Beberapa tahun di negeri matahari terbit mungkin tidak banyak mencerabut kompetensi-makan pedas ataupun ketahanan terhadap jajanan pinggir jalan ketika pulang. (Benar-benar ada yang menjadi lemah dengan semua itu, loh). Akan tetapi, sedikit banyak pengembaraan saya membuat saya lebih terbiasa dengan rangkaian musim yang silih berganti memayungi dunia sakura. Rangkaian yang pada gilirannya perlahan menggantikan silih bergantinya musim kemarau dan musim hujan di Indonesia (meskipun pada nyatanya tidak semua daerah di Indonesia memiliki batasan jelas antara musim kemarau dan musim hujan itu sendiri). Alih-alih musim kemarau, yang saya ingat malah musim hujan di bulan Juni, yang menjadikan potongan puisi "Hujan Bulan Juni" tidak begitu relevan diimplementasikan di negeri sakura.
Singkat cerita, saya kembali menapaki musim hujan di bumi pertiwi dalam beberapa pekan terakhir. Segala basah jauh menyeruak melebihi serial hujan di negeri sakura sana, dan hasilnya adalah saya yang bernostalgia mengenang seperti apa rasanya hujan deras ukuran bumi pertiwi (yang adalah hujan superderas ukuran bumi sakura).
Semua itu hingga saya tersadar, betapa curahan hujan di sepanjang keadaan perlahan membersihkan angkasa. Membasuh langit biru dari segala macam amukan kendaraan yang menodai murninya, dari segala macam partikulat yang menoktahi kedalaman warnanya.
Bersama renjis penghujan, datang cercah gemilang surya jelang peraduannya.
jatuh cinta adalah hujan pertama setelah kemarau panjang di kota langganan banjir. pic.twitter.com/hucNMl6aeo— m aan mansyur (@hurufkecil) September 21, 2015
GIAN! kamu balik Inddonesia habis dari Perancis, ini?
BalasHapusiya hujan di Jepang mungkin awet tapi ngga sederas di Indonesia (selama 10 harian ini aku menyadarinya)
Hahaha, ini masih post tunggakan dari Maret lalu, Fit. Sekarang masih di Prancis, abis itu balik ke Sendai.
HapusDemikianlah musim hujan rasa Jepang~
Pantesan aku bingung kok tanggalnya maret pas buka yg ini
Hapus