Jumat, 19 April 2013

Article#156 - Sebuah Ilusi Bernama Keberhasilan

"Saya tidak setuju, pak."

Sembari membetulkan posisi duduknya, Abram kembali menatap seorang pria berusia 30-an di seberang meja, yang hanya terkekeh sembari membetulkan kacamata bingkai perseginya.

"Apanya yang tidak kamu setujui, Abram?", tanya Pak Nurdin dengan senyum kecil yang nampak seolah mengejek remaja tanggung bertubuh tegap didepannya itu.

Kemudian mengucurlah argumen Abram dengan derasnya. Hampir dua tahun dalam klub debat telah melatih kemampuan berdebatnya sedemikian rupa, mengucurkan semua pemikiran yang didapatnya nyaris hanya dalam sekejap mata saja, mengalir deras menuju lautan pikiran Pak Nurdin.

Tetapi Pak Nurdin hanya tersenyum kecil. "Memang susah menjelaskannya dengan baik, apalagi kepada seorang cerdas sepertimu, Abram. Tetapi jika kau merenungkannya lebih dalam lagi, saya yakin kamu pun juga akan setuju."

Abram makin heran, kenapa bapak guru ini seolah tak mengindahkan satupun opininya. Bukankah sudah jelas, Pak? Lalu kenapa Bapak tetap bertahan?

"Sorot matamu menunjukkan keyakinan yang begitu kuat akan opinimu dan keheranan akan respon saya yang tak berubah, Bram. Penuh api semangat yang bergelora. Sangat khas gaya intelektual muda. Tetapi, bahkan seorang intelektual muda harus membuka pikirannya terhadap pola pikir yang lain," Pak Nurdin merapikan buku-buku di mejanya dan memasukkannya ke dalam lemari, "Ingat kata pepatah, penampilan bisa menipu. Memang benar, penampilan menjadi kesan pertama yang dilihat orang, dan tak jarang penampilan memang mewakili gambaran sebenarnya. Tetapi penampilan yang tak dibangun dengan sikap dan pola pikir yang baik, dalam banyak situasi, tak akan memberi efek lebih."

Abram kini hanya mengernyit, berusaha menangkap maksud kata-kata pak Nurdin. "Lalu apa hubungannya pepatah barusan dengan yang tadi pak? Jangan pindah-pindah topik dong pak,"

Pak Nurdin pun hanya merapikan barang-barang yang berserakan di mejanya dengan santai. "Satu kalimat ini saya rasa sudah cukup untuk dicerna siswa secerdas dirimu, Bram." Dengan sorot mata yang tegas, Pak Nurdin mengucapkan kalimat tersebut, menatap sesaat mata Abram yang masih menyiratkan ketidakpuasan.
"Terimakasih atas kesediaan kamu hadir siang hari ini. Bapak mendoakan yang terbaik untuk hidupmu ke depan. Saya permisi dulu, sampai jumpa besok. Wassalamu'alaikum," Pak Nurdin mengambil tasnya, dan beranjak keluar ruang BK.

Abram hanya terduduk diam selama beberapa saat, bahkan jawaban salam Abram pun sepertinya tak didengar oleh Pak Nurdin, saking lemahnya. Abram diliputi rasa bingung. Rasa yang tak biasa baginya. Bahkan kumandang adzan Ashar tak sepenuhnya mampu memalingkan Abram dari kebingungannya.

***

Pak Nurdin baru beberapa bulan ditempatkan sebagai guru olahraga merangkap guru BK di SMA tersebut, tetapi ia telah mendapat begitu banyak informasi tentang salah satu anak ngetop di SMA tersebut, Ashraf Bramantyo Salahuddin, atau biasa dipanggil Abram oleh teman-temannya. Dan sebenarnya, semua guru di SMA tersebut sepakat bahwa Abram adalah siswa yang 'spesial'. Pak Nurdin ingat bahwa seorang guru pernah bercerita padanya:
Sejak kecil, Abram memang sudah menunjukkan kelebihan kemampuan dibanding anak kecil seumurnya. Baik secara fisik maupun secara mental, ia selalu mencatatkan sebuah capaian yang tergolong superior, bahkan ketika dia baru masuk kelas 1 SD. Yang membuat ia spesial, adalah kemampuannya menempatkan diri di antara kawan-kawan sebayanya dengan begitu baik, tanpa pengaruh buruk yang berarti pada kepribadiannya.

Sebagaimana diperkirakan, Abram melalui masa SD dan SMP dengan 'nyaris' sempurna. Dia menjadi 'anak bintang' yang dielu-elukan baik oleh keluarga, tetangga, maupun guru serta teman-teman di sekolah. Bayangkan saja, selama di SMP dia sudah menjuarai beberapa lomba MIPA, beberapa lomba atletik, sebuah kompetisi sepakbola se-kabupaten, lomba membaca puisi bahasa Inggris, bahkan MTQ. Kalau kata para ibu-ibu murid SMP tersebut dalam rapat asosiasi mereka (baca: arisan), kurang apa coba? Dengan alur hidup yang begitu mengesankan, mungkin tak janggal jika banyak kenalannya yakin dia akan menjadi seseorang yang sukses besar di masa depan.

Dan kemudian, entah ada hubungannya atau tidak, sepertinya Abram mulai memantapkan diri untuk menjadi 'seorang sukses'. Beberapa guru, terutama wakil kepala bidang kesiswaan, merasakan bahwa Abram begitu getol melibatkan diri sebanyak mungkin di berbagai klub dan kegiatan organisasi di tahun kedua. Jadi ketua ini, koordinator itu, banyak lah.
Lalu bagaimana kelanjutan kisahnya? Tetap saja Abram naik kelas sebagai siswa dengan nilai tertinggi di hampir semua bidang. Bahkan kegiatan organisasinya berjalan dengan begitu mulus. Dengan sifatnya yang sangat bersahabat sekaligus dalam waktu bersamaan, dan dari segi fisik juga 'oke punya', banyak guru meyakini hal yang sama seperti disebutkan sebelumnya: Abram akan menjadi seseorang yang sukses besar di masa depan.
Tetapi Pak Nurdin justru berpikir sebaliknya. Apakah semua pujian itu tidak berlebihan? Bukankah berbahaya jika ia punya kelemahan fatal yang tak ia sadari karena semua orang asyik menyanjung kelebihannya?

***

Tahun demi tahun berlalu, dan entah terasa atau tidak, Abram sudah lulus dari S2. Tidak berminat dengan S3, ia memutuskan untuk membentuk usahanya sendiri, menggunakan uang tabungan dari beasiswa yang ia dapat selama kuliah.
Tentu saja, sebanyak apapun uang yang ia miliki sebagai tabungan, ketika datang waktunya untuk mencoba usaha yang baru, awalnya tak semudah kesan yang sering muncul. Bahkan pada akhirnya, usaha pertama Abram, sebuah toko pakaian batik kecil, terpaksa tutup akibat minimnya pembeli. 
Pantang menyerah, Abram memutuskan untuk membentuk yang kedua. Ia tanamkan tekad kuat, usaha keduanya ini tak boleh gagal. Mengusung tema restoran, rupanya ia tak cukup mampu untuk memenuhi restorannya dengan pengunjung. Tetapi kemudian ia cukup nekat untuk berpindah haluan, kali ini ia membentuk usaha dalam bidang IT. Dengan kolaborasi beserta beberapa rekannya, perlahan-lahan bisnis baru Abram ini menanjak naik dan memasang namanya sebagai salah satu perusahaan baru yang maju dalam bidang IT.
Perlahan, Abram beserta rekan-rekannya memenangkan penghargaan demi penghargaan atas bisnisnya yang makin maju. Ia makin sering dipanggil untuk mengisi seminar motivasi di berbagai daerah sebagai seorang 'inovator muda'. Performanya yang bagus, baik dalam bisnis maupun hal-hal lain yang ia geluti, mengantarkan namanya terus menanjak sebagai salah satu pebisnis sukses termuda di Indonesia.

Singkat cerita, 12 tahun telah berlalu sejak obrolan di ruang BK tersebut. Rumah kontrakan kecilnya dulu kini telah menjadi sebuah rumah yang cukup megah, tempat Abram beserta keluarganya tinggal. Perusahaannya makin maju, dan kini ia sedang berencana mengakuisisi sebuah perusahaan IT asal Singapura yang sebelumnya menjadi pesaing kuat bagi perusahan Abram dengan inovasinya yang begitu disukai pasar di Asia Tenggara, bahkan menyaingi perusahaan Abram sendiri.

Tindakan ini dianggap banyak pengamat sebagai ekspresi ketakutan Abram akan kemungkinan perusahaannya kalah oleh perusahaan Singapura tersebut. Ketakutan ini dinilai cukup wajar, mengingat 2 tahun sebelumnya perusahaan Abram mengalami kejatuhan yang cukup parah, yang diduga akibat ketidaksiapan perusahaan menghadapi pesaing-pesaing kuat yang bermunculan. Perusahaan Abram baru pulih beberapa bulan ketika perusahaan Singapura ini mulai menebar pengaruhnya dalam perlahan mengurangi jumlah konsumen bagi perusahaan Abram.

Abram duduk dalam bangku eksekutif pesawat Garuda Indonesia yang sedang melaju ke Singapura. Beberapa jam sebelumnya, ia baru saja beradu argumen dengan istrinya seputar putra mereka yang sedang sakit. Sang istri meminta Abram untuk tetap tinggal dan menemani putranya berobat ke rumah sakit, tetapi Abram bersikeras untuk menyelesaikan urusan akuisisi ini terlebih dahulu. Masih terngiang kata-kata istrinya di telepon, 'Terus sajalah kamu urusi perusahaan itu! Biarlah kuurus Ferdi sendiri hingga ia sembuh!'. Kali ini, Abram melirik ke luar jendela, mengamati pulau-pulau Kepulauan Riau yang terlihat bergerak perlahan. Batinnya terus membisikkan kata-kata yang sebelumnya ia ucapkan kepada sang istri. Kata-kata yang entah berupa kebenaran atau pembenaran.
Maaf Mona, tetapi ini demi kebaikan keluarga kita juga.
Dan kemudian lampu sabuk pengaman dinyalakan. Pesawat akan segera mendarat.

***

3 bulan kemudian.
Di luar dugaan banyak pihak, termasuk sang istri sendiri, negosiasi berjalan mulus. Perusahaan Abram resmi mengakuisisi si pesaing, dan makin mengukuhkan namanya sebagai perusahaan IT terbesar di Asia Tenggara. Pada hari-hari berikutnya, ucapan selamat berdatangan mengalir begitu derasnya, dan Abram seolah tak bisa berhenti tersenyum. Begitu juga semua orang yang selama ini mendukungnya, atau sekadar mengagumi pencapaian yang ditorehkan Abram.
Tetapi keceriaan itu tak berlangsung lama.
Abram menjadi makin waspada akan segala macam gejolak yang menggoyang perusahaannya, tetapi karena kewaspadaan itulah ia makin memusatkan waktunya untuk perusahaan. Pada akhirnya, seolah tiada hari tanpa memantau kinerja karyawannya di perusahaan. Bahkan di hari libur, Abram kini tak pernah lepas lagi dari smartphone miliknya yang senantiasa dipenuhi pesan dari bawahannya yang bertugas. Sebenarnya kecenderungan sikap baru Abram ini sudah ada sejak lebih dari setahun lalu, ketika ia masih berjuang memulihkan perusahaannya yang saat itu masih terpuruk. Tetapi ketika itu, sikapnya masih dinilai 'wajar', mengingat kondisi yang cukup gawat saat itu. Apalagi ketika perusahaan kembali mampu meneruskan kinerjanya dengan baik, Abram kembali bersikap normal dan cenderung menyenangkan. Dan, ketika sebenarnya sikap itu kambuh kembali, orang-orang tidak terlalu memedulikannya, terutama karena masih terbawa suasana euforia pasca akuisisi, dan sikap Abram sendiri masih relatif menyenangkan.

Ketika sikap itu makin menjadi-jadi, istrinya menjadi orang pertama yang menyadari betapa Abram begitu memusatkan diri pada pekerjaannya. Melihat kecenderungan Abram sebelumnya, istrinya memutuskan untuk bersabar terlebih dahulu, merasa bahwa perusahaan suaminya kembali dirundung masalah. "Lebih baik kalau kubuat dia tenang dulu ketika pulang nanti."
Begitu juga para karyawan, yang perlahan mulai merasa gerah dengan kehadiran Abram yang dirasa makin mengganggu, 'terlalu mencampuri urusan kami'. Awalnya mereka sepakat untuk mengabaikan rasa kesal itu. Namun kekesalan yang tertumpuk kemudian pecah, dalam rapat bulanan 2 pekan setelahnya. Hanya dengan satu kalimat yang dikatakan Abram, ketika rapat hampir berakhir. Dengan menunjuk selebaran iklan sebuah perusahaan teknologi terkenal, ia berkata,

"Saya memutuskan, untuk menjaga tren kemajuan perusahaan kita, supaya kita segera mengakuisisi perusahaan Hong Kong ini."
Secara serentak, para petinggi perusahaan satu persatu menghujat Abram layaknya hujan meteor.
"Untuk apa Bram?!"..
"Perusahaan kita saja masih belum stabil!"..
"Apa kau gila, Bram!? Apa sih maumu sebenarnya?"
Tetapi Abram kembali mendiamkan mereka semua dengan sebuah gebrakan di meja rapat.
"Kalian lihat sendiri saja, bahkan setelah kita berhasil mengakuisisi perusahaan sebelumnya, kinerja perusahaan ini tak kunjung membaik. Yang ada justru malah mengalami penurunan. Kalau kerja kalian saja begini terus, kapan kita bisa maju?!"

"Hei Bram! Dalam masa-masa begini seharusnya kita memperkuat dasar perusahaan kita yang sempat rapuh. Bukannya malah bergaya dengan semua bualanmu itu. Keputusan sembronomu itu justru bisa menghancurkan kita semua!" kini giliran Andre, salah satu pendiri perusahaan yang masih aktif.
"Tapi sudah hampir 4 bulan tidak ada kemajuan juga!"
"Perusahaan masih butuh waktu supaya bisa stabil!"
"Jadi sekarang kau menyalahkan waktu, alih-alih meningkatkan usaha?!"

"SUDAH, SUDAH!!" Hadirin rapat yang lain ikut mencoba mendinginkan situasi. Salah satu hadirin, Jaya, kini berbicara, "Dan kau, Abram. Berhentilah berkubang dalam idealisme sampahmu itu. Lihatlah kenyataan, siapa yang selama ini mengganggu pekerja sehingga tidak bisa bekerja secara maksimal? Lihatlah siapa yang membuat kami semua tidak tenang karena terus diganggu dengan celotehan yang tak kunjung usai? Apa kau tak percaya pada kinerja kami? Karyawanmu yang selalu mengerahkan usaha maksimal? Kalau begini terus, kau tak pantas lagi jadi pemimpin!"
Abram makin mendidih, tetapi tak ada gunanya pula untuk melampiaskan marahnya itu, karena hadirin yang lain sudah meninggalkan ruangan.
Dengan sumpah serapah, Abram mengemas barang-barangnya dan beranjak pulang.

Entah berapa kali Abram nyaris menabrak kendaraan lain yang melintas. Ia sampai di rumah dengan ekspresi yang masih menunjukkan kekesalan mendalam. Bahkan salam hangat istrinya yang telah menyeduhkan segelas teh hangat tak digubris. Ia langsung berjalan ke atas, ke kamar tidur.

Sejak kejadian itu, Abram beberapa hari tidak masuk ke kantor. Tidak ada yang tahu dimana dia, bahkan sang istri pun tak tahu menahu. Dikontak pun tak pernah digubris, baik lewat pesan, chat ataupun email. Sebelumnya para karyawan khawatir Abram sakit, namun setelah mereka mengetahui bahwa bahkan Mona tak tahu dimana Abram berada ('hapenya ia tinggalkan di rumah, bajunya pun tak ada lagi'), mereka mulai menganggap bahwa Abram kabur. Kabar ini diperkuat dengan opini umum para karyawan bahwa Abram sudah terlalu stres dan tak layak memimpin perusahaan sekaliber mereka, apalagi dengan gaya nyaris otoriter.
Di hari kelimabelas, dengan isu itu terus menguat, akhirnya petinggi perusahaan kembali melaksanakan rapat. Dibahas pula mengenai Abram yang menghilang, dan betapa pentingnya posisi ketua untuk senantiasa terisi. Akhirnya diputuskan, Jaya akan menjadi pemimpin sementara perusahaan, sampai Abram kembali—atau sampai rapat berikutnya. Toh para hadirin rapat sudah yakin, meskipun akhirnya Abram kembali, ia tak akan mampu mendapatkan kembali posisinya tersebut.

Akhirnya para petinggi mengumpulkan karyawannya di ruang pertemuan. Mereka memaparkan dinamika terbaru perusahaan, termasuk diangkatnya Jaya sebagai ketua sementara. Banayak yang terkejut atas keputusan itu, meski mereka tetap menyetujuinya. Tetapi kebanyakan lebih terkejut ketika mendadak pintu ruang pertemuan terbanting, dan disana berdiri orang yang selama ini terus mereka bicarakan.

Abram melaju ke meja pertemuan dan langsung berseru, "Apa maksudnya ini?!!"
"Bukankah sudah sangat jelas, Bram? Apa? Kau tak mengerti?" sahut salah seorang petinggi yang disusul tawa hadirin.
"Apa-apaan ini! Kenapa si Jaya itu diangkat menjadi ketua tanpa kehadiran saya?"
"Jawabannya mungkin sama dengan mengapa kau menghilang sekian lama, Bram." Tawa hadirin membahana lagi.
Dan Abram sudah sedemikian emosinya, hingga ia melepaskan tinjunya ke petinggi yang terus mengejeknya itu. Selanjutnya, kericuhan yang cukup dahsyat tetapi singkat terjadi, dan semua rangkaian cerita siang itu berakhir dengan dilemparnya Abram keluar perusahaan.
"Masamu telah berakhir, Abram! Kami tak punya dendam apapun kepadamu, tetapi kami tidak mau lagi dipimpin orang sepertimu!", kekeh salah satu karyawan yang menyeretnya keluar.

Penuh amarah, beberapa menit kemudian Abram sampai kembali ke rumahnya. Sang istri pun menyambut di depan rumah, tetapi dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan—campuran antara sedih dan marah. Begitu pula kata-katanya setelahnya, tak bisa dijelaskan lagi. Sayangnya, Abram yang masih memendam emosi luar biasa setelah kejadian di kantornya, langsung naik pitam. Dan entah apa yang terjadi di rumah itu pada malam hari tersebut, yang jelas keesokan harinya rumah itu sudah kosong. Mobil yang biasa dikemudikan Abram juga menghilang, dan suasana hampa begitu tersirat dari rumah tersebut. Dan sejak itu, hingga beberapa tahun setelahnya, tak pernah muncul lagi tanda-tanda kehidupan di rumah itu.
Begitu sunyi, berantakan, dan tentu saja, tiada siapapun di dalam sana.

***

Lima hari telah berlalu. Ratusan kilometer dari rumah indah yang kini kosong itu, ada sebuah desa yang masih terlihat asri meski sudah banyak ruko-ruko menghiasi sisi-sisi jalan. Motor pun banyak berlalu lalang di jalanan desa. Tetapi ada satu yang berbeda. Di daerah pinggiran desa, di depan sebuah rumah yang tergolong cukup bagus disana, terparkir sebuah mobil yang selama ini hanya terlihat mondar-mandir di kota-kota besar atau di jalan tol. Dan tak jauh dari sana, seseorang tengah berdiri memandangi sawah, yang batang-batang padinya berayun-ayun tertiup angin. Ia menghirup udara segar, yang seolah membersihkan kepalanya dari berbagai kejadian yang telah ia alami dalam beberapa hari ke belakang.

Sejak kecil, Abram memang selalu suka mengamati sawah saat ia dibawa orangtuanya berkunjung ke rumah orangtua ibu Abram. Suasana desa yang damai, alami dan menyegarkan, memang selama ini terbukti mampu mengajak orang-orang kota yang bosan dengan segala macam kebisingan, untuk mengistirahatkan diri sejenak, mengagumi mahakarya Sang Pencipta. Disinilah, Abram meyakini, ia bisa sepenuhnya memulihkan dan menenangkan diri dari segala macam kekalutan jiwanya. Begitu pula pemikiran Abram tiga pekan yang lalu, setelah rapat yang berujung ricuh akibat keputusannya sendiri yang dianggap 'bodoh' dan 'sembrono'. Padahal aku hanya ingin perusahaan makin maju.
Sebenarnya Abram sudah beberapa kali melakukan hal ini, mengunjungi rumah kakek-neneknya ketika ia sedang menghadapi masalah, atau merasa jenuh dengan irama perkotaan yang monoton, berbau asap dan penuh orang-orang. Tetapi selama ini, hal tersebut selalu ia anggap harus dirahasiakan ke orang lain, bahkan orangtua ataupun istrinya sendiri. Dan kesalahannya yang lupa membawa ponselnya di keberangkatan pertama, Abram yakini, menjadi salah satu kebodohan utama yang menggiring dirinya ke dalam masalah ini.

"Ayo Ashraf, ini tehnya." Nenek yang pada tahun berikutnya akan berumur 8 dekade itu masih terlihat begitu bersemangat, apalagi ketika sang cucu tercinta mampir dan memutuskan tinggal sementara di rumah mereka. Dan, sebagaimana Nenek mengamati tingkah Abram pada hari-hari sebelumnya, ia kembali bertanya.
"Ada masalah, Ashraf?"
Abram hanya menggeleng perlahan.
"Jangan lupa sholat Ashar, sudah jam 4 sore."
"Baik, Nek."
Entah berapa kali Nenek menanyakan pertanyaan tersebut selama ia mampir, dan setiap pertanyaan selalu digubris dengan jawaban yang senada. Tetapi ketika makan malam keesokan harinya, Abram tak bisa lagi berlindung di balik tameng diamnya. Kakek memulai pembicaraan, dan ia langsung berbicara pada pokok permasalahan.
"Ashraf, apapun yang kini kau sembunyikan itu, bicarakan saja pada kami. Mungkin saja kami bisa membantumu mencari jalan keluarnya."

Awalnya Abram ragu-ragu, tetapi kemudian mengalirlah semua cerita dalam 4 bulan terakhir, sejak berita akuisisi perusahaan Singapura itu. 18 menit cerita berlalu, dan Nenek mulai menasihati Abram akan pentingnya kerjasama, kepercayaan dan lebih bijak dalam mempertimbangkan keputusan yang akan diambil, semacam itulah. Tetapi Kakek justru memberi sebuah pertanyaan yang amat sederhana.
"Hei Ashraf, apa dulu tujuanmu melakukan semua itu?"
"Semua itu?" Abram masih bingung.
"Ya semua kebijakan bisnis yang kau lakukan itu, apa tujuan utamamu melakukannya?"
"Tentu saja supaya perusahaan bisa maju dan terus bertahan."
"Lalu, apa hubungan antara apa yang kaulakukan dengan apa yang kautuju? Sebenarnya, apa sih yang kau tuju?"

Abram merasa kosong, dia sama sekali tak tahu harus menjawab apa. Dan kesadaran akan kekosongan itu justru makin terasa, seolah menonjoki perutnya sendiri. Tetapi ia masih mencoba menjawab,
"Aku ingin berhasil. Aku ingin sukses! Aku ingin menunjukkan pada semua orang, bahwa anak seperti diriku ini bisa juga menjadi sukses berkat usahanya sendiri!" Abram kini bersorak dengan penuh semangat.
"Berhasil? Sukses? Berhasil, atau sukses menurutmu itu, seperti apa?" Kakek kembali memberikan pertanyaan. Abram tak mampu berkata-kata lagi.
"Kakek curiga, kau terlalu dalam mengejar keberhasilan. Yang menjadi fokus hidupmu hanyalah cara mencapai ini, bagaimana mencapai itu. Tetapi camkan ini baik-baik, cucuku. Keberhasilan itu tak nyata. Ia hanya ilusi."

Pikiran Abram langsung tersentak, seolah kembali ke memori 12 tahun yang lalu di dalam ruang BK. Ia ulangi lagi argumen yang dulu ia keluarkan di hadapan Pak Nurdin. "Bukankah keberhasilan itu jelas adanya? Bukankah mereka yang memenangkan perlombaan benar-benar memenanginya? Bukankah mereka yang berhasil mencatat pencapaian dalam hidupnya, melakukannya secara nyata? Lalu bagaimana mungkin itu semua, hanya ilusi belaka?"
Kakek, anehnya, justru makin tenang menjawab pertanyaan Abram itu. "Kau salah paham, Ashraf. Pada saat tujuan tercapai, keberhasilan terasa begitu nyata, begitu indah, begitu membahagiakan. Namun esok harinya? Setelah semua kompetisi atau apapun yang kau menangi itu selesai, keberhasilan yang kau dapat kemarin tidak ada artinya lagi. Tak akan peduli lagi orang-orang atas pencapaian yang dulu. Kalau kau bisa memberi manfaat melalui pencapaianmu itu, atau mencapai yang lebih bagus lagi, mungkin orang akan mengingatmu dan apa yang kau beri. Tetapi kenapa kau hanya fokus untuk mendapatkan dan tak memberi? Padahal jelas bahwa 'mendapatkan' itu belum pasti, sementara 'memberi' itu jauh lebih pasti.
"Yah, pada akhirnya, semua terserah dirimu," Kakek menghela nafas. "Lebih baik sekarang, apa yang bisa kau selesaikan, selesaikanlah ia sebaik mungkin. Selagi masih ada kesempatan."

***

Pak Nurdin hanya tersenyum kecil. "Memang susah menjelaskannya dengan baik, apalagi kepada seorang cerdas sepertimu, Abram. Tetapi jika kau merenungkannya lebih dalam lagi, saya yakin kamu pun juga akan setuju."

Abram makin heran, kenapa bapak guru ini seolah tak mengindahkan satupun opininya. Bukankah sudah jelas, Pak? Lalu kenapa Bapak tetap bertahan?

"Sorot matamu menunjukkan keyakinan yang begitu kuat akan opinimu dan keheranan akan respon saya yang tak berubah, Bram. Penuh api semangat yang bergelora. Sangat khas gaya intelektual muda. Tetapi, bahkan seorang intelektual muda harus membuka pikirannya terhadap pola pikir yang lain," Pak Nurdin merapikan buku-buku di mejanya dan memasukkannya ke dalam lemari, "Ingat kata pepatah, penampilan bisa menipu. Memang benar, penampilan menjadi kesan pertama yang dilihat orang, dan tak jarang penampilan memang mewakili gambaran sebenarnya. Tetapi penampilan yang tak dibangun dengan sikap dan pola pikir yang baik, dalam banyak situasi, tak akan memberi efek lebih."

Abram kini hanya mengernyit, berusaha menangkap maksud kata-kata pak Nurdin. "Lalu apa hubungannya pepatah barusan dengan yang tadi pak? Jangan pindah-pindah topik dong pak,"

Pak Nurdin pun hanya merapikan barang-barang yang berserakan di mejanya dengan santai. "Satu kalimat ini saya rasa sudah cukup untuk dicerna siswa secerdas dirimu, Bram. Orang yang hanya mengejar kesuksesan untuk hidupnya, tak akan benar-benar sukses."

Kalimat terakhir yang ia ingat dari Pak Nurdin terus terbayang di benak Abram, selama ia berbaring di kamar tempat ia selama ini menumpang. Pikirannya campur aduk. Ia belum bisa menerima sepenuhnya maksud kata-kata Kakek tadi. Ia memutuskan untuk sedikit beristirahat dengan bermain game di ponsel. Saat Abram bermaksud menekan tombol nyala, ia baru sadar bahwa batere ponselnya habis. Alhasil, 5 menit lagi terbuang untuk membongkar tas dan mengambil kabel isi ulang. Dinyalakannya ponsel, dan mendadak muncul notifikasi 2 pesan dan 6 panggilan tak terjawab. Dari Mona.
Abram sempat khawatir akan keselamatan istrinya, tetapi ketika ia membuka pesan, mukanya memucat.
"Tidak... Ini tak mungkin kan?!", gumamnya.
Sudah tak ada waktu lagi. Sekarang atau tidak, selamanya.
Abram bergegas mengemasi barangnya, berpamitan kepada kakek-neneknya, dan segera membawa mobilnya meluncur kembali ke ibukota.

***

Kepada Mas Bram

Setelah pertimbangan cukup panjang bersama orangtuaku, dengan berat hati aku memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai. Sidangnya akan dilaksanakan Selasa besok jam 9 pagi, jika Mas Bram ingin ikut serta dalam mengambil keputusan, datanglah. 

Mona

Isi pesan itu langsung melekat di otak Abram, yang kini sedang melaju di jalan tol, menuju pengadilan agama tempat sidang dilaksanakan. Abram tak peduli lagi pesan itu, karena sekarang ia berusaha keras menelepon Mona, yang sedari tadi tak bisa dihubungi. Sekarang sudah hari Selasa jam 6.27 pagi, dan dengan jarak tempuh masih 180 km lagi, akan sulit bagi Abram untuk bisa hadir tepat waktu. Akhirnya, Abram memutuskan untuk tidak menelepon istrinya dulu sampai ia keluar dari jalan tol, dan kemudian ia mengemudi dengan lebih ngebut.
6.55, jarak ibukota masih 125 km. Abram kembali mencoba mengontak, tetapi tetap saja nomornya tak bisa dihubungi, sehingga Abram terus melaju. 
8.09, jarak ibukota sudah tinggal 12 km, dan Abram bersiap untuk keluar tol menuju gedung pengadilan agama. Namun kendaran perlahan melambat, hingga akhirnya berhenti dan tak bergerak. Kejadian tak terduga muncul di depan mata Abram. Dua mobil yang sebelumnya saling mendahului di depan mobil Abram saling bertabrakan, hanya 3 km dari pintu tol. Dan puing kedua mobil berserakan di jalan, menghalangi jalan, termasuk mobil Abram. Makin panik, Abram kembali berusaha mengontak Mona, yang tetap saja tak bisa dihubungi. 
Abram pun keluar dari mobil ke dekat puing-puing mobil yang bertabrakan, meminta izin pada polisi untuk mengizinkan semua kendaraan yang terjebak supaya bisa lewat. Sebenarnya ada cukup ruangan bagi mobil untuk melewati lokasi tabrakan. Abram beradu argumen dengan si polisi, namun si polisi tetap tak bergeming dan menunggu mobil derek mengungsikan kedua mobil yang mengalami kecelakaan itu keluar jalur.
Tetapi alih-alih dikabulkan, yang ada Abram justru didatangi polisi-polisi lain yang seolah bersatu melawan Abram. Keadaan yang sangat sempit, udara pana dan jiwa yang panas kembali membangkitkan amarah Abram terhadap para polisi, dan Abram mengambil langkah nekad: Menyalakan mesin mobil dan langsung melaju meninggalkan lokasi tabrakan, meninggalkan polisi yang bahkan tak siap untuk mengejarnya.

***

"Pada akhirnya Abram tak pernah datang ke gedung pengadilan agama. Akibat aksi sembrononya, Abram ditangkap dan ditahan selama 2 hari, untuk kemudian disidang untuk mendapatkan vonis 2 tahun penjara akibat tindakan sembrono yang dapat membahayakan keselamatan orang lain. Tetapi ia menghilang dari penjara di malam ketiga, dan sejak itu Ashraf Bramantyo Salahuddin tak pernah terdengar lagi kabarnya, begitu pula keluarganya. Ada yang bilang jika ia sudah lama tewas, ada yang bilang ia sekarang sudah pindah ke luar negeri, banyak lah. Lagipula itu cerita lama. Saya sendiri masih yakin jika ia masih hidup, entah dimana," jawab Pak Tua yang tinggal di dekat rumah bekas Abram dulu. Setelah 28 tahun, rumah itu seolah mulai direnggut oleh alam dan dikembalikan kepadanya.
"Ohiya, anak muda, apa yang kau lakukan dengan semua informasi ini?" Pak Tua kembali menyahut.
"Saya berencana membuat tulisan sederhana mengenai kisah ini pak. Sepertinya menarik," aku mencoba menjelaskannya sedikit. 
"Oke, semoga sukses! Izinkan saya membacanya juga ya nanti."

Sepertinya sudah cukup. Akupun beranjak pergi, meninggalkan Pak Tua sendirian dengan kiosnya. Perlahan, ketika aku berjalan, kudengar alunan lagu lawas yang begitu indah, dengan nada yang menyayat hati. Kulihat ke belakang, dan si Pak Tua kembali bernyanyi, entah untuk apa. Atau siapa? Nada suaranya yang terdengar sedikit tragis, membuatku tak bisa berpura-pura tidak mendengarnya.
Dan entah bagaimana, sebersit pikiran muncul di benakku. 
Tetapi, tentu saja, mana mungkin..?

Hari 6586, selesai dengan dampingan malam yang membekukan.
Sabtu, 20 April 2013, 01:38 (UT+9)
38°16'40.69"N, 140°51'05.98"E

5 komentar:

  1. Kurang paham sama ceritanya..

    BalasHapus
  2. gyan, kalo menurut gw fontnya bikin ga enak dibaca

    BalasHapus
  3. cerita yang cukup bagus, inti ceritanya kelihatan, saya sangat penasaran apa pak tua itu adalah abram?
    hahaaha....kekurangannya memang terletak di background tapi itu hanya sedikit, suasana kurang banyak digambarkan, tapi sudah sangat membuat saya penasaran.terima kasih atas tulisannya yang bagus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe terima kasih.. Yang itu, silakan ditafsirkan sesuai jalan pikiran Anda.
      Background disini maksudnya latar cerita? Wah kalau saya gambarkan secara lengkap, bisa jadi lebih panjang lagi, hehe.
      Sip sama-sama

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...