Selasa, 31 Desember 2013

Article#250 - Menelusur Remah Bongkah Pembelajaran

Sepoi angin malam seolah terdesak, tak rela menghembusi para pejalan kaki dengan getar gigil kedinginan yang biasa. Malam tak hanya sejuk, namun juga sepi, sunyi, damai, meski kadang hampa. Seolah mengajak jiwa-jiwa yang terkatung dalam kesunyian, terasing dari hura-hura tanpa artian, untuk menyibak kembali, apa yang selama ini ia biar terlewatkan. Digiringnya lembar arsip ingatan yang tertimbun jauh di lubuk jiwa, untuk kembali membayang tanpa lelah.
Mungkin beberapa dari kita tak bisa menampik, di mana-mana pesta hura-hura dan kefanaan dibungkus dengan rona warni yang apik dan eksotik. Sementara kalian duduk tenang, dalam hening, bersama hembusan sejuk yang kadang menggelitik.
Beberapa dari kita mungkin sudah menjadikan sebuah angka yang segera berganti, menjadi titik balik. Titik pacu dalam rangka menggerak keterserakan jiwa ke arah yang lebih baik.
Ada juga sebagian lain dari kita. Mereka yang sibuk mendaras kalimat-kalimat Sang Maha Perangkai Kata, sudah berangkat jauh meninggalkan hura-hura warga dunia yang membakar sekian banyak harta. Mereka tak lagi membutuhkan pesta pora fana, tanpa makna.

..
....
Saya rasa, hal yang paling garing dalam proses penulisan ini adalah sebuah kenyataan. Tempat diselesaikannya tulisan ini adalah tempat yang sama persis, sebagaimana yang saya sambangi tepat di momen serupa, waktu sebelumnya. Kalau dilihat dari sisi fungsi keadaan, yang hanya peduli asal muasal dan tabir terakhir dari sebuah permasalahan, awal dan akhir dari kondisi ini adalah posisi yang sama. Dari sini, mungkin tak salah jika disebut stagnan.
Loh, tapi saya sudah pergi kemana-mana..
Berarti, hidup bukanlah sebuah fungsi keadaan?
Rasanya tidak juga.
......
Langkahkanlah kaki di sepanjang jalan, dan akan kautemui berbagai hal di sepanjang perjalanannya. Berada disana, sesekali terjumpalah remah pasir yang membuat sepatu terseok, dan meresap memanasi kaki. Dalam kondisi lain, remah ini bisa mampir ke lain tujuan. Tak lagi terinjak di bawah sepatu, tetapi mengusik mata yang sensitif. Akan terjumpa pula, bongkah batu, yang mungkin dengan sadar tidak diinjak, tetapi dalam satu waktu bisa membuat kaki yang melangkah ini terantuk, meringis kesakitan. Ada sinar matahari, dan arak awan, yang bisa bergantian menyinari, menaungi, atau menghujani si petualang dalam keseruannya tersendiri.

Semua dari kita punya ceritanya masing-masing. Cerita yang selalu berbeda antar individu, karena perbedaan dari apa yang mereka temui, apa yang mendatangi, dan bagaimana ia menanggapi.
Seperti butir salju, masing-masingnya bermula dari keping butir debu yang berbeda. Mereka kemudian bersatu antar satu sama lain, mengumpulkan keping demi keping es kecil-kecil, sampai bobot mereka sendiri menang dan mengizinkan mereka untuk jatuh, menyapa bebatuan atau pepohonan di Bumi. Perjalanan yang mereka tempuh, beserta entah berapa banyak butir air debu yang bersatu, memberikan berbagai maam bentuk salju, yang antar kepingnya tidak ada yang sepenuhnya identik. (Penulis sangat tidak menyarankan kalian untuk membuktikannya.)

Pada gilirannya, remah bongkah ini, remah bongkah pembelajaran yang terjumpa, adalah apa yang menempa hidup seseorang menempuh jalur tersendiri, sebagaimana jalannya saat ini. Dan setelah saya merenung di jalan pinggir kota tahun lalu, saya kini disini, di tempat yang sama. Masih di pinggir jalanan di pinggiran kota, tanpa tujuan merapal apa saja remah bongkah pelajaran yang sudah dicecap dirasakan.
Tak jauh beda dengan tahun lalu, kali ini, saya hanya ingin mengatakan supaya kita semua senantiasa memperbaiki diri dan terus belajar untuk menjadi diri yang lebih baik. Semoga kelak, dengan remah bongkah pelajaran yang telah menempa laju hidup kita, tradisi penuh kesia-siaan yang biasa disemarakkan pada setiap momen semacam ini, dapat diubah menjadi kegiatan yang bermakna dan berdampak untuk perkembangan diri ke depan.
Toh ini hanya hasil dari sistem penanggalan buatan manusia kan? Tak perlu diagung-agungkan. Ia hanya terasa spesial karena adanya keterulangan yang frekuensinya jarang.
Selamat berbahagia! Karena bahagia itu pilihan.

35°42'56.14"N, 139°48'12.65"E, 30 Desember 2013, 09:11 (UT+9).
Kuritsu Sumida Koen (区立墨田公園), Taito-ku, Tokyo.

Hari 6840, ditemani sunyinya udara metropolitan malam.
Rabu, 1 Januari 2014, 01:39 (UT+9)
35°43'18.51"N, 139°48'05.43"E
Lanjutkan baca »

Senin, 30 Desember 2013

Article#249 - Kutipan Hari Ini

"Angin terkencang hanya akan menerpa mereka yang berdiri pada ketinggian."

~disadur dari ketidakjelasan kehidupan.
Dikutip pada Senin, 30 Desember 2013, 07:22 (UT+9)


Lanjutkan baca »

Minggu, 29 Desember 2013

Article#248 - A Phone Which Kept Ringing

Phone won't stop ringing? Here's what you (might like to) do.

Leola Starling of Ribrock, Tenn., had a serious telephone problem. But unlike most people she did something about it.
The brand-new $10 million Ribrock Plaza Motel opened nearby and had acquired almost the same telephone number as Leola.

From the moment the motel opened, Leola was besieged by calls not for her. Since she had the same phone number for years, she felt that she had a case to persuade the motel management to change its number.

Naturally, the management refused claiming that it could not change its stationery.

The phone company was not helpful, either. A number was a number, and just because a customer was getting someone else's calls 24 hours a day didn't make it responsible. After her pleas fell on deaf ears, Leola decided to take matters into her own hands.

At 9 o'clock the phone rang. Someone from Memphis was calling the motel and asked for a room for the following Tuesday. Leoloa said, "No problem. How many nights?"

A few hours later Dallas checked in. A secretary wanted a suite with two bedrooms for a week. Emboldened, Leola said the Presidential Suite on the 10th floor was available for $600 a night. The secretary said that she would take it and asked if the hotel wanted a deposit. "No, that won't be necessary," Leola said. "We trust you."

The next day was a busy one for Leola. In the morning, she booked an electric appliance manufacturers' convention for Memorial Day weekend, a college prom and a reunion of the 82nd Airborne veterans from World War II.

She turned on her answering machine during lunchtime so that she could watch her favorite soap opera, but her biggest challenge came in the afternoon when a mother called to book the ballroom for her daughter's wedding in June.

Leola assured the woman that it would be no problem and asked if she would be providing the flowers or did she want the hotel to take care of it. The mother said that she would prefer the hotel to handle the floral arrangements. Then the question of valet parking came up. Once again Leola was helpful. "There's no charge for valet parking, but we always recommend that the client tips the drivers."

Within a few months, the Ribrock Plaza Motel was a disaster area. People kept showing up for weddings, bar mitzvahs, and Sweet Sixteen parties and were all told there were no such events.

Leola had her final revenge when she read in the local paper that the motel might go bankrupt. Her phone rang, and an executive from Marriott said, "We're prepared to offer you $200,000 for the motel."

Leola replied. "We'll take it, but only if you change the telephone number."
Lanjutkan baca »

Selasa, 24 Desember 2013

Article#247 - Kutipan Hari Ini

"A wise man can learn more from a foolish question than a fool can learn from a wise answer."
~quoted from Bruce Lee (1940-1973), Hong Kong American martial artist/instructor, filmmaker and actor. Quoted at Tuesday, 24th December, 2013, 22:38 (UT+9)

source

Lanjutkan baca »

Senin, 23 Desember 2013

Article#246 - 80000 pengunjung..

Setelah dalam beberapa edisi napak tilas sebelumnya, penulis menyertakan rangkuman berita mengenai apa yang ia resapi, cernai dan sikapi (?), kini penulis memutuskan untuk rehat dari melaporkan rangkuman citarasa negeri. Rehat sejanak, bertepatan dengan waktu liburan yang sudah dimulai beberapa puluh jam yang lalu. Menyenangkan ya, liburan itu. Yeeey.

Pada saat bersamaan, banyak institusi pendidikan di seantero ibu pertiwi menyelenggarakan libur yang kurang lebih bertepatan, juga berselang dua pekan. Bedanya, mungkin, adalah di beberapa pekan terakhir, banyak yang sedang berkutat dengan berbagai ujian, tes blok, maupun tugas yang demikian menumpuk dari guru-guru. Entah apakah guru benar-benar sedemikian rajinnya, sehingga ia rela memeriksa sedemikian banyak hasil pengerjaan murid-muridnya tersebut. Meskipun dalam kondisi tertentu, si guru akan menemukan banyak kesamaan di antara hasil pengerjaan yang dikumpulkan. Yaah, mungkin dalam satu sisi, tindakan tersebut mempermudah guru memeriksa. Tapi mungkin ya jadinya repot pula, jika pada akhirnya guru merasa tugas yang ia berikan kurang efektif, dan kemudian menambahkan tugas baru. Ow, ow oow. Maka berhati-hatilah dalam menyalin tugas, saudara-saudara.
......
Kenapa jadi bicara tugas, ya. Padahal sebelumnya, penulis hanya ingin memaksudkan, bahwa bisa jadi karena banyak yang sibuk dengan tugas, kunjungan di laman gila ini sedikit surut. Sejak post napak tilas sebelumnya, hingga tercapainya angka 80.000 pengunjung pada malam hari tanggal 23 Desember 2013, 03:19 (UT+9), sekitar 46 hari 8 jam telah berlalu. Dibandingkan periode napak tilas sebelumnya yang tercapai dalam 45 hari 18 jam, ada sedikit perlambatan.

Tetapi, tak masalah juga sih ya.
Ohiya; post ini dipublikasikan tepat 30 jam setelah titik balik musim dingin. Artinya, saat ini panjang siang di belahan Bumi utara kembali memanjang, dan malam pun memendek. Kiprah tulisan di laman ini pun mungkin mulai memanjang; penulis tak sepenuhnya yakin.
sumber
Nantikan tulisan selanjutnya; tentu saja, nanti!
Lanjutkan baca »

Minggu, 22 Desember 2013

Article#245 - Lakukanlah Kesalahan


Lakukanlah kesalahan, selama itu bisa membimbingmu menuju perbaikan.
Lakukanlah kesalahan, selama itu mendorongmu untuk terus berkarya.
Lakukanlah kesalahan, makanya darinya akan kaudapatkan pengalaman serta pelajaran.
Biarkan orang lain berhenti karena takut salah, dan majulah dengan melakukan satu-dua kesalahan. 

Mungkin memang kuncinya sederhana saja, seperti kata orang. Hadapi apa yang kau takuti. Tetapi, bahkan resep sederhana semacam inilah yang justru luput dari pikiran di saat genting.
Akupun sering merasa diriku sudah cukup gila untuk menantang ketakutan, tetapi entah bagaimana dalam realisasinya.
Karena memaki diri sendiri masih lebih berguna dibanding memaki hembus angin.

Hembus dingin angin malam seolah menegur, untuk segera bernaung dan melepas penat. Semoga istirahat yang sebentar ini adalah istirahat yang bermanfaat.

I never conquered, rarely came
But tomorrow holds such better days
Days when I can still feel alive
When I can't wait to get outside
The world is wide, the time goes by
The tour is over, I've survived
I can't wait till I get home
To pass the time in my room alone

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Jumat, 20 Desember 2013

Article#244 - Kutipan Hari Ini

“We need an opposition to remind us if we are making mistakes. When you are not opposed you think everything you do is right.”
~quoted from Mahathir bin Mohamad (b. 10th July, 1925), the fourth Prime Minister of Malaysia. Quoted on Friday, 20th December, 2013, 19:27 (UT+9)

sumber

Lanjutkan baca »

Sabtu, 14 Desember 2013

Article#243 - Diminish The Light, Replenish The Night

You might be forgiven for thinking that – of all things – the stars were equal above us. Too far, too big, too old, to be affected by anything that puny man could do. The stars look down upon us with benevolence or with despite, according to the mood of the poet, and our language is rich in reminders of how mankind has thought its destiny written in the stars. Star-crossed lovers look for lode-stars, and it sometimes seems that every writer stuck for a word has merely to look up to find his all-purpose answer in the stars. Shakespeare once called them the bad revolting stars. Traditionally, the stars affect us and we can do nothing in return. Yet now it seems that mankind's infinite capacity for messing things up has reached even to the stars.

In Thierry Cohen's series, Darkened Cities, we think we see bright night skies over cities. Very traditional, very poetical. Actually, what we're seeing is the opposite. These skies are an indictment and a lament. These are the skies that we don't see. They are also extremely clever photography, in which highly skilled execution provides rich layers of meaning.

The principal operation that has to take place before these pictures can exist is that the sky from one place has to be superimposed upon cityscape from another. The reason is simplicity itself. As every amateur astronomer knows, it is impossible to see this detail in the night sky above a city. Modern lighting provides a level of light pollution so high that looking into the urban sky is like looking past bright headlights while driving. Add to that the atmospheric pollution above any city, and you have a screen only barely penetrable by light. Stand in New York or Rio and look up, even on the most cloudless night, and you won't see Cohen's explosions of light. Yet it is there, blotted out only by man's interference.

The first photographer to split his photographs horizontally in two, specifically to even out the luminous balance, was the nineteenth century French master Gustave Le Gray. Le Gray, a fine technician at the very point of technology, found that the emulsions available in his day could not record equally well the bright sky and the twinkling water in the great series of poetic seascapes that he made in the 1850s, so he made them from separate negatives for sea and sky. The convenient straight line of the horizon helped him both to join them and to conceal the join from his viewers.

Cohen is also a fine technician, who has practised digital photography for longer than almost anyone else. But he is not practising for virtuosity alone. Cohen does not merely replace one sky with another for convenient photographic legibility. By travelling to places free from light pollution but situated on precisely the same latitude as his cities (and by pointing his camera at the same angle in each case), he obtains skies which, as the world rotates about its axis, are the very ones visible above the cities a few hours earlier or later. He shows, in other words, not a fantasy sky as it might be dreamt, but a real one as it should be seen.

This is a very powerful treatment. It is laborious in the extreme. To find places with the right degree of atmospheric clarity, Cohen has to go – always on the latitudes of our cities – into the wild places of the earth, the Atacama, the Mojave, the northern wastes of Mongolia. Who among us beyond a handful of professional astronomers would know if Cohen cut the odd corner by finding a good sky not quite so remote? But photography has always had a very tight relationship to reality. A good sky is not the right sky. And the right sky in each case has a huge emotional effect.

As more and more of the world's population becomes urban, and as we lose our connection with the natural world, so it becomes plain what damage is caused. Are there injurious effects of light pollution? Quite possibly. To people there may be physical connections to certain cancers, and there are surely psychological burdens of permanent day. To other natural life, flora and fauna, the damages are wide-reaching. The 'city that never sleeps' is made up of millions of individuals breaking natural cycles of work and repose. Lose sight of the sky, and you become a rat in a lab. We're all heading that way. It may come to it that we can never properly see the sky again. Already there are produced maps of the intensity of pollution by light which are so bright they're scary. There are still gaps where you might see the sky, but they're not where we all live.

Cohen hasn't simply shown us the skies that we're missing, by the way. His process is many degrees more complex than that. Notice how dead his cities look, under the fireworks display above? No lights in the windows, no tracers of traffic? Barely even reflections of the blazing starry glory above. That's because they are in fact photographed in the daylight hours, when lights are switched off or shine out less brightly. How clever this is, each photographic obstacle to Cohen's expression isolated, and solved to perfection.

There is an urban mythology which is already old, in which the city teems with energy and illumines everything around it. All roads lead to Rome, we were told. Cohen is telling us the opposite. It is impossible not to read these pictures the way the artist wants them read: cold, cold cities below, cut off from the seemingly infinite energies above. It's a powerful reversal, and one very much in tune with a wave of environmental thinking of the moment. Look at the work of Sebastião Salgado, for example, who used to show specific areas of distress (geographical or social) until his subjects grew bigger until now (in the series entitled Genesis) he is working to tell us about the health of the planet itself. Thierry Cohen didn't merely find pictures that pointed so sharply to the blight that our mega cities have become, he couldn't. He made them instead, with patience and skill and the driving desire to be understood.

Night time is as attractive to photographers as it is to poets. One thinks in a moment of the terrestrial nights of such artists as Brassaï, for whom the night was a stage of its own. René Burri, the great Swiss photographer, rushed out into the New York blackout of 5th November, 1965 with only 8 rolls of film and made 40 of the greatest pictures of a city at night that you will ever see.
Weegee loved the night, of course, and Nan Goldin, and Bill Brandt and dozens of other photographers of the city. It's particularly a city thing, you see. In the country, when it gets dark, you go to bed. It's in the cities that we go mad a little at night. Cohen's fine series shows that he understands this. Zoom in on one any of these pictures, I feel, and you'll find oily dark scenes from Weegee in every window.
Francis Hodgson, London 2011
It has to be noted, how the advancement of technology had brought mankind beyond of what their ancestors even dreamt of. Cities keep expanding, as well as the dynamics of people traversing through its roads and pavements over time.
While technology develops in conform to the development of desired level of life quality, it also develops further along with the spreading of artificial lights. Whether it comes from the busy city light, or a lighted up candle put near a hut in a silent night, these lights mark the extent of human conquest on Earth.
One of these spark of lights may be the one, by which you read your books in a cozy, warm room, in spite of the razing storm that may be occurring just now, just outside your window. Nevertheless, not many people conceives that something started to fade.
As far back as 1960s, people began to worry about what might have lost from people's daily life. The bright sparks of stars, by which our ancestors navigate across the gloomy seas, the spooky forests, or the windy grasslands. They were worrying about how far had mankind push their needs of artificial lights so much that it began to obscure their view of the sky, which used to be very close, seemingly right above one's head. All of that, for a gulp of a mere, worldly glimpse of life.
Those big cities might stand still, towering out on the blinding, the sheer noise of the nightlife. But some of the people dare to spare them, to have a cup of tea during some bright night. There's a time, on which some of them lament over the sky they haven't seen for so long. The sheer, vast sight of the stars may tell these people to keep staring, keep gazing, deeply into the seemingly endless universe.
And that's how they realize, how the reality is so close. How the sparks of stars tell you, that they are just right there, to remind them, once again, the true dimension of the sky's abode, and how Earth, and even mankind, are not more than a mere speck.
As Kerry Allen Livgren of Kansas once wrote, "All we are is dust in the wind."

That might be the reason for Thierry Cohen to develop this project. In these series of photos, namely Villes éteintes (Darkened Cities), he retracts the once shining night sky back to the cities, and shut all the city lights off, revealing what had been lost of our sight without we realizing it.

I would like to conclude this using a famous quote of Bill Watterson,
"If people sat outside and looked at the stars each night, I'll bet they'd live a lot differently."
In case you're eager to see more, here they are.
Click on the photo to enlarge it.


Shanghai, 31° 13' 27'' N, 20th March, 2010. LST 13:57



Rio de Janeiro, 22° 56' 42'' S, 4th June, 2010. LST 12:34
San Francisco, 37° 48' 30'' N, 9th October, 2010. LST 20:58
São Paulo, 23° 33' 22'' S, 5th June, 2010. LST 11:44
Some photos aren't included in Thierry Cohen's main gallery, and therefore do not mention the capture date and time.
More here:
http://www.space.com/20615-darkened-cities-night-sky-imagined.html
http://www.space.com/20542-darkened-cities-night-sky-photos.html
http://www.demilked.com/darkened-cities-thierry-cohen/
http://petapixel.com/2012/12/28/photographer-imagines-what-world-cities-would-look-like-without-lights/
http://twistedsifter.com/2013/07/darkened-cities-by-thierry-cohen/
Lanjutkan baca »

Selasa, 10 Desember 2013

Article#242 - Lupa Ingatan

Tersebutlah sepasang orang tua berusia lanjut yang sudah hidup bersama hingga usia mereka kini yang sudah 80an tahun. Sebut saja mereka berdua Kakek dan Nenek.
Selain usia yang setara, mereka juga memilik masalah lupa ingatan yang sama. Awalnya mereka mengabaikannya, karena "sudah sewajarnya orang tua menjadi pelupa". Namun, seiring makin seringnya mereka melupakan berbagai hal yang penting, Kakek dan Nenek memutuskan, sudah saatnya mereka menemui seorang doktor. Kalau ternyata ada apa-apa kan berabe, nyak.

Singkat cerita, mereka memasuki ruang klinik dan menemui sang dokter.
"Dok, bisa tolong periksa kami?", suara parau Kakek mengawali perbincangan siang itu.
"Tentu saja Kek, ada apa?"
"Kami berdua sering...." Nenek menyahut, tetapi terpotong karena ia lupa, "...sering apa tadi, Kek?
"Ooh, ini....Lupa ingatan." Kakek meneruskan.
"Iya, betul, lupa ingatan, Dok."
Dokter yang sedang mencatat pun merespon, "Saya mengerti, Kek, Nek. Ayo, saya periksa dulu."
(pemeriksaan berlangsung)
"Berdasarkan hasil pemeriksaan singkat saya, Kakek dan Nenek tidak punya masalah fisik yang berarti. Kakek dan Nenek sering lupa ingatan ini karena usia yang makin menua. Saran saya, Kek, Nek, mungkin ke depannya, diupayakan menulis setiap hal penting, supaya tidak lupa," kata-kata dokter tersebut mengakhiri pemeriksaan.
"Terima kasih banyak Dokter," dengan senyum, Kakek dan Nenek beranjak pulang.

Malam harinya, pasangan tersebut menikmati suasana malam hari dengan menonton televisi. Di tengah-tengah menonot TV, Kakek bangkit dari tempat duduknya. Karena Kakek bangkit tiba-tiba, Nenek pun heran.
"Mau kemana, Kek?"
"Mau ke dapur, Nek."
"Tolong ambilkan segelas es krim ya, Kek."
"Baiklah."
Nenek yang mendengar respon santai tersebut menjawab dengan nada sedikit menyindir, "Yakin Kek, nggak perlu dicatat dulu?"
Respon Kakek pun terdengar pede, "Nggak perlu, ingat kok."
"Kalau gitu, pesen Nenek, es krimnya diberi stroberi, ya. Dicatat deh, yakin tuh nggak lupa?" Lagi-lagi Nenek menyindir.
Suara Kakek mulai gusar. "Tak apa, Kakek masih inget kok maunya es krim ditambah stroberi."
Tapi Nenek seolah makin senang menyindir. "Ohiya, juga ditambah krim. Nah udah banyak, pasti bakal lupa, mending dicatat deh Kek,"
Makin gusar, Kakek hanya menjawab singkat, "Kakek ingat semuanya kok. Tak perlu ditulis."

Maka 10 menit kemudian, Kakek kembali ke ruang televisi, membawa sepiring nasi dan ayam goreng.
"Ini kan, yang kamu minta tadi. Nasi dan ayam goreng." Seru Kakek dengan penuh rasa bangga.
Nenek, tampak senang, melihat piring tersebut. Tak lama, ia memasang ekspresi mengejek.
Dan ia bertanya pada Kakek dengan penuh kemenangan,
"Wah, Kakek lupa ngasih kerupuknya.."
Lanjutkan baca »

Jumat, 06 Desember 2013

Article#241 - Menyimak Segala Suara

Diko, berjalan dengan malas-malasan, keluar dari kamar mandi seusai menggosok gigi. Tidak mengindahkan nasihat Pak Kasur untuk mandi dan membantu ibu membersihkan tempat tidur, ia segera berjalan keluar, menuju suara Ayah dari halaman belakang rumah.

"Diko, ayo kesini!"
Susana pagi itu sama seperti biasa seperti hari Sabtu pagi yang sudah-sudah. Jam saat itu menunjuk pukul 5.30, dan pada saat-saat seperti itu, suara burung yang berkicau menyambut pagi makin riuh bersahutan. Kokok ayam sesekali terdengar di kejauhan, dan bahkan suara kerikan khas jangkrik masih sayup-sayup terdengar.

Ayah Diko pun duduk dengan tenang di tempat yang biasa, sebuah bangku bambu di satu sisi halaman belakang. Ia duduk dengan santainya, matanya menatap pepohonan di halaman, dengan sesekali mengalihkan pandangan ke langit.
Tak lama, pandangan Ayah pun menuju ke Diko yang sedang bersiap untuk menghampirinya.
"Jangan lupa pakai sendal, Diko,"
Diko dengan sendalnya yang berbeda warna segera meluncur menghampiri Ayah, duduk di sisinya.

"Ayah, kenapa ayah senang duduk disini tiap pagi?" Pertanyaan itu mengalir lancar, tanpa hambatan, seolah sudah dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya.
Respon Ayah adalah respon yang sama dengan yang diberikan Ayah kemarin, ketika Diko menanyainya masalah pekerjaan sang ayah. "Kenapa sih ayah ke kantor terus setiap hari?".

Tetapi, ada sedikit perbedaan pada respon Ayah pagi itu.

"Ayo, duduk di pangkuan Ayah."
Diko pun dengan entengnya berpindah posisi duduk.
"Nah, Diko, coba sekarang dengarkan segala hal di sekitarmu."
Senyap sejenak bagi Diko, dan perlahan suara kicau burung dengan hembus angin datang. Sesekali ditemani sahut kokok ayam, dengan latar belakang suara angkrik yang makin sayup.
"Enakkah terdengar di telinga?"

Bagi Diko, setelah mendengarkan sejenak, jawabannya adalah "Ya", maka tanpa ragu Diko menganggukkan kepala.
Senyum samar yang tadi kembali tersirat muncul di wajah Ayah. Ia kemudian bertanya lagi, dan Diko saat itu sama sekali tak tahu harus menjawab apa. Jawaban versi sang Ayah yang belakangan diberitahukan pun, membuat Diko bingung, hingga jawaban itu kemudian terkubur dalam benak Diko bertahun-tahun lamanya.
Ketika ia terkuak lagi di benak Diko, sudah lebih dari 10 tahun berlalu sejak Sabtu pagi hari itu.

"Lalu, menurut Diko, apa yang membuat suatu suara enak didengar atau tidak?"

*****

Diko membawa pikirannya kembali ke masa kini.
Malam Sabtu, jam sepuluh lewat duapuluh satu. Diko duduk di jenjang tangga depan Gedung Pertemuan, mengamati bulan sabit yang hampir terbenam di ufuk barat.
Duduk di luar selarut itu, suhu udara sudah cukup menusuk untuk membuat orang kedinginan dan berlindung di dalam ruangan. Tetapi, selain Diko lebih suka suasana dingin dibanding hangat, Diko merasa tak nyaman pula di dalam ruang yang kini pengap itu.

Di dalam Gedung Pertemuan sedang dilaksanakan kampanye akbar menjelang pemilihan presiden badan mahasiswa periode depan. Wajarnya, acara semacam ini sudah kelar selambat-lambatnya jam sepuluh malam. Tetapi, entah bagaimana mulainya, beberapa orang mengangkat berbagai isu yang sedang hangat-hangatnya menghiasi koran-koran seantero negeri, untuk bahan debat para calon-calon. Entah isu dokter, entah isu pekan kondom, entah isu kualitas siswa negeri ini.
Bagai bunga api diperciki minyak, langsunglah seisi Gedung Pertemuan memanas dengan berbagai debat kusir, debat nahkoda, debat masinis dan macam-macam lagi.
Ada beberapa orang yang mengkritik, untuk mendapatkan balasan yang tak kalah pedas dari mereka yang berkaitan dengan pihak terkritik.
Ada yang memberikan pendapat sekenanya, menurut pemikirannya semata, akan apa yang menurutnya betulan ada. Dan dia menyampaikan pemikirannya itu, untuk kemudian dikritisi bertubi-tubi, disanggah karena dianggap tak punya kompetensi, sehingga tak layak mendapat atensi.
Ada lagi yang demikian kokoh berpendapat dalam prasangka, dan bahkan ketika fondasi pendapatnya tercerabut satu persatu oleh argumen yang datang, ia bertumpu padanya, pada pendapat yang ia yakinkan sekuat tenaga.
Ada pula yang.... entahlah. 
Bahkan Diko sudah tidak berminat membahas apa saja yang seru dibahas di dalam sana.
"Sebenarnya, mau apa sih mereka?"
Jengah, Diko bersiap untuk melangkah pulang. Tetapi tidak sebelum ingatan akan pertanyaan ayahnya dulu berkelebat di kepalanya.

Kata Ayah, kuncinya adalah tujuan, takaran, dan penempatan. Ketika sesuatu disuarakan demi tujuan yang benar, disampaikan dalam takaran yang tepat, dan penempatan yang pas, saat itulah sesuatu ini akan tersuarakan dengan suara yang 'enak didengar'. Tujannya kena, takarannya tak berlebihan, penempatannya tak sembarangan.
Salah satunya saja tidak pas, maka hal yang disuarakan bisa terasa menyakitkan di pancaindera.
Burung-burung berkicau pun ada tujuannya. Begitu pula kerikan jangkrik, serta hembus angin yang menggoyang dahan pohon.
Lantas, apakah dalam berbincang, mereka punya tujuan yang benar? Apakah mereka berbincang dalam takaran yang tepat? Apakah mereka menempatkan perbincangan mereka di tempat yang pas? Menurut Ayah, ketika menyimak suatu perbincangan membuat seseorang jengah, maka orang ini secara tak sadar memahamkan dirinya, ada yang salah dalam perbincangan terkait. Meskipun, tentu tak tertutup pula kemungkinan adanya kesalahan pada si penyimak sendiri.

Maka simaklah segala suara.
Dengarkan bagaimana masing-masingnya berbeda.
Dan pikirkanlah asal muasal dari tiap perbedaan.
Karena jika orangnya beda, maka ceritanya berbeda pula.
Akhirnya, sembari melangkah pulang, Diko tergelak. Membayangkan mereka di Gedung Pertemuan yang sibuk berdebat seru tanpa tentu arah. Alih-alih membahas penyelesaian yang terbaik bagi semua, mereka sibuk berlomba melabeli mana yang menang, mana yang kalah.

Kemudian Diko tersadar, bagaimana ia tak mampu berbuat apa-apa. Sehingga Diko tergelak lebih lagi.


Mengutip kata-kata Nelson Mandela, tokoh perdamaian yang baru saja berpulang kurang dari dua hari yang lalu,
"No country can really develop unless its citizens are educated."
Sebuah negara hanya akan berkembang jika penduduknya terdidik.
Dan tanda orang terdidik, menurut Diko, adalah senantiasa memperbaiki diri sendiri serta semua di sekitarnya.
Diko pikir, jika wacana menjadikan negeri ini maju benar-benar akan dilaksanakan, ia sudah tahu dimana harus memulai.

Apa? Seorang Diko, memulai perkembangan menuju negeri maju?

Kali ini Diko benar-benar menertawakan dirinya sendiri.
Lanjutkan baca »

Senin, 02 Desember 2013

Article#240 - Setahun Enam Bulan

Sew this up with threads of reason and regret
So I will not forget, I will not forget
How this felt one year six months ago
I know, I cannot forget, I cannot forget

I'm falling into
Memories of you
And things we used to do
Follow me there
A beautiful somewhere
A place that we can share with you

I can tell that you don't know me anymore
It's easy to forget, sometimes we just forget
And being on this road is anything but sure
Maybe we'll forget, I hope we don't forget

I'm falling into
Memories of you
And things we used to do
Follow me there
A beautiful somewhere
A place that we can share with you

So many nights, legs tangled tight
Wrap me up in a dream with you
Close up these eyes, try not to cry
All that I've got to pull me through 

Is memories of you
Memories of you
Memories of you
Memories of you

I'm falling into
Memories of you
And things we used to do
Follow me there
A beautiful somewhere
A place that we can share

Falling into 
Memories of you 
And things we used to do

© Peter Michael Mosely, Longineu Warren III Parsons, Sean Michael Wellman-Mackin, Benjamin Eric Harper, William Ryan Key of Yellowcard. 2003.

***

Lagu One Year Six Months ini ditelurkan oleh band punk-rock AS, Yellowcard, dari album keempat mereka, Ocean Avenue. Lagu ini, bersama album terkait, diluncurkan pada Juli 2003. Versi akustik dari album ini pun diluncurkan pada Agustus 2013 lalu.

Kalau mau dengar lagunya, sila klik aja jendela yutub di bawah. Hati-hati sama koneksi inet, ya.


Berhubung di versi awal di atas, lagunya sudah dalam format akustik, di versi keduanya, lagu ini dibawakan dengan iringan piano dan biola saja. Penulis sendiri bingung, mana yang lebih asik didengar. Jadi, langsung disimak saja. Lagi: Hati-hati koneksi inet.


-o0o-

Jemari begitu saja bergerak, menaruh kedua jendela video ini setelah mendengarkan seisi playlist. Bersama kegaduhan yang biasa dibuat sendiri dalam pikiran, mungkin lagu yang satu ini cocok jadi pengiring. Lagipula, hari ini, setahun enam bulan lalu, bertepatan dengan suatu momen. (Beberapa dari kalian mungkin akan segera paham.)

..Jadi, ada momen yang pas, lagu yang pas, dan... mungkin suasana yang pas? Entah. Tak paham juga. Lagipula, ngapain ya tepat setahun enam bulan yang lalu? Jam yang sama ini? Yah, kalau ingat pun tak akan dibeberkan disini, tentunya. Apalagi kalau lupa. (?)
Dan kemudian terbersit pikiran: Bagaimana dengan setahun enam bulan ke depan?
...
...
...
Sudahlah. Penulis mohon maaf apabila post kali ini menguarkan bau balada yang kuat. (maunya sih bau sambal balada)
Hei kalian, yang mau-maunya baca. Yang sudi singgah dan menyimak lagunya. Jangan ketularan aroma baladanya ya. Apalagi sampai galau.

Yah, baiklah, penulis undur diri dulu.
Tetap bahagia ya, karena bahagia itu pilihan.

(:g)
Lanjutkan baca »

Article#239 - Kutipan Hari Ini

"Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai."

~dikutip dari kata-kata Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), novelis Indonesia. Dikutip pada Senin, 2 Desember 2013, 04:27 (UT+9).

sumber
Lanjutkan baca »

Sabtu, 30 November 2013

Article#238 - Komet Yang Bertahan Dan Tidak Bertahan Hidup..?

[Bagian awal ini pertama diketik pada 29 November 2013, 21:48 UT.]
Judul yang penulis bubuhkan untuk tulisan kali ini memanfaatkan referensi dari dua topik yang tidak begitu terkait antar satu sama lain; meskipun begitu, keduanya cukup terkenal dalam ranah mereka masing-masing. Pembaca sekalian, terutama yang pernah berurusan dengan fisika kuantum walaupun sedikit, mungkin pernah mendapati kasus eksperimen imajinatif terkenal yang diberi tajuk Kucing Schrödinger. Kucing malang ini, sayang sekali, diberitakan berada dalam kondisi hidup dan mati sekaligus. Kok bisa? Sila simak tulisan ini dan ini untuk detail lebih lanjut.
Sementara pembaca yang lain, yang menggemari dunia novel fiksi, pasti mengenali tajuk "Anak Yang Bertahan Hidup", yang disematkan kepada tokoh utama sebuah serial novel dengan rekor penjualan tertinggi sepanjang sejarah dunia. (Konon katanya, total jumlah buku yang terjual hanya kalah oleh penjualan kitab suci.)

Meskipun demikian, penulis tidak akan membahas kucing yang malang itu; ataupun anak yang bertahan hidup. Paling tidak, tidak membahas keduanya secara eksplisit.

Sesuai dengan judul, tulisan ini akan membahas sebuah komet. Sebuah komet yang, hingga saat kata demi kata di paragraf ini diketik, belum jelas nasibnya. Sebagian mengatakan bahwa komet ini selamat sekaligus tidak selamat dari terjangan energi Matahari; selamat dalam artian ia berhasil melewati perihelion, dan tidak selamat dalam artian ia menderita 'luka-luka' yang cukup parah (dan juga terhancurkan) akibat kenekatannya mendekati Matahari.
Apakah ia akan menjadi "Anak Yang Bertahan Hidup" dengan lolos dari Matahari sebagai komet, atau mati sebagai sisa-sisa dari batu es kotor yang sempat disebut sebagai "komet abad ini" ini, baru akan terjawab setelah para astronom berhasil menangkap citra sang komet—atau jasadnya—paling tidak dalam 1-2 hari ke depan.
Silakan sabar menunggu, dan salah satu cara menunggu yang baik mungkin adalah mendalami ceritanya dalam tulisan di bawah.
Selamat berpetualang.

[Laporan terbaru, 2 Desember 2013, 14:41 UT]
Komet ini resmi dinyatakan menutup lembar ceritanya. Meskipun begitu, komet ini telah mencatat posisi spesialnya tersendiri, sebagai salah satu komet yang paling banyak diamati sepanjang sejarah. Publikasi luas akan sang komet terjadi berkat komunitas astronomi global yang setia menyebar informasinya.
Dan pada akhirnya, komunitas ilmiah (termasuk para astronom) tidak begitu banyak 'dirugikan' dengan hancurnya sang komet, karena berbagai kejutan yang terjadi selama perjalanannya pun menyisakan banyak data dan teka teki untuk dipelajari.
Seperti diutarakan oleh Lisa Winter, "It’s basically a win for science no matter what the outcome."

Jangan langsung putus asa, sila simak ceritanya berikut ini.
Sila klik gambar jika ingin melihatnya dalam dimensi yang lebih besar.

*****

Komet C/2012 S1 "ISON", sebagaimana dipotret oleh astronom amatir Jerman, Waldemar Skorupa.
Foto diambil dari Kahler Asten, Jerman, pada 16 November 2013.

Ketika dua orang astronom amatir ini, Vitali Nevski (asal Vitebsk, Belarus) dan Artyom Novichonok (asal Kondopoga, Rusia), mengurusi hasil olah citra dari teleskop di Kislovodsk (wilayah Kaukasia Utara, Rusia), mereka mungkin tidak menyangka akan menemukan sebuah objek yang belum pernah tercatat sebelumnya.
Citraan awal si tokoh utama dalam tulisan kali ini.
Gambar disertakan bersama spesifikasinya.
Objek ini, saat ditemukan pada 21 September 2012, hanya memiliki kecerlangan 0,4% dari kecerlangan si 'mantan planet' Pluto, tetapi dapat diamati dengan baik oleh teleskop mereka yang berdiameter 40 cm.

Astronom lain yang langsung bersemangat segera mengarahkan tabung teleskop mereka ke arah yang sebelumnya diindikasikan sang duet astronom, untuk kemudian menemukan objek samar yang sama. Objek ini, 'sebongkah' batu dan es ini, saat ditemukan, masih menempuh sepinya kebekuan Tata Surya luar pada jarak hampir 1 miliar kilometer dari Matahari, lebih dari 6 kali jarak Bumi-Matahari. Ini mengisyaratkan posisi antara orbit Jupiter dan Saturnus, dan sebuah objek batu serta es yang sudah bisa teramati pada jarak sejauh ini tentunya adalah sebuah objek yang patut diperhitungkan. Apalagi, belakangan diketahui pula bahwa objek ini telah terekam dalam citra dari Observatorium Mt. Lemmon, Arizona pada 28 Desember 2011, dan kemudian oleh Teleskop Pan-STARRS 1 di Maui, Hawaii sekitar 1 bulan berselang, menjadikan ekspektasi astronom akan objek yang satu ini terus bertumbuh.
(Mungkin ada yang belum tahu, jika pada Februari-Maret 2013 lalu, sebuah komet yang ditemukan dengan teleskop Pan-STARRS mendatangi Matahari, dan menjadi objek fotografi yang cukup seru saat itu.)

Perhitungan lebih lanjut memberitahukan bahwa objek ini, bongkahan batu dan es ini, akan mendekati kediaman planet dalam di Tata Surya, dan mendekati Matahari pada jarak yang demikian dekat, kira-kira 1,1 juta kilometer dari permukaan Matahari pada titik terdekatnya, yang dilaluinya pada 28 November 2013, sekitar 18:38 UT (bertepatan dengan dengan 29 November, 01:38 WIB). Dengan demikian, ketika itu, diharapkan bongkahan batu dan es ini menjadi salah satu tontonan spektakuler pada akhir tahun 2013.
Untuk bagian berikut, akan diberikan tulisan sampingan, untuk sedikit menyelami tentang jati diri dan identitas sebuah komet.
Tunggu, kita tadi kan membicarakan sebuah 'bongkahan batu dan es'. Apakah bongkahan batu dan es ini sama dengan 'komet' yang baru saja disebutkan?
Ya, betul sekali. Komet sendiri adalah sebuah bongkahan batu dan es, yang berbeda dengan bongkahan 'biasa', karena seiring perjalanannya mendekati Matahari, bongkahan yang satu ini akan meletupkan material yang terkandung di dalamnya. Seringnya sih, uap air dan karbon monoksida. Peletupan material (gas yang ditemani debu) ini terjadi akibat pertemuan antara si bongkah batu dengan energi radiasi Matahari, dengan sebagian dari radiasi ini datang dalam bentuk yang namanya lebih sering kita dengar, "angin Matahari".

Bongkahan batu dan es ini sendiri sangat kecil–besarnya jarang mencapai lebih dari 20 kilometer–tetapi, berkat gas dan debu yang ia letupkan, ia bisa terlihat begitu besar dan cerah. Komet sendiri menjadi satu-satunya jenis benda langit Tata Surya selain Matahari, Bulan dan planet-planet, yang 'dalam kondisi tertentu' bisa diamati dengan mudah hanya bermodalkan mata.

Ilustrasi kasar tiga bagian utama komet. Dalam kenyataan,
sebuah komet bisa lebih kompleks dari gambaran
sederhana ini. sumber
Sebagaimana dicitrakan dalam ilustrasi di sebelah kiri, bagian yang disebut "coma" adalah daerah dimana letupan gas dan debu membentuk 'kepala' dari komet terkait, karena arah letupan tidak begitu kuat dipengaruhi angin Matahari. Bagian yang disebut nucleus (inti) adalah apa yang aslinya kita sebut sebagai 'bongkah batu dan es' di bagian sebelumnya. (Ia juga dikenal dengan sebutan bongkah salju kotor.) Sementara bagian yang disebut tail (ekor) adalah hasil gas dan debu yang sebelumnya terletup, dan kemudian terhembus oleh angin Matahari.
(Ilustrasi di samping menggambarkan banyak garis untuk bagian 'ekor', menyiratkan bahwa satu ekor terbentuk dari banyak letupan gas dan debu; juga menyiratkan bahwa satu komet bisa memiliki lebih dari satu ekor. Selebihnya, sila kunjungi dokumen ini.)

Analogi yang lebih mudah dalam membayangkan struktur komet mungkin bisa didekati dengan bendera yang berkibar di dekat lapangan upacara. Ketika angin berhembus kencang, sisi bendera yang terikat pada tiang akan tetap terikat pada tiang, sementara sisi yang tidak terikat pada tiang akan berkibar mengikuti hembus angin. Di analogi ini, hembus angin mewakili angin Matahari, sisi yang terikat ke tiang mewakili koma/kepala komet, dan bagian yang tidak terikat mewakili ekor.

Yey, kita sudah berkenalan dengan komet. Dan kita menemukan komet baru.
Sekarang yang harus dilakukan adalah menamainya. Nama adalah doa, karenanya kita harus memberi nama yang bagus. Dan dalam ranah ilmiah, sebagus-bagusnya nama adalah yang netral, tidak memihak kepada kelompok tertentu.
Perhitungan dari hasil pengamatan mengindikasikan bahwa komet ini bukanlah komet periodik. Artinya, jika ia patuh pada lintasan takdirnya kini, ia akan terlempar meninggalkan Tata Surya bagian dalam tanpa pernah kembali lagi. Untuk komet, sifat lintasan semacam ini akan memberinya nama depan C.
Lalu, kapan ia ditemukan? Komet baru kita ini ditemukan pada paruhan kedua September 2012. Penamaan untuk mengindikasikan tanggal penemuan menggunakan aturan awal bulan. Sebagaimana berikut, jika komet ditemukan pada:
  • 1-15 Januari, huruf A.
  • 16-31 Januari, huruf B.
  • 1-15 Februari, huruf C.
  • 16-28/29 Februari, huruf D.
  • 1-15 Maret, huruf E.
  • 16-31 Maret, huruf F.
  • 1-15 April, huruf G.
  • 16-30 April, huruf H.
  • 1-15 Mei, huruf J.
  • 16-31 Mei, huruf K.
  • 1-15 Juni, huruf L.
  • 16-30 Juni, huruf M.
  • 1-15 Juli, huruf N.
  • 16-31 Juli, huruf O.
  • 1-15 Agustus, huruf P.
  • 16-31 Agustus, huruf Q.
  • 1-15 September, huruf R.
  • 16-30 September, huruf S.
  • 1-15 Oktober, huruf T.
  • 16-30 Oktober, huruf U.
  • 1-15 November, huruf V.
  • 16-30 November, huruf W.
  • 1-15 Desember, huruf X.
  • 16-31 Desember, huruf Y.
Artinya, nama tengah bagi komet baru kita ini adalah 2012 S. Mungkin perlu diperhatikan bahwa, dalam penamaan, huruf I dan Z tidak dipakai. (Apakah karena bentuknya yang mirip dengan angka 1 dan 2?)
Sekarang, nama belakang komet. Supaya mudah, yang dipakai adalah urutan penemuan. Untuk paruh kedua bulan September, komet kita ini adalah komet yang pertama ditemukan. Maka supaya mudah, beri saja ia nama belakang 1.
Nah, akhirnya kita dapati nama lengkap komet kita, C/2012 S1. Ini disebut juga sebagai 'nama formal' komet, yang dinilai cukup netral untuk dipakai secara internasional.

Masalahnya, nama formal yang seperti ini bukanlah nama yang bisa dilafalkan dengan menyenangkan oleh orang-orang. Untuk ini, orang sejak dulu menggunakan 'nama populer', nama yang disematkan kepada komet dalam tulisan di media massa, atau tulisan seperti yang Anda sekalian baca saat ini.
Biasanya, yang paling adil adalah menyematkan nama sang penemu kepada komet temuannya. Contoh paling terkenal tentunya adalah komet Halley, yang disadari astronom Sir Edmund Halley sebagai objek yang mampir tiap 75-76 tahun sekali. (Walaupun sebenarnya Halley 'hanya' berperan menghitung periode orbitnya.)

Lalu, bagaimana dengan komet yang ini?
Tidak dapat dipungkiri, bahwa yang menyadari benda yang satu ini sebagai komet adalah Pak Nevski dan Pak Novichonok yang telah disebutkan namanya di awal cerita. Tetapi, berdasar pada ketetapan Kesatuan Astronomi Internasional (IAU), 'nama populer' komet ditetapkan memakai nama lembaga/individu pemilik peralatan teleskop. Teleskop yang mereka gunakan sendiri adalah salah satu dari 30 lebih teleskop milik sebuah proyek jaringan teleskop internasional, yang tersebar di 11 negara. Alhasil, proyek ini, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai International Scientific Optical Network (ISON), mendonorkan namanya menjadi nama populer komet kita ini.

Untuk bagian selanjutnya, komet kita ini akan dipanggil komet ISON, atau sesekali dengan nama formalnya C/2012 S1. Harap waspada.
Mengingat posisi penemuan yang masih demikian jauh, astronom melakukan lagi serangkaian pengamatan akan komet ini (nggak bosen ya..? hehe), untuk memperkirakan, seperti apa kira-kira komet ini akan terlihat ketika sampai ke kediaman Matahari beserta planet-planet dalam. Menilik pergerakan komet ISON, diyakini bahwa ia berasal dari suatu daerah bernama Awan Oort, suatu daerah yang melingkupi bagian terluar Tata Surya, dimana jutaan, atau bahkan triliunan, bongkah-bongkah batu es sebesar beberapa kilometer berada. Bongkahan batu dan es pengisi Awan Oort sendiri diyakini sebagai sisa-sisa dari pembentukan Tata Surya kita sekitar 4,6 miliar tahun lalu, tak terkecuali komet ISON.

Karena seiring waktu, ISON terus melaju mendekati Matahari, maka energi dari Matahari yang menerjang ISON perlahan bertambah besar. Terjangan energi yang lebih besar membawa kepada pelepasan gas dan debu yang lebih banyak, atau dengan kata lain, ISON terus bertambah terang.
Astronom yang masih terselimuti antusiasme terus mengamai bagaimana komet ini bertambah terang. Dan sebuah kejutan kecil muncul dari hasil pengamatan pada Februari 2013: Jika komet ISON terus bertambah terang dengan laju yang tetap, maka pada pertemuannya dengan Matahari, ia akan mencapai kecerlangan melebihi Bulan purnama. Bahkan perhitungan paling optimistik memberikan perkiraan kecerlangan sampai 100 kali Bulan purnama. Hal ini (jika terjadi tentunya) tak pelak akan menjadikan ISON salah satu komet paling terang yang pernah diamati, jauh melebih kecerlangan komet Ikeya-Seki tahun 1965-66, yang kecerlangannya 'hanya' sekitar 12% dari Bulan purnama. Publikasi ini kemudian dikutip oleh beberapa media, memberikan julukan "Komet Abad Ini", sekaligus memantik ketertarikan publik akan komet yang satu ini.

Sayangnya, beberapa astronom yang sudah keburu antusias harus menelan kekecewaan sejenak. Sejak bulan Maret 2013, laju bertambah cerlangnya komet ISON perlahan menurun, hingga kemudian prediksi optimistis yang diceritakan sebelumnya harus direvisi; sang komet tidak akan melebihi cerlangnya Bulan purnama. Bahkan, skenario paling terang pun hanya memberikan angka kecerlangan satu persen dari Bulan purnama. Prediksi di kemudian hari menempatkan kecerlangan maksimum komet kita ini pada level yang setara dengan kecerlangan Venus si "bintang kejora".

Meskipun ekspektasi perlahan menurun, berkat bantuan media yang secara berkala mengungkit topik "komet abad ini"–julukan yang sesungguhnya, sejak pertengahan 2013 telah ditinggalkan oleh kalangan penggiat astronomi–animo publik akan sebuah komet cerah di penghujung tahun 2013 terus bertumbuh. (Jika prediksi semacam ini terjadi, katakanlah 2-4 abad ke belakang, justru akan banyak orang yang ketakutan.)

Sampai sejauh ini, komet kita cenderung sesuai dengan prediksi astronom sebelumnya. Maka, sering dicabutnya lembaran kalender satu persatu, komet C/2012 S1 terus meningkatkan embusan gasnya, memancing sorotan teleskop dari berbagai pengamat di Bumi mulai akhir September, ketika ia sudah cukup terang untuk bisa diamati dengan modal teleskop kecil. Ribuan data pengamatan ini bisa dikunjungi di situs Minor Planet Center dan situs International Comet Quarterly.

Foto jepretan Chris Schur dari Arizona, AS, pada 14 Oktober 2013.
Komet ISON terlihat sebagai cahaya samar kehijauan di sisi kiri gambar.
Mars (tengah) dan Regulus (kanan) juga terekam dalam foto ini.
sumber
Oktober 2013, komet makin terang, dan beberapa foto hasil jepretan astronom amatir pun mulai banyak beredar di internet. Perhatikan kata 'amatir'–dengan kata lain, siapapun yang tidak menekuni astronomi sebagai profesi/pekerjaan. Artinya, komet yang sebelumnya hanya diamati secara rutin oleh astronom 'profesional'–dengan kata lain, yang memang profesinya astronom–sekarang juga diamati oleh khalayak ramai. Juga, bisa dikatakan tidak mungkin astronom amatir akan beramai-ramai mengamati, menjepret, dan membagikan foto karya mereka, jika objek yang ditangkap tidak cukup 'menarik'. Dalam astronomi, 'menarik' seringkali merujuk ke kata 'terang', dan hal yang sama berlaku pula untuk komet ISON pada Oktober 2013.

Tetapi puncak utama dari cerita, tentu saja terjadi pada bulan November 2013, ketika ISON makin terang dan makin dekat ke ujian utamanya–perjalanan menembus atmosfer Matahari di akhir bulan.
Awal November, cerita masih berlanjut dari pengamatan oleh astronom amatir yang terus meningkat, seiring dengan publikasi media. Satu contoh menarik adalah publikasi sekitar dua pekan sebelumnya (18 Oktober), yang masih mengutip tajuk usang, "lebih terang dari Bulan purnama".
Tengah November, sekitar tanggal 13-14 November, komet ini menimbulkan kejutan dengan menayangkan lonjakan kecerlangan, sedemikian hingga ia bisa diamati dengan mata manusia. Lonjakan ini kemudian ditengarai sebagai hasil dari salah satu skenario berikut:

  • (i) Peletupan debu dan gas baru yang terbuka akibat aktivitas komet sebelumnya.
  • (ii) Inti komet terpecah, dan pecahan inti tidak terpisah cukup jauh dari induk inti komet.
  • (iii) Sebuah fenomena periodik yang belum jelas penyebabnya.
Jelas, dengan adanya lonjakan ini, makin banyak mata, kamera, dan alat optik lainnya diarahkan untuk memotret dan mengabadikan sang komet. Salah satu foto terbaik adalah foto yang dihadirkan di bagian awal tulisan ini.

Akhir November, dan saat yang dinanti-nanti tiba. Komet ISON yang sudah dilaporkan teramati di beberapa tempat tanpa alat bantu optis, bahkan pada siang hari ini, perlahan mendekati Matahari. Serangkaian instrumen wahana pengamat Matahari, terutama SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) dan STEREO (Solar Terrestrial Relations Observatory) pun disiapkan untuk merekam saat-saat pertemuan 'panas' antara ISON dengan Matahari. 

Kompilasi rekaman dari kamera LASCO C3 milih wahana
SOHO. Interval sekitar 8 jam antar keping gambar.
Terlihat figur seperti jarum nampak melintang pada
citra komet ISON, sebagai tanda saturasi pada
sensor kamera akibat objek yang terlalu cerah.
Dikompilasi oleh penulis dari sini.
Komet nampak sehat pada gambar-gambar yang diambil pada 28 November pagi dalam UT (28 November sore-petang WIB), perlahan makin benderang hingga menyaingi terangnya bintang Antares yang saat itu juga berada pada medan pandang kamera SOHO.

Kejutan sekali lagi terjadi, sayangnya yang ini adalah kabar buruk bagi para pengamat.
Komet yang satu ini kemudian meredup secara cepat ketika ia terus mendekati titik terdekatnya dengan Matahari, nampak meluruh seperti debu yang terhembus angin.

Kekecewaan para pengamat lantas menyebar luas ketika para astronom yang mempublikasikan perkembangan komet mulai menyebar info tentang bagaimana sang komet tergerus dahsyatnya lingkungan di sekitar Matahari. Selain panas dan angin Matahari, yang diperkirakan menerjang komet dengan 2700 derajat Celsius, objek pada jarak sedekat itu akan merasakan gaya gravitasi Matahari yang demikian kuat, sedemikian hingga ia bisa menghancurkan benda yang melintas terlalu dekat.
Pada malam hari 28 November, kira-kira 2-3 jam setelah komet ISON melintasi titik terdekatnya, berita akan ISON yang tergerus dan mati sebelum sempat mendekati Matahari pada jarak terdekat mulai tersebar.

Sayang sekali ya, tidak ada komet untuk diamati di bulan Desember. Kometnya 'terpanggang' Matahari, menjadi "Kalkun Abad Ini" alih-alih "komet abad ini". Dadah...

Eits, tunggu dulu. Cerita belum selesai sampai disini.

Seiring bergantinya hari dari 28 ke 29 November (masih dalam UT; dalam zona WIB, kejadian ini terjadi pada pagi hari 29 November), astronom yang terus mengamati kamera SOHO mengamati sesuatu bergerak menjauhi Matahari pada arah utara. Komet ISON, yang tidak teramati sama sekali di posisi terdekatnya dengan Matahari, justru terlihat sebagai embusan debu yang sangat lemah, bergerak menjauhi matahari, dan kemudian bertambah terang.

Dan bertambahnya terang si komet Schrödinger ini kembali menyaingi Antares pada jam 2-3 dinihari UT, 29 November. Saat inilah astronom mulai keherenan, dan entah berapa banyak orang yang setia mengikuti perkembangan komet ISON, mereguk secercah asa akan komet ISON yang 'bangkit' setelah sempat dinyatakan 'mati' sebelumnya. Julukan 'komet zombie', menyusul julukan komet Schrödinger yang dijelaskan di bagian pembuka tulisan ini, dikoarkan oleh Joshua Filmer dari From Quarks To Quasars. Julukan serupa juga digaungkan oleh Phil Plait dari Bad Astronomy.

Secercah asa yang sempat tumbuh sebelumnya, pada akhirnya harus padam ketika gambar terbaru dari SOHO menunjukkan bagaimana komet ISON terus meredup saat melaju makin jauh meninggalkan Matahari. Atau mungkin bukan komet ISON—tetapi sisa komet ISON. Hingga ditutupnya lembar bulan November, remah-remah komet ISON yang masih melaju dalam orbitnya semula itu terus meredup, hingga terlalu redup untuk bisa diamati secara langsung.

Akhirnya, setelah rangkaian kejutan dan kebingungan yang disuguhkan komet ISON dalam perjalanannya, komet ISON dinyatakan telah hancur di post ini. Karl Battams dari Comet ISON Observing Campaign pun menyampaikan berita ini dalam postnya berikut:
Comet C/2012 S1 (ISON)
Born 4.5 Billion BC, Fragmented Nov 28, 2013 (age 4.5-billion yrs old) 

Born in a dusty and turbulent environment, comet ISON spent its early years being jostled and struck by siblings both large and small. Surviving a particularly violent first few million years, ISON retreated to the Oort Cloud, where it maintained a largely reclusive existence for nearly four billion years. But around 3-million B.C., a chance encounter with a passing star coerced ISON into undertaking a pioneering career as a Sungrazer. On September 21, 2012, ISON made itself known to us, and allowed us to catalog the most extraordinary part of its spectacular vocational calling. 

Never one to follow convention, ISON lived a dynamic and unpredictable life, alternating between periods of quiet reflection and violent outburst. However, its toughened exterior belied a complex and delicate inner working that only now we are just beginning to understand. In late 2013, Comet ISON demonstrated not only its true beauty but a surprising turn of speed as it reached its career defining moment in the inner solar system. Tragically, on November 28, 2013, ISON's tenacious ambition outweighed its ability, and our shining green candle in the solar wind began to burn out. 

Survived by approximately several trillion siblings, Comet ISON leaves behind an unprecedented legacy for astronomers, and the eternal gratitude of an enthralled global audience. In ISON's memory, donations are encouraged to your local astronomy club, observatory or charity that supports STEM and science outreach programs for children.

Maka, begitulah jadinya. Komet ISON resmi dinyatakan menutup lembar ceritanya. Tidak ada "Komet Abad Ini", komet seterang Bulan, atau komet yang akan menarik perhatian penduduk Bumi di penghujung tahun ini. Meskipun begitu, komet ini telah mencatat posisi tersendiri, sebagai salah satu komet yang paling banyak diamati sepanjang sejarah. Publikasi luas akan sang komet terjadi berkat komunitas astronomi global yang setia menyebar informasinya.
Kemudian, sudah banyak pula komet yang berani menyerempet Matahari, tetapi baru ISON-lah komet yang teramati menyerempet Matahari setelah jauh-jauh datang dari awan Oort.
Sehingga, pada akhirnya, komunitas ilmiah (termasuk para astronom) tidak begitu banyak 'dirugikan' dengan hancurnya komet ISON, karena perjalanan si komet sendiri, dengan berbagai kejutan yang terjadi selama setahun ke belakang pun menyisakan banyak data dan teka teki untuk dipelajari.
Seperti diutarakan oleh Lisa Winter, "It’s basically a win for science no matter what the outcome."

sumber
[Bagian terbaru, ditulis pada 3 Desember 2013, 12:19 UT]
Mengapa ya komet ISON bisa demikian hancur lebur saat mendekati Matahari?
Penjelasan umumnya akan disampaikan di bawah.
Seperti sempat disebutkan sebelumnya, inti dari komet ISON diyakini sebagai sisa dari proses pembentukan Tata Surya. Karl Battams, di bagian kutipan sebelumnya, sedikit menggambarkan proses pembentukan komet ISON, besrta triliunan 'saudaranya', yang kemudian terpental, jauh meninggalkan kediaman utama Tata Surya, yang didominasi oleh figur-figur besar macam planet-planet, asteroid, dan tentunya sang bintang Matahari. Mereka kemudian berkumpul di kejauhan, 'menyelubungi' Tata Surya dalam himpunan serupa sebuah kulit bola (tidak seperti sabuk asteroid yang memang terhimpun dalam bentuk mirip sabuk.) Himpunan bongkah batu dan es ini kemudian kita kenal dengan sebutan Awan Oort.

Awan Oort, yang jaraknya dari Matahari puluhan ribu kali lebih jauh dari jarak Bumi ke Matahari, menjadi tempat kediaman yang nyaman bagi triliunan bongkah batu saudara komet ISON. Dan jangan lupakan es; air beserta zat mudah menguap lainnya yang terkandung di dalam bongkah-bongkah batuan ini, perlahan kehilangan panasnya ke angkasa yang jauh dari kehangatan Matahari. Jauh di Awan Oort, mereka pun kemudian membeku. Zat mudah menguap selain air yang (relatif) banyak terkandung di komet adalah senyawa metanakarbon dioksidakarbon monoksida, juga sianogen.
Karbon dioksida dan metana adalah dua gas yang diyakini berkontribusi besar dalam terjadinya efek rumah kaca. (Bukan, bukan band itu.) Bahkan, potensi metana dalam memerangkap panas dinilai lebih dahsyat dari karbon dioksida. Karbon monoksida di Bumi paling sering ditemukan dari pembakaran karbon atau zat hidrokarbon yang tak sempurna.
Baik karbon monoksida dan sianogen adalah zat beracun bagi manusia. Sehingga, ketika sianogen dideteksi di komet Halley pada 1910, gemparlah masyarakat saat itu. Bumi saat itu diketahui akan melewati daerah ekor komet, dan kekhawatiran yang menyerbak adalah bahwa kandungan sianogen di ekor komet akan membunuh berbagai bentuk kehidupan di Bumi. Tetapi, kemudian astronom Percival Lowell menjelaskan bahwa material ekor komet sangatlah tipis, sehingga kehidupan di Bumi aman dari kehancuran.
Kembali ke pembicaraan bongkah batu dan es di Awan Oort, sebagian besar dari bongkah ini hidup tenang, bergerak menurut garis edar masing-masing. Kondisi tenang ini, bagi para bongkah batu dan es, berlangsung begitu lama, bisa sampai miliaran tahun. Kehidupan yang demikian tenang membuat bongkah-bongkah ini mudah terganggu ketika ada 'ketidaknyamanan' yang datang. Bentuk ketidaknyamanan ini sendiri, seringkali, adalah bintang yang sedang bergerak mendekati wilayah Awan Oort. Tidak terlalu dekat sampai menembus awan Oort, tetapi cukup dekat sehingga pengaruh gravitasi si bintang mengganggu beberapa dari bongkah disana. Pengaruhnya menyebabkan beberapa bongkah yang 'kurang beruntung' ini berubah pergerakannya; dari gerakan lamban nan nyaman di dalam lingkup Awan Oort, menjadi gerakan yang mengarahkan mereka ke bagian dalam Tata Surya, mendekati Matahari.

ISON adalah salah satu dari entah berapa banyak bongkah batu yang 'kurang beruntung' ini. Perlahan tapi pasti, komet ini bergerak menuju bagian dalam Tata Surya, sebuah perjalanan panjang yang memakan waktu jutaan tahun. Seperti yang kita ketahui, makin dekat ke Matahari, suhu akan semakin tinggi, dan begitu pula yang dialami calon komet ISON. Suhu yang makin tinggi perlahan membuat bagian 'es' dari komet ISON mulai menguap. Proses selanjutnya telah dijelaskan di atas; peletupan gas dan debu terus bertambah, membuat kecerlangan komet terus meningkat seiring makin dekatnya ia ke Matahari.

Letupan gas dan debu ini, selain mempertontonkan pertunjukan spektakuler bagi yang mengamati, juga memberikan pengaruh lain pada si bongkah batu dan es itu sendiri. Ketika membeku, zat-zat yang tersebut sebelumnya itu bisa terletak di mana saja pada bongkah batu, entah di dalam atau di luar. Ketika meletup, daerah-daerah es ini menyemburkan gas beserta debu, artinya menghilangkan sebagian massa komet secara perlahan. Selain itu, jika kandungan es cukup banyak, maka peletupan cenderung lebih banyak. Mengingat es di bagian dalam komet bersatu dengan batuan dalam menyusun bongkah komet, ketika es menyublim dan terletup meninggalkan komet, maka bagian dalam komet akan menjadi lebih kopong, memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk hancurnya inti komet.

Inti komet ISON, saat diamati sepanjang tahun 2013, memiliki ukuran yang relatif besar, antara 2-4 kilometer. Karenanya, banyak pengamat optimistis ISON akan selamat dari terjangan Matahari pada 28-29 November lalu, mengingat sekitar 2 tahun lalu, komet dengan ukuran inti yang lebih kecil, C/2011 W3 "Lovejoy", selamat dengan susah payah dari terjangan Matahari—walaupun beberapa hari kemudian ia pun hancur pula. Apalagi, komet Lovejoy ini mendekati Matahari hanya pada jarak sekitar 150.000 km dari permukaan Matahari—kurang lebih 40% jarak Bumi-Bulan—dibandingkan komet ISON yang mendekati pada jarak relatif jauh.

Tetapi, setiap komet berbeda. Komet ISON mungkin memiliki inti yang banyak mengandung es, sehingga meletupkan banyak gas dan debu. Tetapi (mungkin) karena itu pula, ketika komet ISON makin benderang dan meletupkan sedemikian banyak gas dan debu, inti komet menjadi makin rapuh, sehingga dengan mudah hancur lebur ketika mendekati Matahari.
Untuk gambaran yang lebih mudah, bayangkan sebuah batu yang sedemikian lama hidup dalam keadaan beku, dan kemudian dijaring menuju daerah dekat Matahari yang luar biasa panasnya. Tentu akan ada efek pemuaian yang besar. Ditambah gravitasi Matahari yang demikian kuat, akhirnya komet ISON terus tergerus hingga akhirnya hancur sebelum mencapai titik terdekatnya ke Matahari. Pecahan komet yang sempat bersinar terang pun tak sanggup bertahan cukup lama.

Perkembangan C/2012 S1 dari bulan September sampai November. sumber
Mungkin itulah kiranya yang bisa penulis persembahkan kepada pembaca sekalian tentang komet ini.
Untuk sedikit hiburan dan/atau semburat pengetahuan, sila simak laman berikut:
https://www.facebook.com/thesuntoday/photos_stream
http://www.space.com/22979-comet-ison-weird-facts-countdown.html
http://ekliptika.wordpress.com/2013/11/06/november-bulannya-komet-ison-bagian-1/
http://ekliptika.wordpress.com/2013/12/03/komet-ison-dan-perjalanan-menembus-api-bagian-2/
http://ekliptika.wordpress.com/2013/12/04/ison-dari-debu-kembali-menjadi-debu/
http://www.astrowatch.net/2013/12/investigating-life-of-comet-ison.html
Masih kurang? Banyak post lainnya mengenai komet ISON beserta pernak-perniknya bisa kautemukan di sekujur dunia maya.

(:g)
Lanjutkan baca »

Rabu, 27 November 2013

Article#237 - Rekam Jejak: Balada Romansa Dedaunan

Daun-daun rontok berkali-kali, langit masih sepagi ini
Angin debu menyapu segala, menerbangkannya lalu hilang
Kedamaian cinta segalanya
Di mana ku perlu berdiri di sini, tak ada tangis, semua pudar
Pohon tua tinggal ranting kering,
Setelah lewat tikungan air, dataran biru
Selamat tinggal
Tinggal aku dalam sepi
(Leo Imam Sukarno, 1977. Pohon Tua Ranting Kering)

Banyak orang bilang, musim gugur identik dengan kering dan rapuh. Identik dengan dedaunan yang menguning, memerah, dan kemudian jatuh berguguran, mati menumpuk di tanah. Identik dengan pohon-pohon berwajah mati yang setia menanti tibanya musim semi. Identik dengan udara kering, yang merenggut butir-butir air dari jiwa-jiwa yang lemah. Identik dengan hawa dingin yang terus menyesap, memenuhi segala sisi.
Tetapi tidak sebanyak itu orang bilang, musim gugur identik dengan kegembiraan. Warna-warni yang bersumber dari sorak-sorai xantofil, beta karoten serta antosianin, setelah klorofil, sang penguasa lama, tumbang bersama berkurangnya air.
Tidak banyak pula orang bilang, musim gugur identik dengan kreativitas. Kreativitas yang tergambar dari mahakarya Sang Pencipta, yang membuat beragam jenis tumbuhan menguarkan warna-warninya pada kala yang berbeda. Menjaga warna warni tetap seru dipandang, meski dingin kian menusuk tulang.

Dan tentu saja, bergugurannya dedaunan kembali mengisyaratkan suatu hal yang jelas. Bahwa setiap yang punya awal akan mempunyai akhir. Bahwa segala yang indah, suatu saat akan terhimpun, menjadi satu dengan tanah. Bahwa semua ini hanya menghuni dunia dalam hitungan yang tak signifikan.

Meskipun begitu, melihat sisi lainnya, akan tersirat bahwa setiap yang berakhir, akan ada waktunya ia berawal lagi. Bahwa dari tanah yang tampak kotor dan tak indah, bisa membentuk banyak hal yang membuat orang terperangah. Bahwa meskipun semua ini hanya sebentar, tetapi berbagai hal menakjubkan bisa terjadi dalam kedipan mata.


Lihatlah, bukankah padanya tersimpan banyak keindahan?

*****

Untuk kali ini, penulis tidak akan banyak menuangkan ketidakjelasan seperti biasa. Kata orang, satu gambar mampu mewakili seribu kata, maka dengan ini penulis persembahkan gambar-gambar jepretan penulis sendiri (yang mungkin kualitasnya kurang bagus, maklum tidak pakai kamera profesional). Selamat menikmati.
Sila klik gambar jika ingin melihatnya dalam ukuran  yang lebih detail.
















Mungkin cukup sekian artikel kali ini. Sampai jumpa di edisi selanjutnya!
(:g)
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...