Minggu, 29 November 2015

Article#489 - Trajektori

[apdet terbaru: 27 Januari 2016, 18:49 (UT+9)]

.....
Kau tahu betul, kalau aku terbiasa menghargai mereka yang berani menjalani hidup sesuai apa yang benar-benar mereka dambakan. Meski yang didambakan itu tidak umum didamba oleh masyarakat. Meski dambaan seseorang itu sendiri berubah-ubah adanya. Tak apa! Bagiku, yang terpenting adalah mereka berani melawan arus, demi menekuni apa-apa yang ingin ia tekuni.
Apalagi ilmuwan. Kau tentu tahu betul seperti apa para ilmuwan itu, lebih dari aku. Dan kau tentu tahu betul, "ilmuwan" mana yang kumaksud: mereka yang getol bergelut dalam dunia akademis, melakukan penelitian demi penelitian.

Bahwa menjadi mereka itu berat, itu sudah tentu. Apalagi ketika merenungkan jalan panjang yang ditempuh seorang anak manusia menuju penahbisan dirinya sebagai "ilmuwan". Sekian banyak gelar, sekian tahun pembelajaran, sekian tahun lagi penelitian.
Bahwa mereka telaten, itu sudah tentu. Kita semua lahir dan tumbuh sebagai individu yang kerap mempertanyakan berbagai hal. Tetapi tidak setiap kita tumbuh untuk mendedikasikan diri kepada pertanyaan-pertanyaan yang terus bersemai itu; mencurahkan segenap waktu dan sumber daya untuk meladeni ketidaktahuan itu satu persatu. Meski mengurusi semua pertanyaan itu mungkin akan menghabiskan seumur hidup.

Aku melihat pula bagaimana mereka demikian betah memelototi entah apa yang mereka gandrungi sedemikian rupa. Kau tahu kawan, ketika seseorang sedemikian mencandunya pada apa-apa yang ia senangi, hal-hal lain acapkali tak terasa berarti. Bahkan hingga hal primitif dan bodoh macam mencari makan dan bertahan hidup.
Kerja, kerja, kerja. Apakah demikian adanya kepatutan dalam berkehidupan? Dalam ritme yang terus menerus sama? Dikejar oleh sesuatu yang sama secara berkelanjutan? Mengejar sesuatu yang sama tapi terus tak tergapai tangan?
Apakah begitu cara kita seharusnya bertahan dan membahagiakan seantero hidup?

Aku kemudian menengadahkan kepala, menghadap haribaan langit yang senantiasa berjaya menaungi fana manusia. Aku menolehkan pandangan, dan ada sehampar rupa bumi yang mengerdilkan tiap-tiap raga sombong kita. Di sekitarku ada sekian banyak jiwa-jiwa tanpa tanda jasa yang bergelimang tiap-tiap ceritera. Dan di dalamku ada sekian banyak sistematika yang berjalan lancar, menyokong kepala menelurkan cuplik demi cuplik cerita.
Kukira, betapa mudah bagi segenap kita untuk mensyukuri berjalannya ragam rupa penghidupan.
Maka aku terheran, melihat apa yang dulu biasa kuidentikkan sebagai mereka yang menggenggam setia impiannya. Ketika mereka abai dari berjuta pesona yang dapat ditawarkan semesa. Ketika dalam pandang kosong mereka menatap dunia sekitar, yang berkecamuk di dalam kepala mereka justru
kekhawatiran. Sebagaimana banyak kekhawatiran yang biasa didengungkan mereka yang terjebak dalam rimte datar tanpa kesudahan. Sebagaimana apa-apa yang paling kuhindari dari berbagai rupa penghidupan.

Tidak, sekali-kali aku tidak akan pernah menjalani jejak hidup mereka. Tidak, jika mereka menghalangi jiwa yang lemah ini dari kesempatan mensyukuri kehidupan tanpa batasan.

Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan yang seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.
- Seno Gumira Ajidarma
sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...