Selasa, 29 Oktober 2013

Article#227 - Kutipan Hari Ini

"The word that you hold in your mouth is your slave. The word that you say is your master."

~requoted from Ibn Qayyim al-Jauziyya (691-751 AH/1292-1350 CE), an Islamic scholar, jurist and theologian. Quoted from The Muslim Show at Tuesday, 29th October, 2013, 08:11 (UT+9)

source
Lanjutkan baca »

Minggu, 27 Oktober 2013

Article#226 - Memulai Perputaran: Menggerak Jiwa Yang Terserak

Changes, visible changes, sky looking so forlorn
It looks like the world's been born
On one more rainy day
Trying to see the sunlight, my heart's crying out loud

I try to see through the clouds
On one more rainy day
One more rainy day, once again my mind is grey
This is what a rainy day can do
One more rainy day, one more rainy day
(Jon Lord & Rod Evans, 1968. One More Rainy Day)
Perlu sedikit perasaan kedinginan yang membuat menggigil ketika bangun pagi, bagi para bocah tengil untuk tersadarkan kembali akan sebuah kenyataan 'pahit'. Kenyataan yang mungkin selama ini telah mereka tampik sedemikian rupa, namun kini tak lagi terelakkan. Walaupun mereka berusaha mengurung diri dalam sebuah delusi kehangatan bernama jaket pun, ketika mereka memutuskan untuk menantang udara luar yang balas menantang mereka, sekali lagi, alam membuktikan bahwa rasa dedaunan nggak bisa bohong. Dedaunan yang mulai mencoba-coba asiknya menjadi anti-meinstrim dengan memerahkan warnanya, perlahan menjadi saksi yang tak terbantahkan akan datangnya musim yang (katanya) galau dan membuat gundah.
Musim gugur.

Disini, sinar Matahari begitu kuat, para daun masih belum berani pamer warna-warninya.
Beriringan dengan dedaunan yang mulai menggeliat meloncati kemeinstriman, perlahan isi termometer pun surut di seluruh penjuru negeri. Termometer yang surut selalu berarti hembusan angin yang makin pandai membuat nyali kecut, membuat jiwa kalang kabut meskipun sudah bertumpuk dua lapis selimut. Para petualang yang semula begitu betah melanglangbuana dengan kostum a la kadarnya, kemudian bernasib sama seperti bocah tengil diatas. Mereka berusaha menjaga dirinya tetap hangat dan nyaman, melapisi diri dengan jaket beberapa lapisan. Tetapi, ketika keinginan bertamasya dikalahkan oleh deru musim gugur yang tak mengenal balada nestapa, akhirnya kamar dengan penghangat dan selimut lah yang menjadi perlindungan terakhir mereka.
Tentu saja, tidak semua orang bersikap demikian. Ada saja orang yang merasa akan menjadi 'anti-meinstrim' dengan tidak menggunakan pemanas sama sekali selama periode dingin dalam beberapa bulan berikutnya. Orang-orang ini, begitu pongahnya, yakin mereka bisa berjalan keluar dalam hembus angin musim gugur, tanpa perlu memakai berlapis baju tebal yang tampak membuat raga terkubur. Kata mereka, cukup dengan keteguhan hati dan kesungguhan niat, mereka bisa melalui semua cobaan.

Seperti kata orang bijak, batasan antara tekad yang kuat dengan kebodohan terkadang begitu tipis. Lebih tipis dari halaman pembuka skripsi.

Berbeda dengan musim-musim yang sebelumnya telah diarungi dan diselami oleh para bocah tengil ini, musim gugur kali ini menandai alur musim kedua untuk ditempuh para bocah tengil. Dalam tahun kedua, artinya sudah ada yang menyusul dalam titian jalan, entah untuk menjadi keren atau untuk dibuli. Dalam tahun kedua, artinya seperempat titian menuju jenjang pertama telah selesai dilalui. Dalam tahun kedua, artinya fase kedua dari keran aliran kehidupan yang mampetnya tidak beraturan itu untuk menyala lagi (mudah-mudahan). Dan dalam tahun kedua, artinya secara tak resmi, 'status' sebagai 'maba' dilepas dan digantikan oleh 'matu'. (Re: mahasiswa tua). Eh nggak juga sih.

Bagi si bocah tengil, cukup menarik baginya ketika mendapati, betapa semangatnya menghadapi hari-hari melanjutkan perjalanan di kampus terasa demikian kontras dengan semangat pada momen yang serupa, di musim gugur yang lalu. Saat itu, masa studi dari matahari baru terbit sampai matahari terbenam lagi pun dilahapnya dengan penuh ceria bangga. tetapi, saat ini, ketika waktu studi telah tereduksi menjadi sedikit mendahului siang hari, semangat berapi-api itu pun pergi. Meninggalkan jiwa ini dalam sunyi. Si bocah tengil berpikir, mungkin semangat mereka saat itu masih tinggi, dan sebagai maba mereka ingin senantiasa unjuk gigi. Apa daya, akibat dinamika yang mereka alami, gigi-gigi itu ada yang tak tersentuh sikat gigi dan menjadi tak layak dipertunjukkan lagi. Mungkin karena ekosistem gigi sudah stabil dan harus terbiar abadi. Saya tak mengerti.

Dengan terus bergulirnya paro tahunan ketiga ini pun, masalah klasik masih saja mengawang-ngawang di kepala-kepala si bocah tengil. Apalagi kalau bukan masalah keran aliran kehidupan, yang mampetnya seolah tak jua kelar. Mungkin mirip dengan kondisi bocah tengil yang sedang pilek, terjebak antara kesulitan bernafas melalui saluran yang tersumbat, yang didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas saluran yang tersumbat bisa diperbaiki segera. Akan tetapi, saluran yang terkuak akibat lepasnya sumbat justru mendorong sumbat lain untuk segera menghuni saluran tersebut dengan bahagia.

Si bocah tengil sudah mengikrarkan bahwa keran aliran kehidupan akan diganti sekali tiap tahun, yang tadinya dicanangkan supaya aliran kehidupan tetap terjaga kualitas dan kuantitasnya. Serta, bocah tengil berharap pula, supaya keran yang diperbarui tidak tersendat-sendat layaknya pemadat yang berusaha memancing sidat dalam pemandian air hangat. Masalah muncul ketika si bocah tengil menyadari, bahwa mereka yang seharusnya datang dengan baik dan memperbarui keran alian kehidupan ini, adalah mereka para pelanglangbuana yang tak betah dengan menghampirnya hembus angin utara. Duh. Alhasil, mereka begitu kuat berlindung dalam sangkar kenyamanan mereka yang membahagiakan, juga membutakan dari cerita dalam kisaran penglihatan.
Sampai saat ini, si bocah tengil sedang mencoba menanamkan jaket kehangatan kepada sang pengganti keran, supaya mereka tergerak untuk membantu bocah tengil yang mulai menggigil diatas kedua sikil dalam pemikiran mereka yang mengerikil. Harapannya sih, tak perlu menggunakan sundutan api supaya si pengganti keran yang terkenal malas gerak ini terdesak dan sejenak bergerak.

Tetapi, di sisi lain, ada sebaris naskah asik yang mungkin layak ditelisik.
Secarik berita tersampaikan dari kumpulan tatah batu mulia di garis pisahan bola dunia, akan beberapa individu yang telah dipanggil untuk menjalankan perjalanan panjang, menuju perwakilan di kancah antarbangsa. Perlahan, individu terkait ini bergerak menuju tempat pengolahan bagi masing-masing mereka, yang telah menyiapkan sederetan cobaan di luar nalar manusia standar untuk mereka pecahkan dengan pikiran sadar.
Tetapi (untungnya, dan semoga), individu-individu ini bukanlah robot-robot pembelajar tanpa lelah yang menutup diri dari keberagaman kehidupan. Apalagi jika hanya demi sebuah capaian diatas kertas koran dan ukir di kepingan. Perolehan yang maknanya akan terkikis seiring zaman. Si bocah tengil mengamati mereka sebagai individu yang ditempa oleh sebuah keberagaman kehidupan, tumbuh besar bersamanya, dan menjalin keakraban antar keping-keping daratan yang entah dipisahkan atau dihubungkan oleh sebilas lautan. Kumpulan individu ini di kemudian hari akan menempuh pengolahan yang entah akal sehat siapa bisa menerima, tetapi dalam kesatuan yang tak terpikirkan, mengenali ragam perbedaan antar setiap insan. Dari sekadar beda tutur lisan, hingga pencemaran akal pikiran yang tak terperikan. Dari sekadar hidangan yang selalu dihabiskan, hingga kerjasama supaya yang telat tidak kebagian. Dari mengisi waktu luang dengan kesepian, hingga telatnya bangun yang menggegerkan. Dari sekadar berkelana dengan mobil carteran, hingga tersesat dan tak tahu arah tujuan. Dari materi olahan yang menjemukan, hingga soal uji yang menggetarkan. Dari saripati kenangan yang terus terteteskan, melimpahi daftar yang tak akan sirna ditorehkan.

Si bocah tengil sempat akrab dengan pola penempaan semacam ini dalam beberapa waktu, maka ia yakin, semangat yang telah digoreskan oleh para individu yang sedang menuju pengolahan itu, dapat diadaptasi bagi pribadi si bocah tengil sendiri. Karena, dengan mengenali keragaman dan hal yang asing di mata, para jiwa-jiwa akan kembali disadarkan, dan terus dibangunkan. Bahwa jiwa yang buas, nyalinya padam di tengah alam yang lepas. Bahwa juang yang keras, tak akan melawan kebenaran yang tegas. Bahwa langit-Nya luas, dan penglihatan mereka berbatas. (-> kalimat terakhir diadaptasi dari sini)
Seiring bergulir masa dan mengalirnya kata-kata, bocah tengil sedang sibuk memperbaiki jiwa, menyambut keras angin perubahan yang siap menghadang. Semoga setiap titik juang yang menyala tiada bermula dari prasangka tanpa jiwa, apalagi kehampaan akan pemaknaan, yang akan dengan mudah menyesatkan.
Gerimis pagi di kota pelajar,
Menjerat jiwa-jiwa tanpa dasar
Melebur debu sepi dari belukar
Tiupkan rindu pada kami dalam sukar
Sentuhkan haru pada gelung tikar
Yakinkah kau tiada minat keluar?
Menyesap sejuk barang sebentar?

Hangatkah aku dalam lagak durjana?
Mendidih perih yang kukira datang
Melambai di kejauhan, laksana dayang
Menertawakanku dan lalu hilang

Lihatlah, kawan yang baru tersadar
Bahkan pelangi terselip keluar

Mengucap salam dengan semburat sinar
Atas kita kita yang merasa pintar
Mereka yang tentram atau terlantar

Yang beringsut dari yang terkapar
Mari bersiap menyongsong fajar

Menghadap nyata yang tampak tak wajar

Di balik desau butir hujan
Biarkan jiwa saling berhadapan
Membalas cerita hening kepalsuan
Tentang jujur yang terembus awan
(Bocah Tengil, 2013. Hampar Fatamorgana)

Lanjutkan baca »

Kamis, 24 Oktober 2013

Article#225 - Kutipan Hari Ini

"Tahukah kamu, menjelaskan kenyataan tak berpengaruh apa-apa! Kamu boleh bilang kalau di setiap pertemuan ada perpisahan, sebagaimana dikutip dan dibunyikan jutaan yang lain di seantero dunia.

Tetapi, sudah cukup aku diteriaki akan kenyataan. Aku hanya bisa meyakini, bahwa jika setiap pertemuan punya perpisahannya, setiap perpisahan punya pertemuannya.
Meskipun aku harus rela membiarkan jiwaku tersiksa dalam penantian.

Kamu boleh bilang kalau takdir sudah menentukan perpisahan ini. Tetapi, aku juga boleh kan, meyakini bahwa takdir akan mempertemukan kita kembali?"

~Dikutip dari ketidakjelasan pikiran dan naskah yang masih tersimpan. Persoalan multitafsir dan konsekuensi yang mungkin menyertainya ada di luar tanggung jawab pengutip.
Dicetuskan pada Kamis, 24 Oktober 2013, 23:32 (UT+9)


Lanjutkan baca »

Rabu, 23 Oktober 2013

Article#224 - Hari Yang (Dibuat) Buruk

Sial!
Entah kemana perginya batu malang yang kutendang tadi itu. Iya, aku tahu ia sama sekali tidak bersalah, tetapi dalam saat seperti ini, aku merasa ingin menumpahkan segala emosiku.
Kenapa semua usahaku akhir-akhir ini sama sekali tidak dihargai?
Aku kembali mengulang-ngulang semua hal yang sudah berjam-jam berputar di kepalaku.

Ujian termodinamika yang lagi-lagi tidak tuntas. Padahal sudah kurelakan diriku tidak tidur semalaman, belajar supaya kali ini lulus ujian.
Proposal karya ilmiah yang lagi-lagi ditolak. Karya yang sudah kurancang dalam beberapa pekan belakangan, ditolak begitu saja oleh si ketua klub karya ilmiah itu.
Teman-teman yang (lagi-lagi..?) pergi jalan-jalan tanpa mengajak. Apalagi, kudengar mereka mengadakan pesta ulang tahun.

Yah, mungkin aku memang bukan bagian dari mereka?
Aku berjalan gontai menuju rumah kost. Aku bersiap melepas sepatu, melempar tas ke atas ranjang, dan merebahkan diri, supaya tidak dibuat tambah pusing.
Aku membuka pintu...
DAR!
Suara yang membuatku terlonjak ini, hanyalah awal dari kejutan berikutnya yang muncul.
Sekerumunan teman-temanku langsung datang mengerubungi, tanpa ampun seperti mengerubungi daging kurban. Untung aku belum disembelih.

"Selamat ulang tahun, Denis!"

Aku hanya melongo.
Benar juga. Hari ini kan 24 Oktober, ya.
"Elo kemana aja, Denis? Lama sekaali!" sahut Andre yang menepuk-nepuk pundakku begitu keras.
"Ini, ada telepon dari Bu Linda, dosen termo," sambar Tono yang menydorkan hapenya ke telingaku.
Aku menoba mendengarkan suara Bu Linda di tengah kerusuhan di pintu rumah kostku itu.
"..Andre, maaf ibu tadi menuliskan nilaimu tidak tuntas. Andre dan kawan-kawan yang meminta begitu, katanya untuk kejutan ulang tahunmu hari ini. Nilaimu bagus kok, jauh diatas nilai sebelum-sebelumnya. Selamat ulang tahun ya, Andre," Bu Linda berseru dari seberang telepon. Aku bisa mendengar sedikit tawa di suaranya.
Hahaha. Ini permainan mereka, rupanya.
Seolah belum puas menepuki punggungku yang pasti sekarang sudah merah, Andre menatapku lagi dengan gelak tawa. Mungkin karena ekspresiku yang masih dalam fase terbengong-bengong.
"Hahaha... Denis, elo terlalu sibuk sih! Ngerjain proposal lah, apa lah, sampai lupa sama kita-kita. Santai aja, proposal elo gue terima kok. Tapi ya, temen-temen elo juga diajak atuh merancang proposalnya. Kasian tuh mereka nganggur.." Masih tertawa, Andre menawariku segelas sirup.
Yang lain ramai menyuitiku, melempariku dengan kaus kaki, baju kotor, atau entah apa itu. Tetapi aku hanya duduk, terdiam, sejenak.

Mungkin hidup yang menjemukan kualami karena terlalu banyak prasangka.
Lebih baik kuhapus saja semua prasangka itu, sekarang.
Mencoba memasang wajah bersahabat, aku mulai meneguk sirup yang diberikan Andre.
Tanpa prasangka apapun.
Lanjutkan baca »

Senin, 21 Oktober 2013

Article#223 - Temaram Tirai Senja (3)

Cerita sebelumnya: Perlahan, aku mulai merasa paham akan apa yang terjadi. Tetapi, efek sampingnya, aku menjadi pribadi yang jeblok. Hanya gara-gara masalah yang mungkin sepele ini, aku diberi peringatan secara tidak langsung untuk memperbaiki hasil belajar, atau aku akan didepak dari sekolahku itu. Seolah belum cukup, Tizar datang dan juga memberi peringatan, walaupun dari sisi yang berbeda. Ada yang membuatku bingung dari kata-kata Tizar. Ada apa di balik kata-kata Tizar saat itu? Dan apa ada kaitannya dengan Tiara?



Dalam beberapa saat, aku hanya termangu. Dan kemudian mengangguk pelan.
"Benar-benar ya, Tizar itu," kembali Tiara bersuara. "Dia minta kisahnya sendiri tak diberitahukan ke orang lain, tetapi ia sendiri malah menyebarkan kisah orang lain."
Aku makin bingung. Tetapi, mungkin di balik kabut yang ini akan terbersit cahaya.
"Bardi, kamu bilang si Tizar bicara soal cewek yang merawat abangnya dalam tujuh tahun terakhir. Nah. Tanpa bermaksud menyombong, sebenarnya, saat ini juga, kau sedang berbicara dengannya."
Penjelasan tidak terduga ini hanya membuatku terkesiap. Tetapi lebih karena pikiran menyakitkan dalam kepalaku: Jika Tizar membicarakan Tiara sedemikian rupa, maka aku tak lagi punya peluang.

Duh, kenapa lagi-lagi itu yang kupikirkan? Di saat seperti ini?


Tiara sepertinya bisa membaca apa yang ada dibalik ekspresi terkejut yang menghiasi wajahku untuk beberapa saat.
"Hei, Bardi, hei. Jangan berpikir kemana-mana dulu. Kamu belum tahu keseluruhan ceritanya."
Sepertinya setelah ini semua akan jelas. Aku kini memasang posisi serius, siap mendengarkan.
"Sebelumnya, janji ya, kau nggak akan bilang siapapun tentang ini. Tizar tidak mau ada yang tahu cerita lengkap dari masa lalunya, tetapi aku yakin kamu bisa jaga rahasia." Aku mengangguk. Bersitan yang biasanya akan muncul dalam kondisi semacam ini, kini urung tampil.

"Baiklah kalau begitu. Si Tizar bilang kalau sejak tujuh tahun lalu abangku lumpuh, tetapi ia tidak bilang kan, lumpuh karena apa. Yaah, sebenarnya, dia lumpuh akibat terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil. Di kecelakaan yang sama, di mobil yang sama, kedua orangtua Tizar dipanggil Yang Maha Kuasa."
Kini aku tak sanggup berkata-kata lagi.
"Mungkin kamu tak mengerti, maka akan kujelaskan sedikit. Ayah Tizar adalah kakak dari ibuku. Tizar adalah saudara sepupuku.
"Aku sendiri tak tahu detailnya bagaimana. Tetapi, dari apa yang diberitahukan oleh ibuku, sekitar tiga pekan setelah kejadian itu, Tizar pindah sekolah ke suatu sekolah yang jauh. Kata ibuku, saudara ibu yang paling tua, namanya Paman Dirga, memutuskan untuk mengasuh Tizar dan kedua adiknya yang masih kecil, termasuk membiayai pendidikan Tizar. Tizar dipindahkan ke sekolah yang jauh ini, karena Paman Dirga merasa sekolah tersebut sangat bagus untuk mendidik karakter seorang anak pra-remaja macam Tizar saat itu. Paman Dirga dulu juga disekolahkan di sekolah yang sama. Dan Tizar tinggal bersama kakek dan neneknya–yang juga kakek dan nenekku, sama seperti Paman Dirga dulu.
Sejak itu, semua kembali berjalan seperti biasa. Kemudian, di Lebaran lima tahun yang lalu, terjadi sebuah keributan saat keluarga besar kami berkumpul."

Tiara menghentikan ceritanya sejenak, mmenghela nafas.
"Paman Dirga menemukan setumpuk uang di dalam tas Tizar saat ia membereskan rumah untuk menyambut anggota keluarga yang lain. Kata Tizar, itu uang hasil usahanya, dan Paman Dirga waktu itu sangat waswas, kalau-kalau 'usaha' yang dimaksud Tizar adalah usaha yang tak baik. Tetapi Tizar nggak bilang apa-apa, selain ucapan yang waktu itu kudengar sendiri: 'Ini uang untuk biaya sekolah adik!'.
"Sepertinya, karena Tizar menyebutkan kata 'sekolah', Paman Dirga akhirnya memutuskan untuk menelepon seorang guru di sekolah Tizar. Guru ini guru BK, dan beliau ini adalah guru yang menerima Tizar waktu dipindahkan dulu, begitu cerita ibuku. Menurut cerita beliau, ia mendengar kabar bahwa Tizar selalu menitipkan penganan setiap kali ia datang ke sekolah, dan mengambil hasil penjualannya saat pulang.
"Kabar ini diiyakan Nenek esok harinya, yang menambahkan, jika penganan tersebut sebenarnya dibuat secara rutin oleh Nenek untuk pengajian di masjid RTnya, tetapi Tizar meminta sedikit untuk dijual di kantin sekolah.
Yang kuingat, setelah itu Paman Dirga bertanya kepada Tizar, kenapa dia masih saja mengumpulkan uang untuk sekolah adiknya. Kamu tahu apa kata Tizar? Aku belum ngasih apa-apa ke adek selama ini.

Aku makin terheran-heran. "Dia benar-benar bilang gitu?!"
"Ya. Kamu kaget kan? Begitu juga anggota keluarga yang lain saat itu."
"Tapi... dia bahkan belum..?"
"Iya, aku paham. Begitulah Tizar sejak dulu, tegas, blak-blakan, dan terutama sejak kecelakaan itu, jadi sedikit keras. Tetapi, si Tizar selalu bisa mengejutkan orang–bahkan ketika ia sendiri tak menyadarinya.

"Paman Dirga dan anggota keluarga yang lain khawatir Tizar tercemar pergaulan yang buruk, maka setelah tiga tahun di SMP yang sama denganku, ia diikutkan dalam tes penerimaan siswa baru di SMA kita sekarang ini. Aku sendiri sebenarnya juga disarankan masuk kesini sebelumnya, tetapi aku selalu bisa mengelak dengan alasan merawat abangku. Baik SMPku dulu, dan SMAku sebelum pindah kesini, semuanya dekat dengan rumah, sehingga aku bisa lebih banyak meluangkan waktuku bersama abang. Sekarang, berhubung abangku sudah cukup sehat, aku tak lagi punya alasan untuk mengelak, maka akhirnya aku pindah."

Aku mencoba mereguk isi teh dalam botol yang masih terisi separuh. Seolah dengan itu, cerita yang baru saja dituturkan Tiara akan mampu kucerna lebih mudah.
"Kamu teman baiknya Tizar?" Tiba-tiba Tiara bertanya.
"Mmm, aku sendiri tak yakin apakah bisa disebut 'teman baik', tetapi kau bisa anggap begitu. Ada apa memang?"
Sebenarnya aku sendiri tak yakin, apakah bertanya karena ingin tahu, atau karena ingin memperlama obrolan dengannya.
"Maksudku, Tizar sampai menyebut-nyebut tentang aku di hadapanmu. Setahuku ia tidak melakukan hal semacam itu dengan sengaja. Kalau ia sedang dikuasai emosi saat itu, mungkin seperti orang bilang, kepedulian akan sahabat melebihi logika dan akal sehat."
"Apa mungkin ada hubungannya dengan langit senja? Aku duduk di atas gawang dan memandangi langit senja, saat ia memberitahuku yang tadi itu."
"Ohiya, benar juga, ya. Senja. Tizar kadang suka emosional mengenai yang satu itu. Ingat kejadian beberapa waktu lalu kan? Dulu di SMP dia juga beberapa kali melakukan hal yang sama. Mungkin karena.."
Aku memasukkan botol teh yang masih terisi separuh ke dalam tasku.
"Kurasa aku bisa melihat alasannya, Tiara. Sudahlah, kau sudah terlalu banyak bercerita siang ini."
"Hehe, sepertinya kamu benar-benar teman baiknya Tizar. Baiklah, sampai jumpa, Bardi. Jaga Tizar baik-baik yaa.." Tiara bangkit dan berjalan pergi sembari sedikit tergelak.
Aku masih duduk di tepi jenjang tangga Kedai.
Mungkin aku tahu, ada apa dengan senja. Atau tidak?


***

Rasa tertohok yang sedemikian rupa ini, belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Tizar," aku menyahutinya yang beranjak pergi itu. "Ada apa antara kau dan langit senja?"
Tizar menoleh dengan tatapan yang tak biasa kulihat. Kupikir, karena dia sebelumnya bicara dengan blak-blakan, maka tak ada salahnya kucoba juga hal yang sama.
"Sebelumnya, bisa ente ceritakan dulu, kenapa ente menatap langit senja dengan tampang menyedihkan begitu?".

Aku hanya tercenung. 
"Dulu, ane juga ngeliat langit senja sebagai simbol dari akhir kejayaan surya. Terang menghilang, malam menerjang. Kedengarannya menyedihkan, ya? Apalagi kita juga kenal dengan istilah 'usia senja'. 
"Tapi, coba bayangkan. Mungkin senja itu akhir dari hari. Tetapi orang sampai menamainya dengan nama sendiri. Artinya, hari berakhir dengan akhir yang istimewa. Saking istimewanya, jutaan orang di dunia rela meluangkan waktu sejenak untuk memandangi terbenamnya Matahari. Saking istimewanya, umat Muslim menjadikan waktu terbenamnya matahari sebagai ajang pergantian hari, atau sebagai penanda waktu sholat. 
"Dan juga, semu kemerahan senja mungkin saja bisa mengingatkanmu pada akhir hayat. Bahwa siklus kehidupan dan kematian ada analoginya di mana-mana. Jika orang-orang bisa memilih, bukankah mereka akan memilih akhir cerita yang indah? Yang mereka sebut happy ending?"

Tizar kembali melangkahkan kaki ke arah masjid.
"Kalau kau, Bardi? Bagaimana denganmu?"

Terlalu banyak kejutan yang kuterima siang ini. Saking banyaknya, untuk beberapa menit selanjutnya aku hanya bisa duduk di tepian Kedai. Membiarkan apa yang baik Tizar maupun Tiara sampaikan. Meskipun aku berbicara sekian lama dengan Tiara, dan pembicaraan itu sudah selesai beberapa saat lalu, bersitan aneh yang dulu sering muncul dalam kondisi serupa, kini seolah mati.
Aku terlalu jauh dari level mereka. Masih sampah.
Tergelak menertawakan diri sendiri, dan krisis diri yang bisa-bisanya kubiarkan merajalela akhir-akhir ini. Tidak hanya salah prasangka, tetapi juga kesadaran yang muncul menghantamkan diriku lagi, sekali lagi, seolah belum cukup parah, kepada kenyataan.
You left me here, beside myself
Left me with all the reason I was wrong for you

"Woi, napa loe? Galau? Mending ke masjid, udah mau adzan noh." Bambang menepuk pundakku dengan kekuatan yang tak dikira-kira dulu.
Heh. Aku mengambil tasku yang sebelumnya tergeletak, dan berdiri untuk pergi ke masjid. Dan saat itu juga kuputuskan untuk melupakan segala macam cerita cinta yang sempat kucoba tabur-taburi dalam jiwa.

Kuambil kertas yang pernah kucoba kutulisi surat cinta dengan air jeruk. Tadinya, surat itu kuniatkan untuk diberi ke Tiara. Tetapi tidak lagi.
Dengan yakin, kumasukkan kertas itu ke dalam tong sampah.
Sampah memang layaknya ada di tempatnya. 
Kalau bertebaran, justru ia malah mengotori, bukan?


*****

Entah sudah berapa lama aku duduk di teras kosan, berselimut cerita lama. Langit senja masih saja menampilkan gemilang cahayanya, meski sang surya kini sudah terhalang rumah di seberang.
Setelah kupikir lagi, bahkan, dengan semua cerita Tiara saat itu, tindakan Tizar menceritakan masa lalu Tiara seara tersirat masih terasa tak wajar bagiku. Seolah Tizar sengaja melakukannya, supaya aku memutuskan bertanya ke Tiara, dan mendengar seluruh isi cerita.
Kalaupun iya, untuk apa?
Sudahlah, lupakan saja.

Suara tilawah mulai bergema dari pengeras suara masjid. Kulirik sebentar pesan yang tadi masuk di hapeku.
"Bar, ane denger ente pulang cepet hari ini? Makan yuk di warung samping masjid RT abis maghrib!"
Sepertinya opsi yang diberikan kepadaku hanya satu. Menyegarkan kepala dan melupakan pikiran-pikiran tak jelas.
Lagipula, hari ini harus disyukuri. Pertama kalinya pulang sebelum Maghrib sejak dua bulan lalu.

Kugeletakkan tas di tempat tidurku, dan kukenakan sendal untuk pergi ke masjid.

-Tamat-


P.S.: Tidak membaca dari awal? Sila telusur disini.
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Jumat, 18 Oktober 2013

Article#222 - Temaram Tirai Senja (2)

Cerita sebelumnya: Sebuah kenangan lama. Berawal dari keinginan sederhanaku untuk meminjam novel milik Tizar, di sore hari empat tahun yang lalu itu, civitas sekolah–khususnya siswa kelas dua–dikejutkan oleh lenyapnya Tizar tanpa jejak. Persoalan ini sendiri kemudian berakhir dengan ditemukannya Tizar, duduk santai di atas atap gedung sekolah. Terlepas dari keributan di sore itu, aku heran, dari begitu banyak orang yang kutanyai, mengapa Tiara, gadis yang diam-diam kutaksir ini, terlihat begitu tenang. Seolah ia sudah tahu, Tizar akan baik-baik saja—meski dengan sedikit kejutan. Ada kisah apakah diantara Tiara dan Tizar?



Sejak menyadari semua hal itu, paling tidak aku mulai merasakan ada dua perubahan besar yang terjadi pada diriku. Perubahan, yang sebenarnya baru kurasakan secara nyata di akhir cerita ini.
Biasanya kelima inderaku hanya bereaksi dengan berlebihan hanya ketika ada Tiara. Tetapi kali ini, ada sedikit tambahan. Aku menjadi sangat peka akan gerak-gerik Tizar, khususnya ketika kupergoki sedang dekat dengan Tiara.
What's it like there? Is it all what you want it to be?
Does it hurt when you think about me? And how broken my hea—

Ah, lagi-lagi radio ini. Matikan, dong.

Makin aku peka dengan segala tindak-tanduk mereka, makin aku mengalami perubahan kedua.

Aku seolah ditampar oleh wali kelasku di penyerahan rapor tengah semester. Nilaiku jeblok semua. Hancur. Parah lah. Padahal sudah kelas dua, artinya sudah masuk jurusan. Entah IPA maupun IPS. Sesuatu yang lebih besar menanti: jika aku tidak bisa mempertahankan nilai dengan cukup baik, maka hanya ada satu pilihan untukku, minggat dari sekolah ini.

Jika Tizar senang merenung dengan mengamati senja, saat ini aku pun juga dalam kondisi senja. Rendahan, dan akan segera terbenam.

Huft. Aku melongok ke jadwal remedial yang tertempel di mading sekolah, remedial terdekat adalah fisika. Lab fisika, esok harinya, jam 4 sore. Karena kondisi asrama sore hari tak pernah kondusif buatku untuk belajar, kuputuskan untuk belajar di tempat tongkrongan favoritku.

Ironis, ya. Aku punya hobi nongkrong yang serupa dengan si Tizar itu, dan sepertinya dalam kondisi serupa. Saat ingin serius dan menenangkan diri dari segala pikiran yang mungkin mengganggu. Paling tidak, tongkronganku tak seaneh Tizar; walaupun aku sendiri tak yakin apakah duduk di atas mistar gawang bisa dianggap wajar atau tidak.
Sudah lima belas menit. Lapangan sepakbola sepi, tidak ada yang bermain sepakbola sore ini. Bagus. Meskipun lapangan basket dan futsal ramai oleh siswa lain, paling tidak, tak ada yang akan mengganggu—
Sebuah bola meluncur ke arahku.
Siapa orang iseng ini? Tak sulit bagiku untuk menangkis bola ini. Tapi, gara-gara bola tersebut, konsentrasiku kembali buyar. Aku pun berpaling, menatap tersangka yang berani-beraninya merusak ketenanganku.
"Hei kau! Tak lihatkah aku sedang—oh, ternyata kau."
Dengan cengiran a la bocah yang ketauan memetiki mangga tetangga, Tizar memungut kembali bola yang tergeletak di tanah.
"Kenapa, Bar? Kenapa memang kalau ane? Kangen ya?"
Aku hanya memberengut. Memang begini kan tingkah si Tizar, sok akrab ke semua orang.
"Hahaha, sudah ane duga, ente lagi ada masalah ya. Nggak biasanya ente pemarah begini. Jadi kayak cewek.."
Di tengah rasa kesal, aku membayangkan apa jadinya jika ada yang mendengar kata-katanya.
"Hei, pelankanlah suaramu sedikit."
"Wah wah, kenapa? Hmm, jangan-jangan ente lagi galau ya, hahaha..."
Aku makin bingung antara rasa ingin memplester mulut ributnya dengan rasa kesal sekaligus heran, bagaimana ia bisa menyadarinya dengan begitu cepat.
"Kalau galau terus kenapa?", aku menyahut sambil lalu.

"Haha, benar rupanya. Ayolah kawan." Nada bicara Tizar berubah, dan aku paham betul jika ia sedang serius kali ini.
"Ente cuma galau mikirin seorang cewek, taulah siapa dia. Tapi kok ente bisa sampe jadi jutek begini, nilai sampai drop, nggak kayak Bardi yang ane kenal!"
Baru saat itulah aku benar-benar mendengarkan. Benar juga kata-katanya, kalau dipikir.
"Heh, Bardi, tau nggak, ane kenal ama satu cewek ini, dia nggak pernah yang namanya ngeluh, bahkan pas dia harus merawat abangnya secara penuh, sejak tujuh tahun lalu. Selama tujuh tahun itu, abangnya dari nggak bisa gerak dari tempat tidur sama sekali, sampe bisa ikutan rutin joging keliling kampung. Ente tanya dia gimana? Dia jadi juara kelas, ikut lomba kemana-mana, dan sekarang dia masuk salah satu SMA unggulan di negeri ini. SMA unggulan bro! Masalah ente, kagak ada apa-apanya!
Kalau ente masih aja drop cuma gara-gara cewek galauan ente itu, ente udah kalah ama itu cewek!"
Heh, Tizar memang tak pernah tanggung-tanggung.
Selalu telak.
Dahsyat seperti biasa.
"Sudahlah, setengah jam lagi Maghrib. Mendingan ente langsung cabut ke asrama deh. Jangan lupa, ente juga perlu mulai urus surat izin mampir ke sponsor acara kita Sabtu pekan depan. Ane duluan ya, wassalamu'alaikum."
Tizar pun melangkah menuju masjid.
Rasa tertohok yang sedemikian rupa ini, belum pernah kurasakan sebelumnya.

***
Beberapa hari sudah berlalu sejak cerita di tepi lapangan sepakbola itu. Aku baru saja menghadap guru koordinator kesiswaan untuk meminta perizinan meninggalkan lingkungan sekolah, dan kini aku menenteng map bening bersemu kemerahan dengan penuh rasa pede menuju ruang OSIS.
Aku duduk sebentar di kursi di depan ruang OSIS, sembari melepas sepatuku dan menaruhnya di rak. Kuintip sebentar isi ruang OSIS dari jendela.
Lagi, ruang OSIS sepi. Hanya ada beberapa orang.
Ada Danang yang sedang asyik mengerjakan desain poster acara. Acara yang juga aku dan Tizar urusi saat ini. Acara yang diketuai Tizar ini memang salah satu acara OSIS terbesar di sekolahku. Pelaksanaanya masih dua bulan lagi, tetapi aura acara tersebut sudah mulai menyeruak, memenuhi isi ruang OSIS ini. Selain Danang, Remi sang sekretaris masih saja berkutat dengan entah-apa-lagi-yang-ia-kerjakan. Mungkin ada kaitannya dengan Via yang sedang mendiktekan isi sebuah buku catatan besar di sebelahnya. Tapi semua itu tak kupedulikan.
Ada Tiara.
Tiara duduk tak jauh dari sana, membaca sebuah novel pinjaman dari perpustakaan.
Atau dari Tizar?
Hah, kenapa muncul pikiran semacam ini terus sih.
Sedikit kikuk, aku melangkahkan kaki memasuki ruang OSIS. Tetapi langkahku tertunda untuk sekian detik, saat seorang gadis berjilbab melangkah keluar ruang OSIS, dan kemudian berjalan ke arah Kedai.

Kutaruh map berisi berkas yang baru saja ditandatangani itu di meja ruang OSIS, dan kutaruh tas di samping pintu. Kulihat, tiga orang di dalamnya masih asik dengan pekerjaan mereka.
....Tiga? Benar juga.
Aku segera memakai sepatu, dan kususul Tiara ke Kedai. Ada yang perlu kutanyakan.
...
...
Kedai adalah salah satu ide yang dicetuskan oleh kepala sekolah terdahulu, mengenai tempat dimana siswa bisa bersantai sembari belajar, atau sekadar berkumpul dalam kegiatan apapun. Bagiku, yang disebut 'Kedai' ini tak lebih hanyalah 'teras' dari gedung koperasi, yang terletak tepat di sebelah Kedai saat ini. Karena koperasi tergolong ramai dikunjungi oleh siswa di sekolahku, maka Kedai pun dengan cepat menjadi salah satu tempat nongkrong favorit di sekolahku, terutama seusai kegiatan belajar.
Desainnya sederhana, seperti pendopo dengan dasar ubin dengan tiga jenjang tangga di tepiannya, dan atap standar yang ditopang dengan empat tiang. Tiga di tiap sudut, satu di tengah. Sudut yang lain menyatu dengan bangunan koperasi.

Siang itu, Kedai pun masih ramai. Mungkin karena sebentar lagi masuk waktu Zuhur, banyak yang memutuskan untuk bersantai dulu di Keda
Dan di sisi salah satu tiang di sudut itu, Tiara duduk. Aku duduk di sisi lain dari tiang itu.

"Tiara, maaf mengganggu, tapi ada yang ingin kutanyakan."
Tiara hanya menoleh sejenak.
"Aku ingin menanyakan soal Tizar. Kupikir, karena kau tampak begitu dekat dengan Tizar selama ini, mungkin kau bisa menjawab pertanyaanku. Maaf kalau kurang berkenan."
Tiara diam beberapa saat. Kemudian ia hanya menjawab pelan,
"Sudahlah, tanyakan saja."
Kini aku yang diam sejenak. Menghela nafas.
"Beberapa hari yang lalu, Tizar sempat bilang tentang seorang cewek. Dari gaya bicaranya, aku yakin Tizar punya rasa kagum akan cewek ini. Baru saat itu aku dengar Tizar membicarakan orang lain seperti itu. Kau mungkin kenal dia?"
Tiara kini terlihat tertarik.
"Apa yang dia katakan tentang cewek ini, Bar?"
"Wah, Tizar hanya bilang kalau cewek ini merawat abangnya yang lumpuh secara penuh, sampai sembuh, sejak tujuh tahun yang lalu. Dan cewek ini juga berprestasi, ikut banyak lomba, jadi juara kelas.."

Hening sesaat, dan kemudian Tiara kembali bertanya.
"Dia.. dia benar-benar.. bilang begitu..?"
Bukan jawabannya yang di luar dugaanku, karena aku sama sekali tidak membuat praduga.
Tetapi suaranya. 
Nada yang bergetar itu.
Nada lirih itu.

(bersambung)

***


sumber gambar
Lanjutkan baca »

Kamis, 17 Oktober 2013

Article#221 - Temaram Tirai Senja (1)

Sore itu.
Aku baru saja berjalan turun dari angkot, pulang menuju kosan. Beberapa bulan terakhir, aku begitu sibuk dalam berbagai kegiatan di kampus, yang mendorongku untuk terus-terusan pulang selewat jam 7 malam.
Maka, ketika ragaku sudah ingin menjerit menuntut istirahat dari segala macam kesibukan tiada akhir ini, rapat yang selesai lebih cepat dari rencana berhasil membuatku bersorak.
Dan ketika aku turun dari angkot tadi, aku kembali menikmati keindahan pesona alam, yang ditawarkan melalui tirai-tirai awan yang berpendar jingga.
Semburat senja punya banyak cerita, ya.
Seperti cerita yang dulu itu. 


*****

"Hei, kau lihat dimana Tizar? Dia tidak ada dimanapun!"
Empat tahun lalu lebih sedikit, masa SMA. Jam 5.15 sore.
Aku menampakkan muka ngos-ngosan dari sela pintu ruang OSIS. Sudah setengah jam kuhabiskan berkeliling kompleks sekolah mencari Tizar, dengan hasil nihil. Padahal awalnya sederhana; aku ingin menemui Tizar di asrama untuk meminjam novel barunya. 
Tetapi ia tidak ada di manapun tempat yang kucari.
Padahal ia tidak dalam izin apapun meninggalkan kampus.
Bersama beberapa orang teman, aku menyisir seisi kompleks sekolah. Memang urusan awalnya tak seberapa, tetapi apa jadinya kalau salah satu siswa sekolah ini hilang begitu saja? 

Sayangnya, waktu itu di ruang OSIS hanya ada dua orang. Remi yang sedang berkutat di depan laptop, entah mengerjakan apa. Serta Tiara yang sedang bersantai, sepertinya menemani Remi.
Glek. Ada Tiara pula.
Tiara baru saja pindah ke sekolahku di awal semester tiga. Tetapi ia dengan cepat menjadi gadis populer, terutama di kalangan cowok. Cukup banyak yang naksir dia. Aku pun hanyalah salah satunya.
Huff, tak ada waktu untuk urusan semacam ini. Aku perlu segera menemukan Tizar.
"Hei, kau lihat dimana Tizar?"
Dua gadis dalam ruang OSIS itu hanya menoleh sedikit.
"Aku nggak tau, Bar, dan tolong bisa tinggalkan aku dulu? Proposal ini harus dicetak sebelum maghrib!", keluh Remi sembari membetulkan kacamatanya.
"Tizar ya? Hmm, santai saja, pasti ketemu nanti. Siap-siap terkejut saja kalian," Tiara hanya menjawab santai. 
Aku sempat merasa ada yang aneh, tetapi saat itu aku tak begitu peduli.

Sialnya aku masih saja berdiri disana. Kenapa malah jadi kikuk begitu, hei? Tizar harus segera ditemukan!

Kuucapkan terima kasih tanpa berani memandang mereka berdua, dan segera aku bertandang ke dalam gedung sekolah. Kata Bambang, teman sekamar Tizar, Tizar sempat mengatakan padanya dia berada di 'area sekolah'. Masalahnya, Tizar tidak ada di seluruh ruang di gedung sekolah.
"Kira-kira, ia ada dimana? Masa' dia menyelinap ke suatu tempat rahasia di sekolah?" pikirku panik. Namun rupanya, pikiran panikku tak perlu dilanjutkan. 

"HEI TIZAR! DARIMANA SAJA KAU?" Teriakan Bambang. Tak salah lagi, Tizar sudah ditemukan. Tetapi aku penasaran, ada dimana ia selama ini.
Aku segera berlari ke lantai tiga, tempat dimana sahutan-sahutan sore itu berasal.
Disana ada Tizar, yang baru saja turun dari atap sekolah. Dengan tampang bingung, Tizar menghadapi gelora kekesalan dan kekhawatiran temannya. 
"Apa yang kaulakukan di atas atap begitu, Tizar? Apa kau gila?"
"Maaf, Bardi, maaf, ane hanya lagi merenung."
"Merenung? Tak adakah tempat yang lebih baik untuk merenung?"
"Yah, sejak gedung sebelah didirikan, tidak ada lagi. Pemandangan senja disini paling oke."
Senja? Aku sendiri tak habis pikir. 

Syukurlah, paling tidak Tizar sudah ditemukan. Belakangan, diketahui bahwa sebenarnya Tizar sudah memberitahu Bambang bahwa ia akan naik ke atap balkon gedung sekolah. Tetapi, saat itu Bambang mengiranya bercanda, dan melupakan detail kecil itu. Detail kecil yang megantarkan siswa kelas dua saat itu pada kehebohan sore hari.
Satu masalah sore itu selesai dengan hasil di luar dugaan. 
Tetapi, dalam pikiranku, sebuah persoalan pelik baru saja tersemai.

***
Aku masih ingat betul, saat itu, di tengah kalang kabut pencarian Tizar.
Sore itu.
Kami semua, yang mencari Tizar, berkeliling kompleks sekolah dengan panik, khawatir, setengah cemas. Berbagai orang yang kutemui, kucecar pertanyaan demi secercah kemungkinan mereka baru saja melihat sosok Tizar. Tizar cukup terkenal di sekolahku; dia wakil ketua OSIS, siapa lah yang tak kenal ia. Berkat tingginya taraf keterkenalan Tizar ini, setiap orang yang kutanyai tak serta merta menjawab 'Tidak tahu' atau 'Tidak kenal'. Dari orang-orang yang kutanya, hampir semua yang merespon menunjukkan mimik khawatir yang serupa, nada cemas yang senada.
Kecuali.... dia..
Kecuali, dia..
(err, tolong matikan radionya.)
Kuputar ulang rekaman pikiranku dari sore itu, sampai di momen dimana sempat muncul perasaan janggal yang segera kuenyahkan saat itu.
Remi memang tak begitu memperhatikan, dia sedang berkutat dengan proposal acara.
Tetapi bukankah Tiara jelas-jelas memperhatikan apa yang kubicarakan saat itu?
Asyik, aku diperhatikan Tiara. Sebersit perasaan senang kembali kuenyahkan segera, sama seperti saat itu.

Nah.
Itu dia.
Dari sekian banyak orang yang kutanyai, Tiara-lah satu-satunya orang yang tak menunjukkan tanda-tanda cemas dan khawatir saat kutanyai.
Apa karena aku sedang bicara dengannya? Bah, kenapa bersitan aneh itu harus muncul lagi.
Bagiku, kenyataan itu hanya membawaku pada kedua kesimpulan.
Pertama, ia tak peduli akan nasib Tizar. Suatu hal yang akan menghancurkan citra indahku akan kepribadian Tiara yang dikenal luar biasa.
Tetapi, saat kilas balik momen itu kembali berkelebat di kepalaku, aku sadar skenario itu tidak mungkin.
"Tizar ya? Hmm, santai saja, pasti ketemu nanti. Siap-siap terkejut saja kalian,"
Yang mungkin adalah skenario kedua. Skenario yang bahkan lebih tak kuharapkan.
Ia bisa begitu tenang karena ia sudah begitu memahami Tizar.

Entah bagaimana munculnya, yang jelas perutku mendadak terasa seolah Tizar baru saja menonjokku.
Bahkan bersitan konyol yang tadi kerap muncul, kini sungkan untuk terbit lagi.
Lanjutkan baca »

Selasa, 15 Oktober 2013

Article#220 - Perhatikanlah

"Perhatikanlah Bulan yang beredar mengelilingi Bumi. Ia terus bergerak, namun ia patuh pada hukum alam semesta, maka ia tetap aman melaju dalam lintasannya tanpa khawatir terlempar ke luar.

Perhatikanlah badai yang bergelora dengan angin dan hujannya. Ia terus menerjang, namun ia patuh pada hukum cuaca, maka ketika isi airnya telah habis terkuras, ia akan minggir dengan tenang, menyapukan langit kepada cerah angkasa.

Perhatikanlah pohon yang tumbuh besar, akarnya mencuat dan daunnya mengembang. Ia terus berkembang, namun ia patuh pada hukum fisika, sehingga tinggi besarnya ia tak menghalangi rambat air dari akar untuk mencapai pucuknya.

Perhatikanlah kerang yang menumbuhkan mutiara indah dalam penderitaan. Ia terus mengerang, namun ia patuh pada hukum Tuhannya, sehingga pedihnya rasa di jiwa raga tak menghalanginya untuk membentuk mahakarya.

Perhatikanlah bahwa, ketika kau berserah diri dan yakin kepada petunjuk Tuhan, maka kau akan selalu sampai ke keseimbangan. Keseimbangan yang senantiasa membawa pada kebaikan.

Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran?"


Sebuah catatan bagi penulis sendiri pada khususnya, dan bagi kita semua pada umumnya. 
~dikutip pada Selasa, 15 Oktober 2013/10 Zulhijjah 1434 H, 23:32 (UT+9), mengisi momen Idul Adha 1434 H.
Dikutip dari pesan seorang teman.

sumber


Lanjutkan baca »

Minggu, 13 Oktober 2013

Article#219 - Memutar Haluan


(lanjutan dari edisi sebelumnya)

Simon terus berjalan? Iya, dia masih berjalan. Masih sekitar 8 menit lagi jalan kaki menuju rumahnya.
Tidak ada yang cukup spesial dari sore yang ini, sore yang tinggal menunggu sekitar sejam menjelang berakhir. Semuanya sama saja seperti hari yang sudah-sudah.

...Err tunggu dulu. Tidak. Ada sedikit 'tambahan' yang mewarnai jalan pulang Simon sore ini.
Untungnya bukan sesuatu yang menakutkan. Juga tidak berbahaya—yaa kecuali kau berlebihan dalam mengganggunya.

Anak ini, sebut saja namanya Dodi, masih asik menenteng kotak plastik berisi jajanan sembari bersiul. Ia sepertinya begitu menikmati hari ini, berkebalikan dengan Simon yang sudah siap menguras isi kepalanya saat ini, jika ia mampu. Ya, anak ini tampak begitu senang, ia bahkan tak menyadari Simon yang berjalan ke arah yang berlawanan sampai Simon..
..menyapanya.

"Hei Dik, kamu bawa banyak jajanan. Kue ini kamu jual?"
"Iya Bang, murah aja, tiga ribu dapet dua potong. Bebas pilih yang mana aja."
Simon bersiap untuk mengeluarkan uang lima ribu. Tiga ribu untuk kue, dan dua ribu untuk bonus bagi Dodi yang dirasanya sudah berjuang dengan baik. Tetapi,
"Tidak, Bang. Ibuku bilang aku tak boleh terima uang dari orang asing kalau bukan untuk membeli jajanan ini. Lebih baik Abang beli lebih lagi."
Simon tercenung, jarang-jarang ada yang begini. Biasanya, anak-anak yang sering berkeliaran di kampus cenderung untuk menarik uang sebanyak mungkin dari mahasiswa yang mereka jebak.
Terkekeh sedikit, Simon mengeluarkan selembar uang seribu.
"Nih, dengan ini jadi enam ribu. Kubeli empat,"
Dodi menerima lembar uang itu dengan senyum lebar.

"Ibuku selalu begitu ketika menjual kue, Bang. Tiap kali aku mengikuti ibuku dalam berjualan."
"Wah, memangnya mengapa Ibumu tak mau menerima uang tip?"
"Kata ibuku, aku harusnya jualan, bukan mengemis."
"....Tapi kan kalau diberikan seperti itu, bukankah kamu berhak untuk mengambilnya..?"
"Dulu pernah ada yang bilang gitu ke Ibu. Kata Ibu waktu itu, 'Ini bukan masalah berhak atau tidak. Saya nggak mau kufur nikmat dengan asal-asalan meraup uang.' Pokoknya Ibu bilang ke aku, kalau kami menerima begitu saja belas kasih orang pada kami sementara kami mampu, itu namanya tidak bersyukur."

Simon kehabisan kata-kata. Akhirnya ia membiarkan Dodi untuk pulang, dan begitu pula dirinya sendiri. Meskipun begitu, kata-kata Dodi tadi tidak ikut menjauh dan terpatri di ingatan Simon.
Tentang apa yang sebenarnya memulai. 
Darimana pemicu tersebut datang.
Bagaimana ia bisa disingkirkan.
Sekonyong-konyong, semunya tampak jelas. Berbagai masalah yang sebelumnya mengawang memenuhi isi otak Simon, kini terekstrak menjadi satu sistem masalah untuk dikeluarkan.
Ponsel Simon yang tak lama kemudian bergetar pun juga mengisyaratkan hal yang sama.
Dilihatnya layar ponsel, yang mengatakan bahwa Dimas telah mengirim sebuah pesan.
"Tak peduli kau berlari sekencang apapun, kau tidak bisa mempercepat pagi dengan bergerak melawan arah rotasi Bumi. Kau hanya akan membenamkan dirimu lebih lama dalam pekat malam. Kalaupun kau bisa bergerak lebih cepat dari rotasi Bumi, ketika kau kembali melihat Matahari pun, yang kau lihat adalah senja. Dan senja hanya akan mengantarmu kembali ke malam.

Hadapi dengan tenang, ikuti takdir yang telah digariskan, maka seperti niscayanya pagi akan tiba, pemahaman itu pun akan tiba pada waktu yang tepat.

Tak ada gunanya lari dari kenyataan, kau hanya akan membenamkan diri lebih lagi.
 
Ternyata penjelasan untuk ini semua sangat sederhana, ya.
Simon mulai menyiapkan (dalam benaknya), rencana untuk perlahan membangkitkan kembali citranya yang terpuruk hancur akibat kegagalan proyek. Proyek yang telah mati itu pun akan dibangkitkannya kembali.

Malam telah larut, tetapi Simon asik mengamati sekitar dari balkon rumah kostnya, ditemani cerah sinar Bulan dan alunan musik dari ponselnya. Tekadnya sudah siap untuk memulai kembali dari awal. Memulai, dengan mewujudkan akhir sebagai tujuan. Dan Simon yakin, sebuah tindakan tanpa keraguan adalah sebuah kekuatan.
Waktunya memutar haluan.

Sew this up with threads of reason and regret
So I will not forget, I will not forget

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Jumat, 11 Oktober 2013

Article#218 - Mengejar Ekor


[Perhatian: Nama dan lokasi kejadian tidak diambil dari figur nyata. Jika ada kesamaan intuisi dan merasa dijadikan tokoh, udah baca aja, nggak usah geer.]

Simon melangkah ke luar dari kampus. Pikirannya berkecamuk.
Berkali-kali Simon berdehem dan menggeleng-geleng dalam diam, berusaha untuk mengesampingkan ingatan buruk yang baru saja dipatrikan ke otaknya. Hentikan. Hentikan. Bayangkan nanti malam mau makan apa. Mau tidur jam berapa. Tak perlu dipikir lagi hal yang tadi itu. 
Sayangnya, Simon belum mampu membohongi diri sendiri. Seperti kutipan lama yang tetap bergaung auranya itu, semakin kau berusaha melupakan sesuatu, semakin kuat ia menempel di kepalamu. Ia terus berusaha menggeser otaknya untuk memikirkan cadangan mi instan yang makin menipis di kamar kostnya, atau kemungkinan adanya abang sate yang lewat depan rumah malam nanti. Tetap saja, Simon terus gagal. Otaknya terus kembali ke cerita barusan, cerita yang demikian menyebalkan.

Mungkin Simon terlanjur hafal segala detailnya. Terlepas dari fakta bahwa dia tak berminat menceritakannya pada kalian para pembaca. Sayangnya, diceritakan atau tidak, ia tetap muncul secara perlahan, tenang, mendominasi seisi otaknya.
Proyek ambisius yang gagal.
Guratan kekecewaan para teman.
Kepercayaan yang gagal dipertahankan.

"Hei, hati-hati, Mon."
Simon tak peduli. Ia sudah tidak ingin mendengar kata-kata semacam itu lagi. Ia abaikan saja dan terus melangkah. Mendadak tasnya ditarik seseorang.
"Hei! Kubilang hati-hati, kau mau menyapa bis, hah?!"
Dengan muka gusar, Dimas menghela nafas dan melepaskan tarikannya. Sebuah bus baru saja tiba, dan ban kiri depannya kini berada tepat di tempat Simon hendak menapakkan kaki sebelumnya. Simon hanya menatap kakinya dan ban bus seara bergantian. Kemudian ia melirik Dimas, berniat mengucapkan—
"Apa sih, sudahlah tak perlu pake terima kasih segala."
Dimas lebih cepat merespon. Dan lagi-lagi ia lebih cepat berkata-kata,
"Tapi yang benar saja, kau ini, masa' sampai segitunya sih. Cuma dinasehati begitu."
Cesh! Cukup telak, emosi Simon mulai tersulit.
"Kau tak tahu apapun, Dim. Diamlah."
Dimas terdiam sejenak.
"Hei, Mon, coba jernihkan kepalamu."
"Kubilang, kau diam."
"Yang benar saja."
"Tentu saja aku serius, hoi."
"Tunggu, dengarkan dulu."
Kini Simon yang terdiam sejenak.
"Renungkanlah baik-baik, apa yang terjadi sore tadi."
Daritadi, meskipun Dimas dan Simon sama-sama berbicara dengan nada keras, suara bising klakson dan derum kendaraan di jalan raya berlomba menutupi telinga orang-ornag di pinggir jalan dari apa yang seharusnya bisa ia dengar.
Pun begitu, Dimas justru berkata pelan,
Menurutmu, apa awal mula dari semua ini?"
Bodoh, batin Simon. Sudah jelas kan. Buat apa ditanya lagi.
Sekilas Dimas melihat ekspresi Simon. Sirat mata Simon menggambarkan jawabannya. Tanpa ia perlu berkata-kata.
"Hei, bodoh, tunggu dulu!"
Mendadak Simon menjadi cekatan dan segera melesat ke pintu bus yang baru tiba. Dan sekaligus menghindari Dimas, yang ia yakini akan menguliahinya dengan berbagai macam 'sampah'.

Dimas hanya bisa menghela nafas.

***

Simon melangkah pulang dari halte bus. Pikirannya bergejolak.
Berkali-kali Simon mengumpati Dimas di dalam hati selama perjalanan pulang. Dimas yang selama ini adalah salah satu sohib dekatnya, bersikap seolah sama seperti yang lain. Semua menyudutkanku. Mau kalian apa sih?
Pikiran Simon kembali melayang ke seruan Andre beberapa jam sebelumnya.
...
"Hei Simon. sedemikian kecewanya kau akan proyek yang gagal, tetapi kau hanya menghabiskan waktu merenunginya. Ketika ada yang mengingatkan, kau malah menumpahkan semua kesalahan padanya. Kemudian kau berlari, berlindung di balik tempat yang kau kira menjamin keamanan. Padahal, kesalahan itu tetap mengikuti, menempel.

Kau coba enyahkan ia, tetapi jika dilakukan dengan cara yang salah, ia tak mau lepas. Kau berlagak mengejarnya, dan akhirnya kau hanya berputar di tempat. Kalau begitu terus, akhirnya seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri, buang tenaga. Dan ketika ia merasa berhasil dan menggigit ekornya, saat itulah ia baru sadar, betapa yang rugi hanya diri sendiri.

Sebelum kau keburu menggigit ekormu sendiri, bangunlah."

Kesalahan yang mengikuti....
Perlahan Simon mulai berpikir lebih jernih, dan tersadar bahwa tindakannya mengumpati Dimas di bis sebelumnya tidaklah relevan. Begitu pula tindakannya ketika menyikapi Andre dan yang lainnnya tadi. Pikaran tersebut, bersama pikiran lain yang sebelumnya sempat terbersit di kepalanya, perlahan membentuk sebuah 'kabut kasar'.
Mungkin kalian mengenal kabut ini dengan nama 'pemahaman'.

Eh, tidak, yang ini belum bisa disebut demikian. Ia belum paham. Ya sudahlah.

Dan Simon terus berjalan...

(bersambung)

sumber gambar
Lanjutkan baca »

Senin, 07 Oktober 2013

Article#217 - Kutipan Hari Ini

"Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Jika ia jatuh pada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai terpuji."

~dikutip dari kutipan milik Haji Abdul Malik Karim Amrullah "Hamka" (1908-1981), sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Dikutip pada Senin, 7 Oktober 2013, 20:31 (UT+9).

sumber
Lanjutkan baca »

Sabtu, 05 Oktober 2013

Article#216 - Tiga Puluh Dua Menjelang

Oleh: Akhyari Hananto

Kapan kita memperingati “100 Tahun Kemerdekaan Indonesia”?


Tulisan ini saya buat pada bulan Agustus 2013, jadi peringatan 100 Tahun Kemerdekaan RI akan jatuh tepat 32 tahun lagi, yakni pada 17 Agustus 2045. “Apakah pada peringatan 100 tahun kemerdekaan, Indonesia sudah menjadi negeri yang maju, rakyatnya makmur, dan bangsa ini dihormati dan disegani dunia?”. Pertanyaan itu pertama kali saya dengar dari anak seorang kawan yang masih duduk di bangku SD beberapa waktu lalu yang bertemu saat kami berkunjung ke rumahnya. Tentu saya tidak tahu jawabannya, mungkin tak ada yang tahu, dan sepertinya hanya waktu yang akan bisa menjawab.

Namun setidaknya, kita tahu apa rumus utama untuk membuat Indonesia maju, rakyatnya makmur, dan dihormati serta disegani dunia, dan rumus itu harus kita kerjakan dari sekarang, yakni “pendidikan”, dan tentu saja kerja keras. Singapura pada tahun 60-an bukanlah negeri yang kaya raya, juga tak sebersih dan seteratur Singapura yang kita kenal saat ini. Namun kini Singapura masuk dalam 5 negara dengan pendapatan perkapita tertinggi di dunia dengan pencapaian-pencapaian mengagumkan yang lain.  Dan Singapura mencapainya dengan pendidikan yang kuat, disiplin, dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Kita juga tahu, Amerika menjadi negara besar, kuat, dan maju di berbagai bidang, Inggris, Jepang, Korea, Taiwan, Australia juga adalah negara yang makmur dengan ekonomi yang tangguh, dan disegani dunia juga tak lain karena mereka memiliki tradisi dan budaya pendidikan dan penghargaan pada ilmu pengetahuan yang tinggi. Singapura, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Korea, Taiwan, Australia, dan negara-negara maju yang lain adalah negara-negara yang begitu menjunjung tinggi pendidikan, dan melakukan apa saja untuk memajukan kualitas dunia pendidikan.

Di Singapura, perpustakaan umum menjamur di mana-mana, bahkan di mall, dengan koleksi buku-buku yang lengkap, update, dan menarik, dan yang paling penting, ..gratis. Perpustakaan di New York City adalah perpustakaan paling besar dan konon paling lengkap di dunia. Kampus-kampus di Inggris adalah kumpulan perguruan-perguruan tinggi dengan kualitas terbaik, sistem pengajaran terbaik, pun di Jepang, Korea, dan sekarang China. Pemerintah negara-negara tersebut tidak hanya mengucurkan dana besar untuk pendidikan dari sejak dulu, tapi juga membantu memonitor, dan memfasilitasi peningkatan kualitas pendidikan secara terus menerus dan berkelanjutan, termasuk penerapan teknologi-teknologi paling mutakhir untuk menunjang pendidikan. Dan tentu saja, anggaran yang dikeluarkan sangat besar, termasuk investasi non finansial yang lain.

Tentu agak sulit bagi Indonesia untuk menggelontorkan dana sebesar negara-negara kaya itu dialokasikan di bidang pendidikan, meskipun Indonesia sendiri sudah mengalokasikan 20% dari APBN. Namun, jumlah tersebut jauh dari cukup untuk “menggenjot secara drastic” kualitas pendidikan di Indonesia, karena APBN Indonesia pun tidak besar-besar amat bila dibandingkan dengan APBN negara-negara maju. Lalu saya sering bertanya-tanya, kalau begini jadinya, yang maju makin maju, yang pas-pasan akan makin tertinggal.
Saya lalu teringat bahwa seorang warga senior AS yang saya temui waktu saya berkeliling di AS, beliau mengatakan bahwa mengharapkan setiap orang menjadi pintar matematika, pintar biologi, pintar bahasa, dan mata pelajaran lain yang dipelajari di sekolah atau kampus, adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan “jangan dikejar”. Tujuan utama pendidikan, menurut beliau, adalah membuat bangsa dan rakyatnya menjadi berpikiran terbuka, maju, termotivasi untuk terus melangkah ke depan. “And let the power of nature do the rest” kata beliau.

Saya rasa, ketika bergerak menjadi bangsa yang maju dan makmur dulu, tak semua orang Jepang cerdas, pun orang Singapura, pun orang AS, pun orang Korea. Namun saya meyakini bahwa bangsa mereka bisa menjadi maju karena rakyatnya berpikir maju, bekerja keras, tidak mudah mengeluh, dan termotivasi bahwa bangsanya akan menjadi bangsa yang maju, suatu hari nanti. Inilah yang saat ini, menurut pandangan dan pendapat saya pribadi, sedikit demi sedikit mulai hilang di sekitar kita. Belum ada satu platform yang kuat untuk memotivasi seluruh Indonesia, dan membuat rakyatnya berpikir ke depan, dan jangka panjang, entah itu pemimpin yang disegani dan merakyat, atau kebanggaan bersama yang menginspirasi secara massif.

Perlu langkah terpadu dan luas untuk menyuarakan semangat maju kepada seluruh anak bangsa, dan hal paling cepat bisa melakukannya adalah lewat media massa. Media massa yang edukatif, informatif, konstruktif, sekaligus menarik akan menjadi kekuatan besar ‘mencerdaskan’ jutaan pemirsanya, bisa merasuk ke setiap rumah. Media massa yang seperti itu bisa menjadi pelengkap utama yang sangat baik bagi pendidikan-pendidikan formal yang di dapat di sekolah.  Tapi apakah para pemilik media mau melakukannya?

Entahlah..tapi waktu kita “tinggal” 32 tahun lagi.
Tulisan dan gambar dikutip dari http://goodnewsfromindonesia.org/2013/08/21/32-tahun-lagi/ pada 5 Oktober 2013, 08:48 (UT+9) dengan sedikit perubahan.

Mungkin penulis akan menautkan visi Indonesia Emas 2045 ini dengan kisah perjuangan Rasulullah s.a.w dahulu, yang berhasil menghimpun kabilah-kabilah bangsa Arab yang hobi bertikai satu sama lain, menjadi suatu negara berpengaruh hanya dalam waktu sekitar 23 tahun. Sebuah pencapaian yang menggugah Michael H. Hart untuk menyebut beliau sebagai tokoh paling berpengaruh dalam bukunya. Beliau membentuk negara baru, dengan landasan yang benar-benar baru (negara pertama dengan landasan hukum Islam), dan dengan sumber daya yang mungkin saya bisa katakan jauh lebih sedikit dari Indonesia saat ini.

Meskipun Indonesia kini menghadapi tantangan yang berbeda, lebih kompleks dari yang dulu dihadapi Rasulullah. Tetapi, Indonesia sekarang tak perlu dirombak dari nol. Yang diperlukan adalah mengembangkan pola pikir yang maju, yang sedikit banyak sudah tertuang dalam tulisan yang penulis kutip diatas. Dan pola pikir maju memang tidak berarti jago ilmu pasti, atau hafal seisi buku RPUL. Sesuai hemat penulis, pola pikir yang maju adalah pola pikir orang yang senantiasa memperbaiki apapun yang belum baik, dan terus berkontribusi atas apapun yang bisa dijalani. Pola pikir yang mungkin kritis, tetapi turut membangun, bukan sekadar mempertanyakan tanpa arah.

Nah, bahkan ide mengantarkan Indonesia menuju Indonesia Emas dalam 30+ tahun secara tak langsung juga diungkapkan di kutipan berikut.
Ridwansyah Yusuf Achmad - detikNews

Tahun 1927, Bung Hatta menuliskan sebuah makalah berjudul ‘Vrije Indonesie’ atau Indonesia Merdeka. Saat itu, sekelompok pelajar ini berjuang dan percaya Indonesia akan merdeka. Merdeka bukan tentang urusan ya atau tidak, melainkan hanya pilihan waktu saja kapan yang tepat. Kurang dari 20 tahun sejak makalah tersebut disampaikan, Indonesia akhirnya merdeka. 


Bila kita refleksikan dengan keadaan saat ini, apa yang dipikirkan dan disampaikan oleh pelajar saat ini sangat niscaya bisa menjadi kenyataan 20 atau 30 tahun mendatang. Ide yang kita gulirkan bukanlah pilihan ya atau tidak akan terjadi, tetapi bila kita terus dorong dengan semangat memperbaiki dan pembaharuan bangsa, niscaya gagasan tersebut akan terwujud secara nyata. 
Tulisan dikutip dari http://news.detik.com/read/2013/10/05/141028/2378752/103/1/perhimpunan-pelajar-buat-apa pada 6 Oktober 2013, 13:19 (UT+9)

Memperbaiki diri selalu bisa dilakukan kapan saja, dan akan sangat bagus jika kita memulainya dari saat ini juga. Mari terus lakukan yang terbaik, menyesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki.

Untuk penutup, sedikit mengimitasi Aku karya alm. Chairil Anwar.

Cita dan cerita kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih nurani

Dan aku akan lebih tidak menanti

Aku mau hidup tiga puluh dua tahun lagi
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...