Rabu, 25 November 2015

Article#488 - Saya Menggurui, Maka Saya Ke Surga

Oleh: Zen RS

Jumlah guru di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah orang yang menggurui. 

Andai saja bakat terpendam sebagai guru itu bisa disalurkan dengan tepat, niscaya tak akan ada sekolah di Indonesia yang kekurangan guru. Sistem pendidikan nasional kita malah mungkin akan kelebihan guru. Bakal banyak sekali orang-orang pintar dari kota yang antri bertransmigrasi ke pelosok-pelosok untuk menyalurkan bakat terpendamnya menjadi guru itu.  

Bayangkan jika para pemilik akun Twitter dengan follower ribuan yang terbiasa memberi kultwit itu berdiri di depan kelas, di hadapan 20 atau 30 murid yang tak beralas kaki, memberikan senarai pengetahuan tentang pentingnya protein, bahaya iluminati, bejatnya neolib, kelemahan JIL, sampai bicara tentang fungsi gelandang bertahan dalam sepakbola 17 Agustusan – misalnya. 

“Menjadi guru” dan “menggurui” memang tidak identik. Mungkin mirip-mirip, tapi tak persis. 

Bahasa Indonesia (tentu saja menurut versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus yang sudah besar sejak dari fisiknya itu) membedakan dengan jelas antara “mengajar”, “mengajari” dan “menggurui”.

Jika “mengajar” berarti “memberi pelajaran”, dan “mengajari” berarti “memberi pelajaran kepada…”, maka “menggurui”  diberi arti “menjadikan dirinya sebagai guru”. Jika “mengajar” diikuti dengan “mengajari”, maka “menggurui” tidak didahului “mengguru”. Bahasa Indonesia tak kenal “mengguru”, yang ada hanya “menggurui”.

Menarik benar menelisik istilah “menggurui” ini. Lagi-lagi dengan kembali pada kamus yang besar sejak dari nama dan fisiknya itu, dalam istilah “menggurui” itu tersirat makna seperti “mengangkat/memposisikan diri sendiri sebagai guru”. 

Karena bangsa Indonesia dikenal rendah hati dan tidak sombong, maka istilah “menggurui” ini punya rasa-bahasa yang tidak menyenangkan.  Sebagai bangsa Timur (tentu Timur itu kalau dipandang dari arah Barat), perilaku mematut-matut diri sendiri, mengangkat-angkat diri sendiri, mengganteng-gantengkan diri sendiri, atau memuji-muji diri sendiri itu umumnya dianggap tak elok dan tak pantas. Tidak terkecuali “mengangkat/memposisikan diri sendiri sebagai guru” alias “menggurui” itu tadi.

Itulah kiranya kenapa “menggurui” punya konotasi buruk. 

Guru itu, kan, mulia, tulus, berpengetahuan, punya keluhuran budi yang patut ditiru, serta memiliki kewaskitaan yang adi. Maka sangat tidak berperike-timur-an sekali kalau ada yang mengangkat/mempososisikan dirinya sebagai orang dengan ciri-ciri keren macam itu. Situ siapa, sih, ngaku-ngaku begitu? 

Bahasa Inggris punya padanan yang agak berdekatan dengan istilah “menggurui” yaitu “patronizing”. Dalam sejumlah kamus, “patronizing” umumnya diartikan sebagai perilaku/tindakan/ucapan yang menunjukkan kepercayaan bahwa dirinya memang lebih baik/lebih berpengetahuan dari yang lain. Dalam istilah “patronizing”, tidak ada kesan malu-malu kucing dengan membawa-bawa kata mulia “guru”. Kesan “sok”-nya diakui dengan lebih terus terang.

Uniknya, istilah “patronizing” itu justru seringkali melekat pada keseharian “guru” di Indonesia. 

Dalam suasana dan iklim pendidikan di Indonesia yang masih lekat dengan suasana feodal, guru (baik di SD maupun di perguruan tinggi) justru seringkali diposisikan sebagai pusat ilmu pengetahuan, sumber kebenaran, dan kadang bahkan jadi rujukan moral. Peserta didik akhirnya menjadi si pasif yang menengadahkan tangan menunggu curahan ilmu pengetahuan, kebajikan dan kewaskitaan. 

Dalam iklim pendidikan seperti ini, ironisnya, kita tak pernah menggunakan istilah “menggurui”. Klaim sebagai pemangku otoritas ilmu pengetahuan dan kebajikan itu diterima begitu saja sebagai kewajaran yang alamiah. Padahal iklim pendidikan seperti itulah yang dengan sempurna mengejawantahkan apa yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “patronizing”.

Para pembangkang biasanya tak akan betah bahkan tak sudi membiarkan pantatnya menancap terlalu lama di kursi kelas jika iklim pendidikannya seperti itu. 

Soe Hok Gie, dalam catatan harian yang ditulisnya saat masih duduk di bangku SMA,  mengungkapkan penolakannya dengan kalimat bersayap yang telengas:  “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” 

Atau menarik juga dinukilkan bagaimana Jacob Slauerhoff, penyair Belanda yang masyhur dengan sajak-sajak dengan latar laut dan samudera, menggelar perlawanan terhadap guru yang “patronizing”.

Dalam salah satu sesi perkuliahan, Slauerhoff datang terlambat pada sesi kuliah Dr. Kijzer (pengampu mata kuliah pembedahan dengan mayat sebagai alat praktikum). Slauerhoff menyelinap masuk, tapi Kijzer menangkap basah penyusupan itu. Kijzer langsung menyergap: “Sudah datang, Raja Penyair?”
Slauerhoff, yang sajak-sajaknya punya gema dalam sajak-sajak Chairil Anwar itu, langsung membalas dengan lebih sadis. Katanya, “Ya, Kaisar bangkai, aku sudah tiba!”

Sampai di sini, agaknya menjadi jelas bahwa istilah “menggurui” memang hanya mungkin muncul di luar sistem pendidikan formal. Karena di luar sistem yang formal itulah makanya seseorang bisa “mengangkat/menjadikan dirinya sebagai guru” alias “menggurui” walaupun tidak ada yang meminta. Dan itu juga kenapa orang lain bisa dengan enteng pula menolak “pengangkatan sepihak” macam itu.

Yang membuat “menggurui” jadi lebih problematis disebabkan karena itu tak sebatas perkara ilmu pengetahuan. Jika “menggurui” hanya berkisar di urusan sains dan ilmu pengetahuan, sih, mungkin bisa lebih diterima. Benar atau salah dalam sains dan ilmu pengetahuan bisa diminimalisir debat kusirnya karena biar bagaimana pun punya ukuran dan standar-standarnya yang (relatif) baku.


“Menggurui” jadi lebih rumit karena seringkali – atau belakangan-- juga mencakup soal-soal lain: moral, akhlak, etika, perilaku, kadar keimanan sampai tetek bengek nasionalisme. Dan dalam soal-soal abstrak macam itu, khotbah jadi metode yang lebih mudah sekaligus lebih menggiurkan untuk dipraktikkan ketimbang diskusi dan debat. 

Aksiomanya bukan lagi “Saya berpikir maka saya ada”, tapi “Saya menggurui maka saya ke surga”. 

Selamat Hari Guru!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...