranjak menduduki bangku yang tersedia di dalam gerbong itu adalah untuk menjawab jeritan raga yang mendamba istirahat. Sedikit sapa pandang pada rencana perjalanan dapat memberitahukan dengan mudah, betapa waktu untuk beristirahat akan luang tersedia.
Beberapa orang menyusul memasuki gerbong, meski kebanyakan tidak dengan kostum khas karyawan yang sebelumnya marak kujumpa. Barangkali karena memang sudah bukan waktunya bagi mereka untuk berkeliaran. Barangkali karena titik pemberangkatan di hari itu memang bukanlah tempat mereka biasa berlalu-lalang.
Tetap saja, padanganku tidak menyigi mereka teliti, tapi hanya melamun sambil lalu. Tak peduli.

Aku menujukan pandangan jauh melebihi sekat dinding gerbong kereta. Mengucap salam perpisahan pada petak sawah, bangun perumahan, dalam detail yang terus memudar dalam ketakacuhan. Apatah aku akan peduli bagaimana romansa palsu itu meneruskan perjalanannya. Apatah aku akan ambil pusing, bagaimana nantinya tiap-tiap fragmen cerita menyatukan kebersamaannya.
Kecepatan, di hari itu, menjadi apa yang mengantarkan pada bahagia melalui rasa merdeka, sebagaimana sebelumnya ia menjemput balada untuk menggemai relung jiwa. Barangkali kehadiran sang wahana menjadi jembatan antara dua titik kulminasi yang bertolak belakang. Atau justru memicu munculnya kedua sisi ekstremitas.

Aku melayangkan ingatan, menepis pertanyaan soal faedah dari sekian pekan yang telah dilewatkan di antah berantah sana. Sementara aku melenakan diri dalam kenyataan akan kemewahan yang sedang melaju membawa raga. Sementara tiap-tiap jiwa raga berkelebat pergi dan datang tanpa sesiapa tersadar akan tiap-tiapnya. Sementara bayang-bayang akan segala ingatan perlahan berderak meninggalkan pandangan. Sementara apa-apa yang membuai adalah apa-apa yang terus mendekatkanku pada kenyataan.
Apa yang lama tak disapa, apa yang berpijar benderangnya dalam jiwa.

Kereta terus melaju, menggubris mereka yang bergegas melanjutkan hidup.


Jiwa-jiwa yang mengetahui arahnya melangkah, tidak selalu mengenali kemerdekaannya.
Shinkansen Hikari. 15 November 2015, 14:23 (UT+9)
Lanjutkan baca »

Rabu, 11 November 2015

Article#484 - Maps And The World


32 Maps That Will Teach You Something New About the World


Our world is a complex network of people, places and things. Maps are a great tool and can help us understand how we are all connected. Below you will find a collection of informative maps that will hopefully teach you something new and give you a fresh perspective of our amazing planet and those that inhabit it.


1. If You’re on the Beach, This is What’s Across the Ocean

whats across the ocean map 32 Maps That Will Teach You Something New About the World

The map above shows the countries that are due east and west from points along the coasts of North and South America. Many small island nations are (perhaps unfairly) excluded for ease of reading. [source]


2. Point Nemo: The Farthest Place on Earth from Land


the furthest point on earth from land 32 Maps That Will Teach You Something New About the World

The oceanic pole of inaccessibility (48°52.6′S 123°23.6′W) is the place in the ocean that is farthest from land. It lies in the South Pacific Ocean, 2,688 km (1,670 mi) from the nearest lands: Ducie Island (part of the Pitcairn Islands) in the north, Motu Nui (part of the Easter Islands) in the northeast, and Maher Island (near the larger Siple Island, off the coast of Marie Byrd Land, Antarctica) in the south. Chatham Island lies farther west, and Southern Chile in the east. This location is also referred to as “Point Nemo”, a reference to Jules Verne’s Captain Nemo. [source]


3. Air Traffic Across the Globe in a Single 24-Hour Period




4. How Google Maps Alters Borders Based on the Country You’re Viewing From


google maps different borders depending on country you are viewing from 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


5.


median ages around the world 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


6. The Most Consumed Alcoholic Beverage by Country


the most consumed alcoholic beverage by country 32 Maps That Will Teach You Something New About the World
Map by ChartsBin


7. Countries That Look Like Other Countries (+Bonus States)


countries that look like other countries 32 Maps That Will Teach You Something New About the World
Map via Ambamja


8.


how powerful is your passport 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


9. The Earth’s Seasons


the earths seasons


10.


the 20 longest non stop flights in the world 32 Maps That Will Teach You Something New About the World





11. The Word for Bear in Various European Languages


the word for bear in various european languages 32 Maps That Will Teach You Something New About the World
Map by Bezbojnicul


12. Percentage of People Having Sex Weekly by Country


Percentage-of-People-Having-Sex-Weekly-by-Country
Map by Charts Bin


13. Camouflages of the World


camouflages of the world map 32 Maps That Will Teach You Something New About the World
Map via Blodje


14. Which Exports Make Your Country the Most Money


which export makes your country the most money map 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


15.


most popular web browsers in the world gif


16. Tech Companies in Silicon Valley/San Francisco


tech companies in silicon valley and san francisco (2)
tech companies in silicon valley and san francisco (1)
Maps by Vox


17. Longest Distance You Can Travel Without Crossing Major Bodies of Water


the longest distance you can travel without crossing a major body of water 32 Maps That Will Teach You Something New About the World
Map by Guy Bruneau

The longest distance you can travel between two points in straight line without crossing any ocean or any major water bodies goes from Liberia to China. It starts at 5°2’51.59″N 9°7’23.26″W about 10 Km north of Greenville, Liberia and ends at 28°17’7.68″N 121°38’17.31″E near Wenling, China. A 13,589.31 Km walk in a straight line, it crosses 9 time zones and 18 countries and territories: Liberia, Côte d’Ivoire, Burkina Faso, Ghana, Burkina Faso again, Niger, Chad, Libya, Egypt, Israel, the West Bank, Jordan, Iraq, Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, Tajikistan again and finally China. [source]

18. If North America Were on Jupiter or Mars


if north america were on mars or jupiter 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


19. There are More Wikipedia Articles Inside this Circle than Outside of It


Wikipedia-hegemons-and-uneven-geographic-coverage__Oxford-Internet-Institute

This map points out the highly uneven spatial distribution of (geotagged) Wikipedia articles in 44 language versions of the encyclopaedia. Slightly more than half of the global total of 3,336,473 articles are about places, events and people inside the red circle on the map, occupying only about 2.5% of the world’s land area. The article locations were mapped on top of a dataset obtained from Natural Earth using Buckminster Fuller’s Dymaxion map projection that has little distortion of shape and area and highlights that there is no ‘right way up’.

This uneven distribution of knowledge carries with it the danger of spatial solipsism for the people who live inside one of Wikipedia’s focal regions. It also strongly underrepresents regions such as the Middle East and North Africa as well as Sub-Saharan Africa. In the global context of today’s digital knowledge economies, these digital absences are likely to have very material effects and consequences. [source]

20. Greenland and Africa – Mercator Projection vs Actual Size


greenland vs africa actual size vs mercator projection
Map via Asuros





21. World’s Most and Least Ethnically Diverse Countries


the least and most ethnically diverse countries in the world 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


22.


50 busiest container shipping seaports in the world 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


23. Access to Sanitation Around the Globe


access to sanitation around the globe 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


24. If the Polar Ice Caps Completely Melted


if the polar ice caps melted national geographic 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


25. Nutella and the Global Economy


nutella and the global economy 32 Maps That Will Teach You Something New About the World
Map by OECD


26. People Tweeting About Sunrises Over a 24-Hour Period


people tweeting about sunrises over a 24 hour period


27. Fiber Optic Cables Around the World


Fiber optic cables around the world
Map by TeleGeography


28. Key Import Sources Around the World


key import sources around the world 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


29. Major Russian Gas Pipelines Into Europe


Major_russian_gas_pipelines_to_europe


30.


internet population and penetration around the globe 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


31.


areal distortion of global map projections 32 Maps That Will Teach You Something New About the World


32. Relief Maps of Earth with Exaggerated Mountain Ranges


relief maps of earth with exaggerated mountain ranges (3)
relief maps of earth with exaggerated mountain ranges (1)
relief maps of earth with exaggerated mountain ranges (2)
Maps by Anton Balazh


Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...