Selasa, 10 Juni 2014

Article#304 - Antara Cerita, Cipta dan Cita (Conjunctoria 2): Sebuah Penyadar

Terhitung seribu pekan terlewati.
Putarlah waktu kembali ke masa ribut-ribut politik. Saat juara bertahan menduduki tahtanya kembali. Saat di mana aku bersama bocah-bocah sepantaran belum berkutik.
Waktu yang terputar membawaku kembali, masa dimana nama-nama besar yang terpampang ngejreng masih kerap membuatku bergidik. Padahal nama terkait pun besar tak secara intrinsik. Semata bermodal waham yang tersebar di sekitarku selama ini.
Meskipun, pada akhirnya waham serupa pula yang bergerak mendorongku pergi. Bersiap melaju ke sebuah tempat dalam naungan sebuah figur negeri. Dalam canda tawa, melepas hangat tangan mereka yang disayangi. Meski tak sepenuhnya mengerti.

Terbilang seribu pekan telah pergi.
Putarlah waktu kembali dalam tiga keliling orbit. Saat di mana aku baru saja menempuh perjalanan pulang dan mengistirahatkan diri.
Perjalanan yang kutempuh saat itu adalah perjalanan yang menjadi kunci. Kunci dari terbukanya pintu-pintu perjalanan selanjutnya secara alami. Kesempatan bagi kami yang beruntung dan cukup berusaha, untuk menajamkan jemari. Bercokol dalam kancah perjuangan yang makin tinggi.
Dan ketika kami meneruskan cerita ini, kami terus berupaya, berjuang hingga akhir. Meskipun tidak di semua kubu, gapaian baru terlahir. Seribu hari telah beriring pergi, dan sebagian kami masih melangkah kembali ke kata mulai.

Terngiang seribu pekan yang tertulisi.
Putarlah waktu kembali, cukup dua kali. Saat di mana akhir itu benar-benar mendatangi kami.
Akhir dari suatu cerita, adalah awal dari cerita yang masih murni. Menunggu digoresi kilau harap dan cita untuk nanti.
Perjuangan yang tak ditempuh dalam kompak beriring, tak juga dalam rapi berbaris. Ada yang melaju dan mengawali. Ada barisan utama yang berjuang sepenuh hati. Ada baris belakang yang terbang ke penjuru bahari. Ada yang saling susul menyusul ke luar negeri. Meskipun semuanya sama-sama meninggalkan jejak-jejak tersendiri, terekam dalam lokasi pengabdian kini.
Ketika berjuang dalam lokasi-lokasi tersendiri, semangat dan idealisme kadang membuncah tanpa disadari. Mungkin saja ada yang secara otomatis merapal doa dalam hati. Doa yang diucapkan dalam keheningan masing-masing, tetapi merapalkan bait-bait harap yang sama persis. Isinya pun banyak mengutamakan kebaikan bagi kawan-kawan lain, dibanding untuk diri sendiri.

Terdiam, seribu pekan hingga masa kini.
Waktu yang berputar meronta untuk kembali, melepas jurai mimpi menuju masa kini yang dulu dinanti. Melepas diri dari tumpukan dosis khayalan tinggi.
Nama besar, beserta waham yang dulu membuatku bergidik. Kini menjadi nama besar yang menggiringku pergi menuju entah berapa langkah di hadapanku saat ini. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa berbaris-baris basa-basi.
Kancah perjuangan, yang masih menampakkan jejak bercokolnya jemari. Kini menjadi kancah yang kabarnya senantiasa kunanti, ketika bergantinya generasi memberi nafas wangi. Nafas yang melanjutkan harapan kami, cengkeraman kami, pada roda kursi bertabur prestasi. Tempat dimana cakrawala kami meluas, melihat kenyataan yang beda persepsi dengan apa yang selama ini terpatri.
Jejak pengabdian, beserta niat tulus yang dipatri dalam tiap langkah kaki. Kini menjadi saksi, atas apa yang telah diperjuangkan dengan sebenar-benar niat selama ini. Aku bisa saksikan berkali-kali, satu demi satu nama tercantum dalam jajaran prestasi. Nama-nama lain tercantum sebagai mereka yang tulus mengabdi, berusaha memperbaiki kualitas masyarakat di sekeliling. Semuanya berjalan kompak, seolah tersinergi. Bahu-membahu menyusun temali untuk membangun jalan idealisme menuju kesuksesan negeri. Menuju kesuksesan religi. Kesuksesan masa depan yang islami. Yang dimulai dari membangun kesuksesan pribadi.

Lalu, bagaimana di sini? Apa yang telah dicapai hingga kini? Ketika diri mengatakan capaian tidaklah penting, pada akhirnya justru tidak terasa lagi apa yang penting? Apa kabar kebersihan hati yang dulu sedemikian digadang-gadang untuk mengisi diri?
Meresapkan kenyataan dalan sanubari. Mengiris batang-batang, keping-keping kenyataan yang tersaji di sekeliling. Menatapnya lamat-lamat dalam hening, hingga sadar tiada yang terjadi dalam sepi.
Menyesap kenangan supaya tahu diri. Melekatkan kembali memori, yang kini sekadar menjadi serpih-serpih untuk elegi masa kini. Dipikir diri kenangan itu masih sedemikian tertanam dalam hati, hingga diri menyadari, ia sama sekali tak mengerti dirinya sendiri.


Hari 7000, di bawah tengadah lantunan awan.
Selasa, 10 Juni 2014, 14:16 (UT+9)
38°16'40.69"N, 140°51'05.98"E

Tulisan ini sebagai penghubung dari tulisan kedua dalam seri 'Antara Cerita, Cita dan Cipta'.
Dihubungkan dengan apa? Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...