Jumat, 04 Maret 2016

Article#522 - Manenung Gawin Rahu (1): Bertemu

Sebelum membaca: Tulisan kali ini akan menjadi awal dari serial tulisan terbaru yang akan dimuat di laman blog ini. "Manenung Gawin Rahu", yang secara kasar bermakna "memperkirakan pergerakan Bulan" dalam bahasa Dayak Ngaju, akan menjadi tajuk utama dalam serial kali ini. Serial yang akan difokuskan pada kisah panjang belasan tahun antara saya, astronomi, dan kemudian, salah satu kejadian astronomi spesial: gerhana matahari total.

Edisi pertama, tentang bagaimana segalanya bermula.

Selamat membaca!

*****

Menurut saya pribadi, bukanlah hal yang mudah untuk melacak hal macam apa yang membuat saya demikian tertarik ke bidang astronomi. Apalagi ketika kita berurusan dengan memori paling tua yang ada di kepala masing-masing kita: memori masa kanak-kanak. Memori yang paling mudah dikorupsi oleh album foto koleksi orangtua kita di rumah. Pada gilirannya, sepanjang usaha kita memintas lembar demi lembar memori masa kecil itu satu-persatu, yang akan lebih mudah kita lacak adalah sejarah yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, sejarah saya dalam mempermainkan pemikiran di bidang astronomi.

Satu set lengkap ensiklopedia bergambar Hamparan Dunia Ilmu Time-Life.
Sehubungan dengan tiadanya dokumentasi dan jauhnya domisili, saya
memutuskan untuk menyadur dari tokopedia.com.
Trivia: Hasil pencarian saya akan set ensiklopedia ini kebanyakan memberi
tautan ke situs penjualan macam tokopedia maupun olx.
Ingatan pertama saya terkait astronomi adalah ketika saya pertama kali bersentuhan dengan deretan ensiklopedia. Salah satu yang paling terkenal dan paling lama menghiasi lemari rumah saya adalah Hamparan Dunia Ilmu Time-Life, yang setidaknya telah hadir di rumah saya sejak 2000 (tahun cetakan kedua). Dari 16 judul yang ada di dalamnya, entah bagaimana dulu perhatian utama saya tertujukan kepada salah satu buku, berjudul "Planet dan Antariksa". Dalam beberapa tahun di sekitar pergantian milenium, praktis saya telah melayangkan segenap perhatian saya kepada setiap edisi dari set ensiklopedia terkait. Tetapi tetap saja, edisi tentang antariksa tersebut menjadi buku nomor satu bagi saya. Sedemikian hingga kini, edisi antariksa tersebut menjadi buku yang paling rusak di antara keenambelas edisi yang ada.

Paparan buku antariksa yang demikian berlebih di masa kecil memberikan saya kesulitan utama di masa awal sekolah dasar: tiadanya tempat berbagi segenap cerita panjang tentang planet, bintang, atau galaksi. Usaha mencari tempat pelampiasan isi kepala saya akan materi astronomi berbuntut beberapa sesi diskusi dengan beberapa guru dan psikolog. Rentetan obrolan ini pada gilirannya mengantarkan saya (oke, sebenarnya orangtua saya yang mengantar) menuju Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, tempat berdirinya Planetarium Jakarta. Saat itu tahun 2002, (setidaknya) kali kedua saya menyambangi wilayah planetarium (berdasarkan album foto keluarga saya, ada kunjungan ke tempat itu sekitar tahun 1999). Di kunjungan pertama, saya mungkin hanya berlari menyusuri seisi galeri planetarium dan menonton tayangan astronomi di ruang pertunjukan. Kali ini, saya diperkenalkan dengan sebuah komunitas astronom amatir yang berbasis di planetarium itu. Berdiri sejak 1984 di bawah panji Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), komunitas ini–atau tepatnya himpunan–beranggotakan astronom amatir dari berbagai kalangan, dengan banyak di antaranya adalah mahasiswa di berbagai universitas di Jakarta.

Salah satu hal yang paling menonjol dari kegiatan HAAJ adalah pertemuan rutin tiap kurang lebih sekali tiap dua pekan di hari Sabtu. Dan pertemuan ini bukan sekadar pertemuan. Dalam beberapa jam menjelang terbenamnya Matahari, diadakan sesi pemberian materi astronomi. Terkadang, selepas sesi salat Maghrib, diadakan pengamatan langit malam di pelataran terbuka dekat kubah ruang pertunjukan planetarium.
Sebagai bocah kecil yang hadir di tengah-tengah kegiatan dan berlagak aktif menyimak, saya yang kala itu masih bau kencur tidak ingat betul akan isi pertemuan rutin yang ada. Yang saya ingat hanyalah saya yang duduk bersama hadirin lain sebagai penyimak pertemuan rutin, sementara kedua orangtua saya duduk di barisan paling belakang. Tidak banyak hal yang demikian terkenang dari apa yang berlangsung dalam sesi pertemuan rutin itu> Mungkin yang terlintas di ingatan adalah gambaran kabur akan suasana ruang kelas ketika pemberian materi dilangsungkan. Juga antrian anggota himpunan yang bergantian mengamati sembarang benda langit dengan teleskop. Atau kilasan tentang suasana makan malam di kedai-kedai yang banyak berjajar di sekujur Taman Ismail Marzuki.
Atau alunan nada seisi album Cintailah Cinta karya Dewa 19 yang demikian membekas di kepala saya karena diperdengarkan sepanjang perjalanan.

Kegiatan menghadiri beragam kegiatan HAAJ inilah yang paling membekas di kepala saya dalam ingatan antara tahun 2002-2003. Meskipun, tentu saja, kegiatan yang ada tidak dibatasi hanya pada pertemuan tiap dua pekan.
Setidaknya dua kali setahun, diadakanlah kegiatan bernama Star Party. Praktisnya ini adalah kegiatan yang didedikasikan untuk pengamatan langit. Pesta bintang, walaupun jelas yang "berpesta" adalah manusia yang menikmati pemandangan langit. Tentu saja, kegiatan berlangsung semalaman.
Mars pada oposisi, 27 Agustus 2003. Sumber gambar: hubblesite.org
Jika bisa jauh, kenapa harus dekat? Apalagi acara ini berlangsung semalaman. Akan lebih mudah melangsungkan Star Party di tempat yang masih belum terlalu dijamah kekejaman polusi cahaya.
Star Party pertama saya dilangsungkan di bilangan Kampus Dramaga, IPB. Ingatan saya tidak cukup mampu menilas apa saja yang diamati selama kegiatan tersebut; walaupun ingatan saya mengatakan bahwa planet yang pertama kali saya amati adalah Saturnus (yang kira-kira terlihat seperti ini melalui teleskop), saya tidak yakin apakah saya mengamatinya di Star Party tersebut atau pada pengamatan di kawasan Planetarium Jakarta.
Pengamatan yang saya ingat jelas adalah Star Party kedua pada 26-27 Agustus 2003. Dilangsungkan di kawasan Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, tujuan utama dari pengamatan malam itu tampak benderang kemerahan. Mars, bersinar sepanjang malam, mencapai posisi terdekatnya ke Bumi dalam hampir 60 ribu tahun! Wajar saja jika kemudian komunitas astronom demikian bersemangat mengamatinya. Sedemikian hingga orang-orang itu rela duduk santai di malam hari, duduk di rerumputan yang basah berembun dalam suhu menukik ke bawah 15°C. Apa yang mereka lakukan? Ya apa lagi.... memandangi langit.

Sejak masa-masa itu, seingat saya tidak ada lagi kegiatan Star Party yang saya ikuti. Walaupun setidaknya hingga 2005 atau 2006, saya masih setia menyimak pertemuan rutin HAAJ secara berkala. Segala macam alasan berwujud kegiatan les dan sekolah yang makin padat membuat kekerapan kunjungan saya perlahan berkurang, hingga nyaris hilang sepenuhnya antara 2007-2008. Saya di masa itu agaknya telah lupa akan apa yang biasa saya nikmati tiap akhir pekan di beberapa tahun sebelumnya, dan lebih betah menghabiskan waktu mengamati langit dari rumah.
Di tahapan itu, entah berapa banyak khazanah pengetahuan astronomi saya yang telah berkembang sejak masa-masa aktif saya di himpunan. Hingga saya melabuhkan jalan melampaui sekolah menengah pertama, saya rasa khazanah astronomi saya tidak pernah demikian jauh berkembang. Bahkan perlahan saya kehilangan ingatan akan apa-apa yang pernah saya pelototi semasa duduk mengikuti pertemuan rutin. Walaupun mungkin saya memang tidak pernah memelototinya, apalagi menyimaknya dengan penuh perhatian. Entahlah.

Satu-satunya hal yang benar-benar tertancap dalam ke dalam ingatan saya adalah sebuah peta.

Sumber gambar: www.exploratorium.edu
Saya tidak yakin betul seperti apa kenampakan peta tersebut dulu, tetapi satu hal yang pasti adalah peta tersebut mencantumkan jalur-jalur merah yang dibubuhi tanggal. Terpasang di dinding luar ruang kelas bersama beragam infografik tentang planet, komet, asteroid, entah bagaimana ceritanya saya kemudian mendapati sebuah informasi berharga dari peta ini.
Gerhana matahari total akan terjadi di Indonesia pada 9 Maret 2016.
Dalam sudut pandang seorang anak yang bahkan belum genap mencapai usia sepuluh tahun di kala itu, prospek terjadinya suatu fenomena alam lebih dari sepuluh tahun kemudian masih sulit dicerna. Masih terasa berkelebat bagaimana dulu saya membayangkan apa yang akan saya lakoni di kala itu, bagaimana saya akan hadir untuk menyaksikannya. Akan tetapi, yang kemudian muncul di benak saya kala itu hanya satu kesimpulan sederhana:

Pada 9 Maret 2016, saya akan menyaksikan gerhana matahari total di Indonesia. Entah di mana.

Saat itu adalah antara tahun 2002 dan 2003. Saya tidak ingat betul tepatnya yang mana. Tetapi yang saya ingat, tekad itu tersimpan sedemikian lama, tanpa pernah lekang.

Hingga jemari ini kenyang menuliskan tulisan, 13 tahun setelahnya.



Tulisan ini tak habis sampai di sini! Sila simak bagian kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...