Senin, 30 Juni 2014

Article#311 - Awal Yang Berbeda

Bulan Ramadhan 1435 H telah tiba.
Sebagai bulan terpenting dalam kalender Islam, Ramadhan termasuk dalam momen yang paling penting untuk ditandai kedatangannya di Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim nomor satu di dunia. Pergantian bulan dalam kalender Islam, yang ditandai dengan peredaran Bulan, kerap kali menimbulkan polemik antar organisasi besar Islam di Indonesia, dikarenakan perbedaan standar dalam menentukan pergantian awal bulan. Polemik yang senantiasa menghangat tiap datangnya (dan juga perginya) bulan Ramadhan. (Mengingat dalam bulan Ramadhan ada kewajiban berpuasa bagi umat muslim, tentu saja penentuan awal dan akhirnya harus sungguh-sungguh.)

Mengapa polemik seperti ini terus terjadi?
Untuk memahami lebih lanjut, sila simak tulisan berikut. Selamat mempelajari.

Foto bulan sabit tipis (hilal) yang dipotret dari wilayah Makassar, sebagai tanda datangnya
Ramadhan 1434 H. Dipotret pada 9 Juli 2013.
sumber



Posisi Bulan dan Ramadhan 1435 H yang (Bakal) Diawali Berbeda


Oleh: M. Ma'rufin Sudibyo
Bagian pertama dari lima tulisan
Bulan suci Ramadhan 1435 H tinggal berbilang hari. Sebagian besar Umat Islam di Indonesia pun sedang bersiap menyambutnya. Dan seperti yang sudah-sudah, perkara penentuan awal bulan kalender Hijriyyah pada umumnya dan awal Ramadhan/dua hari raya pun kembali mengemuka. Layaknya tahun silam, potensi (kembali) berbedanya Umat Islam Indonesia dalam memulai ibadah puasa Ramadhan di tahun 1435 H kali ini pun sangat terbuka.
Pada satu sisi, PP Muhammadiyah telah mengumumkan bahwa bagi mereka 1 Ramadhan 1435 H bertepatan dengan Sabtu 28 Juni 2014. Atas dasar prinsip naklul wujud (harfiahnya peminjaman status wujudul hilaal), yang pada galibnya setara dengan konsep wilayatul hukmi, maka seluruh wilayah Indonesia dianggap telah memenuhi “kriteria” wujudul hilaal pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sementara di sisi yang lain, meski masih menanti hasil sidang itsbat penetapan awal Ramadhan 1435 H yang salah satunya mengagendakan mendengarkan laporan-laporan observasi hilaal dari seluruh penjuru negeri, namun hampir pasti Menteri Agama bakal memutuskan bahwa 1 Ramadhan 1435 H bertepatan dengan Minggu 29 Juni 2014 jika mengacu pada kesepakatan selama ini, kecuali jika menggunakan pendekatan lain yang sama sekali baru.
Di waktu yang telah berlalu, urusan perbedaan dalam mengawali puasa Ramadhan maupun dalam berhari raya telah menyebabkan internal Umat Islam Indonesia bagaikan saling sikut dan sodok. Bagaimana dengan tahun ini? Menteri Agama yang baru memang telah memutuskan bahwa sidang itsbat penetapan awal Ramadhan 1435 H adalah sidang yang tertutup bagi akses media terkecuali pada saat konferensi pers penyampaian hasil sidang. Nampaknya sikap ini diambil untuk menghindari keriuhan yang tak perlu sepanjang Ramadhan seperti yang sudah-sudah. Namun di sisi lain ada juga yang berpendapat sikap demikian sebagai keputusan politis terkait suksesi kepemimpinan nasional dalam pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Kali ini partai pak Menteri berada dalam satu kubu yang sama dengan partai yang menjadi saluran politik (tak-resmi) sebagian eksponen pengguna “kriteria” wujudul hilaal. Sehingga friksi di antara sesama eksponen koalisi perlu diredam, terlebih di tengah persaingan elektabilitas antar capres yang semakin ketat. Sebab harus diakui, meski sebagian kecil kita menganggap urusan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya ibarat kaset bernada serupa yang hanya diputar berulang-ulang, namun di kalangan akar rumput masalah perbedaan ini jauh lebih menonjol dan mengemuka dibanding isu panas seperti korupsi sekalipun. Ya, perbedaan dalam mengawali bulan suci Ramadhan maupun hari raya dengan mudah menjadi bagian dalam mengidentifikasi antara “kita” dan “mereka.”
Posisi Bulan
Bagaimana sesungguhnya posisi Bulan pada Jumat senja 27 Juni 2014 sehingga potensi perbedaan awal Ramadhan 1435 H di Indonesia demikian terbuka lebar ?
Salah satu parameter penting bagi penentuan awal bulan kalender Hijriyyah adalah konjungsi Bulan-Matahari (ijtima’). Peristiwa konjungsi Bulan dan Matahari pada hakikatnya adalah peristiwa dimana pusat cakram Matahari tepat berada dalam satu garis bujur ekliptika yang sama dengan pusat cakram Bulan ditinjau dari titik referensi tertentu. Dalam peristiwa ini Bulan bisa saja seakan-akan ‘menindih’ Matahari dalam situasi khusus yang kita kenal sebagai Gerhana Matahari. Namun yang sering dijumpai adalah Bulan berjarak terhadap Matahari sehingga antara Matahari dan Bulan hanyalah berada dalam satu garis lurus. Garis lurus ini tidak harus mendatar (horizontal) ataupun tegak (vertikal). Di Indonesia, konjungsi Bulan dan Matahari lebih sering terjadi saat kedua raksasa langit tersebut terletak pada satu garis lurus yang relatif miring terhadap cakrawala (horizon).
Gambar 1. Posisi Bulan dan Matahari pada saat terjadi konjungsi geosentris Bulan-Matahari 27 Juni 2014 pukul 15:09 WIB, ditinjau dari pantai Logending, Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah). Garis putus-putus menandakan garis bujur ekliptika yang pada saat itu ditempati baik oleh Bulan maupun Matahari. Sumber: Sudibyo, 2014.
Gambar 1. Posisi Bulan dan Matahari pada saat terjadi konjungsi geosentris Bulan-Matahari 27 Juni 2014 pukul 15:09 WIB, ditinjau dari pantai Logending, Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah). Garis putus-putus menandakan garis bujur ekliptika yang pada saat itu ditempati baik oleh Bulan maupun Matahari. Sumber: Sudibyo, 2014.
Dengan menggunakan sistem perhitungan (sistem hisab) ELP 2000-82 diketahui bahwa jika ditinjau dari titik pusat Bumi (geosentrik), konjungsi Bulan dan Matahari akan terjadi pada Jumat 27 Juni 2014 pukul 15:09 WIB. Sebaliknya bila ditinjau dari titik-titik di permukaan Bumi (toposentrik), konjungsi baru akan terjadi dalam rentang waktu antara pukul 16:56 WIB (bagi kota Medan) hingga pukul 17:03 WIB (bagi kota Jakarta). Konjungsi toposentrik sejatinya lebih realistis, mengingat segenap umat manusia hidup di permukaan Bumi. Namun ia kalah populer, sehingga yang dijadikan patokan dalam perhitungan ilmu falak adalah konjungsi geosentrik.
Konjungsi geosentrik Bulan-Matahari menentukan elemen umur Bulan, yakni selang waktu antara saat konjungsi (geosentrik) terjadi hingga saat Matahari terbenam di masing-masing titik pada satu negara tertentu. Di Indonesia, pada 27 Juni 2014 senja umur Bulan bervariasi antara +0,52 jam yang terjadi di Jayapura (Papua) hingga +3,78 jam di Lhoknga (Aceh).
Gambar 2. Peta umur Bulan di Indonesia pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sumber: Sudibyo, 2014.
Gambar 2. Peta umur Bulan di Indonesia pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sumber: Sudibyo, 2014.
Parameter lainnya yang tak kalah pentingnya adalah tinggi Bulan, yakni tinggi pusat cakram Bulan terhadap garis cakrawala pada saat Matahari terbenam. Di Indonesia, pada saat yang sama tinggi Bulan bervariasi antara -0,83 derajat di Jayapura (Papua) hingga +0,16 derajat di Pelabuhan Ratu (Jawa Barat). Meskipun menjadi titik terbarat di Indonesia, namun geometri posisi Bulan dan Matahari saat ini menyebabkan tinggi Bulan di Lhoknga justru bernilai negatif, yakni hanya -0,17 derajat. Tinggi Bulan bernilai negatif menunjukkan Bulan telah lebih dulu terbenam pada saat Matahari tepat terbenam sepenuhnya.
Gambar 3. Peta tinggi Bulan di Indonesia pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sumber: Sudibyo, 2014.
Gambar 3. Peta tinggi Bulan di Indonesia pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sumber: Sudibyo, 2014.
Dan parameter berikutnya yang juga menentukan adalah elongasi Bulan, yakni jarak sudut antara titik pusat cakram Bulan dan Matahari pada saat Matahari terbenam. Pada saat tersebut, elongasi Bulan di Indonesia bernilai antara 4,6 derajat di pulau Rote (NTT) hingga 4,99 derajat di pulau Sabang (Aceh).
Bagaimana cara membaca data-data ini sehingga kita bisa mengetahui bahwa secara teknis awal Ramadhan 1435 H di Indonesia hampir pasti bakal berbeda?
Untuk itu kita harus melihat dinamika Umat Islam Indonesia masa kini. Dari 240 juta penduduk Indonesia, mayoritas adalah Umat Islam dan sekitar 60 juta diantaranya terdaftar sebagai anggota dua ormas Islam terbesar, masing-masing Nahdlatul ‘Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Belum lagi yang tak terdaftar namun bersimpati pada salah satu dari keduanya. Kedua ormas ini memiliki cara berbeda dalam menentukan awal bulan kalender Hijriyyah. Sehingga perbedaan hasil penentuan awal bulan kalender Hijriyyah di antara mereka akan berimbas pada perbedaan di kalangan Umat Islam di Indonesia.
Bagi NU, awal bulan kalender Hijriyyah hanya bisa ditentukan dengan cara rukyat(observasi) hilaal, sementara hisab (perhitungan ilmu falak) hanya dijadikan sebagai faktor pendukung rukyat. Bagi NU, saat rukyat tidak berhasil mendeteksi hilaal atas sebab apapun maka harus dilakukan istikmal, yakni penggenapan bulan kalender Hijriyyah yang telah berjalan menjadi 30 hari. Semenjak beberapa tahun terakhir NU mencoba konsisten untuk melakukan rukyat hilaal pada setiap awal bulan kalender Hijriyyah, tak semata pada awal Ramadhan dan hari raya saja. Seiring beragamnya sistem hisab yang beredar di tubuh NU dengan hasil yang sangat bervariasi pula, maka ormas ini memiliki parameter sendiri untuk menentukan apakah hasil rukyat bisa diterima ataukah tidak. Parameter tersebut adalah “kriteria” Imkan Rukyat yang diformulasikan Kementerian Agama RI, khususnya pada faktor tinggi Bulan minimal dalam sistem hisab kontemporer. “Kriteria” Imkan Rukyat itu sendiri, khususnya bentuk revisi 2011, adalah sebagai berikut :
rmd1435_IRSebaliknya bagi Muhammadiyah, awal bulan kalender Hijriyyah cukup ditentukan dengan cara hisab tanpa perlu melakukan rukyat. Kriteria yang digunakan adalah “kriteria” wujudul hilaal, yang pada saat ini memiliki formulasi sebagai berikut :
rmd1435_WHMaka dengan mudah dapat dilihat bahwa pada Jumat senja 27 Juni 2014, sebagian wilayah Indonesia telah memenuhi “kriteria” wujudul hilaal karena memiliki tinggi Bulan positif (lebih besar dari nol). Sehingga dengan mengaplikasikan prinsip naklul wujud, maka 1 Ramadhan 1435 H bagi Muhammadiyah bertepatan dengan Sabtu 28 Juni 2014. Sebaliknya pada Jumat senja 27 Juni 2014 itu tak satupun lokasi di Indonesia yang memenuhi “kriteria” Imkan Rukyat karena tak ada yang memiliki tinggi Bulan lebih dari atau sama dengan +2,25 derajat. Sehingga, tanpa mendului apa yang akan terjadi padarukyat hilaal, bulan Sya’ban 1435 H akan digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Ramadhan 1435 H bakal bertepatan dengan Minggu 29 Juni 2014. Inilah potensi perbedaan itu.
Referensi :
Sudibyo. 2013. Ramadhan 1435 H (2014), Kertas Kerja dalam Temu Kerja Nasional Hisab Rukyat 2013. Batam (Kepulauan Riau), Juni 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...