Jika Anda yang mampir di laman ini belum membaca bagian sebelumnya, silakan menjumpanya dan menilas serial ini dari bagian pertama, kedua, ketiga atau keempat.
Edisi kelima, di mana saya mempertanyakan segenap langkah saya.
Selamat membaca!
*****
Jika kalian mencermati bagian kedua dengan baik, kalian akan mendapati adanya pergeseran fokus sepanjang bergulirnya tulisan. Dari tulisan yang dititikberatkan kepada perjalanan saya mendalami ilmu astronomi, hingga kemudian dititikberatkan pada kiprah olimpiade. Dari perjalanan menjemput impian mempelajari seisi alam semesta, hingga perjalanan menghadapi setumpukan kertas dengan coret-coret tinta dan grafit, dengan harapan seonggok logam cetakan yang telah disaput dengan kilau kemuliaan akan menemukan tujuannya berkalung di leher saya. Dasar aneh.
Iya, aneh.
Lebih aneh lagi ketika saya merasa tidak yakin betul sejak kapan orientasi belajar astronomi saya terbelokkan dari mendalami ilmu astronomi hingga kemudian demikian menggebu mengikuti ajang demi ajang olimpiade. Mungkin ada kaitannya dengan aura kompetisi yang memicu semangat, tetapi faktanya sebagian besar masa pembelajaran astronomi saya tidak begitu didorong oleh semangat berkompetisi. Setidaknya, saya di masa itu lebih cenderung memaksimalkan waktu (tanpa saya benar-benar rencanakan) untuk mengunyah segenap buku teks astronomi milik teman saya.
Kalaupun ada keinginan berkompetisi menuju jenjang tertinggi, saat-saat terawal semangat itu muncul, saya rasa, adalah ketika saya bersiap dalam pelatihan menuju olimpiade tingkat provinsi. Menghadapi sekian persoalan astronomi membuat saya makin lama makin yakin akan mampu terus melaju, dan kemudian hal ini terbukti saat saya mendapat kepastian lolos ke ajang tingkat nasional di Manado sana. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, salah satu pengajar membocorkan betapa hasil kerjaan saya menggapai 3 besar terbaik dari seluruh peserta OSP. Bagaimana ego itu tidak membusung. Dua orang penghuni peringkat 1 dan 2 adalah James Lim dan Leonard, nama yang tidak pernah saya lupakan sebagai peringkat 1 dan 2 sejak saat itu, akhir Juli 2011, hingga saat tulisan ini diketikkan.
Itu, dan mungkin efek dari indoktrinasi banyak pelatihan yang mendorong para pelajar untuk berlomba menuju medali olimpiade. Sebagian kita tentu mafhum bahwa anak muda yang masih hijau akan luasnya dunia di luar sana akan menjadi sasaran empuk bagi segala macam indoktrinasi, hal yang sama mungkin terjadi pula pada saya. Mungkin.
Pada akhirnya, semangat berkompetisi saya terus dipantik oleh keyakinan bahwa saya bisa terus melaju. Bayangkan saja dirimu berada pada posisi tersebut, melaju ke ajang tingkat nasional sebagai salah satu dari pemuncak dalam hasil seleksi. Sebagian besar kita agaknya akan menganggap membuncahnya ego sebagai hal yang wajar. Dan ketika ego sudah berkuasa, dia sangat suka membiarkan dirinya bertumbuh, terus membesar, meninggi melampaui angkasa khazanah kesadaran manusia. Membuat si manusia terpaku pada satu arah pandang, yaitu terus melaju menumbuhkan ego seiring waktu.
Atau dalam konteks ini, terus melaju mengendarai roda olimpiade yang terus bergulir.
.....
Di bagian dua saya telah memaparkan bagaimana saya berkelana menuju sebuah kulminasi dari dua tahun pengembaraan saya di perlombaan astronomi masa SMA. Saat-saat di mana semangat saya mendalami segenap dunia astronomi kemudian terbelokkan menjadi semangat menuju capaian tertinggi, medali termentereng, atau nilai paling spektakuler.
Cuplikan yang saya kupas di bagian kedua berakhir pada tahap tercapainya medali OSN Astronomi 2011 dalam genggaman saya. Ini berarti, saya mendapatkan tiket menuju pelatihan nasional alias pelatnas, sebuah ajang di mana saya bersama 23 rekan seperjuangan akan
(Pada dasarnya, semua peraih medali OSN di bidang astronomi yang berjumlah 30 siswa/i diundang untuk ikut serta dalam pelatnas, dan namanya juga diundang, setiap siswa berhak untuk menerima atau menolak undangan tersebut. Bocoran: hampir semua yang menolak undangan pelatnas memberikan "persiapan menuju kuliah" sebagai alasan penolakan.
Non-peraih medali pun bisa menerima undangan dalam kasus khusus, misalnya sebagai peraih medali olimpiade astronomi internasional di tahun sebelumnya.)
Maka setelah hingar-bingar pasca pengumuman OSN memudar, digulirkanlah pelatnas bagi tiap-tiap bidang di berbagai lokasi, berkisar di dekat wilayah kekuasaan universitas besar macam UI, UGM, ITB, dan IPB. Saya sendiri sebagai peserta pelatnas astronomi ditempatkan di kota Bandung, di bawah arahan Prodi Astronomi ITB, dari akhir Oktober hingga awal November 2011.
Pada dasarnya, pelatnas 1 saya rasakan cukup rileks dan menyenangkan. Bagi 24 orang peraih medali astronomi, mungkin mempelajari materi astronomi lebih dalam dan terperinci telah menjadi sebuah keseharian yang menyenangkan. Sehingga, tekanan ataupun persaingan dalam bentuk apapun hampir tidak terasa. Oh, kecuali pada momen-momen tertentu di mana kami melepas penat dengan mengadakan kompetisi futsal. Dengan 20 orang dari kami adalah siswa, pertandingan dapat digulirkan dengan mudah. Kami bisa saja mengundang peserta pelatnas biologi, tetapi tidak banyak dari mereka yang rela ikut bermain bola
Kegiatan lain kebanyakan berkutat pada ajang ngegame di salah satu kamar, ajang pengambilan jatah U****Milk dan ****ie dalam kadar yang tidak manusiawi, atau akhir pekan yang diisi kunjungan ke berbagai lokasi.
Secara umum, asyik dan seru. Kegiatan terkait studi astronomi pun tergolong menarik untuk dijalani bagi saya, dan di sisi lain saya pun tetap terpacu untuk mendalami astronomi lebih jauh sembari berusaha memastikan diri lolos ke babak selanjutnya.
Tim pelatnas astronomi menuju IOAA 2012, tahap satu. |
Lebih pelik lagi, berita penentuan lolos atau tidaknya kami anggota pelatnas astronomi tak kunjung tiba hingga semester 6 bergulir, tepatnya pada akhir Januari 2012. Dalam beberapa pekan, kami harus segera bergulir dari fase anak tingkat akhir SMA yang polos dan tak tahu-menahu akan dunia olimpiade menjadi pembelajar paten yang siap melahap materi demi mendapat tiket keikusertaan ke Rio de Janeiro, Agustus nanti.
Sehingga berangkatlah kami para undangan menuju pemberhentian masing-masing.
Sebagai peserta pelatnas astronomi tahap 2, saya beserta 15 orang lain yang juga lolos dari tahap 1 bersiap untuk menjalani sebulan penggemblengan dalam arahan para dosen ITB. Sebagai tahap lanjutan, saya sudah menyangka bahwa pelatnas kali ini akan lebih padat dan ketat jadwalnya dibanding pelatnas sebelumnya. Selain sebuah fakta yang tidak perlu ditanya bahwa tahap 2 adalah lanjutan dari tahap 1, peserta pelatnas lebih sedikit, dan seleksi setelah pelatnas yang ini akan menyisakan 7 orang untuk diutus ke olimpiade astronomi internasional. Tepatnya, 5 orang ke International Olympiad on Astronony and Astrophysics (IOAA) 2012 di Rio de Janeiro, dan 2 orang ke International Astronomy Olympiad (IAO) 2012 di Gwangju. Berhubung IAO disyaratkan hanya bagi mereka yang selambat-lambatnya menempuh kelas sebelas, satu-satunya kesempatan yang terbuka bagi saya dan sekian banyak peserta lainnya adalah pintu menuju IOAA.
Pelatnas pun mulai bergulir, dan dugaan saya akan pelatnas tahap dua ini pun terbukti: Jauh lebih padat dari edisi sebelumnya. Materi yang lebih tinggi, tes yang lebih banyak, hingga kunjungan ke Bosscha yang dua kali lipat lebih sering dari pada di pelatnas pertama.
Sampai di titik ini pun, sebenarnya ini masih bisa ditoleransi. Lha namanya juga pelatnas. Masalah (bagi saya) muncul ketika ada penugasan melaporkan hasil pengamatan di Bosscha. Pada. prinsipnya, kami dilatih untuk mendayagunakan kamera khusus berjudul Charge-Coupled Device alias CCD dalam mengamati objek tertentu di langit. Dengan segala proses berliku untuk mendapatkan citra, kami pun masih dituntut untuk mengerjakan laporan tersebut di luar rangkaian kegiatan.
Alhasil, saya yang pada dasarnya tidak begitu meminati pekerjaan rumah, tidak menerima limpahan tugas tersebut dengan tangan terbuka. Gabungkan ini dengan tuntutan diselesaikannya pekerjaan, maka yang terjadi adalah semangat berjuang yang turun. Jika kamu adalah orang yang pernah berpengalaman dengan pelatnas, turunnya semangat di tengah bergulirnya pelatnas mungkin adalah sesuatu terburuk yang dapat dibayangkan oleh pesertanya. Mulai dari sana kamu tidak akan sepenuhnya konsentrasi mendengarkan materi, tidak fokus menyimak arahan, atau bahkan sedemikian mengantuknya hingga bisa tertidur melewatkan satu atau dua sesi kelas.
Tim pelatnas astronomi menuju IOAA 2012, tahap 2. Latar belakang foto adalah teleskop radio HII milik Observatorium Bosscha. |
Pada kondisi semacam inilah, kondisi yang pernah saya jelaskan dulu (baca artikel 73) mulai datang mengisi keseharian. Setelah sekian lama saya terbang di atas rasa pede karena yakin akan terus melaju, akhirnya kaki saya kembali menjejak Bumi. Pikiran-pikiran akan peluang tidak lulusnya saya ke Brazil semakin terlihat nyata, dan di masa ketika pelatnas memasuki masa paling padatnya, saya memutuskan bahwa itu bukanlah pikiran yang baik dan harus dienyahkan. Tetapi di hari-hari terakhir pelatnas, usaha menepis pikiran-pikiran tersebut agaknya menjadi bahan delusi yang mengaburkan pandang saya dari kenyataan yang mungkin datang.
Pada saat itulah saya mulai merenungkan pertanyaan penting yang juga dulu saya bahas: setelah semua rangkaian olimpiade ini selesai, lalu apa? Terlalu berambisi mengejar tiket ke Brazil agaknya membuat saya lupa bahwa rangkaian olimpiade ini sudah hampir selesai. Lolos ke IOAA, berkompetisi, kemudian selesai. Tidak lolos ke IOAA, selesai sudah kehidupan olimpiade.
Lalu apa setelah olimpiade? Sebagai siswa di semester terakhir di sebuah sekolah madrasah yang getol mendorong siswa-siswinya untuk melanjutkan pendidikan, jawabannya mungkin sudah jelas: kuliah di suatu perguruan tinggi. Tetapi jawaban yang sudah jelas ini memunculkan pertanyaan lanjutan: kuliah di bidang apa? Jika kamu adalah olimpian yang berdedikasi pada bidangmu dan memang demikian mencintai bidangmu itu untuk betah berlama-lama dihidupi olehnya, jawabannya juga akan mudah. Sayangnya, bidang saya, astronomi, terkenal dengan tingkat dedikasi yang rendah, bahkan bagi olimpian yang lama berkecimpung di dalamnya. Rendahnya tingkat persaingan masuk jurusan MIPA di berbagai universitas mungkin telah menjadi rahasia umum. Akan tetapi, bahkan di dalam lingkup olimpiade astronomi sendiri, amatlah jarang yang cukup berdedikasi meneruskan perjalanannya mendalami astronomi. Di pelatnas angkatan saya, dari total 21 peserta, hanya 2 orang yang kemudian melanjutkan perjalanan di bidang astronomi. Selebihnya cenderung berpaling ke beragam jurusan teknik, dengan populasi cukup banyak berada di teknik mesin dan teknik elektro (yang secara umum pun tergolong jurusan yang cukup populer). Sampai saat ini saya tidak yakin, apakah memang para pengurus olimpiade nasional (khususnya astronomi) menyadari hal ini, karena ini telah menyelisihi tujuan awal dibentuknya OSN sesuai yang tercantum di berbagai sumber, yang berkisar pada ide "mencetak generasi ilmuwan muda mumpuni Indonesia" dalam bidang-bidang yang dilombakan.
Saya sendiri? Selain sebuah niat yang saya cetuskan di awal akan tiadanya keinginan menjadi seorang ahli di bidang tertentu, pengalaman yang kurang bersahabat di masa pelatnas kedua menyurutkan tekad untuk mencoba peruntungan di jalur studi Astronomi ITB.
Meskipun demikian, terlepas dari kampus dan jurusan mana yang kemudian saya tuju (untuk bahasan ini sila cek artikel 94), ada pertanyaan penting yang masih menggelayut hingga sekian lama selepas pelatnas:
Apakah pengembaraan saya pada bidang astronomi akan saya sudahi sampai di sini saja?
Menilik pembicaraan soal olimpiade yang segera berakhir, mungkin akhir pembelajaran saya akan astronomi menjadi kemungkinan yang tak terhindarkan. Tetapi, setelah hampir sepuluh tahun berkecimpung dengan tenang di dalamnya, agaknya adalah pilihan yang bodoh jika semua kemesraan ini saya biarkan cepat berlalu. Maksud saya, untuk apa meluangkan waktu sekian lama dan tenaga sekian banyak untuk sesuatu, hanya untuk kemudian meninggalkannya begitu saja? Meskipun sebagian kawan saya agaknya mengambil langkah tersebut (menilik banyaknya "materi astronomi yang terlupa"), saya tidak sudi mengambil langkah serupa.
Cukup olimpiade saja yang berakhir, karena memang sudah dekat akhir itu menjelang. Tetapi saya tidak akan menghentikan perjalanan ini hanya karena masa-masa jaya olimpiade telah usai. (Pada awal April 2012, diumumkan bahwa saya, pada akhirnya, memang tidak lulus. Syukurlah, saya malah merasa tenang-tenang saja.)
Setidaknya, meski saya tidak menjadi salah satu dari astronom muda nan mumpuni, saya bisa tetap berkecimpung di dalamnya.
Bagaimana?
Jalan paling sederhana yang saya lihat adalah melalui media sosial. Bahkan dulu di tahun 2012, grup-grup tertentu sudah demikian rajin menjalankan diskusi astronomi. Terutama diisi oleh siswa SMA (kemudian juga SMP), yang entah sedang belajar astronomi atau sedang mempersiapkan diri menuju olimpiade astronomi, saya baru menjejaki isi grup ini secara lebih serius sejak saya berpisah jalan dengan MAN IC Serpong, tempat saya bernaung selama tiga tahun. Adanya waktu luang yang demikian banyak membuat saya mencari alokasinya lewat berbagai cara. Selanjutnya mudah saja: saya mendatangi, saya berpartisipasi, dan saya menanggapi diskusi.
Partisipasi setelah saya mengakhiri kiprah olimpiade, berarti posisi saya dalam berdiskusi akan berada pada posisi seorang mentor yang akan membimbing para siswa SMA tanggung itu menuju kancah olimpiade astronomi. Terdengar membosankan? Betul sekali, sehingga kehadiran oknum-oknum tertentu yang berusaha menyebarkan keyakinan akan hoax (berita bohong) dan cocoklogi (pencocokan paksa dalil agama dengan fakta ilmiah) terasa seperti angin segar—walaupun dulu saya menanggapinya dengan rasa campur aduk antara heran dan bingung. Di dunia nyata, saya mencoba mengarahkan diri untuk mengajar astronomi sebagai perwakilan suatu lembaga bimbel olimpiade. Iya, lembaga serupa yang sempat saya sebut sebagai tempat indoktrinasi olimpiade bagi para siswa. Yasudahlah ya, toh semua senang.
Pada akhirnya, segala interaksi yang telah saya jalani dalam 6 tahun ke belakang telah banyak menghadirkan kolega dan kenalan baru bagi saya, baik yang masih setia bersua dengan astronomi maupun yang telah berpisah jalan (terlepas dari sejauh apa pengetahuan astronominya memudar).
Dua tahun pertama dengan banyak rekan seperjuangan di jalan olimpiade astronomi, serta kemudian segenap regu pengelola pelatihan astronomi yang mencakup dosen-dosen dan para mahasiswa Prodi Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung.
Sementara empat tahun setelahnya menghadirkan banyak kolega dari berbagai kalangan, mulai dari astronom profesional, para pembelot dari astronomi profesional yang kemudian mengurus pendidikan astronomi, hingga figur-figur muda yang penuh semangat dalam mempelajari astronomi dan memperkenalkannya ke khalayak ramai secara membumi.
Empat belas tahun terakhir bersama astronomi telah menjadi perjalanan yang demikian menyenangkan, dan mungkin masih banyak kejutan yang menanti di waktu yang akan datang.
Sekarang waktunya untuk menyudahi tulisan ini, dalam rangka menilas ulang perjalanan yang telah saya tempuh hingga saat ini, dan juga supaya Anda sekalian yang membaca tidak mulai menduga bahwa astronomi adalah panggilan bagi pasangan hidup saya. Oke sip.
"Logo" tim olimpiade MAN IC Serpong. Pada dasarnya, logo ini dibuat dari logo OSN yang dipadukan dengan logo MAN IC. Karya Nabil. Logo ini juga dipakai di laman akun Twitter tim olimpiade MAN IC Serpong, @OSN_ICS. |
Nama Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2010 tingkat Kota Tangerang Selatan
Waktu Awal April 2010
Lokasi Kota Tangerang Selatan
Deskripsi 30 soal pilihan ganda dalam waktu 2,5 jam. Materi kental berkisar di topik matematika-fisika dengan beberapa adaptasi ke ranah astronomi, atau "astronomi hitungan".
Capaian Peringkat 6 di kota Tangerang Selatan.
Konsekuensi Saya tidak lolos ke OSP 2010.
Foto sejenak setelah Try Out OSN Astronomi 2011. Dari kiri ke kanan: Rizky alias Elmo, Nabil, Khalid, Gian, Wira. |
Waktu 19 Februari 2011
Lokasi Planetarium Jakarta
Deskripsi Lomba pertama selain OSN yang didedikasikan untuk bidang astronomi, setidaknya sejauh pengetahuan kami anggota klub. Pengerjaan dan pembahasan soal dilangsungkan di hari yang sama.
Capaian Peringkat kedua.
Konsekuensi Suntikan semangat? Bingkisan? Entahlah.
Nama Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2011 tingkat Kota Tangerang Selatan
Waktu Awal April 2011
Lokasi SMAN 2 Kota Tangerang Selatan
Deskripsi Titik beratpada "astronomi teori", terutama topik evolusi bintang.
Capaian Peringkat 1 di kota Tangerang Selatan.
Konsekuensi Saya lolos ke OSP 2011.
22 wakil MAN IC Serpong di OSP 2011, Banten, bersama guru dan staf IC. Foto oleh Pak Away Baidhowy. |
Waktu 6-7 Juni 2011
Lokasi Hotel Marbella, Anyer, Banten
Deskripsi Setelah di hari pertama para peserta dikumpulkan di hotel Marbella, keesokan harinya kami menjalani lomba. Bagi astronomi, ada 20 soal PG dan 5 soal esai.
Capaian Peringkat 1 di lingkup provinsi Banten, sekaligus ke-3 dalam lingkup nasional.
Konsekuensi Saya beserta Nabil lolos menuju OSN 2011 di Manado.
Nama Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2011 tingkat Nasional
Waktu 11-16 September 2011
Lokasi Kota Manado, Sulawesi Utara
Deskripsi Peserta dari seluruh Indonesia dikumpulkan dan diuji dalam dua sesi tes, tes praktek (pengolahan data + observasi) serta tes teori.
Capaian Peringkat 5 nasional.
Konsekuensi Saya mendapat medali emas dan berhak mengikuti pelatnas 1.
Nama Pelatihan Nasional (Pelatnas) Tahap 1 menuju IOAA 2012
Waktu 23 Oktober - 22 November 2011
Lokasi Wisma Kartini, Bandung, dan Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat
Deskripsi Peraih medali bidang astronomi dikumpulkan untuk digembleng dan diseleksi menuju timnas untuk IOAA 2012.
Capaian 16 besar.
Konsekuensi Saya lolos seleksi dan berhak mengikuti pelatnas 2.
Nama Pelatihan Nasional (Pelatnas) Tahap 2 menuju IOAA 2012
Waktu 19 Februari - 18 Maret 2012
Lokasi Wisma Kartini, Bandung, dan Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat
Deskripsi Peraih medali bidang astronomi dikumpulkan untuk digembleng dan diseleksi menuju timnas untuk IOAA 2012.
Capaian Tidak mencapai 5 terbaik.
Konsekuensi Saya tidak lolos seleksi dan tidak menjadi bagian dari timnas di IOAA 2012.
Sebagai penutup tulisan dan serial ini, terhatur terimakasih kepada segenap rekan dan guru, terutama yang ikut berkontribusi membantu saya dalam perjalanan ini.Serial "Manenung Gawin Rahu" akan disudahi sampai di sini. Terima kasih atas kesediaan kalian menyimak hingga akhir!
Rekan KBS Astronomi dari masa ke masa
Dimas Budiharto
Emil Fami Yakhya
Mirza Muhammad Hanif
Muhammad Diba Azmi Syarif
Syarif Hidayatullah
Adhitya Kusumawardhana
Mochammad Adib
Muhammad Nabil Satria Faradis
Khalid Adil
Arief Faqihudin
Rizki Nur Fitriansyah
Muhammad Izzuddin Prawiranegara
Arafah Khairul Ummah
Nur Muhammad Ichsan
Andriana Kumalasari
Elsa Sari Hayunah Nurdiniyah
Hikam Fahri Ahmad
Faiz Muhammad Hanief
Ahmad Syauqi Mirza Fakhri
Muhammad Rifqi Ariq Prabaswara
Ahmad Sirojul Millah
Naufal Prima Yoriko
Pengajar pra-OSN
Ichsan Ibrahim
Crystal Nuansa Aini
Yatny Yulianty
Diah Titari Wahyuningtyas
Lorenz van Gugelberg da Silva
Judhistira Aria Utama
Agus Triono Puri Jatmiko
Muhammad Wildan Gifari
Dosen Pelatnas
Pak Chatief Kunjaya
Pak Hakim Luthfi Malasan
Pak Mochammad Ikbal Arifyanto
Pak Suryadi Siregar
Pak Ferry Mukharradi Simatupang
Pak Moedji Raharto
Pak Dhani Herdiwijaya
Pak Muhammad Irfan Hakim
Pak Taufiq Hidayat
Pak Yayan Sugianto
Pak Bobby Eka Gunara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar