Kamis, 12 Juni 2014

Article#305 - Menyapa Jejak: Kehidupan Yang Terbumikan

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono. 1989. Hujan Bulan Juni
Jemari penulis merasakan sedikit jalaran dingin ketika mulai mengetikkan kata-kata pembangun awal dari tulisan ini. Sudah cukup lama berlalu sejak Edisi Bocah Tersasar terakhir yang penuh didominasi tulisan panjang nan tak terbayang, yang tepatnya berdomisili di dalam tautan berikut. sudah banyak hal yang berlalu, hal yang terlewat. Kenangan yang tersisa, yang tersimpan. Halah sudahlah, bagian ini akan dicukupkan sampai di sini, sebelum hawa galau terlalu menyeruak.
Kabar bocah-bocah tengil? Mungkin mudah menebaknya. Bagaimanapun juga, dengan waktu-waktu di negeri samurai dihabiskan dalam berbagai warna cuaca, kegiatan utama mereka sebagai barisan pelajar tentunya berkaitan dengan menyerap ilmu sebaik-baiknya dari tempat mereka kini. Ada misi tersendiri yang diemban oleh masing-masing bocah dalam sanubari, dengan tujuan, harapan, dan langkah-langkahnya. Tak hanya dalam memandang masa depan yang sedang mereka cermati, tetapi juga masa kini yang dengan tekun dilalui.

Berhubung inisiatif dari sebuah kegiatan biasanya dikembangkan secara tersendiri, alur selanjutnya dari tulisan ini akan berfokus pada apa-apa saja yang ditempuh penulis; meskipun perlu diperhatikan, hanya sedikit dari keseluruhan aktivitas penulis yang pada akhirnya akan berakhir di tulisan ini. Berakhir sebagai santapan mata-mata yang lapar menatap laman ini.

Tulisan kali ini mungkin juga tidak seiya sekata dengan gaya tulisan di Edisi Bocah Tersasar sebelumnya. Mohon pemaklumannya.

*****


3 Mei 2014. Saat itu, hampir sebulan telah berlepas sejak hari-hari indah dalam masa libur musim semi berakhir. Hal yang juga berarti, tidak tersedianya delapan belas tiket kereta penuh semangat muda, yang selama ini menjadi andalan penulis dalam menjajal keisengan dengan berkelana solo. Berkelana, mengunjungi beberapa pojok-pojok negeri samurai yang relatif jarang diminati mayoritas wisatawan. Toh, tujuannya bukan untuk berwisata. Tetapi untuk sekadar berjalan menguras tangki kebosanan. Dan perjalanan jauh, menyusuri apa-apa yang tak diketahui sebelumnya, selalu menjadi obat bagus. Apalagi ketika kau ingin membocorkan tangki kebosanan yang sempat menunggak kurasan di awal liburan.

Kembali ke 3 Mei, hampir sebulan setelah selesainya episode jalan-jalan musim semi. (Hasil jalan-jalan terkait ada di sini) Saat itu adalah bagian dari deretan pekan emas, saat dimana banyak warga negeri samurai memanfaatkan deretan hari libur terkait untuk... yah, berlibur. Entah mengunjungi keluarga, sanak saudara atau handai taulan. Entah sekadar melepas penat dari pekerjaan dengan mengunjungi tempat wisata idaman mayoritas.
Tentu saja, penulis termasuk dalam golongan orang-orang yang begitu antusias menyambut datangnya hari libur. Yaah, tidak cukup untuk melakukan kunjungan ke sanak saudara atau handai taulan sebagaimana banyak warga sini lakukan. Secara penulis bukan warga asli sini, toh. Namun kesenangan mendapat jatah hari libur tersebut sedikit dipudarkan oleh kenyataan bahwa delapan belas tiket kereta andalan penulis tidak lagi dipasarkan. Di luar waktu, katanya. Apa boleh buat, artinya kemungkinan bepergian ke luar kota terpaksa ditutup. Bepergian tanpa tiket andalan tersebut? Wah, cintaku liburku berat di ongkos, Neng!

Orang bilang, ide besar muncul di saat terjepit. Mungkin keadaan terjepit seperti waktu itu lah, yang akan membuat otak berputar sedemikian kuat, jauh mengalahkan cepatnya segerombolan mahasiswa yang kelaparan ketika disuguhi jamuan lezat. Maka saya menjepitkan diri...... sakit, yah. Menjepitkan diri di antara keinginan berkelana menjadi udara segar, dengan perlunya menjaga isi dompet supaya tetap stabil sentosa.

Opsi termudah untuk menyelesaikan permasalahan? Bersepeda.

Kemana? Pertanyaan ini sempat membuat kebingungan berkecamuk dalam kepala penulis selama beberapa saat, tetapi pada akhirnya penulis memutuskan untuk menempuh perjalanan ke daerah yang lama tak penulis kunjungi di negeri samurai: pantai berpasir.

Tetapi, pada 3 Mei, penulis dihadapkan pada dilema berlangsungnya sederetan kegiatan yang (rupanya) telah disiapkan oleh komunitas sesama pelajar di kota pelajar ini untuk mengisi liburan pekan emas. Alhasil, wacana tinggallah sebatas wacana...
...hingga dua pekan setelahnya.

17 Mei 2014. Hari yang juga bertepatan dengan Hari Buku Nasional.
Setelah melalui dua akhir pekan dalam dilema antara keinginan bergerak dengan kemalasan bergerak, (?) akhirnya penulis memantapkan tekad dan kemauan hidupnya.
Maka berangkatlah penulis, terus menempuh perjalanan sekitar 15 km dari tempat tinggal menuju garis pantai berpasir terdekat. Terimakasih kepada peta Gugel yang bersedia menunjukkan lokasi.

Sebelumnya, mungkin penulis perlu memberitahukan bahwa kota domisili penulis saat ini adalah salah satu kota terdekat dengan episentrum Gempa Besar Jepang Timur yang terjadi pada 11 Maret 2011 lalu. Karenanya, ketika membicarakan sebuah kunjungan ke sisi pantai sebuah kota dengan sejarah gempa besar beberapa tahun sebelumnya, tak ayal, artinya kau akan menyaksikan sebuah lanskep daerah yang pernah diterjang tsunami dahsyat.
Penulis merasa, sebagai warga dari negara yang juga akrab dengan gempa maupun tsunami, sudah selayaknya penulis mengunjungi daerah yang pernah mengalami dahsyatnya kejadian tersebut. Satu alasan adalah karena penulis tidak begitu akrab dengan persaksian atas sebuah kejadian alam. Alasan lainnya, tentulah lokasinya yang dapat dijangkau dengan mudah dari tempat penulis mengetikkan kata-kata di laman anehnya selama ini.

Belantara rerumputan, tersembunyi di naungan langit jernih
Perjalanan mengayuh sepeda melalui jalan yang menurun terasa berlalu cukup cepat, hanya sejam terlewati sebelum akhirnya penulis melewati rute prefektur 139 yang mengantarkan pengendara menuju sebuah titik pantai di muara sungai Nanakitagawa. Dan disanalah mereka bertahan dalam pose bisu dan kaku, memberi testimoni jitu akan apa yang terjadi tiga tahun lalu.

Berikut dokumentasi penulis akan berbagai bukti-bukti tak terbantahkan yang menjelaskan, tanpa perlu sepatahpun kata, kekuatan tsunami yang menyeruak saat itu.

Tiang yang patah. Teriring sandal penulis sebagai pembanding.
Tiang yang terbengkokkan sedemikian rupa menjauhi pantai.
Panjang tiang sekitar 5-6 meter.
Sisa fondasi sebuah rumah?
Rumah yang terbengkalai beserta sekian banyak perabotan rumah tangga 
Rongsokan sisa gempa dan tsunami

Berdiri di sana, pikiran penulis berkelebat membayangkan, kira-kira seperti apa kenampakan daerah ini empat tahun lalu, dan bagaimana kehadiran tsunami mengubah kelanjutan hidup penghuni di daerah ini.
Tiang yang patah (lagi)
Arah foto membelakangi pantai





Muara sungai Nanakita (七北田川)


Penulis tetap meneruskan perjalanan, mencari lokasi menuju pinggir pantai sesungguhnya. Yang rupanya lebih banyak menyimpan trik daripada yang sebelumnya penulis sangka.


Sejenis teluk kecil di muara sungai. Samudra Pasifik dapat dilihat
di belakang pematang pasir keabuan pada latar.
Pagar menuju apa..?
Belum berhasil menemukan garis pantai, penulis kembali menggowes ke arah utara, mendekati pelabuhan. Sedikit perjalanan mendaki (agak aneh, mengingat posisi sudah sedemikian dekat dengan pantai), dan akhirnya penulis sampai di dekat lokasi pengamatan. Sudah sangat dekat dengan pantai, bahkan ada tangga, namun sayangnya...

Pantai!

Mari turun....
....er,, tidak jadi deh.
Tangga terkait sepertinya dipatahkan oleh tsunami yang sama dengan yang menyapu peradaban dari foto-foto sebelumnya. Yang tersisa adalah paruh atas tangga, terputus menyisakan tebing setinggi 5-8 meter menuju pantai. Sayangnya penulis tidak cukup nekat untuk meloncat turun. Susah nanti ambil sepedanya.
Akhirnya penulis beranjak turun dari lokasi tangga tersebut. Jalan yang meliuk turun membawa penulis kembali ke jalur utama menuju pelabuhan, tetapi mata penulis yang berkelana ke arah kiri jalan menemukan celah bagus untuk menyelinap menuju area pantai.

Jenazah pohon dan jenazah perahu.
Butuh berjalan sekitar 200 meter sebelum akhirnya sampai di pantai yang sesungguhnya. Waktunya relaksasi sejenak, menyegarkan tubuh yang mulai lelah. (halah)







Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, maka penulis mau tak mau beranjak pulang. Dengan kaki berpasir, bau air laut dan bau petualangan, penulis bergerak membawa sepeda dan menggowesnya pulang.

-o0o-

Ada mungkin, kepingan-kepingan yang hanya sekilas muncul di kala menyaksikan bukti-bukti tak bergerak pada dokumentasi di atas. Testimoni paling sahih untuk menjelaskan bagaimana, pada pukul 3 sore, 11 Maret 2011, gelombang bergulung-gulung mendatangi daratan dan merangsek, jauh meninggalkan lautan tempat ia berasal.
Ada kehidupan yang meregang, menyerah kalah pada gelombang yang amukannya membuat ciut nyali bangunan-bangunan. Padahal sebelumnya mereka menjulang dengan pongahnya di sisi-sisi sungai.
Ada cerita yang tercerabut dari akarnya. Entah berapa banyak orang, dengan masing-masing ceritanya, yang mendapati alur hidup mereka bergolak sedemikian rupa.
Ada peradaban yang tersungkur di hadapan kuasa-Nya. Rumah-rumah yang isinya terhamburkan ke luar, seolah mencoba menceritakan kisahnya lewat jalaran tumbuhan liar yang mulai merambati tubuh rumah.
Jalaran yang tampak seperti jemari dari sebuah tangan tak terlihat, meminta barang miliknya kembali. Kembali, untuk bersatu dengan tanah yang rata, angin yang hampa, rerumputan tanpa warna. Dalam kesatuan.

Aku ingat ketika aku menghabiskan beberapa waktu duduk di tanggul, menghadap pinggir pantai. Membiarkan hembus angin yang bersorak kencang di punggungku dalam siang hari itu. Melihat sesekali kendaraan bermotor mendatangi satu sisi tanggul itu, mengantarkan pengendaranya untuk berdiri di sisi tanggul itu.
Berdiri saja mereka! Tampak takzim memandangi langit biru yang napak berpadu dengan lautan di kejauhan. Tampak khidmat memandangi burung camar yang sesekali terbang rendah mengincar makan siang. Tampak tegar, sesekali dengan tangan yang terkepal. Entah ibu dan putranya, suami dan istrinya, atau kakak dan adiknya.
Tak lama, mereka beranjak lagi, kembali meninggalkan aku yang duduk seorang diri di tepi.

Sekian lama, kupikir aku duduk tercenung tanpa hasil. Saat aku mengayuh sepeda lebih jauh, kuamati lagi rerumputan yang bergoyang dengan damai. Genangan air sisa tsunami yang terperangkap, berdiam dalam ramai. Debur ombak di kejauhan, menenggelamkan sahut riang burung camar.
Aku tak tahu menahu kesimpulan apa yang digapai orang orang-orang yang sebelumnya kulihat memandang lurus ke arah lautan. Mungkinkah mereka mencoba menyesuaikan ritme pikiran mereka dengan ritme lingkungan di sana? Ritme yang tenang, damai, seolah tiada apapun pernah terjadi.
Rumah-rumah dan bangunan lain boleh saja berdiri dalam postur hancur mereka setelah diterjang tsunami. Tetapi selain itu, semua tampak baik-baik saja? Tetumbuhan dan hewan kembali menguasai daerah itu, yang tiga tahun lalu tercoreng moreng kotoran dan kerusakan. Seolah luka itu tak pernah ada.
Mungkin?

Sebagaimana kehidupan kembali semarak, disana seolah tergambar pula dengan amat jelas, bagaimana jemari yang tak terasa keberadaannya, menggamit tangan berjalan pelan. Penuh kewaspadaan, jemari itu mengajak untuk kembali, bersama yang lain yang terbumikan.
Mengajakmu pulang.



*****

Tulisan ini dibuka dengan mengutip sepenggal puisi tentang hujan di bulan Juni. Maka penulis memutuskan untuk menututpnya dengan topik yang sama. Lagipula, saat ini air hujan masih membasahi segenap bumi di kota ini.

Sebuah analisis atas puisi karya Pak Sapardi Djoko Damono tersebut mengatakan bahwa hujan dalam penggalan puisi terkait dapat dimaknai sebagai hujan yang seharusnya tidak turun. Dengan pertimbangan bahwa kecenderungan musim di Indonesia pada bulan Juni adalah musim kemarau, maka porsi hujan yang tercurahkan tidak sebanyak di bulan-bulan sebelumnya yang tergolong dalam musim hujan. Hujan yang jarang turun, dan sekalinya turun, ia masih harus merahasiakan rintik rindu yang membuncah terhadap sebatang pohon berbunga. Setidaknya, begitulah pemaknaan yang dijabarkan dalam analisa terkait.

Lalu, bagaimana kabar di sini?
Kondisi yang sangat bertolak belakang, ketika ditilik dari sisi iklim. Bulan Juni di negeri samurai senantiasa identik dengan "hujan plum" (梅雨), musim hujan yang ditandai dengan bermekarannya bunga plum, atau ume.
Walaupun penulis tak pernah benar-benar setuju akan bagian "tidak ada yang...", pengambilan sudut pandang ini tetapmenarik untuk diselami.
Jika disesuaikan dengan analisa di paragraf sebelumnya, maka pemaknaan yang muncul adalah bagaimana rintik rindu yang ada, tak tersampaikan walaupun dia punya sejuta kesempatan untuk mengambilnya. Sesekali keraguan tersurat, sesekali kerinduan tersirat, tetapi tekad yang bengis atas harapnya sendiri itu menolehkan mukanya, berpaling. Menengadah pada langit dengan awan yang bergulung-gulung.
And when it rains, on this side of town
It touches everything


Jika Pak Sapardi menuliskan puisi di atas pada tahun 1989, penulis mengadaptasinya dalam tulisan ini pada 2014. Dalam jangka waktu 25 tahun itu, sudah banyak yang berubah, berkembang pesat dalam bidang teknologi. Kalau dulu perpisahan antar dua kota yang bertetangga bisa mengantar kepada "putus hubungan", kini perpisahan "fisik" sejauh apapun seolah tak lagi digubris, dengan adanya aplikasi-aplikasi yang mengemas teknologi untuk mengobrol dengan sesiapa, nun jauh disana. Penulis lebih memilih penjabaran ini untuk percobaan menempatkan sudut pandang puisi terkait dengan kondisi penulis saat ini.

Meskipun begitu, rasanya hujan di manapun rasanya tak jauh beda. Angin segar yang sama, membawa butir-butir yang menampar wajah dengan malu-malu. Tetes-tetes air yang bergemericik di jalan, sesekali membasahi jemari yang sibuk menadahi air limpasan atap. Dan ketika mengaitkan hujan dengan kerinduan, sesekali kubayangkan wajah-wajah yang menatap hujan turun dalam tenang. Mereka yang kuyakini hidup dalam ketabahan, kebijakan, dan kearifan yang melebihi hujan manapun yang membasuh Bumi di bulan Juni ini.
rMereka yang membasuh jiwa-jiwa yang panas, untuk mengistirahatkan ritme hidup. Mencoba mengurai kata-kata bodoh untuk disampaikan sebagai salam rindu, lewat awan hujan yang menderu.
Sejenak aku terpaku sunyi
Menyelusup dalam kelam malam
Warna itu, cahaya yang mengira tiada
Butir-butir hujan turun dalam gulita
Membesuk wajahku yang bergidik
Dalam perenungan akan rahasia
Bagai hantu, jiwa kosong berkelana
Menari di balik tudung awan

Sementara aku membisiki diri
Untuk lebih lama tinggal
Bagai debu, tertiup tanpa wujud rupa
Hidup keras dalam limpasan nada-nada
Bertalu-talu, ia berbisik
Di luar semakin sangit corak mentari
Memadamkan bekas-bekas tapak hati, menyekap sisa-sisa rindu tadi
Sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi
Meminta jujur. Atas laras kebodohan jalan ini

(Bocah Tengil, 2014. Sepanjang Jejak Rahasia)

(seluruh gambar disadur dari dokumentasi pribadi penulis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...