Kamis, 19 November 2015

Article#487 - Elegi

Kita bisa saja menentukan bahwa kita ingin bersedih hanya akan hal-hal besar. Atas impian besar. Atas nilai-nilai megah nan mulia. Atas tahta kebaikan yang diidamkan senarai umat manusia.
Pada nyatanya, ketika ia benar-benar datang, dia tak akan berbasa-basi menantimu menentukan seberapa layak apa-apa yang kaualami itu kau sedihi adanya: Begitu saja ia datang, tanpa ampun menyapu segala nyata. Begitu saja ia menerjang, tanpa sadar kau telah tersapu jauh oleh arusnya.

Saat itu, bisa jadi kau lupa sepenuhnya segala batasan kelayakan, standar ataupun kadar moral pantas. Hal-hal yang menyeretnya datang menerjangmu mungkin saja hal yang kau biasa pandang remeh, dan tidak layak mengaduk jiwamu sedemikian rupa.
Meski bisa saja kamu menganggapnya besar tanpa barang tersadar.
Mereka-mereka yang terbenam dalam lautan emosi, adalah mereka yang telinganya tersumbat dari kedatangan segala macam opini. Maka ketika kau yang mengalami, mungkin memang kau tak akan peduli dengan segala ragam nasihat yang menghujam bertubi.

Kau hanya akan mencari apa-apa yang peduli. Apa-apa yang membuat hal remeh menjadi penting. Apa-apa yang mendamaikan kecamuk di dalam diri.


Terduduk di kursi kereta yang melaju itu, aku mengamati pigura yang tak bergeming di sisi bangku itu. Seolah menatap sosok yang ia hadapi ketika ia sesekali menoleh melirik sepetak porsi Bumi. Seolah memastikan bahwa dirinya tetap hadir meski hanya di pelat fotografi.
Atau hanya aku yang berlagak memahami.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...