Tampilkan postingan dengan label Cerocos. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerocos. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Juli 2016

Article#565 - Beau Jeu (1): Prélude

[DISCLAIMER: Jika Anda sekalian yang mampir ke laman ini hendak mencari informasi tentang pendaftaran visa Schengen dan tidak berminat membaca informasi lain, silakan singkap tulisan ini hingga Anda menemukan tulisan bercetak tebal selanjutnya.]

"Jadi bagaimana? Tertarik bergabung?" 
Kalimat itu meluncur mengarungi segenap ruangan. Beberapa jiwa yang masih berkutat mengelilingi meja pertemuan itu menggerakan perhatian mereka. Menyusur, mengikuti arah pertanyaan, menuju pemuda tanggung yang tengah meracik jawabannya.

"Saya pertimbangkan dulu," jawab si pemuda asal-asalan. Ingatan akan kegiatan serupa yang berlangsung lima bulan sebelumnya sedikit memunculkan keraguan akan niatan bergabung. 

Hari itu, 26 April. Di mana musim semi beranjak mendekati akhir. Di mana perjalanan baru siap bergulir.

*****

Tulisan pertama dari tiga bagian.



Berkecimpung di dunia lab universitas di tahun terakhir perkuliahan, berarti saya berkesempatan untuk terjun langsung memasuki dunia akademika dengan citarasa Jepang yang khas. Juga berkesempatan untuk mencecap rasanya berkutat dengan ritme kehidupan a la dunia riset, dengan segala macam riset, analisis dan presentasi yang siklusnya terus mengular silih berganti.
Sebagai tata cara baku untuk bisa meloloskan diri dari pergulatan dunia kampus, saya memasuki salah satu dari sekian banyak lab yang tersedia untuk disusupi demi menuntaskan masa akhir perkuliahan di negeri samurai. (Lho? Kuliah?)

Meskipun saya memasuki lab terkait sebagai mahasiswa sarjana tahun keempat, memasuki lab riset aktif berarti saya akan terekspos pada pergulatan dunia riset yang sesungguhnya. Terlebih jika menilik fakta bahwa profesor saya sendiri menghabiskan hampir separo waktunya menghadiri riset atau konferensi di luar negeri, dan bahwa rekan-rekan sesama mahasiswa di dalam lab sesekali menghilang dari peredaran dalam beberapa waktu. Tak pelak, hal yang sama kemudian juga saya alami di paro awal November 2015 lalu. Dengan terkantuk-kantuk lelah, saya terseret ke dalam ritme riset yang tak mengenal paparan sinar matahari dan pola hidup manusiawi di suatu pojok terpencil di prefektur Hyogo, Jepang. Merasa melewatkan liputannya di blog? Jangan khawatir, saya memang tidak menuliskan apapun tentangnya. Tidak ketika saya merasa perlu mengambil libur tiga hari supaya kepala sedikit waras.

Berangkat dari pengalaman tersebut, ketika tawaran untuk berpartisipasi dalam sebuah riset datang untuk kedua kalinya, sikap yang saya ambil pada awalnya adalah mengatakan tidak dengan penuh keyakinan. Saya tidak butuh menjebak diri di suatu pojok terpencil negeri selama tiga pekan untuk mencurahkan segenap waktu berkutat dengan riset yang tidak saya cintai. Heah.
Namun semua keyakinan tergoyahkan dengan pemberian satu informasi penting:
Eksperimen akan dilangsungkan di Prancis. Tepatnya, di Synchrotron Soleil.
Bahkan sekadar informasi bahwa eksperimen akan dilangsungkan di luar Jepang sudah lebih dari cukup untuk menggoyahkan pendirian saya. Apalagi jika mengingat bahwa peluang bergabung dengan eksperimen di luar negeri merupakan salah satu penarik utama bergabungnya saya di lab saya kini, Ueda Lab. Tak pelak, saya hanya bisa mengganti jawaban tidak yang sebelumnya siap saya utarakan dengan yakin, menjadi kalimat normatif "akan saya pikirkan nanti".
Dan saya tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan diri menerima tawaran tersebut. Tawaran ini berarti kesempatan untuk menjejak tanah Benua Biru lebih awal dari apa yang saya canangkan sebelumnya, yang meliputi rencana kelanjutan studi yang bahkan sama tidak pastinya dengan berbalas atau tidaknya rasa ini.
Dibayari, pula. 
Maka nikmat manakah yang kamu dustakan?

[Informasi terkait pendaftaran visa Schengen yang saya tempuh dimulai dari bagian ini. Harap diperhatikan bahwa informasi di bawah benar setidaknya hingga Mei 2016, dan pendaftaran visa dilakukan di Kedutaan Besar Prancis di Tokyo, Jepang. Dokumen yang diperlukan dan metode pengurusan bisa berbeda bergantung waktu pendaftaran dan negara tujuan dalam visa Schengen.]

Sebagai warga sebuah negara yang paspornya tergolong mempunyai daya tawar lemah dalam percaturan dunia imigrasi internasional, tentunya langkah yang cukup bijak saya ambil selanjutnya adalah memastikan saya bisa memasuki wilayah Prancis. Simpelnya, saya harus mendapatkan visa Schengen untuk memasuki wilayah Prancis.
Dasar saya tinggal di negara yang paspornya kuat, pernyataan bahwa saya akan perlu mendaftar visa sempat memunculkan raut muka kebingungan di dalam ruang pertemuan lab. Beruntunglah saya, mereka masih cukup baik untuk membantu mencarikan informasi pendaftaran visa dan segenap dokumen yang saya perlukan untuk melengkapi proses pendaftaran.

Pada dasarnya, segala informasi yang diperlukan untuk mempersiapkan dokumen visa dan mendaftarkannya ke kedutaan besar Prancis dapat diperoleh dengan mudah di kedua tautan berikut:
Prosedur pendaftaran visa yang dimaksud pun sebenarnya cukup sederhana. Prinsipnya hanyalah mendaftar visa dengan menetapkan waktu kedatangan, datang tepat waktu dengan membawa segala dokumen yang diminta langsung ke kedubes, dan kemudian menunggu informasi diterima atau ditolaknya visa (yang bisa diperiksa melalui tautan ini).

Meskipun info dapat disimak dengan baik di kedua tautan yang telah saya berikan di atas, mengingat banyaknya kelas menengah ngehe yang malas menelusur informasi saya rasa bukanlah masalah besar untuk melampirkan daftar dokumen yang diminta oleh kedubes Prancis di Tokyo. (Prosedur pendaftaran visa Prancis di Jakarta dapat disimak dari tautan berikut)
  • Dokumen pendaftaran visa Schengen yang telah diisi dan ditandatangani. Dokumen harap diisi menggunakan pulpen dan ditandangani dengan tandatangan yang sama dengan tadatangan paspor.
  • Pas foto diri berwarna, ukuran 3.5 x 4.5 cm. Harap diperhatikan bahwa latar belakang foto haruslah warna putih atau warna cerah lain.
  • Paspor yang masih berlaku setidaknya 3 bulan setelah keberangkatan dari wilayah berlakunya visa Schengen. Pastikan masih ada setidaknya 4 halaman kosong di paspor, dan berikan kopi halaman identitas diri beserta tanda tangan.
  • Uang tunai setara €60 untuk biaya pengajuan visa. Harap diperhatikan bahwa uang ini tidak dapat dikembalikan meskipun pengajuan visa ditolak.
  • Bukti identitas diri. Umumnya ini berarti kartu identitas utama seperti KTP, khususnya kartu identitas yang dikeluarkan negara tempat kedubes berada. Siapkan juga kopinya.
Setelah berurusan dengan dokumen wajib, kini waktunya untuk dokumen pendukung. Dokumen yang disebutkan dalam daftar di bawah adalah dokumen yang saya berikan ketika mendaftar visa untuk keperluan turisme.

  • Surat keterangan berkuliah (在学証明書 dalam bahasa Jepang) sebagai bukti bahwa saya bermukim di Jepang dalam rangka menjalankan kuliah di Jepang. Sejauh yang saya amati, di beberapa universitas negeri di Jepang, surat semacam ini sangat mudah diperoleh. Bahkan kita bisa memperolehnya secara mandiri di mesin pencetak surat yang diletakan pada titik-titik tertentu di seantero kampus.
  • Surat undangan dari ketua tim riset, karena sejatinya saya akan diberangkatkan ke Prancis untuk berpartisipasi oleh sebuah proyek riset yang diikuti lab saya terlepas dari apa yang sebenarnya saya lakukan di sana
  • Surat keterangan keanggotaan di lab sebagai bukti saya tergabung dalam Ueda Lab sebagai seorang mahasiswa sarjana tahun terakhir. Dalam kasus saya, surat ini juga digunakan untuk memberitahukan bahwa biaya perjalanan saya akan ditanggung oleh pihak kampus. Hal yang, selain sangat menguntungkan bagi saya, juga diperlukan dalam bagian dari dokumen pendukung prosedur pengajuan visa.
  • Bukti pembayaran asuransi perjalanan internasional. Dalam perjalanan ini, saya memanfaatkan rekomendasi dari pihak lab untuk mendaftar asuransi melalui International Medical Group (IMG) Europe Ltd. Prosedur pemesanan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, bermodalkan kartu kredit tentunya.
  • Bukti pemesanan hotel untuk penginapan. Sebenarnya untuk kasus saya, telah jelas tercantum di surat undangan bahwa saya akan mendapatkan fasilitas penginapan di dalam kompleks Synchrotron Soleil. Meskipun demikian, karena saya memutuskan untuk menambahkan satu hari ekstra untuk tinggal di Prancis, saya akan membutuhkan hotel sebagai tempat menginap di satu hari tersebut. Bukti adanya tempat menginap ini perlu dilampirkan sebagai bagian dari dokumen pendukung.
  • Bukti pemesanan tiket pesawat, terutama yang jelas mencantumkan tanggal keberangkatan dan tanggal kepulangan. Konon sekadar bukti pemesanan sudah lebih dari cukup, akan tetapi karena saya berurusan dengan agen perjalanan dalam urusan ini, tepatnya H.I.S. Corporation Ltd., mau tak mau saya harus membayar tiket tersebut sebelum saya berkesempatan mengajukan permohonan visa. 
  • Fotokopi halaman terakhir buku tabungan, khususnya untuk menunjukkan saldo termutakhir akun bank. Dalam aplikasi saya pribadi, saya turut menyertakan apa yang disebut bank statement, yang pada dasarnya mencantumkan informasi yang tepat sama dengan informasi dari buku tabungan, hanya saja dikeluarkan secara khusus oleh pihak bank.
Dokumen sudah lengkap? Kini waktunya bagi saya untuk menceritakan bagaimana prosedur pengajuan visa saya laksanakan.

***

Sebagaimana telah saya sebutkan di bagian sebelumnya, setiap pemohon aplikasi visa Prancis diwajibkan membuat appointment alias perjanjian dengan pihak kedubes sebelum hadir membawa dokumen yang diperlukan. Tentu saja, karena kita berurusan dengan instansi macam kedutaan, pengurusan hanya bisa dilakukan di hari kerja. Karena kedutaan Prancis terletak di kota Tokyo, sementara saya berdomisili di kota Sendai, pergi mengurus visa berarti saya akan memakai satu hari kerja untuk pergi ke Tokyo mengurus visa; berangkat menggunakan bus Kamis malam dan pulang pada Jumat malam. Bagi saya pribadi, ini berarti urusan akan lebih mudah jika dikerjakan di penghujung hari kerja, alias hari Jumat. Dengan memperhitungkan segala waktu yang saya perlukan untuk mempersiapkan dokumen-dokumen terkait, saya tetapkan tanggal 13 Mei sebagai hari di mana saya akan melangsungkan pengajuan visa.
Waktunya? Paling mudah tentunya pagi hari; saya baru akan sampai di wilayah Tokyo pada Jumat pagi, sehingga pengurusan pada pagi hari akan mengurangi waktu tunggu saya di pagi hari, dan membuat jadwal saya di sisa hari lebih longgar.

Singkat cerita, berangkatlah saya menuju Tokyo, menuju kedutaan besar Prancis untuk mengurus visa Schengen.

Isi email pengingat waktu perjanjian pengajuan visa di.... Konsulat Prancis di Tokyo?

....Ya, kedutaan besar Prancis...?
Entahlah.

Kedatangan saya sekitar pukul 8.45 di depan pintu kedubes Prancis disambut dengan tatapan dingin sang penjaga kedubes yang menyuruh saya untuk menunggu hingga pintu ruang pengajuan visa dibukakan. Sekitar lima belas menit menunggu dihabiskan dengan mengamati beberapa "bule" (yang saya asumsikan adalah warga Prancis karena alasan yang sangat jelas), juga dengan menyaksikan beberapa orang lain yang bernasib serupa dengan saya: menunggu di depan gedung kedubes dengan map berisi dokumen pengajuan visa di tangan.
Dua-tiga menit selepas pukul sembilan pagi, kami para pemohon dipersilakan masuk ke dalam ruangan dengan alat pemindai memeriksa barang bawaan kami.

Tak butuh lama bagi kami untuk menunggu di dalam, karena secara bergantian kami para pemohon dipanggil untuk mendatangi loket-loket yang tersedia di sisi lain ruangan.
Prosedur pengajuan visa sendiri sederhana saja: memberikan semua dokumen yang diminta, menjawab beberapa pertanyaan yang sesekali dicetuskan oleh sang petugas, membayar biaya aplikasi visa, dan melenggang keluar dari bangunan kedubes.
Hanya saja, saya merasa perlu membahas beberapa hal terkait prosedur pengajuan visa:
  1. Pentingnya menyiapkan pas foto yang sesuai dengan kriteria; foto berwarna dengan latar belakang warna cerah. Pas foto saya berakhir dengan latar belakang biru yang cukup tegas, yang secara teknis tidak memenuhi syarat yang diminta. Artinya, saya harus mengambil pas foto baru. Untungnya, di loket pengajuan visa, kamera telah disiapkan untuk menjepret foto pemohon dengan latar belakang warna putih. Ruginya, pas foto yang dimasukkan ke dalam aplikasi tidak dikembalikan ke pemohon. Sehingga satu dari tiga pas foto yang telah saya cetak terbuang sia-sia. Atau tidak, karena dari kejadian itu ada hikmah yang bisa saya dapatkan.
  2. Pentingnya menyiapkan kopi dari dokumen-dokumen yang disiapkan. Pada dasarnya, kebijakan kedubes Prancis di Tokyo (dan mungkin kedubes negara lain di tempat lain) menetapkan bahwa pihak kedubes tidak menyediakan jasa fotokopi. Ini berarti segala dokumen asli yang diberikan tanpa kopi akan dianggap sebagai bagian dari dokumen asli, alias tidak perlu dikembalikan. Untuk ini perlu berhati-hati.
  3. Jika kamu tinggal cukup jauh dari kedubes, ada baiknya mencari tahu kalau kalau kamu tidak perlu datang ke kedubes untuk kedua kalinya. Untuk kasus kedubes Prancis di Tokyo, jelas tercantum bahwa pemohon visa diberikan hak untuk meminta paspor yang telah diberi visa dikirim langsung ke alamat rumah. Bermodal amplop Letter Pack merah seharga 540 yen yang diberikan bersama dokumen-dokumen, saya tidak perlu lagi mendatangi kedubes Prancis untuk mengambil paspor yang telah dipasangi visa, karena paspor akan dikirim langsung menuju rumah. Tentu saja alamat rumahmu harus tertulis jelas di amplop tersebut, dan amplop ini harus disiapkan sendiri.
Prosesi pengajuan visa berlangsung tak lebih dari 30 menit. Tak lama setelah saya mulai memasuki gedung kedubes Prancis, saya telah mendapati diri saya melenggang di bus menuju Shinjuku. Sisa hari saya lewati dengan berkelana mengunjungi beberapa titik, seperti kampus Tokodai (東工大, Tokyo Institute of Technology), dek pengamatan dari gedung pemerintah Metropolitan Tokyo (東京都庁 Tōkyō Tochō) dan satu-dua resto.
Singkat cerita, saya bertolak ke Sendai pada Jumat malam, dan paspor yang telah dibubuhi visa sampai ke rumah saya pada Rabu siang, 18 Mei.

Didapatnya visa Schengen berarti bagian terpenting dari pra-perjalanan telah terlaksana; apalagi mengingat pengajuan visa memerlukan tuntasnya beberapa hal penting seperti pengurusan tiket pesawat dan penginapan. Selebihnya hanyalah hal remeh-temeh macam persiapan jelang riset, baik itu berupa orientasi fasilitas riset, pengenalan akan topik riset yang akan dikerjakan selama dua minggu di Benua Biru, dan segala macam hal lain yang rasanya tidak cukup penting untuk dibahas di sini.

Sebagai penutup, saya akan suguhkan gambar berikut.



Di bagian berikutnya, tulisan ini sudah akan melanglang buana dari Benua Biru sana.
Sampai jumpa!
Lanjutkan baca »

Kamis, 09 Juni 2016

Article#555 - Di Balik Bayang Saturnus


"If I can see further, it is because I lurk in the shadow of the giant."

Sebelum sebagian dari pembaca yang cukup cermat dan cukup sensitif bersegera mengkritisi kutipan di atas, saya hanya akan tekankan bahwa itu bukan ucapan Newton. Iya, tulisan yang mengawali post ini bukan kutipan mengenai bahu raksasa yang mungkin sudah berjejer siap dituturkan di ujung lidah kalian. Tidak, karena ungkapan semacam ini hanya mungkin dituturkan oleh mereka yang memang sesekali bersemayam di balik bayang-bayang raksasayang, sebagaimana pengetahuan kita telah sampaikan, tidak kita akrabi dalam keseharian. Di sini, kita bicara soal raksasa yang jauh melampaui sudut pandang fana kita, bergerak melampaui pencerapan indera fana kita. Raksasa yang melaju mengarungi angkasa, bersama sekian banyak pengiring setianya, mengarungi angkasa mengelilingi sang Surya.

Meskipun indera fana manusia teramat lemas batasnya, mereka masih berjaya menempatkan mata-matanya bersama para pengiring sang raksasa.
Memasuki wilayah kekuasaan sang raksasa sejak Juli 2004, mata-mata bernama Cassini ini telah menghabiskan bertahun-tahun mengorbit dan mempelajari sang raksasa, Saturnus, beserta segenap bulan-bulan yang setia mengorbitnya di sekitar. Dasar mata-mata, selain sekujur tubuh Saturnus beserta segenap cincin dan bulan-bulannya, Cassini tidak bisa melihat lebih jauh. Bahkan mengarahkan kamera kembali ke tempat asalnya di Bumi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi dengan pijar cahaya Matahari yang masih cukup kuat untuk merusak sensor kamera Cassini yang sensitif.

Karenanyalah, diperlukan satu momen khusus di mana Cassini dapat kembali menyapa Bumi tempatnya berasal melalui sejepret citra: momen terhalangnya pijar cahaya Matahari. Bagi Cassini, ini berarti kesempatan terbaik adalah ketika ia melesat memasuki bayang-bayang Saturnus, mencerabut kutukan sinar Matahari dari sensor kameranya untuk mulai bekerja. Hari itu, 19 Juli 2013, Cassini menjalankan programnya memotret sekian banyak foto untuk menyusun citra Saturnus yang menghalangi sinar Matahari, beserta sistem cincinnya, beberapa bulannya, juga tiga planet: Venus, Bumi, dan Mars.

Citra Saturnus beserta tujuh bulannya dan tiga planet di latar belakang. Posisi ketujuh bulan
dan ketiga planet ditandai pada citra. Klik gambar untuk memperbesar.
Sayang seribu sayang, berurusan dengan bulan-bulan kecil tersebut bersamaan dengan Saturnus sang raksasa sendiri berarti hanya memberikan ruang dalam hitungan beberapa piksel bagi bulan-bulan tersebut. Ini berarti, meskipun piksel yang tersedia masih memungkinkan tertandainya keberadaan bulan-bulan kecil macam Prometheus dan Pandora, kesempatan yang dapat ditawarkan untuk mengupas keduanya lebih dalam juga tidak banyak. Hal serupa juga terjadi pada Janus dan Epimetheus, duo bulan yang berbagi orbit dalam perjalanannya mengitari Saturnus. Sehingga kemudian kita berlarian menuju satelit-satelit yang wujudnya sudah cukup jelas.

Enceladus yang mempertontonkan wujudnya di citra ini adalah salah satu satelit Saturnus yang paling banyak menyita perhatian ilmuwan, tentunya setelah satelit terbesar, Titan. Dimulai dari pencerapan Voyager 2 pada Agustus 1981, permukaan Enceladus yang tampak mulus bebas bulu dan amat cerlang (sebanding dengan salju) sudah menarik perhatian ilmuwan. Cassini yang datang lebih dari dua puluh tahun kemudian justru membongkar rahasia Enceladus yang paling membuatnya diminati para ilmuwan: aktivitas geologi berupa semburan dengan isi serupa material yang dihembuskan komet. Belakangan diketahui bahwa material semburan terkait berasal dari samudra di bawah permukaan es Enceladus, yang disemburkan sebagaimana tampak pada citra di sebelah kiri: melalui retakan-retakan di daerah kutub selatan Enceladus. Bagaimana sebuah objek berdiameter 504 km dengan aktivitas geologi tidak memicu ketertarikan ilmuwan?

Sejenak memperhatikan citra di sebelah kiri mungkin tidak akan langsung membuat mata Anda yakin akan keberadaan sebuah objek di dalamnya. Mimas, satelit terkecil Saturnus dengan bentuk mendekati bulat, di citra ini tampak sebagai noktah hitam karena posisinya yang hanya menyuguhkan sabit tipis bagi kamera Cassini (yang bahkan tak kentara terlihat berkat resolusi yang tidak memadai). Satelit yang satu ini mungkin tak semenarik Enceladus: tidak ada semburan partikel es, duh. Tetapi Mimas memiliki ciri khas tersendiri: mulai dari bentuk yang mirip telur akibat tarikan gravitasi Saturnus, hingga kemiripannya dengan Death Star dari Star Wars berkat keberadaan kawah Herschel (139 km). Walaupun dengan diameter rerata 396 km, Mimas masih dua setengah kali lebih besar dari pada wahana fiktif yang tersohor itu.

Pada detik-detik diketikkannya tulisan ini tercatat Saturnus memiliki 62 buah bulan, tidak termasuk sekian juta keping batu yang bersatu menyusun cincin Saturnus. Tetapi, dari semua itu, hanya ada 5 bulan dengan diameter lebih dari 1000 km, dan bulan di sebelah kiri, Tethys, adalah yang terkecil dari semuanya dengan diameter rerata 1062 km. Dalam beberapa aspek, Tethys dapat disebut sebagai gabungan Mimas dan Enceladus: keberadaan kawah Odysseus berdiameter 445 km (42% diameter Tethys) dapat menempatkan Tethys sebagai kandidat lain bulan-mirip-Death-Star milik Saturnus. (Meskipun kawah Herschel milik Mimas lebih kentara dibandingkan Odysseus.)
Di sisi lain, Tethys juga memiliki permukaan yang sangat cerah–faktanya, terterang kedua setelah Enceladus–hal yang membuat warna kekuningannya di citra tampak mencurigakan. Menilik fasenya yang tampak menghadapkan wajah terang kekuningan Tethys ke arah Saturnus mungkin akan menjelaskan dari mana warna kekuningan itu berasal. Akan tetapi, situasi masih terasa agak mencurigakan, menilik konfigurasi posisi Tethys relatif terhadap Matahari.
Tapi sudahlah, itu bukan urusan saya.

Puas menelusur bulan-bulan Saturnus yang tampak pada citra, kini saatnya kita melayangkan pandangan lebih jauh. Dalam konteks ini, benar-benar lebih jauh—saking jauhnya, perjalanan langsung dari Saturnus ke bagian dalam Tata Surya dengan kecepatan cahaya akan memakan waktu lebih dari satu jam.

Selayang pandang menyusuri planet kejora Venus, agaknya komentar yang akan muncul kemudian adalah tentang betapa Venus masih cukup terang untuk terlihat sejauh itu dari Saturnus, bahkan ketika fase Venus didapati berupa sabit yang demikian tipis (ingat kasus Mimas tadi?). Sebagai titik putih bermagnitudo +4.2 menurut piranti lunak Stellarium 0.12.0, Venus hanya akan tampak sebagai bintang redup yang tak tampak spesial.

Kasus yang sama agaknya juga akan terjadi pada Mars, yang meski sedikit lebih jauh dari Matahari dibanding Venus, juga lebih redup, hanya tampak sebagai titik kemerahan bermagnitudo +5,3, lagi-lagi berdasarkan perhitungan piranti lunak Stellarium 0.12.0. Pada titik ini saya mulai mempertanyakan perbandingan kecerlangan antara kedua planet dengan bintang dalam rasi Aries yang berada di dekatnya. Sebagai contoh, bintang HIP 13643 di sisi kiri atas foto Mars tercatat bermagnitudo +7,8. Dengan ambang batas penglihatan mata manusia standar pada +6, di posisi Cassini kita mungkin bisa melihat Mars, tetapi tidak bisa melihat bintang di kiri atas. Entah secerlang apa sebenarnya kedua planet terlihat oleh Cassini.

Terakhir, Bumi.
Ketika Cassini melayangkan kameranya menghadap Bumi, kita mungkin bertanya-tanya apakah Cassini akan mendapati Bumi sebagai sebuah objek spesial. Sebuah titik biru bermagnitudo +3,4 di kejauhan, meskipun lebih terang dibanding baik Venus maupun Mars pada momen 19 Juli 2013 tersebut, tetap saja bukanlah titik yang spesial di tengah lautan gemintang. Kita bahkan perlu perbesaran sedemikian rupa untuk mendapati Bumi dan Bulan tampak terpisah, sebagaimana tertuang dalam citra.
Apakah Bumi tampak menonjol di antara titik-titik cahaya yang menghiasi langit malam itu, mungkin kita tak akan pernah benar-benar tahu. Cassini pun agaknya hanya mengenali titik biru itu sebagai Bumi karena instruksi yang diberikan oleh para pengendalinya nun jauh di sana. Semata karena Cassini telah diberi tahu, bahwa objek itu, titik biru pucat yang sedang ia ambil citranya, adalah tempat ia berasal.

Pada titik ini, agaknya saya akan menutup tulisan dengan petikan dari narasi Carl Sagan yang terkenal itu, Pale Blue Dot.
“Look again at that dot. That's here. That's home. That's us. On it everyone you love, everyone you know, everyone you ever heard of, every human being who ever was, lived out their lives. The aggregate of our joy and suffering, thousands of confident religions, ideologies, and economic doctrines, every hunter and forager, every hero and coward, every creator and destroyer of civilization, every king and peasant, every young couple in love, every mother and father, hopeful child, inventor and explorer, every teacher of morals, every corrupt politician, every "superstar," every "supreme leader," every saint and sinner in the history of our species lived there-on a mote of dust suspended in a sunbeam.

The Earth is a very small stage in a vast cosmic arena. Think of the endless cruelties visited by the inhabitants of one corner of this pixel on the scarcely distinguishable inhabitants of some other corner, how frequent their misunderstandings, how eager they are to kill one another, how fervent their hatreds. Think of the rivers of blood spilled by all those generals and emperors so that, in glory and triumph, they could become the momentary masters of a fraction of a dot.
"

....
....

It has been said that astronomy is a humbling and character-building experience. There is perhaps no better demonstration of the folly of human conceits than this distant image of our tiny world. To me, it underscores our responsibility to deal more kindly with one another, and to preserve and cherish the pale blue dot, the only home we've ever known.”

sumber gambar asli (paling atas)
Lanjutkan baca »

Selasa, 15 Maret 2016

Article#526 - Manenung Gawin Rahu (5): Meragu

Sebelum membacaTulisan kali ini akan menjadi penutup kelanjutan dari serial "Manenung Gawin Rahu", yang secara kasar bermakna "memperkirakan pergerakan Bulan" dalam bahasa Dayak Ngaju. Serial yang telah difokuskan pada kisah panjang belasan tahun antara saya, astronomi, dan suatu kejadian astronomi spesial: gerhana matahari total.
Jika Anda yang mampir di laman ini belum membaca bagian sebelumnya, silakan menjumpanya dan menilas serial ini dari bagian pertamakedua, ketiga atau keempat.

Edisi kelima, di mana saya mempertanyakan segenap langkah saya.

Selamat membaca!

*****

Jika kalian mencermati bagian kedua dengan baik, kalian akan mendapati adanya pergeseran fokus sepanjang bergulirnya tulisan. Dari tulisan yang dititikberatkan kepada perjalanan saya mendalami ilmu astronomi, hingga kemudian dititikberatkan pada kiprah olimpiade. Dari perjalanan menjemput impian mempelajari seisi alam semesta, hingga perjalanan menghadapi setumpukan kertas dengan coret-coret tinta dan grafit, dengan harapan seonggok logam cetakan yang telah disaput dengan kilau kemuliaan akan menemukan tujuannya berkalung di leher saya. Dasar aneh.
Iya, aneh.
Lebih aneh lagi ketika saya merasa tidak yakin betul sejak kapan orientasi belajar astronomi saya terbelokkan dari mendalami ilmu astronomi hingga kemudian demikian menggebu mengikuti ajang demi ajang olimpiade. Mungkin ada kaitannya dengan aura kompetisi yang memicu semangat, tetapi faktanya sebagian besar masa pembelajaran astronomi saya tidak begitu didorong oleh semangat berkompetisi. Setidaknya, saya di masa itu lebih cenderung memaksimalkan waktu (tanpa saya benar-benar rencanakan) untuk mengunyah segenap buku teks astronomi milik teman saya.

Kalaupun ada keinginan berkompetisi menuju jenjang tertinggi, saat-saat terawal semangat itu muncul, saya rasa, adalah ketika saya bersiap dalam pelatihan menuju olimpiade tingkat provinsi. Menghadapi sekian persoalan astronomi membuat saya makin lama makin yakin akan mampu terus melaju, dan kemudian hal ini terbukti saat saya mendapat kepastian lolos ke ajang tingkat nasional di Manado sana. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, salah satu pengajar membocorkan betapa hasil kerjaan saya menggapai 3 besar terbaik dari seluruh peserta OSP. Bagaimana ego itu tidak membusung. Dua orang penghuni peringkat 1 dan 2 adalah James Lim dan Leonard, nama yang tidak pernah saya lupakan sebagai peringkat 1 dan 2 sejak saat itu, akhir Juli 2011, hingga saat tulisan ini diketikkan.
Itu, dan mungkin efek dari indoktrinasi banyak pelatihan yang mendorong para pelajar untuk berlomba menuju medali olimpiade. Sebagian kita tentu mafhum bahwa anak muda yang masih hijau akan luasnya dunia di luar sana akan menjadi sasaran empuk bagi segala macam indoktrinasi, hal yang sama mungkin terjadi pula pada saya. Mungkin.

Pada akhirnya, semangat berkompetisi saya terus dipantik oleh keyakinan bahwa saya bisa terus melaju. Bayangkan saja dirimu berada pada posisi tersebut, melaju ke ajang tingkat nasional sebagai salah satu dari pemuncak dalam hasil seleksi. Sebagian besar kita agaknya akan menganggap membuncahnya ego sebagai hal yang wajar. Dan ketika ego sudah berkuasa, dia sangat suka membiarkan dirinya bertumbuh, terus membesar, meninggi melampaui angkasa khazanah kesadaran manusia. Membuat si manusia terpaku pada satu arah pandang, yaitu terus melaju menumbuhkan ego seiring waktu.
Atau dalam konteks ini, terus melaju mengendarai roda olimpiade yang terus bergulir.

.....
Di bagian dua saya telah memaparkan bagaimana saya berkelana menuju sebuah kulminasi dari dua tahun pengembaraan saya di perlombaan astronomi masa SMA. Saat-saat di mana semangat saya mendalami segenap dunia astronomi kemudian terbelokkan menjadi semangat menuju capaian tertinggi, medali termentereng, atau nilai paling spektakuler.
Cuplikan yang saya kupas di bagian kedua berakhir pada tahap tercapainya medali OSN Astronomi 2011 dalam genggaman saya. Ini berarti, saya mendapatkan tiket menuju pelatihan nasional alias pelatnas, sebuah ajang di mana saya bersama 23 rekan seperjuangan akan bolos sekolah selama sebulan penuh digembleng lebih lanjut di bawah bimbingan dosen-dosen astronomi ITB. Tujuan penggemblengan ini semata untuk mempersiapkan dan menyeleksi 5 siswa/i yang nantinya akan disajikan sebagai timnas dalam ajang olimpiade astronomi internasional atau IOAA di tahun berikutnya.
(Pada dasarnya, semua peraih medali OSN di bidang astronomi yang berjumlah 30 siswa/i diundang untuk ikut serta dalam pelatnas, dan namanya juga diundang, setiap siswa berhak untuk menerima atau menolak undangan tersebut. Bocoran: hampir semua yang menolak undangan pelatnas memberikan "persiapan menuju kuliah" sebagai alasan penolakan.
Non-peraih medali pun bisa menerima undangan dalam kasus khusus, misalnya sebagai peraih medali olimpiade astronomi internasional di tahun sebelumnya.)

Maka setelah hingar-bingar pasca pengumuman OSN memudar, digulirkanlah pelatnas bagi tiap-tiap bidang di berbagai lokasi, berkisar di dekat wilayah kekuasaan universitas besar macam UI, UGM, ITB, dan IPB. Saya sendiri sebagai peserta pelatnas astronomi ditempatkan di kota Bandung, di bawah arahan Prodi Astronomi ITB, dari akhir Oktober hingga awal November 2011.
Pada dasarnya, pelatnas 1 saya rasakan cukup rileks dan menyenangkan. Bagi 24 orang peraih medali astronomi, mungkin mempelajari materi astronomi lebih dalam dan terperinci telah menjadi sebuah keseharian yang menyenangkan. Sehingga, tekanan ataupun persaingan dalam bentuk apapun hampir tidak terasa. Oh, kecuali pada momen-momen tertentu di mana kami melepas penat dengan mengadakan kompetisi futsal. Dengan 20 orang dari kami adalah siswa, pertandingan dapat digulirkan dengan mudah. Kami bisa saja mengundang peserta pelatnas biologi, tetapi tidak banyak dari mereka yang rela ikut bermain bola mungkin merasa tidak cukup laki, sehingga pada umumnya pertandingan futsal terbatas pada kami berduapuluhempat (ya, dalam beberapa kesempatan para gadis pun ambil bagian).
Kegiatan lain kebanyakan berkutat pada ajang ngegame di salah satu kamar, ajang pengambilan jatah U****Milk dan ****ie dalam kadar yang tidak manusiawi, atau akhir pekan yang diisi kunjungan ke berbagai lokasi.
Secara umum, asyik dan seru. Kegiatan terkait studi astronomi pun tergolong menarik untuk dijalani bagi saya, dan di sisi lain saya pun tetap terpacu untuk mendalami astronomi lebih jauh sembari berusaha memastikan diri lolos ke babak selanjutnya.

Tim pelatnas astronomi menuju IOAA 2012, tahap satu.
Babak selanjutnya yang bertajuk pelatnas tahap dua tidak berlangsung hingga lebih dari dua bulan kemudian. Dalam jeda itu, kebanyakan kita kembali menjalani kehidupan sekolah seperti biasa. Walaupun usaha itu pun agaknya percuma saja, berhubung kehadiran setelah sekian lama menghilang tentu akan mengundang wajah-wajah penasaran, tanya-tanya keingintahuan, atau materi pelajaran yang tiap hadirnya makin membuat bingung isi kepala.
Lebih pelik lagi, berita penentuan lolos atau tidaknya kami anggota pelatnas astronomi tak kunjung tiba hingga semester 6 bergulir, tepatnya pada akhir Januari 2012. Dalam beberapa pekan, kami harus segera bergulir dari fase anak tingkat akhir SMA yang polos dan tak tahu-menahu akan dunia olimpiade menjadi pembelajar paten yang siap melahap materi demi mendapat tiket keikusertaan ke Rio de Janeiro, Agustus nanti.

Sehingga berangkatlah kami para undangan menuju pemberhentian masing-masing.
Sebagai peserta pelatnas astronomi tahap 2, saya beserta 15 orang lain yang juga lolos dari tahap 1 bersiap untuk menjalani sebulan penggemblengan dalam arahan para dosen ITB. Sebagai tahap lanjutan, saya sudah menyangka bahwa pelatnas kali ini akan lebih padat dan ketat jadwalnya dibanding pelatnas sebelumnya. Selain sebuah fakta yang tidak perlu ditanya bahwa tahap 2 adalah lanjutan dari tahap 1, peserta pelatnas lebih sedikit, dan seleksi setelah pelatnas yang ini akan menyisakan 7 orang untuk diutus ke olimpiade astronomi internasional. Tepatnya, 5 orang ke International Olympiad on Astronony and Astrophysics (IOAA) 2012 di Rio de Janeiro, dan 2 orang ke International Astronomy Olympiad (IAO) 2012 di Gwangju. Berhubung IAO disyaratkan hanya bagi mereka yang selambat-lambatnya menempuh kelas sebelas, satu-satunya kesempatan yang terbuka bagi saya dan sekian banyak peserta lainnya adalah pintu menuju IOAA.

Pelatnas pun mulai bergulir, dan dugaan saya akan pelatnas tahap dua ini pun terbukti: Jauh lebih padat dari edisi sebelumnya. Materi yang lebih tinggi, tes yang lebih banyak, hingga kunjungan ke Bosscha yang dua kali lipat lebih sering dari pada di pelatnas pertama.
Sampai di titik ini pun, sebenarnya ini masih bisa ditoleransi. Lha namanya juga pelatnas. Masalah (bagi saya) muncul ketika ada penugasan melaporkan hasil pengamatan di Bosscha. Pada. prinsipnya, kami dilatih untuk mendayagunakan kamera khusus berjudul Charge-Coupled Device alias CCD dalam mengamati objek tertentu di langit. Dengan segala proses berliku untuk mendapatkan citra, kami pun masih dituntut untuk mengerjakan laporan tersebut di luar rangkaian kegiatan.
Alhasil, saya yang pada dasarnya tidak begitu meminati pekerjaan rumah, tidak menerima limpahan tugas tersebut dengan tangan terbuka. Gabungkan ini dengan tuntutan diselesaikannya pekerjaan, maka yang terjadi adalah semangat berjuang yang turun. Jika kamu adalah orang yang pernah berpengalaman dengan pelatnas, turunnya semangat di tengah bergulirnya pelatnas mungkin adalah sesuatu terburuk yang dapat dibayangkan oleh pesertanya. Mulai dari sana kamu tidak akan sepenuhnya konsentrasi mendengarkan materi, tidak fokus menyimak arahan, atau bahkan sedemikian mengantuknya hingga bisa tertidur melewatkan satu atau dua sesi kelas.
Tim pelatnas astronomi menuju IOAA 2012, tahap 2.
Latar belakang foto adalah teleskop radio HII milik Observatorium Bosscha.

Pada kondisi semacam inilah, kondisi yang pernah saya jelaskan dulu (baca artikel 73) mulai datang mengisi keseharian. Setelah sekian lama saya terbang di atas rasa pede karena yakin akan terus melaju, akhirnya kaki saya kembali menjejak Bumi. Pikiran-pikiran akan peluang tidak lulusnya saya ke Brazil semakin terlihat nyata, dan di masa ketika pelatnas memasuki masa paling padatnya, saya memutuskan bahwa itu bukanlah pikiran yang baik dan harus dienyahkan. Tetapi di hari-hari terakhir pelatnas, usaha menepis pikiran-pikiran tersebut agaknya menjadi bahan delusi yang mengaburkan pandang saya dari kenyataan yang mungkin datang.

Pada saat itulah saya mulai merenungkan pertanyaan penting yang juga dulu saya bahas: setelah semua rangkaian olimpiade ini selesai, lalu apa? Terlalu berambisi mengejar tiket ke Brazil agaknya membuat saya lupa bahwa rangkaian olimpiade ini sudah hampir selesai. Lolos ke IOAA, berkompetisi, kemudian selesai. Tidak lolos ke IOAA, selesai sudah kehidupan olimpiade.

Lalu apa setelah olimpiade? Sebagai siswa di semester terakhir di sebuah sekolah madrasah yang getol mendorong siswa-siswinya untuk melanjutkan pendidikan, jawabannya mungkin sudah jelas: kuliah di suatu perguruan tinggi. Tetapi jawaban yang sudah jelas ini memunculkan pertanyaan lanjutan: kuliah di bidang apa? Jika kamu adalah olimpian yang berdedikasi pada bidangmu dan memang demikian mencintai bidangmu itu untuk betah berlama-lama dihidupi olehnya, jawabannya juga akan mudah. Sayangnya, bidang saya, astronomi, terkenal dengan tingkat dedikasi yang rendah, bahkan bagi olimpian yang lama berkecimpung di dalamnya. Rendahnya tingkat persaingan masuk jurusan MIPA di berbagai universitas mungkin telah menjadi rahasia umum. Akan tetapi, bahkan di dalam lingkup olimpiade astronomi sendiri, amatlah jarang yang cukup berdedikasi meneruskan perjalanannya mendalami astronomi. Di pelatnas angkatan saya, dari total 21 peserta, hanya 2 orang yang kemudian melanjutkan perjalanan di bidang astronomi. Selebihnya cenderung berpaling ke beragam jurusan teknik, dengan populasi cukup banyak berada di teknik mesin dan teknik elektro (yang secara umum pun tergolong jurusan yang cukup populer). Sampai saat ini saya tidak yakin, apakah memang para pengurus olimpiade nasional (khususnya astronomi) menyadari hal ini, karena ini telah menyelisihi tujuan awal dibentuknya OSN sesuai yang tercantum di berbagai sumber, yang berkisar pada ide "mencetak generasi ilmuwan muda mumpuni Indonesia" dalam bidang-bidang yang dilombakan.

Saya sendiri? Selain sebuah niat yang saya cetuskan di awal akan tiadanya keinginan menjadi seorang ahli di bidang tertentu, pengalaman yang kurang bersahabat di masa pelatnas kedua menyurutkan tekad untuk mencoba peruntungan di jalur studi Astronomi ITB.
Meskipun demikian, terlepas dari kampus dan jurusan mana yang kemudian saya tuju (untuk bahasan ini sila cek artikel 94), ada pertanyaan penting yang masih menggelayut hingga sekian lama selepas pelatnas:

Apakah pengembaraan saya pada bidang astronomi akan saya sudahi sampai di sini saja?

Menilik pembicaraan soal olimpiade yang segera berakhir, mungkin akhir pembelajaran saya akan astronomi menjadi kemungkinan yang tak terhindarkan. Tetapi, setelah hampir sepuluh tahun berkecimpung dengan tenang di dalamnya, agaknya adalah pilihan yang bodoh jika semua kemesraan ini saya biarkan cepat berlalu. Maksud saya, untuk apa meluangkan waktu sekian lama dan tenaga sekian banyak untuk sesuatu, hanya untuk kemudian meninggalkannya begitu saja? Meskipun sebagian kawan saya agaknya mengambil langkah tersebut (menilik banyaknya "materi astronomi yang terlupa"), saya tidak sudi mengambil langkah serupa.
Cukup olimpiade saja yang berakhir, karena memang sudah dekat akhir itu menjelang. Tetapi saya tidak akan menghentikan perjalanan ini hanya karena masa-masa jaya olimpiade telah usai. (Pada awal April 2012, diumumkan bahwa saya, pada akhirnya, memang tidak lulus. Syukurlah, saya malah merasa tenang-tenang saja.)
Setidaknya, meski saya tidak menjadi salah satu dari astronom muda nan mumpuni, saya bisa tetap berkecimpung di dalamnya.

Bagaimana?
Jalan paling sederhana yang saya lihat adalah melalui media sosial. Bahkan dulu di tahun 2012, grup-grup tertentu sudah demikian rajin menjalankan diskusi astronomi. Terutama diisi oleh siswa SMA (kemudian juga SMP), yang entah sedang belajar astronomi atau sedang mempersiapkan diri menuju olimpiade astronomi, saya baru menjejaki isi grup ini secara lebih serius sejak saya berpisah jalan dengan MAN IC Serpong, tempat saya bernaung selama tiga tahun. Adanya waktu luang yang demikian banyak membuat saya mencari alokasinya lewat berbagai cara. Selanjutnya mudah saja: saya mendatangi, saya berpartisipasi, dan saya menanggapi diskusi.

Partisipasi setelah saya mengakhiri kiprah olimpiade, berarti posisi saya dalam berdiskusi akan berada pada posisi seorang mentor yang akan membimbing para siswa SMA tanggung itu menuju kancah olimpiade astronomi. Terdengar membosankan? Betul sekali, sehingga kehadiran oknum-oknum tertentu yang berusaha menyebarkan keyakinan akan hoax (berita bohong) dan cocoklogi (pencocokan paksa dalil agama dengan fakta ilmiah) terasa seperti angin segar—walaupun dulu saya menanggapinya dengan rasa campur aduk antara heran dan bingung. Di dunia nyata, saya mencoba mengarahkan diri untuk mengajar astronomi sebagai perwakilan suatu lembaga bimbel olimpiade. Iya, lembaga serupa yang sempat saya sebut sebagai tempat indoktrinasi olimpiade bagi para siswa. Yasudahlah ya, toh semua senang.

Pada akhirnya, segala interaksi yang telah saya jalani dalam 6 tahun ke belakang telah banyak menghadirkan kolega dan kenalan baru bagi saya, baik yang masih setia bersua dengan astronomi maupun yang telah berpisah jalan (terlepas dari sejauh apa pengetahuan astronominya memudar).
Dua tahun pertama dengan banyak rekan seperjuangan di jalan olimpiade astronomi, serta kemudian segenap regu pengelola pelatihan astronomi yang mencakup dosen-dosen dan para mahasiswa Prodi Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung.
Sementara empat tahun setelahnya menghadirkan banyak kolega dari berbagai kalangan, mulai dari astronom profesional, para pembelot dari astronomi profesional yang kemudian mengurus pendidikan astronomi, hingga figur-figur muda yang penuh semangat dalam mempelajari astronomi dan memperkenalkannya ke khalayak ramai secara membumi.

Empat belas tahun terakhir bersama astronomi telah menjadi perjalanan yang demikian menyenangkan, dan mungkin masih banyak kejutan yang menanti di waktu yang akan datang.
Sekarang waktunya untuk menyudahi tulisan ini, dalam rangka menilas ulang perjalanan yang telah saya tempuh hingga saat ini, dan juga supaya Anda sekalian yang membaca tidak mulai menduga bahwa astronomi adalah panggilan bagi pasangan hidup saya. Oke sip.

"Logo" tim olimpiade MAN IC Serpong. Pada dasarnya,
logo ini dibuat dari logo OSN yang dipadukan dengan
logo MAN IC. Karya Nabil.
Logo ini juga dipakai di laman akun Twitter tim
olimpiade MAN IC Serpong, @OSN_ICS.

Nama Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2010 tingkat Kota Tangerang Selatan
Waktu Awal April 2010
Lokasi Kota Tangerang Selatan
Deskripsi 30 soal pilihan ganda dalam waktu 2,5 jam. Materi kental berkisar di topik matematika-fisika dengan beberapa adaptasi ke ranah astronomi, atau "astronomi hitungan".
Capaian Peringkat 6 di kota Tangerang Selatan.
Konsekuensi Saya tidak lolos ke OSP 2010.


Foto sejenak setelah Try Out OSN Astronomi 2011.
Dari kiri ke kanan: Rizky alias Elmo, Nabil, Khalid, Gian, Wira.
Nama Try Out OSN Astronomi 2011
Waktu 19 Februari 2011
Lokasi Planetarium Jakarta
Deskripsi Lomba pertama selain OSN yang didedikasikan untuk bidang astronomi, setidaknya sejauh pengetahuan kami anggota klub. Pengerjaan dan pembahasan soal dilangsungkan di hari yang sama.
Capaian Peringkat kedua.
Konsekuensi Suntikan semangat? Bingkisan? Entahlah.


Nama Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2011 tingkat Kota Tangerang Selatan
Waktu Awal April 2011
Lokasi SMAN 2 Kota Tangerang Selatan
Deskripsi Titik beratpada "astronomi teori", terutama topik evolusi bintang.
Capaian Peringkat 1 di kota Tangerang Selatan.
Konsekuensi Saya lolos ke OSP 2011.

22 wakil MAN IC Serpong di OSP 2011, Banten, bersama guru dan staf IC.
Foto oleh Pak Away Baidhowy.
Nama Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2011 tingkat Provinsi Banten
Waktu 6-7 Juni 2011
Lokasi Hotel Marbella, Anyer, Banten
Deskripsi Setelah di hari pertama para peserta dikumpulkan di hotel Marbella, keesokan harinya kami menjalani lomba. Bagi astronomi, ada 20 soal PG dan 5 soal esai.
Capaian Peringkat 1 di lingkup provinsi Banten, sekaligus ke-3 dalam lingkup nasional.
Konsekuensi Saya beserta Nabil lolos menuju OSN 2011 di Manado.

Nama Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2011 tingkat Nasional
Waktu 11-16 September 2011
Lokasi Kota Manado, Sulawesi Utara
Deskripsi Peserta dari seluruh Indonesia dikumpulkan dan diuji dalam dua sesi tes, tes praktek (pengolahan data + observasi) serta tes teori.
Capaian Peringkat 5 nasional.
Konsekuensi Saya mendapat medali emas dan berhak mengikuti pelatnas 1.

Nama Pelatihan Nasional (Pelatnas) Tahap 1 menuju IOAA 2012
Waktu 23 Oktober - 22 November 2011
Lokasi Wisma Kartini, Bandung, dan Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat
Deskripsi Peraih medali bidang astronomi dikumpulkan untuk digembleng dan diseleksi menuju timnas untuk IOAA 2012.
Capaian 16 besar.
Konsekuensi Saya lolos seleksi dan berhak mengikuti pelatnas 2.

Nama Pelatihan Nasional (Pelatnas) Tahap 2 menuju IOAA 2012
Waktu 19 Februari - 18 Maret 2012
Lokasi Wisma Kartini, Bandung, dan Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat
Deskripsi Peraih medali bidang astronomi dikumpulkan untuk digembleng dan diseleksi menuju timnas untuk IOAA 2012.
Capaian Tidak mencapai 5 terbaik.
Konsekuensi Saya tidak lolos seleksi dan tidak menjadi bagian dari timnas di IOAA 2012.

Sebagai penutup tulisan dan serial ini, terhatur terimakasih kepada segenap rekan dan guru, terutama yang ikut berkontribusi membantu saya dalam perjalanan ini.

Rekan KBS Astronomi dari masa ke masa
Dimas Budiharto
Emil Fami Yakhya
Mirza Muhammad Hanif
Muhammad Diba Azmi Syarif
Syarif Hidayatullah
Adhitya Kusumawardhana
Mochammad Adib
Muhammad Nabil Satria Faradis
Khalid Adil
Arief Faqihudin
Rizki Nur Fitriansyah
Muhammad Izzuddin Prawiranegara
Arafah Khairul Ummah
Nur Muhammad Ichsan
Andriana Kumalasari
Elsa Sari Hayunah Nurdiniyah
Hikam Fahri Ahmad
Faiz Muhammad Hanief
Ahmad Syauqi Mirza Fakhri
Muhammad Rifqi Ariq Prabaswara
Ahmad Sirojul Millah
Naufal Prima Yoriko

Pengajar pra-OSN
Ichsan Ibrahim
Crystal Nuansa Aini
Yatny Yulianty
Diah Titari Wahyuningtyas
Lorenz van Gugelberg da Silva
Judhistira Aria Utama
Agus Triono Puri Jatmiko
Muhammad Wildan Gifari

Dosen Pelatnas
Pak Chatief Kunjaya
Pak Hakim Luthfi Malasan
Pak Mochammad Ikbal Arifyanto
Pak Suryadi Siregar
Pak Ferry Mukharradi Simatupang
Pak Moedji Raharto
Pak Dhani Herdiwijaya
Pak Muhammad Irfan Hakim
Pak Taufiq Hidayat
Pak Yayan Sugianto
Pak Bobby Eka Gunara
Serial "Manenung Gawin Rahu" akan disudahi sampai di sini. Terima kasih atas kesediaan kalian menyimak hingga akhir!
Lanjutkan baca »

Sabtu, 12 Maret 2016

Article#524 - Manenung Gawin Rahu (3): Bertamu

Sebelum membacaTulisan kali ini akan menjadi kelanjutan dari serial "Manenung Gawin Rahu", yang secara kasar bermakna "memperkirakan pergerakan Bulan" dalam bahasa Dayak Ngaju. Serial yang akan difokuskan pada kisah panjang belasan tahun antara saya, astronomi, dan kemudian, salah satu kejadian astronomi spesial: gerhana matahari total.
Jika Anda yang mampir di laman ini belum membaca bagian sebelumnya, silakan menjumpanya dan menilas serial ini dari bagian pertama atau kedua.

Edisi ketiga, tentang bagaimana kisah ini menggapai jumpanya.

Selamat membaca!

*****

Pakar astronomi ITB, Prof. Bambang Hidayat, mengabadikan momen gerhana matahari total
dari 500 meter barat Jembatan Kahayan, 9 Maret 2016. (L.R.Baskoro/Tempo)
Dari sekian banyak memori remeh-temeh yang berkelebat di kepala saya, saya masih ingat betul momen di mana saya menilas sebuah peta dengan jalur gerhana matahari total tertera padanya, sebagaimana saya jabarkan di bagian pertama. Bayangkan dirimu, sebagai anak kecil yang bahkan belum genap 10 tahun usianya, mencoba mencerna bahwa suatu peristiwa akan menjelang 13 tahun kemudian. Mungkin terpikir saya yang sedang menempuh kuliah dan meluangkan waktu sejenak untuk absen, bergerak menuju salah satu dari sekian kota di mana bayangan gelap Bulan akan melintasi tanah (atau) air pada pagi hari 9 Maret 2016. Atau entah apalah yang mungkin saja saya lakukan di masa-masa itu.
Hampir sepuluh tahun berlalu sejak momen itu, saya pun mendapati kenyataan bahwa saya menggeletak di negeri para samurai. Dalam kondisi ini, apapun rencana yang hendak saya jalankan terkait pengamatan gerhana mensyaratkan kepulangan terlebih dahulu ke bumi pertiwi. Entah beruntung atau tidak, libur semester utama di Jepang berlangsung pada Februari-Maret dan Agustus-September. Yang berarti saya bisa melenggang pulang dengan kedok menjalani libur semester.
Mantap.

Libur semester demi libur semester pun berlalu. 2015 menjelang, dan tiba-tiba kurang dari setahun lagi saya akan berhadapan dengan bayangan gelap Bulan. Beragam pemberitaan mengenai gerhana di tahun berikutnya mulai sayup-sayup terdengar di belantara media Indonesia. Tentu saja, walaupun tidak seganas publikasi yang sudah beredar di dunia maya, khususnya dari kanal mancanegara yang berbahasa Inggris. Dimulai dari munculnya paket tur feri, berita akan habisnya kamar kosong di kota-kota yang dilalui bayangan gelap Bulan mulai bermunculan sejak akhir 2015, dengan pemesan mulai bermunculan bahkan sejak setidaknya Agustus 2014.
Gempita yang sedemikian rupa ini akan dapat dipahami jika dan hanya jika kita menilik fenomena gerhana dari sudut pandang para pemburu gerhana: sedemikian orang yang rela mendatangi beragam pojok dunia untuk merasakan sekian menit bersimbah bayang gelap Bulan. Atau, dalam istilah orang umum: orang gila, orang kurang kerjaan atau orang kebanyakan uang. (Ini tentunya berarti, jika kamu termasuk orang-orang beruntung yang mendapati bayang gelap Bulan melintasi wilayahmu, kamu tidak tergolong "pemburu gerhana". Mungkin lebih tepatnya "penyambut gerhana".)
Ketika saya bicara soal mereka "mengejar gerhana", mereka benar-benar mengejar setiap kesempatan melihat gerhana total yang mungkin mereka dapatkan. Memesan tiket menuju daerah-daerah (yang mungkin) terpencil, memesan kamar hotel di lokasi-lokasi yang diprediksikan dilintasi bayangan gelap Bulan, membawa seperangkat perabotan fotografi; ini sebagian dari aktivitas yang secara umum dilakukan oleh mereka yang mengidentifikasi diri sebagai pemburu gerhana. Salah satu dari mereka bahkan mengontak sebuah maskapai untuk mengubah jadwal keberangkatan dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga pesawat tepat melintasi bayangan Bulan.

Menilik narasi di atas, keputusan saya untuk pulang menjelang gerhana matahari total ini pun mungkin bisa membuat saya tergolong "pemburu gerhana". Terserah kalian mau setuju atau tidak.
Yah, tidak cukup, sih.
Jika saya ingin menisbatkan diri saya sebagai seorang "pemburu gerhana" dalam kesempatan kali ini, selain meluncur pulang ke Indonesia, saya harus juga meluncur ke entah daerah manapun yang akan dilalui bayang gelap Bulan.

Infografik jalur gerhana 9 Maret 2016, dengan keterangan
persentase paras Matahari yang tertutupi Bulan.
Sumber: langitselatan.com
Peta di samping ini memberikan informasi sederhana akan jalur totalitas gerhana (jalur yang dilalui bayang gelap Bulan) di Indonesia.
Melintasi wilayah 11 provinsi di Indonesia, bayangan Bulan akan bergerak mulai dari pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kemudian mengarah ke Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan berakhir di kota Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara. Tidak cukup beruntung dilintasi bayang gelap Bulan? Seluruh wilayah Indonesia berada cukup dekat dengan jalur totalitas untuk dilintasi bayang redup Bulan, merasakan gerhana matahari sebagian sebagai efeknya. Saya pernah mengamati gerhana matahari sebagian secara langsung pada 26 Januari 2009, di mana tempat tinggal saya berada cukup dekat dengan jalur puncak gerhana saat itu (yang adalah gerhana cincin), sehingga menyaksikan gerhana sebagian saja tidak cukup. Tentu saya akan mendatangi gerhana matahari total; saya sudah meniatkannya sejak 13 tahun yang lalu.

Dari kota-kota yang tercakup dalam jalur totalitas, terdapat beberapa ibukota provinsi, seperti Palembang, Palangka Raya, Balikpapan, Palu dan Ternate. Dulu di saat saya pertama kali meniatkan keinginan menyaksikan gerhana total tersebut, saya berpikir bahwa saya akan lebih mudah mengamati gerhana dari Palembang, semata karena alasan jarak. Lama kelamaan, keyakinan saya akan Palembang mulai goyah, terlebih sejak saya mendapati beberapa tim ekspedisi akan meluncur ke kota lain semisal Palu maupun Ternate. HAAJ, organisasi yang menjadi mitra saya dalam belajar astronomi di masa kecil, mencanangkan ekspedisi ke Palu. Dan hal ini membuat saya tergoda untuk ikut tim ekspedisi HAAJ mengamati gerhana di Palu.
Meskipun demikian, sedikit pengecekan pada jadwal ekspedisi HAAJ menunjukkan betapa jadwal tim HAAJ akan teramat padat. Ada banyak acara seminar, penyuluhan dan acara berbau pendidikan lainnya yang dicanangkan dalam rangkaian acara; tentunya aliran tim pengamat ke berbagai daerah akan dimanfaatkan sebaik mungkin demi upaya transfer ilmu. Atau demi upaya pengadaan dana untuk dipermainkan oleh para pejabat, tetapi itu bukan bahasan kita di sini. Bahkan, meskipun saya menyanggupi partisipasi di sekian banyak kegiatan itu pun, pintu HAAJ rupanya sudah tertutup bagi siapapun yang tidak aktif di kegiatan dan kepengurusan HAAJ. Mana mungkin bocah yang sudah tiga setengah tahun melanglang buana di negeri orang punya peluang.

Ketertarikan saya bergeser, bukan ke barat, tetapi ke timur: Ternate. Beberapa model prakiraan cuaca memberikan peluang tingginya tutupan awan di daerah barat Indonesia (sekitar 70-80%), dan peluang yang lebih rendah (meskipun tetap tinggi, sekitar 50-60%) bagi wilayah timur (Belakangan, situs macam AccuWeather memberikan prediksi banyaknya awan di daerah timur berkat keberadaan sistem tekanan rendah). Hal ini kemudian berimbas pada pemesanan kamar hotel di wilayah timur yang, sebagaimana saya singgung di bagian sebelumnya, sudah habis dipesan dalam hitungan bulan jelang gerhana. Meskipun habisnya kamar ini tentu dipengaruhi faktor lain seperti ketersediaan kamar hotel di tiap kota, dan derajat "kepentingan" penuhnya kamar hotel (yang mungkin tidak seheboh itu di daerah barat Indonesia). Kendala saya hanya berkisar di satu hal: transportasi. Harga tiket pesawat Jakarta-Ternate cukup tinggi (sekitar 3-4 juta rupiah ditotal), dan bahkan jika saya membelinya pun, saya masih perlu memikirkan di mana saya akan berkalang selama hari-hari di sana (walaupun ini masalah yang umum bagi seluruh pilihan kota yang saya punya). Saya mulai berpikir untuk kembali ke rencana paling awal: datang ke Palembang dan menginap entah di mana.

Kemudian datanglah sebuah kabar gembira. Kulit durian kini ada ekstraknya.
Tepat di hari setelah sampainya saya di bumi Pertiwi, datang kabar akan rencana beberapa teman saya untuk berangkat dalam tim ekspedisi gerhana total ke Palangka Raya di bawah panji TOASTI alias Tim Olimpiade Astronomi Indonesia. Menariknya, anggota ekspedisi ini terutama akan diisi oleh anak muda alias mahasiswa Astronomi ITB (meskipun tidak semua pernah berkecimpung dalam olimpiade astronomi), merentang dari lingkup angkatan 2013 hingga yang paling senior angkatan 2007. Menilik "proposal" yang diberikan (belagu), mencakup keterlibatan di acara pendidikan (meski tidak sampai sepekan seperti rangkaian acara HAAJ), akomodasi (dan dalam sebagian besar kesempatan, plus konsumsi) yang tersedia dengan biaya nol, dan mempertimbangkan faktor pribadi macam lebih banyaknya mitra perjalanan yang telah saya kenal sebelumnya, saya pun menyatakan siap bergabung.
2 jam dan 1,5 juta rupiah kemudian, saya telah mengantongi tiket menuju Palangka Raya untuk bergabung tim ekspedisi TOASTI menyaksikan fenomena gerhana matahari total. Pada titik ini, agaknya saya layak disebut "pemburu gerhana".

***

7 Maret 2016.
Saya mendapati kaki saya melangkah menjejaki terminal 2 bandara Soekarno-Hatta, sedikit lewat dari pukul satu siang. Tidak banyak yang terjadi, selain sejam lebih berkalang di selasar lorong bandara menuju ruang tunggu, hingga (akhirnya) menemukan anggota "tim" yang akan juga menaiki pesawat yang sama: bung Lorenz dan kak Michelle. Setelah sedikit sapa menyapa dan berpisah jelang memasuki garbarata karena beda letak kursi, saya memasuki pesawat dan menduduki kursi belakang, pada lokasi favorit saya: samping jendela. Di sebelah saya duduk seorang ibu dengan kostum sari, yang belakangan saya ketahui adalah Prof. B. S. Shylaja, salah satu astronom gerhana terkemuka asal India.
15:20, pesawat pun lepas landas menuju Palangka Raya.

Masih parkir. Dan iya, saya naik Garuda: selain karena pilihan kedua adalah singa air,
konon Garuda adalah pilihan tiket termurah di waktu itu.
Lepas landas
Daerah muara Ci Sadane


Sedikit halo Matahari dan parhelion setelah menembus awan

Hamparan hutan Taman Nasional Sebangau. Pemandangan hutan yang belum pernah saya jumpai sebelumnya.
Sungai Sebangau
Mendarat di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangka Raya
Salah satu poster menyambut kegiatan gerhana matahari total
Sekitar pukul 16:45, pesawat mendarat di bandara, dan segera saya bergabung dengan bung Lorenz dan kak Michelle. Dua bagasi dan sepuluh menit kemudian, mobil jemputan kami tiba, bersama mas Ridlo yang sudah menjejak tanah Palangka sejak seporsi soto Banjar sebelumnya. Dalam satu jam sejak kami mendarat, kami dibawa ke SDN 4 Menteng, sekolah yang menjadi lokasi acara bersama murid murid yang akan digelar esok harinya. Sedikit perjumpaan dengan panitia lokal: Bu Intan dan Bu Berti, sedikit obrolan, sedikit sesi berfoto, dan bersiap pulang ke penginapan.
Dan bagi kalian yang sudah gontok berusaha mengoreksi saya sejak awal tulisan, ejaan yang tepat menurut penduduk lokal adalah Palangka Raya (dipisah), bukan Palangkaraya (digabung) sebagaimana umum digunakan di kanal media. Silakan cek sendiri.

Lihat saja spanduk di bawah. Dipisah, kan?

Jelang rangkaian acara. 7 Maret 2016

Kurang lebih sejam sejak kami menjejak tanah Kalimantan Tengah, kami sampai di penginapan yang akan menaungi kami berduabelas dalam tiga malam ke depan: Tulip Guest House. Meski tentunya tidak sebelum dialog ini bergulir di mobil.
R: Kita mau ke SDN 4 Menteng dulu, lokasi acara besok..
G&L: Wah serasa di Jakarta dong, ke Menteng.
R: Sekolahnya keren loh, ada marching band-nya..
G: Ada marching band? Karena sekarang bulan Maret ya?
(kemudian hening)
Tidak banyak hal terjadi di penginapan, selain persiapan membungkus hadiah di basecamp alias kamar Fatim sang koordinator tim, dan tentunya istirahat malam hari.

***

8 Maret 2016.
Salah satu hal yang kentara saya amati sepanjang perjalanan keliling Palangka Raya di hari sebelumnya adalah jalan-jalan yang lebar dan lengang. Sebagai orang dari pinggir metropolitan Jabodetabek, pemandangan semacam ini adalah hal langka. Pikiran saya sontak berkelebat pada wacana pemindahan tampuk ibukota dari Jakarta ke Palangka Raya yang konon sudah dicanangkan sejak zaman Bung Karno dulu. Jalan-jalan yang tersusun rapi ini konon adalah hasil rancangan insinyur Uni Soviet, yang kokoh difungsikan selama lebih dari 50 tahun. Meskipun saya tak yakin betul jalan mana saja yang tergolong jalan rancangan insinyur Soviet. Satu hal yang saya yakini: kota Palangka Raya, khususnya jalan protokol, dirancang dengan rapi.
Dan pagi ini, saya kembali dibawa mobil menyusuri jalan itu menuju SDN 4 Menteng.
Lokasi SDN 4 Menteng bersebelahan dengan SDN Percobaan, yang dengan lapangan luasnya menjadi tempat di mana pengamatan gerhana matahari total akan dilangsungkan, keesokan harinya.

Pagi itu, anggota kegiatan dibagi menjadi dua. Satu tim (yang pada umumnya berisikan generasi yang lebih muda) berkecimpung di kegiatan di SDN 4 Menteng, sementara tim satunya mempersiapkan teleskop jelang pengoperasian di hari gerhana.
Tim pengamatan segera mengemas segenap perangkat pengamatan dan mengangkutnya ke selasar bangunan SDN Percobaan. Sebenarnya satu ruang kelas akan disiapkan sebagai "markas" bagi segenap perangkat tersebut, tetapi sementara kelas belum memungkinkan untuk dijajah karena masih dipenuhi para siswa, di mana lagi tempat terbaik utnuk meletakkan segenap peralatan?

Kondisi langit arah timur dari SDN Percobaan, 8 Maret pagi. Pada titik ini, sebagian dari tim pengamatan
mulai mengungkapkan kekhawatirannya akan peluang terlihatnya gerhana keesokan hari.
Suasana penjagaan perangkat pengamatan di selasar SDN Percobaan. Perhatikan bagaimana kehadiran seseorang
mengubah suasana foto bawah relatif terhadap foto atas.
Sementara itu, tim kegiatan sudah berkalang di dalam salah dua ruang kelas SDN 4 Menteng yang memang sudah disiapkan untuk menampung keseluruhan rangkaian kegiatan. Rangkaian acara dimulai (sependek ingatan penulis) pada pukul 8 pagi, dengan beberapa siswa membawakan tarian bertajuk Tari Selendang. Pada dasarnya, acara kemudian dilanjutkan dengan pembekalan tips dan trik pengamatan gerhana matahari total oleh mbak Sulis, ajang perlombaan membuat cerpen dan puisi. Saya tidak akan mengupas bagian ini secara detail, karena saya kemudian meninggalkan ruang kegiatan, mendatangi rekan-rekan di sebelah, di SDN Percobaan.

Banyak yang sibuk megang hape
Tari Selendang
Kegiatan lomba menulis cerpen dan puisi tentang gerhana matahari total
Saya yang pada aslinya ditugaskan untuk memberitahukan keberadaan makanan kepada tim pengamatan, pada akhirnya terjebak berkalang bersama siswa-siswi SDN Percobaan dalam satu-dua jam setelahnya. Agaknya, pemandangan beberapa oom dan tante merakit teleskop di halaman sekolah merupakan pemandangan yang amat menarik bagi para siswa. Sehingga, dalam beberapa waktu, para anggota tim pengamatan mendapati sekian banyak siswa berbaris ingin mengamati Matahari lewat teleskop yang mereka siapkan. Konon ada beberapa siswa yang berkelahi memperebutkan posisi antrian mengamati Matahari.
Tak berapa lama setelah saya mendatangi tim pengamatan, antrian siswa menjadi demikian membeludak, mas Ridlo perlu mengajak sebagian siswa untuk membentuk antrian baru, bersama mengamati Matahari melalui kacamata matahari yang memang sudah dibawa dalam jumlah besar dari Bandung. Dengan filter ND5, "kacamata" tersebut meredupkan cahaya Matahari hingga 10 pangkat 5 alias 100.000 kali lebih lemah, sehingga cukup aman untuk dilihat mata telanjang.

Di tengah terik matahari yang beranjak siang, kita mempergilirkan para siswa untuk menyaksikan paras Matahari dengan aman.

Bergaya di depan teleskop
"Lihat bulatan berwarna merah? Itu Matahari,"
Barisan pengamatan dengan teleskop di kanan,
barisan pengamatan dengan kacamata matahari di kiri.


Kembali ke laptop lingkungan kegiatan. Ketika saya kembali ke ruang kelas, rupanya segenap kegiatan lomba telah paripurna digelar. Sementara penilaian digulirkan di balik layar, datanglah pakar astronomi terkemuka ITB, Prof. Bambang Hidayat, yang kemudian mengajak para siswa bersama menyaksikan sebuah klip dari serial Cosmos: A Spacetime Odyssey, dengan Neil deGrasse Tyson sebagai narator. Klip berbahasa Inggris sulit dimengerti? Jangan khawatir, Prof. Bambang secara berkala menyetop tayangan klip dan menjelaskan berbagai hal kepada para siswa, sementara klip mengajak para siswa berkelana menyusuri seisi semesta.




Kondisi ruang kelas setelah ditinggalkan siswa
Prof. Bambang Hidayat berfoto dengan beberapa siswa dan guru
Rangkaian acara kemudian berakhir. Dan entah bagaimana ceritanya, saya kemudian mendapati diri saya ikut memasuki mobil yang kemudian membawa Pak Bambang keliling kota Palangka Raya. Misi Pak Bambang adalah mencari tempat terbaik untuk memotret kenampakan gerhana matahari total. Tekad Pak Bambang adalah mendapatkan potret gerhana Matahari dengan suatu ikon kota lokasi pemotretan di latar depan. Dengan lokasi di kota Palangka Raya, meluncurlah mobil menuju daerah barat Jembatan Kahayan.

Alun-alun kota Palangka Raya
Jembatan Kahayan, 8 Maret 2016. Pada sudut pandang inilah Pak Bambang berencana
mengabadikan momen gerhana matahari total.
Seporsi es campur gratis kemudian (yang sayangnya luput dari keabadian dalam layar foto), saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang terjadi kemudian, di samping berkumpulnya keseluruhan tim memakan soto Banjar (yang bagi sebagian anggota adalah kali pertama). Juga, bertemunya saya dengan mas Hanief pengelola situs duniaastronomi.com di malam harinya.


"Soto Banjar mantap, porsi super" (Fatima, 2016)
"Harganya juga super" (Ramadhania, 2016)
Setelah itu, seluruh tim bergegas beristirahat karena di esok hari, hari pertunjukan utama, kami akan bersiap menuju lokasi pengamatan pagi-pagi buta. Saya ingat di malam hari itu saya demikian terbawa suasana, saya tidak betul-betul sadar jika esok harinya adalah hari yang telah saya tandai sejak 13 tahun sebelumnya.
Dan esok harinya, saya akan menuntaskan cerita.

Mungkin.


9 Maret 2016.
Ayam bahkan belum berkokok ketika kami mulai bangun, mandi, dan bersiap untuk menghadapi pertunjukan utama, alasan utama dari digulirkannya segenap kegiatan ini, Gerhana matahari total telah menarik puluhan ribu wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, baik amatir maupun profesional, untuk berjejal di sekian kota di seantero Indonesia. Dan kami, pagi-pagi buta di dalam lingkup Palangka Raya, bersiap melaju menuju lokasi pengamatan, SDN Percobaan.

Bahkan sejak sebelum masuk waktu Subuh, cuaca telah menunjukkan sambutan yang tidak bersahabat bagi pemburu gerhana di Palangka Raya. Bahkan dari kamar penginapan, kami yang sudah terpaksa bangun dapat mendengar suara gemericik hujan dengan jelas. Setidaknya sejak pukul 4 pagi, hujan terus mengguyur daerah sekitar penginapan, hingga perlahan mereda beberapa waktu jelang keberangkatan tim kegiatan ke lokasi pengamatan. Meskipun kemudian, tutupan awan tak juga mengizinkan sebersitpun cahaya Matahari untuk lewat. Terlepas dari fakta bahwa Matahari belum terbit, setidaknya hingga pukul setengah enam, tutupan awan terus mendominasi langit di pagi hari itu, dan secara praktis, sepanjang keseluruhan prosesi gerhana.
Sekitar pukul 5:30, rombongan kloter pertama sampai di depn gerbang SDN Percobaan, hanya untuk dihadapkan pada kenyataan menarik: gerbang SDN Percobaan terkunci rapat. Setidaknya, rapat untuk ukuran manusia normal yang tidak senang menjebol pagar. Jelas ada miskomuniasi, karena di hari sebelumnya kami sempat meminta izin pihak sekolah untuk membuka pagar lebih dulu di pagi hari supaya perangkat pengamatan dapat segera diangkut ke lapangan.

Cuaca pukul 5:25
Cuaca lapangan SDN Percobaan, 5:52
Pada akhirnya gerbang dibuka oleh pihak sekolah, meski tidak sebelum kita semua menanti dan mengobrol dalam setengah jam di depan gerbang sekolah. Setengah jam yang juga acapkali diselingi tatapan nanar ke arah langit yang masih megah berkemul hampar awan, diselingi celetukan soal wacana menyewa helikoper untuk naik menembus lapisan awan, atau memesan pesawat untuk terbang mengikuti laju bayang gerhana.
6:10, kami dan sekian banyak siswa SDN 4 Menteng yang memang diajak untuk hadir mengamati gerhana matahari total sudah berkumpul di lapangan SDN Percobaan. Di momen yang sama pula langit tampak mulai menunjukkan sikap bersahabat, dengan perlahan membukakan jalan bagi cahaya Matahari. Pada saat tersebut, cahaya Matahari masih bebinar dengan seluruh cerlangnya dan belum terjajah oleh cakram Bulan, yang baru menggerogoti cakram Matahari sekiar 15 menit setelahnya.

6:13
6:16
Euforia para pengamat menyaksikan cakram Matahari yang terpotong terpaksa berhenti pada pukul 6:30, setelah hamparan awan kembali menutup jalan bagi cahayanya. Ketebalan awan yang tampak menjelang di sisi utara dan timur laut cakrawala pun tampak tak menjanjikan peluang terlihatnya gerhana, justru ketika prosesi gerhana sedang merangkaikan jalan menuju panggung utama.
Dan ketika raut muka yang tergelar di lapangan mulai menunjukkan ekspresi putus harapan, awan kembali membukakan jalan pada 6:50, sekitar setengah jalan menuju puncak pertunjukan.
Pada posisi ini, Matahari sudah cukup kentara tampak sebagai sabit, terutama dengan lapisan awan tipis yang silih berganti menggantian posisi filter kacamata matahari. Saking banyaknya awan, mas Ridlo bahkan perlu berulang kali mengomando warga untuk melepas atau memasang kacamata matahari pada momen tertapisnya atau terbukanya laju cahaya Matahari.



7:15, awan kembali menutupi Matahari. Meski kini awan menutupi Matahari dengan cara yang lebih "jahat"; sebagian cahaya Matahari masih tampak mewarnai sebagian awan, tetapi tidak cukup untuk membuat kita dapat mengenali sabit Matahari yang terus menipis. Seiring makin dekatnya puncak pertunjukan berupa gerhana total, sebagian dari tim kegiatan mulai pasrah akan kemungkinan tidak terlihatnya fase gerhana matahari total. Akan tetapi, langit yang terus meredup dan desir angin yang terasa makin dingin ikut membantu memberitahukan betapa puncak pertunjukan sudah hampir tiba.



7:25, pada saat ini langit sudah makin gelap layaknya mendung menjelang hujan lebat. Dengan tiadanya tanda tanda awan akan membukakan pesona sabit tipis Matahari yang akan menghilang seluruhnya, kini segenap tim dan warga memfokuskan perhatian pada langit yang makin menggelap. Mas Ridlo dalam komando memberitahukan bahwa fase gerhana total akan segera tiba, dan setelah koor hitung mundur yang membahana di lapangan, perlahan malam pun tiba.
Atau mungkin demikian yang terasa.

Bahkan, tanpa tayangan mahkota korona Matahari yang bergelora di balik cakram hitam Bulan, suasana gelap selayaknya malam yang mendera sebagian wilayah Indonesia di pagi hari itu memiliki pesonanya tersendiri. Suasana gelap yang selayaknya malam, desir angin yang cukup dingin (saya perkirakan sempat turun di bawah angka 24°C), dapat dibayangkan bagaimana orang terdahulu tercengang menyaksikan fenomena semacam ini. Bayangkan dirimu ada pada posisi orang terdahulu, yang belum tentu memahami bagaimana pergerakan Bulan dan Bumi bisa membuat Bulan melintas tepat di antara Bumi dan Matahari dalam waktu-waktu tertentu. Yang mereka dapat pahami hanyalah Matahari sumber cahaya, panas, dan penghidupan mereka, mendadak tampak digerogoti, perlahan mengecil dan terus hingga cakram benderang itu tak lagi tampak. Agaknya wajar jika leluhur kita memandang gerhana sebagai sebuah fenomena yang menakutkan saat itu, demikian pula dengan para binatang yang kemudian kebingungan mengira malam telah tiba. Sementara kini, dengan segenap pengetahuan yang teah terhimpun mengenai dinamika pergerakan Bulan dan Bumi, yang terjadi justru banyak orang yang rela mengejar bayang Bulan untuk merasakan sensasi kegelapan itu lagi.

Salah satu foto yang diambil jelang berakhirnya fase totalitas, 7:31.
Selamat berjuang menemukan mahkota korona Matahari di sekeliling cakram gelap Bulan.
Sekuens berakhirnya fase totalitas gerhana, 7:32. Perhatikan perubahan terang langit yang terjadi.
Untuk gerhana matahari total 9 Maret 2016 di Palangka Raya, masa kegelapan total berlangsung selama 2,5 menit. Di mana kemudian langit tampak mulai membukakan kembali cahayanya, dan mungkin dengan seringai, tak butuh waktu lama bagi awan untuk membukakan keberadaan sabit tipis Matahari yang baru saja muncul kembali dari balik cakram Bulan.
Di situ saya merasa harus bilang "aku rapopo".
Puncak pertunjukan telah berlalu, dan bagi sebagian besar hadirin yang ikut menyaksikan kejadian gerhana pagi itu, waktunya bagi mereka untuk bubar meninggalkan lapangan. Apa yang terjadi setela gerhana total pada dasarnya adalah prosesi yang serupa dengan apa yang terjadi sebelum gerhana total, hanya saja dalam arah yang berlawanan: sabit Matahari terus menebal hingga cakram Matahari kembali mendapatkan kesempatan untuk mempertunjukkan wujud aslinya. Sebagian dari kita kemudian bergegas menjalankan ibadah salat gerhana, sementara yang lain merapikan barang-barang, mengemas kembali perangkat pengamatan yang nyaris tak terpakai, dan juga beristirahat menyantap sarapan.

Sekuens berlangsungnya gerhana 9 Maret 2016.
Dimulai dari 6:55 (paling atas), 7:01, 7:10, 7:32, 7:41, 7:44,
hingga paling bawah 8:10.
8:30, prosesi gerhana hampir paripurna, dan kita di salah satu ruang kelas berkumpul bersama dalam gelak tawa. Membahas foto gerhana hasil korespondensi tim-tim lain yang diterjunkan Prodi Astronomi ITB ke berbagai titik pengamatan di sepanjang jalur totalitas, membandingkan hasil ekspedisi tim Prodi Astronomi ITB dalam mengamati gerhana sebelumnya (terutama gerhana 26 Januari 2009 yang sempat saya singgung di awal tulisan), hingga mewacanakan perburuan gerhana selanjutnya: gerhana cincin 26 Desember 2019, gerhana total hibrida 20 April 2023. Agaknya, di titik ini, setiap anggota tim kegiatan gerhana ini telah menyemai benih-benih jiwa pemburu gerhana dalam sanubari masing-masing.

Matahari pasca gerhana total, sekitar 7:38.
Foto oleh Christoforus Dimas Satrya.
Agaknya, mas Hanief yang mengejar posisi tengah bayangan Bulan lebih beruntung mendapatkan citra gerhana pada puncak pertunjukan.

Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016, sebagaimana dipotret dari balik lapis awan
di Palangka Raya, beberapa kilometer dari titik pengamatan TOASTI.
Foto asli oleh Hanief Trihantoro, diproses lebih lanjut di fotor.com.

Pada hakikatnya, segera setelah segala sesuatu terkait pengamatan gerhana usai, kita segera mengubah mode perjalanan ke mode wisata kuliner. Atau dalam bahasa yang lebih singkat, dari perjalanan astronomi ke perjalanan gastronomi.
Tujuan pertama kita adalah menjalani makan siang. Tidak tanggung-tanggung, makan siang kami bergaya banquet, yang dilangsungkan di Pondok Ikan Bakar Asian, dekat Jembatan Kahayan. Bersama kita di siang hari itu hadir Prof. Bambang beserta salah satu anak dan dua cucunya, pak Baskoro wartawan Tempo, dan... ibu dengan kostum sari yang duduk di sebelah saya dalam pesawat menuju Palangka Raya. Atau, berhubung pada poin ini kita sudah mengetahui siapa beliau, Prof. Shylaja. Sebagai figur terkemuka di dunia astronomi, agaknya Prof. Shylaja diundang sebagai kolega Prof. Bambang yang juga datang ke Palangka Raya untuk menyaksikan gerhana matahari total.

Pada saat itu, sebagian dari kami mungkin bingung mana yang lebih membuat senang: makan semeja bersama figur besar astronomi semacam Prof. Bambang, atau mendapati kenyataan bahwa siang itu, kami makan sepuasnya.... gratis.

Sepiring ikan jelawat korban keganasan para pemuda lapar.
Botol Aqua sebagai sponsor pembanding.
Berfoto jelang makan siang. Konon sebagian jomblowan tim kami sibuk membicarakan
gadis berbaju hitam di kiri depan, yang adalah cucu Prof. Bambang.😛
Segenap rombongan TOASTI
Segenap rombongan tim TOASTI, panitia lokal dari Kelas Inspirasi Palangka Raya,
bersama pak Baskoro, Prof. Bambang dan keluarga, Prof. Shylaja dan LOnya.
Setelah pada sore hari berkeliling untuk membeli buah tangan, kami bersatu untuk menjalankan wisata gastronomi edisi kedua: mendatangi Waroeng SS. Meskipun tidak sebelum kami bertemu rekan Penjelajah Langit, komunitas astronomi amatir berbasis Yogyakarta yang juga mengabadikan momen gerhana total dari Palangka Raya.
Acara makan di Waroeng SS diakhiri dengan perjalanan sejauh 2 km menyusuri jalan RTA Milono, salah satu jalan protokol Palangka Raya, ditemani langit malam yang tampak terang bertabur bintang. Pemandangan yang asing bagi kami yang banyak bercokol di daerah padat penduduk macam metropolitan Jakarta atau Bandung.

Suasana pasar cinderamata yang kami kunjungi
Contoh angkot Palangka Raya
Mas Nazir Hasan dari Penjelajah Langit menunjukkan foto jepretan gerhana total
Bersama rekan dari Penjelajah Langit
Di Waroeng SS. Entah apa yang sedang dibicarakan.
Pemandangan di tepi jalan R.T.A. Milono. Nama jalan ini sendiri diambil dari nama Gubernur Jawa Timur pada
tahun 1957, yang ikut menggagas nama Palangka Raya untuk ibukota baru Kalimantan Tengah.
Sirius, Rigel, Betelgeuse, dari tepi jalan R.T.A. Milono.
Dan kami menutup hari dengan makan cempedak bersama.


10 Maret 2016.
Saya terbangun dengan sebuah kesadaran bahwa saya lupa melakukan check-in melalui situs Garuda di malam harinya. Menit-menit selanjutnya saya isi dengan usaha mengusir penyesalan dengan mengingatkan diri betapa saya akan mendatangi bandara cukup pagi, dan itu berarti mau check-in sekarang atau nanti, tidak terlalu berpengaruh.
Pagi itu, rombongan yang pertama kali melaju dari bandara Tjilik Riwut akan lepas landas pukul 6:50, dengan saya menyusul pada 8:20. Pada kepulangan, saya tidak lagi meluncur bersama bung Lorenz dan kak Michelle; mereka mengambil jadwal kepulangan di sore hari nanti. Sebagai gantinya, saya akan melaju pulang bersama Vani, berangkat dari penginapan sekitar pukul setengah tujuh pagi.

Hal pertama yang kami serapahi dalam perjalanan menuju bandara, adalah cuaca yang demikian cerah. Langit hanya tampak merona biru dengan hiasan awan tipis, sementara Matahari tampak benderang menyoroti kami. Segera terlontar celetukan bertajuk "kenapa cerahnya nggak kemarin ajaa".

Matahari pagi menyambut kepulangan
Sesampainya di bandara, ternyata kecemasan yang sempat berkecamuk di kepala saya tentang check-in terbukti percuma. Bandara Tjilik Riwut bukanlah bandara yang cukup ramai, sehingga kami tidak perlu bertele-tele mengantri sekian panjang untuk mendapati counter Garuda sudah siap terhidang di hadapan kami.

Ada dua hal yang patut saya tekankan dalam membahas cerita kepulangan ini:

  • Ternyata sarapan saya pada 9 Maret pagi adalah nasi bungkus yang sudah berusia sehari
Oke, setidaknya tidak ada kepastian terkait berapa tepatnya usia nasi bungkus yang saya santap tepat setelah gerhana usai. Akan tetapi, satu hal yang saya rasakan kentara dari nasi bungkus tersebut adalah bau yang cukup anyir, meski hanya dari makanan tertentu yang tersaji di dalamnya. Secara umum, saya menyantap nasi kuning dan ayam yang terhidang di dalamnya tanpa rasa bersalah ataupun rasa was was akan baunya (karena kedua ini memang tidak berbau aneh). Akan tetapi, mi yang disertakan di dalam bungkus telah beraroma anyir, membuat saya tidak menyentuhnya sedikitpun.

Di ruang tunggu bandara, saya memakan nasi bungkus yang sebelumnya memang sudah disiapkan oleh panitia lokal, dan di saat itu saya baru menyadari perbedaan jauh antara kualitas nasi bungkus yang saya makan antara tanggal 10 Maret pagi dan 9 Maret pagi. Agaknya pada 9 Maret, saya salah memilih nasi bungkus yang lama (yang tidak teridentifikasi sebagai nasi lama karena bungkusnya toh sama saja). Tetapi saya bersyukur saya tidak mengalami efek samping apapun, mungkin karena saya memutuskan untuk tidak menyentuh mi yang beraroma anyir. Salah satu anggota tim, mas Ridlo, mengalami nasib yang sama dan konon terimbas derita hingga pulang ke Bandung.
  • Ada sepasang bapak-ibu yang marah-marah di lapak singa air
Saya tidak akan jelaskan apa itu singa air (yang sebelumnya telah sedikit disinggung juga di tulisan ini); rasanya terlalu jelas. Yang pasti, di saat kami sedang mengurus check-in, saya mendengar adu argumen yang beranjak memanas. Sumbernya adalah sepasang ibu-bapak yang tampak gusar, dan sasarannya adalah petugas bandara yang berjaga di lapak singa air. Alasannya? Entahlah, saya juga tidak dapat menangkap argumennya dengan baik. Yang saya ketahui, kemudian suasana panas tersebut memuncak dengan adegan si bapak menggebrak meja, sontak memalingkan wajah segenap hadirin di bandara saat itu ke arah sumber suara. Sedikit kalimat dari apa yang saya tangkap berkisar pada argumen "dasar maskapai tukang delay" atau yang setipe, yang intinya menekankan ciri buruk yang telah santer disematlan kepada si singa air. Meskipun jelas kemarahan si bapak diluapkan ke arah yang salah, apalagi jika melihat bahwa si petugas di lapak singa air bahkan bukanlah karyawan singa air, saya memutuskan bahwa ikut campur dalam urusan itu bukanlah hal yang bijak. Sehingga kami memasuki ruang tunggu dengan penuh tanda tanya.

Tanya-tanya itu terus berlanjut di ruang tunggu, dan bertambah besar manakala kami memperhatikan jadwal keberangkatan singa air. Satu-satunya jadwal keberangkatan singa air di pagi itu hanyalah pukul 6:50 (yang pada dasarnya berangkat tepat waktu), dan jika ada penerbangan selanjutnya, ia masih jauh di siang hari nanti. Jadi, kalau memang bapak-ibu tadi marah karena keterlambatan, pesawat yang mana yang terlambat? Karena memarahi petugas bandara yang bukan pegawai suatu maskapai atas keterlambatan penerbangan sudah merupakan hal yang konyol. Lebih-lebih jika pesawat yang dibahas adalah keberangkatan pagi (yang jelas tidak terlambat) atau keberangkatan siang (yang tidak bisa dibilang terlambat karena memang belum waktunya).
Kami menaiki pesawat dengan tanda tanya yang tidak terjawab, dengan alasan yang terbagi antara entah kami yang tidak berpusing-pusing mencari tahu dengan tiadanya sumber yang bisa menjelaskan kejadian tersebut dengan baik selain sang aktor utama itu sendiri. Menilik tidak masuk akalnya keterkaitan antara kemarahan dengan keterlambatan sebagaimana tersebut di atas, saya mulai berpikir jika kejadian yang sebenarnya adalah kemarahan tersebut merupakan bentuk pelampiasan frustasi salah arah karena sebenarnya mereka sendirilah yang terlambat. Betapapun kata-kata si bapak terdengar tidak nyambung, rasanya skenario kedua, mereka marah atas keterlambatan pesawat yang memang jadwalnya masih beberapa jam kemudian, lebih tidak masuk akal lagi.

Dan rupanya bukan hanya kami yang bertanya-tanya.
Setelah pesawat mendarat dan para penumpang mengambil bagasi untuk bersiap ke luar, saya dapat mendengar sebagian orang membicarakan bapak-ibu terkait. Ada yang mempertanyakan motif kemarahan terkait, ada yang menduga hal yang sama seperti dugaan saya, dan banyak lagi.

.....
Pada akhirnya, seiring perjalanan kami menjauhi pesawat dan memasuki terminal bandara, tanya-tanya di kepala mengenai motif kelakuan si bapak perlahan memudar. Dengan diambilnya perangkat pengamatan yang kami bawa dalam bagasi, kami bertolak menuju pemberhentian bus, di mana saya akan melaju kembali pulang.
Mengakhiri perjalanan memburu gerhana, edisi pertama.

Selayang pandang perpisahan dengan bandara Tjilik riwut, Palangka Raya.
Entah kapan kembali bersua.
*****

Dalam beragam waktu selepas melintasnya bayang gerhana matahari total, saya masih acapkali termangu merenungi apa yang telah terjadi. Bisa dikatakan, cerita ini adalah salah satu episode utama dari perjalanan saya selama ini mendalami astronomi. Sebuah perjalanan panjang dalam hidup, di mana hampir seluruh khazanah pengetahuan astronomi saya berdatang dan berlipat ganda antara akhir 2002 dan awal 2016. Kalian para pembaca akan tahu, ketika kau sudah sekian lama bersemayam dalam sebuah cerita dengan terus mendekati jalur akhirnya, ada perasaan yang aneh ketika semuanya telah berakhir. Kosong? Mungkin. Kehilangan arah? Tidak segitunya. Mungkin lebih tepatnya terpana, entahlah.
Kini mungkin tidak ada lagi sebuah cerita panjang di mana saya menetapkan suatu tanggal di masa depan, di mana usia saya diulurkan hingga cukup mencapai tanggal itu, kemudian mengalaminya dan meresapi setiap detiknya, untuk kemudian melepasnya ketika waktunya telah lewat.

Jujur saja, meski di satu sisi saya mendapatkan banyak hal baik dari perjalanan ini, di sisi lain saya merasa kurang, tentunya karena saya belum berkesempatan mengamati langsung mahkota Matahari yang berbinar sepanjang gerhana total itu. Ya, gelapnya tentu sangat terasa. Tetapi hasil dari pengejaran ini membuat saya bertekad untuk mendapatkan momen itu, momen di mana langit mejadi gelap gulita dengan Bulan yang legam menundukkan segenap sinar surya.
Waktu-waktu di mana saya akan kembali berkelana, menaklukkan dunia, menuju bayang Bulan berikutnya.

Akhir kata, sampai jumpa pada kesempatan selanjutnya.
Semoga.

Senja 9 Maret 2016, menutup cerita panjang 13 tahun terakhir.
Terhatur ucapan salam dan terima kasih kepada
Panitia lokal: Intan Ophelia, Liberti Hia, Ernawati, dan segenap staf, guru SDN 4 Menteng & SDN Percobaan
TOASTI: Dian Ariyatna Wardani, Lorenz van Gugelberg da Silva, Michelle Marcella, Ridlo Wahyudi Wibowo, Sulistiyowati, Geavani Eva Ramadhania, Miftahul Hilmi, Widyanita, Christoforus Dimas Satrya, Siti Fatima, Al Khansa Rodhiyah, Herna Fahriyah

Foto-foto dalam tulisan ini disadur dari album foto GMT Palangka Raya TOASTI, dengan sebagian disadur dari dokumentasi pribadi.
Tulisan ini mungkin habis sampai di sini. Tapi sila simak bagian keempat, di mana gambar akan bercerita.
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...