Minggu, 31 Maret 2013

Article#150 - Bersemilah Indonesia!

Tadinya tulisan ini mau digabungkan sebagai salah satu sekuel dari Cerita Sang Angin Samudra yang pekan lalu barusan kelar. Tetapi, setelah menimbang-nimbang dengan timbangan pasar sebelah yang agak terlalu sensitif, akhirnya diputuskan supaya tulisan ini tidak digabungkan ke dalam sekuel. Takut si timbangan tersinggung.
Seperti tulisan saya biasanya, yang kali ini terinspirasi dari berbagai hal yang saya baca dan temukan ketika menjelajahi dunia maya, dan mencoba mengaitkannya dengan apa yang saya amati di dunia nyata. Dan kemudian, terkompori oleh tulisan Salman serta Annisa, sayapun memantapkan niat untuk menulis tulisan kali ini. 
***
Berbeda dengan salah satu (atau dua?) post saya sebelumnya yang berawal ketika negara api menyerang, tulisan yang ini berawal dari pencarian saya akan kutipan yang saya kutip dalam tulisan edisi Tempus Fugit sebelumnya. Kalian-kalian yang sering berkelana di dunia maya, pasti tahu jika banyak post yang membandingkan orang luar negeri dengan orang Indonesia, dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, kebanyakan menonjolkan sisi superioritas orang luar sana dibanding orang Indonesia, yang kemudian justru menyebarkan pesimisme di berbagai kalangan rakyat. Pesimis akan masa depan negeri ini, pesimis bahwa ia masih bisa diperbaiki.
Salah satunya bisa dilihat di post terkait, atau di sini: http://img341.imageshack.us/img341/2816/sedikitkomentarmereka.png

Sayang sekali, kalau post yang membanding-bandingkan seperti itu justru malah menyebarkan pesimisme yang justru merusak semangat berjuang rakyatnya. Terlepas dari apapun maksud baik sang penulis disana. 

Karenanya, disini saya hanya ingin sedikit meluruskan.
Sekeren apapun 'negara-negara maju itu' terdengar oleh kalian, sebagaimana didengung-dengungkan oleh orang-orang, 'negara-negara maju itu' nyatanya punya segudang masalah yang nggak kalah parah sama Indonesia. Mari kita kesampingkan dulu kelemahan dan kekurangan Indonesia di sana-sini.
Boleh jadi mereka punya kekuatan ekonomi yang luar biasa, tetapi ketika Indonesia menghentikan impor daging AS, justru mereka langsung ketar-ketir.
Boleh jadi mereka punya segudang ilmuwan pemenang Nobel, tetapi banyak anak muda disana yang nggak punya motivasi kuliah. Bahkan, demi memenuhi kampus-kampus terbaiknya dengan mahasiswa, 'negara-negara maju itu' sampai harus membuka pintu lebar-lebar kepada mahasiswa internasional.
Boleh jadi mereka memperkenalkan budaya pola pikir yang maju dan terdepan, tetapi nyatanya, generasi muda mereka banyak dibuai oleh nafsu dunia dan dikikis moralnya perlahan-lahan.
Boleh jadi mereka punya teknologi yang sedemikian maju dan mapannya, tetapi banyak orang yang dijauhi kan dari dunia nyata dan berbagai peningkatan kapasitas diri olehnya.

Kesempatan bagi kita untuk maju perlahan terbuka dan melebar.
Kesadaran anak bangsa akan nasib negerinya ini terus menyebar.
Kita bersama tentunya tahu bahwa Indonesia, beserta segenap isinya termasuk kita semua, masih tertinggal dari 'negara-negara maju itu' dalam berbagai aspek kehidupan. Tetapi bukankah kita bisa terus belajar?
Kita tentunya tahu bahwa Indonesia ini, rakyatnya masih banyak yang ribut sendiri-sendiri, pemerintahnya asik sendiri. Tetapi kesuksesan itu, tentunya masih bisa kita kejar.
Indonesia punya keuntungan besar dibandingkan dengan mayoritas 'negara-negara maju itu' saat ini, dari pertumbuhan ekonomi yang pesat, pertumbuhan penduduk yang pesat. Modal ini sebenarnya lebih dari cukup untuk mengantar Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan yang sesungguhnya. Bagaimana selanjutnya, tergantung bagaimana kita semua mau memanfaatkan momentum ini. Di saat 'negara-negara maju itu' sedang terlena akan posisi mereka di puncak, mereka yang tidak di puncak, akan senantiasa memberdayakan dirinya untuk sampai ke puncak itu.
Nah sekarang, mari bersama-sama melakukan kebaikan bagi lingkungan sekitar kita. Lakukan apa yang bisa dilakukan, berikan manfaat sesuai dengan kapasitas yang dipunya. Mari, kita buktikan kesungguhan kita dengan tindakan dan kontribusi, sembari terus perbaiki diri.
'Negara-negara maju itu' bukanlah sesuatu yang superior atas kita semua. Kita bisa mengungguli mereka. Dan sekarang kesempatan terbuka makin lebar bagi kita untuk membuktikannya. Pertanyaannya sekarang adalah: mau atau tidak?

Hari 6565, di tengah sore yang berangsur menggelap
Dicetuskan atas hidup yang terus berjalan,
Ahad, 31 Maret 2013, 18:38 (UT+9)
35°09'07.28"N, 136°57'56.61"E
Lanjutkan baca »

Sabtu, 30 Maret 2013

Article#149 - Kutipan Hari Ini

"There are many languages, cultures, and traditions; but there's only one sky and that's how astronomy connects us."
—  Ada banyak bahasa, budaya dan tradisi, tetapi hanya ada satu langit, dan begitulah astronomi menyatukan kita.

~dikutip dan diterjemahkan oleh penulis dari kicauan akun twiter Forum Astronomi, pada Ahad, 31 Maret 2013, 0:39 (UT+9)
gambar di sini

Lanjutkan baca »

Rabu, 27 Maret 2013

Article#148 - Menambal Jiwa Yang Bocor

Ada kalanya, kau begitu terbenam dalam kesedihan
Begitu mudahnya air mata tercucurkan
Dan betapa mudahnya rasa kesal tertumpahkan
Hingga telingamu tuli akan kebaikan
Dan tidak mempedulikan berjuta kebahagiaan
Yang di sekitarmu banyak bertebaran

Ada kalanya, kau begitu terbenam dalam kesenangan
Begitu mudahnya tawa kau hamburkan
Dan betapa mudahnya rasa senang itu dipertunjukkan
Hingga telingamu tuli akan perbaikan
Dan tak mempedulikan berjuta kemalangan
Yang sejatinya bisa kau bantu ringankan

Jiwa itu laksana sebuah wadah yang tak seberapa besar
Jangan masukkan semua kedalamnya, supaya tak tumpah keluar
Tetapi jangan biarkan ia kosong tanpa kehidupan
Jika kau ingin melihat dalam dunia, segala kenyataan
Pastikan ia menampung kebaikan tanpa ada kebocoran,
Dan senantiasa bersihkan ia dari keburukan.

Kejadian-kejadian yang kulalui selama ini,
Perlahan-lahan akan menumbuhkanku menjadi pribadi yang lebih kuat.
Lebih keras dari intan, dan lebih mulia dari batu permata.
Terima kasih kawan, atas segala pelajaran yang telah kauberikan
Baik secara sadar maupun tidak sadar
Yang satu persatu berhasil menambali kebocoran jiwa ini.


Hari 6561, ketika hati yang tertambal mencoba bersuara.
Dicetuskan menjelang kaki melangkah,
Rabu, 27 Maret 2013, 13:46 (UT+8)
2°44'25.55"N, 101°43'11.88"E
Lanjutkan baca »

Article#147 - Kutipan Hari Ini

"Orang yang berkemauan kuat tak akan menyalahkan adanya proses sebagai alasan untuk lambatnya ia berubah menjadi lebih baik."
~dikutip penulis dari pengamatan akan berbagai fenomena sosial yang ada, pada 10 Maret 2013, 22:39 (UT+7)
Lanjutkan baca »

Selasa, 26 Maret 2013

Article#146 - 30000 pengunjung...

Lama juga ya saya tidak memasang laman napak tilas. Banyak yang terjadi selama ini, dan semua itu ikut menarik minat saya untuk mengamati berbagai kejadian yang sedang mendera dunia tempat kita berpijak ini. Sebagian intisarinya telah saya sarikan di laman blog aneh ini, terutama seri Cerita Sang Angin Samudra yang baru saja selesai kemarin malam. Dan dengan segala macam intrik dan ritmik yang terjadi belakangan ini, blog aneh ini kembali mencatatkan jumlah kunjungan sebanyak tiga puluh ribu kemarin pada 25 Maret 2013, 21:58 (UT+7), 76 hari setelah catatan dua puluh ribu pengunjung dibukukan.
dari sini
Nantikan artikel selanjutnya, nanti!
(:g)
Lanjutkan baca »

Senin, 25 Maret 2013

Article#145 - Cerita Sang Angin Samudra (Bagian 3): Sincerum Risum

"Akhirnya sampai juga!"
Kini, mungkin waktunya sampai di akhir perjalanan.
Akhir perjalanan?
Dengan sampainya seseorang yang lama menghabiskan waktu berkutat dengan perjalanan yang ia tempuh, 'tujuan' identik dengan akhir dari sebuah penantian panjang, sebuah posisi yang ingin dicapai oleh (hampir) semua yang merasakan serunya berjuang dalam ranah proses. Memang, sering muncul sebuah perasaan senang tersendiri, ketika sebuah tujuan yang ditunggu sekian lama, setelah menyeka keringat entah berapa kali, akhirnya kini terhidang layaknya makanan yang masih hangat di depan mereka.

Lalu, mengapa senang?
Banyak alasan yang bisa memunculkannya. Yang paling umum sih, karena perjuangan sekian lama terbayarkan dengan keberhasilan berupa sampai di tujuan. Ada juga yang senang karena berhasil menuntaskan apa yang ia mulai. Bahkan, ada pula yang senang karena ia akhirnya bisa berlepas tangan dari sesuatu itu. Bagi manusia, keberhasilan memang selalu identik dengan rasa gembira. Meskipun keberhasilan juga menjadi titik awal dari perjuangan selanjutnya.
gambar dari sini
Tetapi rasa senang ini hanya sementara, selanjutnya ia akan hilang dan terlupakan. Kenapa? Saya juga tak yakin kenapa, tapi analoginya seperti makan kue yang enak. Rasa enaknya hanya akan terasa hingga kau menelannya.
Maka, ada apa setelah itu? Mengikuti analogi diatas, mungkin lanjutkan memakan kuenya. Akan tetapi, bagaimana ketika kue itu sendiri sudah habis? Ada yang kekenyangan dan menyudahi makannya. Ada yang masih lapar, sehingga ia pergi membeli sepotong kue lagi. Ada juga yang penasaran, bagaimana cara membuat kue yang enak itu. Atau ada yang hanya mengingat-ingat betapa enaknya kue itu.
gambar dari sini
Kalau kalian sepakat untuk melupakan analogi yang membuai mimpi dan kembali ke dunia nyata, maka kembali ke bahasan awal. Ada yang akan merasa cukup atas semua yang sudah didapat. Ada yang sedikit 'rakus' prestasi dan segera beranjak menggapai yang lain. Ada yang ingin memperoleh capaian melalui taktik dan trik yang secara konsep berlawanan. Dan ada pula yang sibuk mengenang saat indah dalam kebahagiaan.
Di dunia nyata, kalian akan menemui dengan mudah contoh dari semuanya. Banyak orang memang merasa cukup dengan apa yang ia punya selama ini, dan ia memfokuskan diri untuk menjaga apa yang ia miliki sehingga bisa awet. Mereka yang 'rakus' juga banyak macamnya, dari yang memendam dahaga akan prestasi dan peningkatan kualitas diri, hingga haus harta yang menjerumuskannya dalam lingkaran korupsi. Ada juga mereka yang senang mendobrak kebiasan untuk memunculkan berbagai hal baru.

Tetapi yang paling asik untuk dibahas sepertinya yang keempat. Banyak orang cenderung untuk mengalami sindrom 'rindu', 'kangen' atau sejenisnya yang mulai bersemi beberapa saat setelah terjadinya perpisahan, atau setelah tercapainya suatu tujuan. Lihatlah bagaimana mahasiswa yang terbenam dalam kesibukan tugas kuliah, bernostalgia ke masa-masa SMA yang ceria dan membahagiakan. Lihatlah bagaimana mereka-mereka yang ikut serta dalam kejuaraan demi kejuaraan, saat mereka merasakan gregetnya pertandingan dan manisnya trofi atau medali. Lihatlah mereka yang duduk di bangku kesuksesan, dan mengenang masa-masa perjuangan mereka yang keras dan tak bersahabat.

Ia bisa muncul dengan begitu tiba-tiba, terutama ketika sang objek sedang berada entah dimana, di tempat yang jauh. Datang, menyergap dengan begitu mendadak, bergulung-gulung tanpa pemberitahuan, lebih sulit diantisipasi dari gelombang tsunami yang dahsyat itu. Tsunami masih memberi 'tanda' akan kedatangannya, dan orang bisa menghindarinya. Tapi yang ini? Datang begitu saja tanpa tanda-tanda, dan siapa yang kuasa menghindarinya? Gelombang perasaan yang ini akan membawamu dalam lautan kenangan, akan apa yang telah terjadi, dan apa yang dulu diimpikan. Apa yang dahulu menggugah hati, dan apa yang dengan setia kauperjuangkan. Apa yang ada, apa yang tersia, dan apa yang hilang.

Tetapi, apa itu salah? Tentu saja tidak, kawan. Meskipun sering dibarengi dengan rasa sesak yang menyelusup ke dalam sanubari jiwa, perasaan ini bukanlah sesuatu yang kedatangannya merupakan suatu kesalahan. Mungkin ia bisa membuatmu terbenam berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, tetapi ia ikut menjaga hatimu supaya tetap bersih dan hidup. Memastikan hatimu tetap menjadi hati seorang manusia yang punya emosi dan nurani. Tentu saja, selama diarahkan pada arah dan porsi yang benar.
Porsi yang benar, supaya kau tak terbenam dalam kenangan masa lalu tanpa bisa melakukan sesuatu lain yang bermanfaat. Arah yang benar, tentu saja, kenapa harus memendamnya dalam bentuk kegundahan dan keluh kesah? Kenapa harus kesana, kalau bisa mengarahkannya kepada produktivitas yang lebih, semangat lebih, dan perjuangan yang lebih? Berjuanglah untuk mengganjar perasaan itu dengan pencapaian yang bisa menerbitkan kebahagiaan di hati mereka yang dekat denganmu.

Perasaan rindu itu pasti akan tetap ada, tetapi biarkan ia disana walaupun ia menyesakkan. Jadilah kuat karenanya. Apakah kau akan menjadi permata yang berkilauan dan begitu berharga, atau arang yang terserak dan terbuang, tak hanya ditentukan oleh apa yang kau alami, tetapi juga apa yang kau lakukan.
Kalau terasa sulit, bayangkan saja senyum seseorang nun jauh disana. Seseorang yang akan selalu merasa bahagia di atas kebahagiaanmu, dan ikut cemas di atas kesulitanmu. Bayangkan senyum tulusnya atas kebahagiaanmu, kesuksesanmu, prestasimu, kontribusimu, dan kemudian berjuanglah dengan semangat yang penuh.
Apa jadinya dirimu di masa depan akan ditentukan apa yang akan kau lakukan saat ini.
Apa kau akan bergerak maju? Atau hanya duduk dan terdiam?

(:g)
Silakan kunjungi juga bagian pertama dan kedua.
Lanjutkan baca »

Rabu, 20 Maret 2013

Article#144 - Cerita Sang Angin Samudra (Bagian 2): Tempus Fugit

"Ada apa di luar sana?"
Di edisi sebelumnya, saya telah sedikit bertutur mengenai makna perantauan, perjalanan atau sejenisnya. Meskipun makna yang tertera disana, selain tidak banyak mewakili pandangan saya, mungkin tidak sepenuhnya mewakili makna dari sebuah perjalanan, yang sebenernya banyak sekali dan ada di berbagai sisi kehidupan.
Ah sudahlah, buat apa basa-basi berlama-lama.

Sebagai orang yang dalam beberapa waktu sangat kurang dosis perjalanan dalam kehidupannya, dalam liburan kali ini saya melakukan perjalanan dengan kuantitas (dan sepertinya juga kualitas) yang jauh lebih besar daripada sebelum-sebelumnya dalam jangka waktu yang sama. Tidak akan saya ceritakan di tulisan ini—tulisan ini bukan ditujukan sebagai laporan cerita saya dan berbagai perjalanan yang saya tempuh. Namanya perjalanan, selain sedikit menguras dompet (konsekuensi dari menggunakan angkutan umum, jelas), juga terkadang menguras waktu, terutama ketika perjalanan yang ditempuh cukup jauh, berputar-putar, atau lambat, terutama akibat kemacetan yang tak jarang menghiasi berbagai ruas jalan di kota-kota besar Indonesia. Duduk dan diam nyaris tanpa aktivitas apapun dalam beberapa jam mungkin tak ada salahnya bilang mirip dengan menunggu, dan banyak orang yang akan sepakat jika menunggu adalah salah satu kegiatan yang paling membosankan.

Tetapi tentu saja, menunggu akan menjadi kegiatan yang membosankan, ketika benar-benar tak ada yang dilakukan. (tentunya selain mengetuk-ngetukkan jari dan kegiatan tanda kebosanan lainnya).
Sebagai orang yang cepat merasa bosan, saya tentunya harus melakukan aktivitas dalam perjalanan supaya bisa menikmati perjalanan dengan sehat sentosa.

Tapi apa? Terkadang saya menyikapinya dengan membaca sebuah novel yang secara khusus saya siapkan untuk mengusir kejenuhan tatkala di tengah perjalanan. Yang menjadi masalah, kadang-kadang terlalu asyik membaca novel akan menjerumuskan saya dalam lubang tidur yang biasanya baru berakhir ketika kendaraan telah sampai tujuan. Dan juga, membaca novel bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan ketika kau berada dalam sebuah angkutan umum yang penuh sesak, atau antrian yang panjang.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mengamati apa yang ada di luar sana. Saya perhatikan mobil-mobil yang saling mendahului, yang muncul mendatangi. Saya perhatikan anak-anak yang bermain di pinggiran jalan raya, dengan berbagai tawa dan canda ceria. Saya perhatikan pula pedagang yang berjualan, yang saya amati tetap semangat walau peluh bercucuran.
Suatu saat, ketika sedang mengamati dunia luar dari kaca jendela bus Transjakarta, sebuah kutipan lama terlintas di benak saya. Sebuah kutipan yang entah darimana saya dengar dulu.
"Orang Indonesia, kalau sedang dalam perjalanan biasanya melihat-lihat pemandangan atau tidur. Sedangkan orang luar negeri akan mencoba memanfaatkan waktunya seefektif mungkin, misalnya membaca buku."
Seperti umumnya kutipan berbahasa Indonesia yang menyandingkan sifat orang Indonesia dengan sifat orang luar negeri, orang Indonesia digambarkan cenderung 'buruk', sementara orang luar negeri cenderung bersifat 'baik'. Walaupun banyak doktrin semacam itu, saya (dan saya harap sebagian kalian juga) yakin bahwa penggambaran itu tidak selalu tepat. Seperti saya tulis sedikit sebelumnya, membaca buku, dalam banyak kesempatan (khususnya dalam angkutan umum), bukanlah opsi yang cukup menyenangkan. Selain yang tadi saya sebutkan, ada juga kecenderungan orang untuk pusing plus mual ketika membaca dalam kendaraan. Dan sisi sebaliknya, tidur secukupnya pastinya baik.
Lalu bagaimana dengan melihat-lihat?
gambar dari sini
Bagi saya, tentu saja baik. Selain mengusir kebosanan, pemandangan di luar seringkali menjadi sarana yang bagus untuk belajar, terutama jika naik angkutan umum di tengah ibukota. Bukankah belajar tidak mengenal waktu, tempat dan keadaan?
Saya terkadang menikmati sedikit kontemplasi yang dihadirkan dari pengamatan akan berbagai orang yang melakukan aktivitasnya di tengah terik siang hari. Membayangkan masing-masing orang yang saya lewati satu demi satu, bagaimana mereka sedang melalui hidup mereka masing-masing.

Akhirnya saya membayangkan sebuah jalan hidup selayaknya sepintal benang. Sejak awal kelahiran, tiap-tiap individu berjalan meniti jalur hidupnya masing-masing, dengan segala macam gangguan, percikan dan dorongan yang menyertai. Dengan berbagai bentukan karakter yang berawal dari gaya yang dikerjakan kepada mereka, mereka hidup dengan membawa karakter-karakter masing-masing, selayaknya warna-warni berbeda pada sepintal benang.
Dari benang-benang yang tersebar sedemikian banyaknya ini, terdapat simpul dimana-mana. Disanalah berbagai orang dari berbagai latar budaya, berkenalan dengan orang baru yang sebelumnya tak pernah ia kenal. Dan masing-masing individu benang saling memberikan pengaruhnya—entah itu dengan membentuk simpul baru dengan keikutsertaan benang lain, atau benang yang simpulnya putus dan terburai kusut, dan lainnya. Dan kumpulan benang ini, kadang terajut menjadi potongan kain-kain tipis, atau menjadi satu stel jas mewah, tetapi kadang menjadi pita yang lepas dan terhanyut arus angin.

Banyak orang yang tak percaya adanya benang yang saling menghubungkan antara jalan hidup satu individu dengan individu yang lain. Mereka berusaha membantah keberadaannya dengan segala cara, yang dengan itu justru menguatkan keberadaan sang benang.  Banyak yang berusaha menyambung-nyambungkan benang titiannya dengan benang-benang mana yang ia inginkan, karena ia pikir itulah benang yang terbaik untuk titian hidupnya, tanpa ia sadari bahwa terlalu banyak simpul yang ia buat hanya menyatukan kumpulan benang dalam berat yang menjatuhkan. Banyak yang hanya bersandar kepada benang-benang ini tanpa melakukan apapun, tetapi mengumpat dan memaki sang benang, ketika benang itu jatuh ke dalam kegelapan suram. Masing-masing individu berjalan di benangnya, terkadang lupa bahwa benangnya punya umur dan akan melemah seiring waktu, tetapi hanya sedikit dari mereka yang sadar dan peduli untuk mempertahankan kekuatan dan keutuhan sang benang. Mungkin tak salah menyebut benang-benang ini 'benang takdir'.

Dimanapun kau berada dapat kau amati dengan baik, bagaimana orang-orang meniti benang mereka masing-masing, sambil berusaha meniti dan menyambungkan benangnya ke benang yang lebih bagus, kuat. Atau merasa puas dengan benang yang ia punya, dan dengan senang hati menjalani kehidupan yang aman meskipun terasa membosankan. Silakan kau mengamati di pagi hari, bagaimana para karyawan terus berlari mengejar bisa tercepat agar tidak datang terlambat ke kantornya, juga anak-anak sekolahan. Bagaimana mereka yang berjuang mencari nafkah, sudah beradu dengan ganasnya terik matahari dan asap karbon monoksida dari kendaraan yang berlalu lalang. Dan di dalam kendaraan yang berlalu lalang itu, mungkin sedang mengemudi seorang hartawan, yang sedang sibuk memikirkan cara mendapatkan sebidang tanah untuk lahan ekspansi usahanya. Semua, dalam cerita kehidupan dengan bumbunya masing-masing, bersama-sama beraktivitas dalam sebuah keseimbangan sistem yang tiada akhir... entahlah.

Pada akhirnya, benang-benang kehidupan yang dinamis dan senantiasa disusun ulang ini, kental diwarnai dengan perubahan yang pelumasnya adalah ketidakseimbangan, dan penggeraknya adalah roda waktu.
Seiring waktu berlalu, yang lama akan mati, yang baru akan tumbuh, yang muda akan berkembang.
Seiring waktu berlalu, yang diam akan tergusur, tergantikan oleh yang tak tinggal diam.
Meskipun perubahan pasti dan terus bergulir, arahnya bisa dibelokkan dan disimpangkan.
Banyak orang memilih untuk diam, hanya untuk menikmati bergulirnya perubahan.
Waktu terus berjalan. Sudahkah kau melakukan sesuatu?
(:g)
Silakan kunjungi juga bagian pertama dan ketiga.
Lanjutkan baca »

Minggu, 17 Maret 2013

Article#143 - Cerita Sang Angin Samudra (Bagian 1): Ad Meliora

"Mengapa mau merantau?"
Yah, kawan-kawan sekalian yang sedang menikmati asiknya menapaki hidup di tempat yang baru, mungkin sudah kenyang menelan pertanyaan sejenis. Atau bahkan hingga kalian bosan mendengarnya.
Saya sendiri sudah lupa kapan saya pertama kali menerima pertanyaan serupa, khususnya sejak saya pertama kali memutuskan untuk mengecap kehidupan yang belum pernah saya temui sebelumnya. Entah kapan pula, saya pernah menyuguhkan jawaban yang lengkap, karena saya merasa jawaban yang saya berikan tak pernah lengkap. Memang apa asiknya rasa penasaran yang segera terbalas, bahkan hanya dengan untaian kata? Biarkanlah jiwa dan pikiranmu memberinya makna.
gambar dari sini
Kuberi kata pembuka, dan kubiarkan kau melanjutkannya.
Filosofi serupa telah banyak dipakai dimana-mana, untuk memberikan hanya kepingan kecil dari pengetahuan yang diperlukan. Ucapan hanyalah gabungan aksara dan melodia; dan penjiwaan sang penutur belum tentu meresap dengan baik ke dalam sebuah ucapan untuk bisa direguk tetesnya oleh pendengar. Dibutuhkan sebuah pengalaman langsung, pengalaman yang mampu mewarnai sebuah jiwa layaknya cat mewarnai kanvas. Dan filosofi serupa lah, yang dapat digunakan sebagai alasan utama untuk merantau, berkelana, mendatangi tempat baru, apapun itu namanya.

Di bawah ada salinan sebuah tulisan yang saya kutip dari sini. Ada baiknya sedikit dibaca dan direnungkan untuk permulaan.

"WHY YOU SHOULD TRAVEL YOUNG"
Posted by Jeff Goins (Google+) on Tuesday, June 26, 2012

As I write this, I’m flying. It’s an incredible concept: to be suspended in the air, moving at two hundred miles an hour — while I read a magazine. Amazing, isn’t it?
I woke up at three a.m. this morning. Long before the sun rose, thirty people loaded up three conversion vans and drove two hours to the San Juan airport. Our trip was finished. It was time to go home. But we were changed.
As I sit, waiting for the flight attendant to bring my ginger ale, I’m left wondering why I travel at all. The other night, I was reminded why I do it — why I believe this discipline of travel is worth all the hassle.
I was leading a missions trip in Puerto Rico. After a day of work, as we were driving back to the church where we were staying, one of the young women brought up a question.
“Do you think I should go to graduate school or move to Africa?”
I don’t think she was talking to me. In fact, I’m pretty sure she wasn’t. But that didn’t stop me from offering my opinion.
I told her to travel. Hands down. No excuses. Just go.
She sighed, nodding. “Yeah, but…”
I had heard this excuse before, and I didn’t buy it. I knew the “yeah-but” intimately. I had uttered it many times before. The words seem innocuous enough, but are actually quite fatal.
Yeah, but …
… what about debt?


… what about my job?
… what about my boyfriend?
This phrase is lethal. It makes it sound like we have the best of intentions, when really we are just too scared to do what we should. It allows us to be cowards while sounding noble.
Most people I know who waited to travel the world never did it. Conversely, plenty of people who waited for grad school or a steady job still did those things after they traveled.
It reminded me of Dr. Eisenhautz and the men’s locker room.
Dr. Eisenhautz was a German professor at my college. I didn’t study German, but I was a foreign language student so we knew each other. This explains why he felt the need to strike up a conversation with me at six o’clock one morning.
I was about to start working out, and he had just finished. We were both getting dressed in the locker room. It was, to say the least, a little awkward — two grown men shooting the breeze while taking off their clothes.
“You come here often?” he asked. I could have laughed.
“Um, yeah, I guess,” I said, still wiping the crusted pieces of whatever out of my eyes.
“That’s great,” he said. “Just great.”
I nodded, not really paying attention. He had already had his adrenaline shot; I was still waiting for mine. I somehow uttered that a friend and I had been coming to the gym for a few weeks now, about three times a week.
“Great,” Dr. Eisenhautz repeated. He paused as if to reflect on what he would say next. Then, he just blurted it out. The most profound thing I had heard in my life.
“The habits you form here will be with you for the rest of your life.”
My head jerked up, my eyes got big, and I stared at him, letting the words soak into my half-conscious mind. He nodded, said a gruff goodbye, and left. I was dumbfounded.
The words reverberated in my mind for the rest of the day. Years later, they still haunt me. It’s true — the habits you form early in life will, most likely, be with you for the rest of your existence.
I have seen this fact proven repeatedly. My friends who drank a lot in college drink in larger quantities today. Back then, we called it “partying.” Now, it has a less glamorous name: alcoholism. There are other examples. The guys and girls who slept around back then now have babies and unfaithful marriages. Those with no ambition then are still working the same dead end jobs.
“We are what we repeatedly do,” Aristotle once said. While I don’t want to sound all gloom-and-doom, and I believe your life can turn around at any moment, there is an important lesson here: life is a result of intentional habits. So I decided to do the things that were most important to me first, not last.
After graduating college, I joined a band and traveled across North America for nine months. With six of my peers, I performed at schools, churches, and prisons. We even spent a month in Taiwan on our overseas tour. (We were huge in Taiwan.)
As part of our low-cost travel budget, we usually stayed in people’s homes. Over dinner or in conversation later in the evening, it would almost always come up — the statement I dreaded. As we were conversing about life on the road — the challenges of long days, being cooped up in a van, and always being on the move — some well-intentioned adult would say, “It’s great that you’re doing this … while you’re still young.”
Ouch. Those last words — while you’re still young — stung like a squirt of lemon juice in the eye (a sensation with which I am well acquainted). They reeked of vicarious longing and mid-life regret. I hated hearing that phrase.
I wanted to shout back,
“No, this is NOT great while I’m still young! It’s great for the rest of my life! You don’t understand. This is not just a thing I’m doing to kill time. This is my calling! My life! I don’t want what you have. I will always be an adventurer.”
In a year, I will turn thirty. Now I realize how wrong I was. Regardless of the intent of those words, there was wisdom in them.
As we get older, life can just sort of happen to us. Whatever we end up doing, we often end up with more responsibilities, more burdens, more obligations. This is not always bad. In fact, in many cases it is really good. It means you’re influencing people, leaving a legacy.
Youth is a time of total empowerment. You get to do what you want. As you mature and gain new responsibilities, you have to be very intentional about making sure you don’t lose sight of what’s important. The best way to do that is to make investments in your life so that you can have an effect on who you are in your later years.
I did this by traveling. Not for the sake of being a tourist, but to discover the beauty of life — to remember that I am not complete.
There is nothing like riding a bicycle across the Golden Gate Bridge or seeing the Coliseum at sunset. I wish I could paint a picture for you of how incredible the Guatemalan mountains are or what a rush it is to appear on Italian TV. Even the amazing photographs I have of Niagara Falls and the American Midwest countryside do not do these experiences justice. I can’t tell you how beautiful southern Spain is from the vantage point of a train; you have to experience it yourself. The only way you can relate is by seeing them.
While you’re young, you should travel. You should take the time to see the world and taste the fullness of life. Spend an afternoon sitting in front of the Michelangelo. Walk the streets of Paris. Climb Kilimanjaro. Hike the Appalachian trail. See the Great Wall of China. Get your heart broken by the “killing fields” of Cambodia. Swim through the Great Barrier Reef. These are the moments that define the rest of your life; they’re the experiences that stick with you forever.
Traveling will change you like little else can. It will put you in places that will force you to care for issues that are bigger than you. You will begin to understand that the world is both very large and very small. You will have a newfound respect for pain and suffering, having seen that two-thirds of humanity struggle to simply get a meal each day.
While you’re still young, get cultured. Get to know the world and the magnificent people that fill it. The world is a stunning place, full of outstanding works of art. See it.
You won’t always be young. And life won’t always be just about you. So travel, young person. Experience the world for all it’s worth. Become a person of culture, adventure, and compassion. While you still can.
Do not squander this time. You will never have it again. You have a crucial opportunity to invest in the next season of your life now. Whatever you sow, you will eventually reap. The habits you form in this season will stick with you for the rest of your life. So choose those habits wisely.
And if you’re not as young as you’d like (few of us are), travel anyway. It may not be easy or practical, but it’s worth it. Traveling allows you to feel more connected to your fellow human beings in a deep and lasting way, like little else can. In other words, it makes you more human.
That’s what it did for me, anyway.
Hidup manusia, terkadang dihiasi dengan alasan. Suatu hal yang bisa menjelaskan asal mula sebuah kejadian, tetapi sering juga digunakan sebagai pembenaran sebuah tindakan.
Alasan sering digunakan untuk membentengi ketakutan, sayangnya ketakutan yang dibentengi tak selalu relevan. Entah ketakutan akan kesalahan yang akan terbongkar, atau ketakutan akan sesuatu yang tak bisa ia bongkar. Sebagian mengakui kesalahannya, sebagian berusaha membongkar ketidaktahuannya, tetapi sebagian besar memilih untuk duduk diam dan tak melakuakn apapun. Dan lagi-lagi, mereka membentengi keadaan mereka yang pasif itu, dengan tameng-tameng alasan lainnya.
Bongkarlah segala ketidaktahuan, buang segala macam tameng alasan. Jelajahilah dunia, belajarlah yang banyak dari sana, dan—siapa tahu—kau perlahan akan bertambah bijak dalam menyikapi kehidupan. Mengenali budaya yang berbeda, pola pikir yang berbeda, idealisme yang berbeda, preferensi yang berbeda,   gaya hidup yang berbeda, semua itu akan menanamkan pemahaman akan sebuah dunia yang luas, dengan segala macam keberagaman dan perbedaan di atasnya.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal."
Paling tidak, itulah yang berhasil saya dapatkan sebagai sebuah jawaban ketika mencari secercah pemahaman mengenai tujuan seseorang merantau, jauh dari apapun yang biasa ia kenal. Seperti kata pepatah, tanpa ada pengorbanan, tak akan ada yang didapat. Kata-kata saya ini mungkin sudah begitu banyak dituturkan dimana-mana, dalam berbagai gaya bahasa dan tutur kata, sehingga wajar jika kalian merasa kata-katanya sedikit familiar. Tetapi, semoga kalian, terutama yang belum, berkesempatan untuk mengamati dunia dan membentuk pemahaman dalam menyikapi keberagaman dan perbedaan, alih-alih mengubah nilai-nilai yang selama ini telah tertanam dalam jiwa.
 Untuk penutup, akan saya sertakan penggalan syair terkenal berikut.
Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak kan keruh menggenang
Singa tak akan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika saja matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tidak akan menunggu saat munculnya datang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Jika dibawa ke bandar berubah mahal jadi perhatian hartawan.

(penggalan syair dari sang cendekiawan Islam terkenal dari masa kejayaan dinasti Abbasiyah, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i atau Imam Syafi'i (767-820 M/150-204 H)
(:g)
Silakan kunjungi juga bagian kedua dan ketiga.
Lanjutkan baca »

Rabu, 13 Maret 2013

Article#142 - Kutipan Hari Ini

“Life is really simple, but we insist on making it complicated. - 生活是很简单,但是我们坚持做很复杂。 - Hidup itu sederhana, tetapi kita senantiasa mempersulitnya.

~disadur dari cover belakang majalah MAGNET, sebuah majalah semesteran terbitan klub jurnalistik MAN Insan Cendekia Serpong, edisi 15, yang mengutipnya dari kata-kata Konfusius. Disadur sebagai kalimat berbahasa Inggris yang ditambahkan versi Mandarin dan Indonesia, pada Selasa, 12 Maret 2013, 21:18 (UT+7)


Lanjutkan baca »

Senin, 11 Maret 2013

Article#141 - Sekilas & Seulas Mengenai Badai Matahari

Sejak pemberitaan mengenai isu kiamat 2012, sudah banyak perhatian diarahkan kepada Matahari dengan segala macam aktivitasnya, yang dipercaya akan menyebabkan kiamat dalam teori kiamat yang kini terbukti salah. (Buktinya, kalian masih bisa membaca tulisan ini kan.) Banyak film yang sudah menggambarkan dugaan mereka akan sebuah kiamat, seperti flare Matahari yang membakar Bumi, aliran neutrino yang memanaskan inti Bumi sehingga menyebabkan permukaan Bumi bergolak, dan banyak lagi. Digambarkan sebuah gambaran yang dahsyat dan mengerikan akan badai Matahari, yang dikatakan mampu menyebabkan kehancuran skala global di Bumi.

Tetapi, apa benar badai Matahari se-mengerikan itu? Nyatanya, tidak. Badai Matahari yang masih normal selama ini bahkan masih jauh dari kata-kata mengerikan macam 'kiamat'. Yang diletup-letupkan oleh Matahari, seringnya, hanya 'mengotori' wilayah angkasa sekitar Matahari saja. Hanya letupan yang cukup besar untuk bisa melontarkan sedemikian banyak massa ke planet-planet, dan perlu arah yang tepat juga supaya massa yang terletup itu bisa sampai ke Bumi.

Mungkin, sebelumnya kita perlu memahami dahulu, apakah yang dimaksud dengan badai Matahari ini.
Badai Matahari adalah istilah populer untuk menunjukkan peningkatan aktivitas magnetik Matahari, dimana pada saat-saat tertentu Matahari akan lebih 'aktif' dari biasanya. Namun, jangan bayangkan Matahari sebagai seorang anak kecil yang sangat 'aktif' dan melompat kesana kemari. Alih-alih melompat, yang Matahari lakukan 'hanyalah' sesekali meletup-letup, menyemburkan berbagai macam partikel ke angkasa. Ketika mencapai bumi, adakalanya partikel ini akan menyebabkan badai geomagnetik di Bumi, dan istilah 'badai Matahari' sendiri sering digunakan hanya untuk merujuk ke badai geomagnetik ini. Selanjutnya akan dicoba dijelaskan di bawah.
Contoh perbandingan ukuran bintik Matahari dengan Bumi.  Diameter Bumi sekitar 12.750 km.
Lalu, bagaimana cara untuk mengetahui apakah Matahari sedang aktif atau tidak? Cara terpraktis adalah, mengamati jumlah bintik di permukaan Matahari. Mengapa bintik matahari? Mudahnya, karena bintik Matahari paling mudah diamati. Hanya dengan sedikit filter Matahari atau kertas untuk memproyeksikan bayangan Matahari, citra Matahari beserta sedikit 'jerawat'-nya dapat terpotret dengan baik. Dan memang, bintik Matahari terkait dengan aktivitas magnetik matahari, sehingga banyaknya bintik Matahari dapat digunakan untuk memprediksi kekuatan aktivitas Matahari di masa keaktifannya.
Semua berawal saat negara api menyerang dari fakta bahwa rotasi Matahari bersifat diferensial. Tidak begitu berhubungan dengan dengan kalkulus, diferensial yang dimaksud disini adalah bahwa periode rotasi Matahari berbeda tergantung lintang, dari sekitar 25 hari di dekat ekuator hingga 38 hari di dekat kutub. Hal ini disebabkan wujud Matahari yang merupakan plasma gas alih-alih permukaan padat seperti Bumi.
Kemudian, karena di Matahari ada medan magnet, maka tentunya akan ada fluks magnetik dari kutub selatan ke kutub utara Matahari.

Seiring berotasinya Matahari, fluks-fluks magnetik itu akan ikut terbawa oleh plasma Matahari, dan setelah sekian lama, garis-garis fluks itu akan terpuntir-puntir akibat kecepatan rotasi di ekuator yang lebih cepat, sebagaimana dinyatakan dalam gambar.
Di beberapa tempat, garis fluks magnetik yang terpuntir ini akan meyembul keluar dari permukaan Matahari, dan akan terlihat sebagai daerah gelap yang dinamai bintik Matahari. Meskipun terlihat gelap, sebenarnya bintik Matahari memiliki kecerlangan permukaan (intensitas energi cahaya per satuan luas) setara dengan Bulan, dan ia gelap karena suhu yang lebih 'dingin' (meskipun masih pada kisaran 3000-4500 K). Rendahnya suhu di bintik Matahari relatif terhadap daerah lainnya di permukaan Matahari berhubungan dengan adanya fluks magnetik yang kuat di daerah tersebut, sebagai hasil dari puntiran tadi. Adanya fluks magnetik yang kuat menghambat arus konveksi dengan efek yang serupa dengan efek 'eddy current brake', efek perlambatan dengan induksi elektromagnetik yang dalam beberapa kondisi dimanfaatkan sebagai rem pada kereta atau roller-coaster. Tetapi, dalam situasi ini, yang diperlambat adalah arus konveksi dari dalam Matahari.
Setiap sekitar 11 tahun sekali, puntiran ini menyebabkan berbagai aktivitas Matahari lainnya, seperti
semburan Matahari (solar flare) maupun lontaran massa korona (coronal mass ejection/CME) yang kebanyakan terjadi di dekat bintik Matahari. Ini yang cukup penting dari aktivitas Matahari, khususnya para letupan: Semuanya akrab dengan bintik matahari. Lebih akrab daripada bunga dan lebah yang senantiasa berbagi manfaat. Kedua kejadian inilah yang melontarkan partikel bermuatan dalam jumlah yang sangat besar, dikenal sebagai angin matahari.

Angin Matahari inilah, beserta segala macam intrik dan ritmiknya, yang menjadi sebab utama dari berbagai kekacauan yang biasa dikaitkan dengan aktifnya Matahari.
Ada apa dengan angin Matahari ini? Angin Matahari jangan disamakan dengan aliran semilir udara yang biasa kalian cari ketika sedang kegerahan. Angin Matahari sebenarnya adalah kumpulan besar dari partikel bermuatan yang dilepaskan ketika terjadi berbagai letupan di permukaan Matahari. Bersama sebagian plasma gas Matahari, partikel-partikel ini terlempar ke berbagai tempat di sekujur tata surya.
Gambaran sederhana mengenai efek aktivitas Matahari ke Bumi
Dan singkat cerita, sampailah partikel-partikel bermuatan tersebut ke Bumi, biasanya dalam waktu 3-4 hari. Mungkin langsung terasa mengerikan, membayangkan begitu banyak partikel akan datang menerjang Bumi. Akan tetapi, Bumi sudah memiliki pelindung alamiah yang bisa menapis partikel-partikel itu supaya tidak menghujani Bumi dan memberikan teror kepada penghuninya yang selama ini terbiasa berkecimpung dalam kedamaian. 'Pelindung' tersebut kini dinamai magnetosfer Bumi.

Magnetosfer ini, sebagaimana terlihat dari namanya (kata magnet dan sphaira 'bola'), adalah sebuah 'bola medan magnet' yang melingkupi Bumi beserta segenap manusia di permukaannya, baik yang sedang makan siang, yang sedang menggosok gigi, ataupun sedang mengomeli tetangganya yang kurang bersih dalam membuang sampah. Meksipun memang bentuknya tidak bola, akibat adanya angin Matahari. Bagaimana bisa Bumi memiliki medan magnet? Sederhananya, di bagian dalam Bumi yang dikenal dengan nama inti luar, disana cukup panas hingga logam-logam yang dulu tenggelam ke pusat Bumi di saat pembentukannya, disana berada dalam fase cair. Cairan logam ini mengalami konveksi akibat pemanasan dari tekanan dan peluruhan radioaktif oleh inti dalam, yang berisi logam berwujud padat meskipun lebih panas (bisa dijelaskan dengan tingginya tekanan disana, dan fakta bahwa inti Bumi mendingin secara bertahap—meskipun sangat lambat).

Mungkin beberapa dari kalian tahu jika dalam logam, elektron sangat bebas bergerak, karenanya logam mudah menghantarkan listrik. Elektron yang bisa berkelana dengan bebas di logam padat, tentunya akan berkelana lebih bebas lagi di logam cair. Dan ketika ada aliran elektron, maka ada aliran listrik. Ada aliran listrik, akan muncul medan magnet. Dari sanalah Bumi bisa memiliki medan magnetnya sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh teori dinamo.

Gaya Lorentz (F) dalam medan magnet B
Lalu, memangnya bagaimana magnetosfer melindungi segenap kehidupan di Bumi? Secara sederhana mungkin bisa dijelaskan seperti berikut. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, angin Matahari didominasi oleh partikel bermuatan listrik. Sebuah partikel bermuatan listrik, ketika melalui sebuah daerah medah magnet, akan didorong oleh gaya Lorentz sehingga membelok dari jalurnya semula, dan terus hingga partikel hanya akan berputar-putar tanpa ada kemajuan apapun. Hal ini, selain jelas akan memperlambat perjalanan elektron, akan menjadikan daerah di depan magnetosfer Bumi (pada arah yang menghadap Matahari) padat dengan partikel. Layaknya prajurit yang ingin mencari jalan belakang untuk memasuki daerah musuh, akhirnya partikel-partikel akan melaju pada arah yang kurang lebih sejajar dengan garis-garis medan magnet Bumi, yang dengannya partikel praktis tidak mengalami pembelokan akibat gaya Lorentz. Karena para partikel mengikuti garis medan magnet, tentunya mereka akan tiba pada daerah dekat kutub magnetik Bumi. Di salah satu bagian atmosfer yang bernama ionosfer (ketinggian 85 hingga 600 km dari permukaan Bumi), partikel bermuatan ini, yang masih berenergi tinggi dari letupan Matahari yang meluncurkannya, akan bertabrakan dengan berbagai atom/molekul yang mengisi ionosfer. Tabrakan antar partikel bermuatan dengan atom-atom akan memberikan cukup energi bagi atom untuk mengalami eksitasi elektron, yang dilihat para penggalau di tengah malam di bawah sana sebagai pendaran cahaya. Kombinasi dari jutaan, bahkan milyaran berkas cahaya akibat eksitasi ini akan terlihat oleh manusia di darat sebagai sebuah tirai cahaya warna-warni (umumnya hijau dan merah) yang terus bergerak secara aktif dari waktu ke waktu. Kini tirai cahaya tersebut dikenal sebagai aurora.

Tetapi, tentu saja, jika efek dari sebuah kejadian bernama badai matahari 'hanyalah' tirai cahaya raksasa yang justru mengagumkan untuk dipandang, tidak akan ada ribut-ribut mengenai badai matahari akan menyebabkan kiamat. Dan, mengingat badai matahari cukup ramai dibicarakan ketika isu kiamat 2012 masih hangat-hangat, pres dari oven, masih ada efek lain yang perlu dibicarakan.

Ngulang sedikit dari yang sudah-sudah, sejumlah partikel bermuatan akan memasuki atmosfer Bumi dari daerah dekat kutub magnet, baik selatan maupun utara. Sebagian besar dari mereka akan bertabrakan menghasilkan cahaya aurora, tetapi sebagian yang lain akan lolos. Kemana yang lain ini akan pergi? Bisa kemana saja. Kebanyakan jatuh ke permukaan yang tak terjamah manusia dan lalu terlupakan. Tetapi akan ada saja yang menyusup ke dalam peralatan elektronik, dan kemudian memenuhinya begitu rupa sehingga sang alat elektronik tak kuasa lagi menampung mereka dan kemudian rusak. Sejarah mencatat, antara tanggal 1-2 September 1859, semburan Matahari terbesar yang pernah terdokumentasikan terjadi dengan nama Peristiwa Carrington, dan sejumlah besar partikel bermuatan dihembuskan langsung ke arah Bumi, hanya dalam waktu 17,6 jam. Kemudian, aurora yang biasanya teramati di lintang tinggi (sekitar 60 derajat), pada malam itu teramati hingga sejauh Kuba dan Hawaii. Dan, efek yang menyusul adalah rusaknya jaringan kabel telegraf secara luas di Eropa dan Amerika Utara, akibat partikel bermuatan yang memenuhi kabel sedemikian rupa, hingga beberapa kabel memercikkan bunga api dengan sendirinya. Kejadian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pada 13 Maret 1989 (hampir tepat 24 tahun yang lalu!), saat gelombang besar partikel bermuatan merusak fasilitas pembangkit listrik di provinsi Québec, Kanada, dan menyebabkan kegelapan total hampir di seluruh penjuru provinsi selama 9 jam.

Berbagai efek badai geomagnetik akibat partikel angin Matahari
Dan selain pada alat di Bumi, satelit tentunya lebih rentan terserang penyakit partikel ini. Dengan cara serupa sebagaimana rusaknya berbagai perangkat elektronik di Bumi, satelit bisa pula mengalami gangguan akibat partikel-partikel angin matahari ini. Bahkan, efeknya akan lebih dahsyat, mengingat posisi satelit yang perlindungannya lebih minim dibanding perangkat di permukaan. Satelit yang melintasi daerah dekat kutub secara teratur, tentunya akan lebih berisiko terserang partikel angin Matahari, jika mengingat daerah kutub adalah 'jalan masuk' bagi partikel-partikel tersebut.

Daritadi banyak membahas mengenai efek buruk dari apa yang disebut 'badai Matahari', mungkin di benak beberapa dari kalian muncul pertanyaan selanjutnya: Adakah keuntungan dari adanya badai Matahari? Tentu saja ada. Meskipun memang tidak secara langsung. Dengan adanya badai Matahari, manusia bisa mendesain perangkat yang lebih kuat untuk dioperasikan di luar angkasa. Dengan adanya badai Matahari, para penghuni daerah dekat kutub dapat menyaksikan tontonan aurora, yang relatif tidak berbahaya meskipun di atas sana terjadi entah berapa banyak tumbukan skala atom.

Jumlah bintik Matahari yang teramati dalam 400 tahun pengamatan
Dan berkat adanya badai Matahari pula, terutama siklus 11 tahunan-nya, astronom bisa mempelajari aktivitas Matahari dan melihat pengaruhnya untuk Bumi selama ini. Sebagai contoh, antara tahun 1645-1715,  ada sebuah periode bernama Maunder Minimum, dimana bintik matahari teramati sangat sedikit. Bahkan korona tidak terlihat ketika astronom mengamati gerhana matahari total. Yang unik, periode tersebut bertepatan dengan 'zaman es kecil' yang melanda Eropa dan Amerika Utara, memicu dugaan keterkaitan aktivitas Matahari dengan suhu Bumi.

Dengan diketahuinya siklus keaktifan Matahari tiap 11 tahun, dan siklus pembalikan medan magnet tiap 22 tahun (tiap 11 tahun medan magnetnya membalik), tentunya para astronom akan bisa memprediksi kapan Matahari akan mencapai periode keaktifannya lagi. Salah satunya adalah saat ini, yang diduga akan mencapai puncaknya di pertengahan 2013. Meskipun begitu, siklus keaktifan Matahari ini secara umum dinilai tak cocok dijadikan bahan dasar isu kiamat. Nyatanya, sampai saat ini kehidupan di Bumi masih bertahan, setelah melalui entah berapa kali siklus keaktifan Matahari. Dan lebih jauh lagi, siklus keaktifan Matahari yang kini sedang berlangsung dinilai sebagai yang terlemah dalam 80 tahun terakhir. Setidaknya tidak perlu khawatir akan segala macam isu kiamat, terutama dalam waktu dekat. Apalagi jika kiamatnya disebabkan semburan Matahari mencapai Bumi, sebagaimana pernah digambarkan salah satu film. Jika itu betul-betul terjadi, mungkin Matahari sendiri sudah berpindah menuju Bumi. Dan bagaimana ini bisa terjadi, kalaupun mungkin terjadi? Tidak perlu dipikirkan lah yang semacam itu.

Yah, sudah dulu untuk edisi yang cukup panjang ini. Nantikan saja edisi selanjutnya, nanti!
(:g)

Catatan: Tulisan ini juga dimuat di majalah online 1000guru, edisi Maret 2013, dengan beberapa perubahan.
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...