"Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat."
(Pepatah, sumber tak diketahui)
tetapi...
"Berhentilah menuntut ilmu, karena sesungguhnya ilmu tak bersalah."
(sumber tak diketahui)
gambar ini diambil dari artikel 42 |
Tetapi, disini saya hanya akan bahas hal yang sederhana mengenai pendidikan.
Bicara soal pendidikan, tentu tak akan lepas dari yang namanya belajar-mengajar. Kegiatan ini sebenarnya memiliki banyak bentuk, dan banyak dipraktekkan oleh miliaran orang di seluruh penjuru bumi, kadang tanpa mereka sendiri sadar bahwa tindakannya itu adalah bentuk mengajar ataupun bentuk belajar. Lalu, mengapa banyak orang yang tak menyadari ketika ia sedang belajar, ataupun mengajar? Hal ini, berdasarkan pengamatan beberapa pengamat, dikarenakan dogma yang terbentuk dalam kebanyakan interaksi sosial warga Indonesia, secara tak langsung mendikte warga, bahwa belajar dan mengajar identik dengan ruang kelas. Tentu saja, sebenarnya maknanya lebih luas dari itu.
Tetapi, sebelum itu, apa sebenarnya belajar/mengajar itu? Berikut definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) akan keduanya:
belajar /bel·a·jar /v 1 berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu: adik ~ membaca; 2 berlatih: ia sedang ~ mengetik; murid-murid itu sedang ~ karate; 3 berubah tingkah laku atau tanggapan yg disebabkan oleh pengalaman;~ jarak jauh Dikcara belajar-mengajar yg menggunakan media televisi, radio, kaset, modul, dsb, pengajar dan pelajar tidak bertatap muka langsung; ~ tuntas Dik pendidikan (pengajaran) yg dilakukan secara menyeluruh hingga siswa berhasil;
mengajar /meng·a·jar/ v memberi pelajaran: guru ~ murid matematika; 2 melatih: ia ~ berenang; Kakak ~ menari; 3memarahi (memukuli, menghukum, dsb) supaya jera;
Oke, kalau itu definisi belajar dan mengajar menurut KBBI. Dari definisinya saja jelas, bahwa belajar bukan hanya sebatas mendengarkan penjelasan guru di kelas. Jauh, jauh lebih luas dari itu.
Ambillah sebuah langkah keluar di pagi hari, perhatikan berjalannya roda kehidupan sosial di masyarakat. Hanya dengan mengamati, kau bisa belajar banyak hal.
Kau bisa belajar konsistensi, keteguhan dan kesabaran dari pedagang, yang selalu siap datang pagi-pagi ke lokasi dagangnya, dan bersiap menyambut rezeki baru yang diberikan padanya hari itu, melalui konsumen yang senantiasa membutuhkan kehadirannya untuk menunjang sebagian kebutuhan hidup mereka. Kau bisa belajar bagaimana semangat yang sama, walaupun sedikit berbeda penerapannya, disandang oleh para karyawan dan pelajar yang sejak pagi buta telah sampai di lokasi perhentian angkutan umum, yang akan membawa mereka menuju tempat perjuangan mereka untuk meneruskan hidup.
Kau bisa belajar dari sebuah pohon besar di pinggir jalan, tentang membentuk akar kehidupan yang kuat supaya bisa tetap bertahan di tengah derasnya hujan badai dan teriknya sinar matahari. Bahkan dengan semua terjangan itu, sang pohon besar masih mampu memberikan kesejukan dan tempat berteduh bagi orang-orang yang berada di dekatnya, yang tenggelam dalam rutinitasnya di tengah kerasnya dunia jalanan. Meskipun sang pohon hanya mendapat asap knalpot dan debu, atau bahkan paku-paku untuk memasang iklan liar yang merusak keindahannya. Dan bahkan kau juga bisa belajar dari awan, yang berarak di angkasa. Pernahkah kau perhatikan, bagaimana awan tak pernah berkelana sendirian? Selalu ada paling tidak beberapa awan, entah besar atau kecil, yang menemani sebuah awan dalam mengarungi langit. Kebersamaan membuat kelompok awan itu tetap ada, tak kalah oleh deru angin atau sinar matahari. Bahkan dengan itu, mereka bisa 'mengumpulkan' awan-awan lain, dan menghimpun kekuatan untuk membangun awan yang besar, yang pada gilirannya mencurahkan hujan atau salju di berbagai daerah di muka bumi.
Haissh, malah jadi melantur. Tapi tetap nyambung, mudah-mudahan. Intinya, belajar bisa dimana saja, kapan saja, dari mana saja. Kalau dia mendapat lebih banyak ilmu dari sekolah yang relatif 'sebentar' dibanding di luar sekolah, artinya waktunya di luar sekolah kurang dimanfaatkan, atau dia terlalu sibuk belajar (dengan gaya konvensional) di kelas.
Lalu, mengajar? Mungkin di hati kecil sebagian dari kalian sejenak terbersit, Apa asiknya mengajar? Saya pernah menghadapi beberapa saat semacam ini, terutama ketika guru (biasanya wali kelas) saya menanyakan cita-cita. Komentar mereka, yang paling ingat sampai sekarang, adalah sebaris kalimat singkat ini: "Tidak ada yang mau menjadi guru?". Bagi beberapa siswa, sepertinya tidak salah kalau tidak mau menjadi guru. Toh, cita-cita mereka sudah diatur begitu tinggi, mengapa harus menjadi guru? Tetapi ketika membayangkan alasan tersebut (dan alasan lainnya, misalkan 'capek', 'sibuk'), lalu mengingat mimik sang guru ketika bertanya tadi, dan mengingat bagaimana mereka mengajar selama ini di kelas, rasanya jadi muncul sedikit ironi.
Bukan karena mereka tak ingin menjadi guru, tetapi karena alasan di baliknya. Terkadang, dengan banyaknya profesi yang terlihat 'menjanjikan' ataupun 'keren', ada saat-saat dimana guru kurang mendapat tempat di hati para siswa. Padahal guru itu sebuah pekerjaan yang mulia. Yang membantu ketika dengan memberi pengetahuan tentang dunia di sekitar, yang mungkin belum tentu bisa diberikan orangtua karena perbedaan bidang keilmuan. Yang membantu mayoritas anak-anak muda dalam membentuk interaksi sosial yang seimbang dengan sesamanya, yang lebih tua ataupun yang lebih muda. Tak heran, topik guru sering diangkat dalam lagu hasil bentukan para penulis lagu Indonesia, khususnya lagu untuk pendidikan, disamping tema pemandangan alam atau keluarga. Bahkan, tanpa menjadi guru secara 'resmi' (yaitu tanpa mengajar di kelas, sebagaimana definisi yang umum dipahami masyarakat), banyak manfaat yang bisa diperoleh dari mengajar. Bahkan mengajar yang tak langsung, lewat nasihat atau bahkan sindiran, juga memberi manfaat, entah ke pengajar atau orang yang diajar Salah satu contohnya dulu pernah saya pasang di artikel 10.
Untuk bagian terakhir dari artikel ini, saya hanya ingin berbagi sedikit cerita. Saya sendiri, dulu, juga memandang dunia mengajar sebagai dunia yang 'tidak seru' dan 'membosankan'. Padahal, tanpa saya sadari pula, saya terkadang sedikit-banyak 'mengajar': biasanya ketika ada yang menanyakan solusi sebuah soal, atau mengenai hal lain yang berkaitan dengan pengetahuan.
Bahkan, baru di masa MAN lah saya menyadari bahwa semua itu sebenarnya adalah contoh kecil dari sebuah mengajar. Selain itu, karena berkecimpungnya saya di dunia olimpiade, khususnya astronomi, saya mulai sering ditanyai oleh beberapa 'adik kelas' yang ingin mengenal lebih jauh tentang astronomi, baik dalam lingkup sekolah ataupun di media sosial. Meskipun memang, yang terakhir ini baru banyak dilakukan setelah saya menjejak tingkat terakhir di MAN, dan juga setelah kelulusan.
Dari semua adik kelas itu, ada seorang, yang sudah begitu rajin bertanya-tanya mengenai astronomi, bahkan ketika saya baru kelas sebelas. Frekuensi bertanyanya, yang saya yakini bertaraf 'Lebih dari sekadar menyebalkan' bagi sebagian besar orang, apalagi bagi
Tak tahan, akhirnya saya mulai meladeni sedikit demi sedikit pertanyaannya, yang berlimpah, entah darimana ditambang. Mungkin nyolong sedikit dari Grasberg. Yang mengherankan, seiring berjalannya waktu, saya makin terbiasa meladeni pertanyaan adik kelas yang ingin bertanya, berdiskusi, atau sekadar menanyakan sudut pandang saya dalam menyikapi sebuah fenomena sosial. Saya bisa menghabiskan waktu sejam hanya untuk berbual tanpa juntrungan, yang tadinya saya maksudkan sebagai ucapan motivasi.
Dari mengajar, kita bisa belajar banyak hal. Belajar mendengarkan pendapat orang lain, karena tidak selama pendapatmu benar. Belajar menyikapi dengan kesabaran, karena mereka datang dengan semangat mendapat ilmu. Belajar menyampaikan, supaya maksud ucapanmu bisa ditanggapi dengan baik. Dan banyak lagi yang lain.
Dan seperti sebelumnya dicatat, belajar bisa dari mana saja, termasuk dari mengajar. Dan dari pelajaran tersebut, kau bisa menerapkannya untuk mengajarkan kepada orang yang belum tahu, sambil kemudian mempelajari bagaimana cara pandang seseorang, dan juga cara yang baik untuk menanggapinya.
Teruslah belajar, tetapi jangan lupa untuk mengajarkan ilmu yang kau dapat. Supaya ilmu tersebut tak diam di tempat. Sebuah sumber pernah mengatakan, celakalah orang berilmu, yang ilmunya tak bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Memang ini adalah siklus yang tiada berakhir. Tetapi karena siklus tersebut bergelimang manfaat, apakah pantas untuk ditinggalkan?
(:g)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar