Minggu, 13 Oktober 2013

Article#219 - Memutar Haluan


(lanjutan dari edisi sebelumnya)

Simon terus berjalan? Iya, dia masih berjalan. Masih sekitar 8 menit lagi jalan kaki menuju rumahnya.
Tidak ada yang cukup spesial dari sore yang ini, sore yang tinggal menunggu sekitar sejam menjelang berakhir. Semuanya sama saja seperti hari yang sudah-sudah.

...Err tunggu dulu. Tidak. Ada sedikit 'tambahan' yang mewarnai jalan pulang Simon sore ini.
Untungnya bukan sesuatu yang menakutkan. Juga tidak berbahaya—yaa kecuali kau berlebihan dalam mengganggunya.

Anak ini, sebut saja namanya Dodi, masih asik menenteng kotak plastik berisi jajanan sembari bersiul. Ia sepertinya begitu menikmati hari ini, berkebalikan dengan Simon yang sudah siap menguras isi kepalanya saat ini, jika ia mampu. Ya, anak ini tampak begitu senang, ia bahkan tak menyadari Simon yang berjalan ke arah yang berlawanan sampai Simon..
..menyapanya.

"Hei Dik, kamu bawa banyak jajanan. Kue ini kamu jual?"
"Iya Bang, murah aja, tiga ribu dapet dua potong. Bebas pilih yang mana aja."
Simon bersiap untuk mengeluarkan uang lima ribu. Tiga ribu untuk kue, dan dua ribu untuk bonus bagi Dodi yang dirasanya sudah berjuang dengan baik. Tetapi,
"Tidak, Bang. Ibuku bilang aku tak boleh terima uang dari orang asing kalau bukan untuk membeli jajanan ini. Lebih baik Abang beli lebih lagi."
Simon tercenung, jarang-jarang ada yang begini. Biasanya, anak-anak yang sering berkeliaran di kampus cenderung untuk menarik uang sebanyak mungkin dari mahasiswa yang mereka jebak.
Terkekeh sedikit, Simon mengeluarkan selembar uang seribu.
"Nih, dengan ini jadi enam ribu. Kubeli empat,"
Dodi menerima lembar uang itu dengan senyum lebar.

"Ibuku selalu begitu ketika menjual kue, Bang. Tiap kali aku mengikuti ibuku dalam berjualan."
"Wah, memangnya mengapa Ibumu tak mau menerima uang tip?"
"Kata ibuku, aku harusnya jualan, bukan mengemis."
"....Tapi kan kalau diberikan seperti itu, bukankah kamu berhak untuk mengambilnya..?"
"Dulu pernah ada yang bilang gitu ke Ibu. Kata Ibu waktu itu, 'Ini bukan masalah berhak atau tidak. Saya nggak mau kufur nikmat dengan asal-asalan meraup uang.' Pokoknya Ibu bilang ke aku, kalau kami menerima begitu saja belas kasih orang pada kami sementara kami mampu, itu namanya tidak bersyukur."

Simon kehabisan kata-kata. Akhirnya ia membiarkan Dodi untuk pulang, dan begitu pula dirinya sendiri. Meskipun begitu, kata-kata Dodi tadi tidak ikut menjauh dan terpatri di ingatan Simon.
Tentang apa yang sebenarnya memulai. 
Darimana pemicu tersebut datang.
Bagaimana ia bisa disingkirkan.
Sekonyong-konyong, semunya tampak jelas. Berbagai masalah yang sebelumnya mengawang memenuhi isi otak Simon, kini terekstrak menjadi satu sistem masalah untuk dikeluarkan.
Ponsel Simon yang tak lama kemudian bergetar pun juga mengisyaratkan hal yang sama.
Dilihatnya layar ponsel, yang mengatakan bahwa Dimas telah mengirim sebuah pesan.
"Tak peduli kau berlari sekencang apapun, kau tidak bisa mempercepat pagi dengan bergerak melawan arah rotasi Bumi. Kau hanya akan membenamkan dirimu lebih lama dalam pekat malam. Kalaupun kau bisa bergerak lebih cepat dari rotasi Bumi, ketika kau kembali melihat Matahari pun, yang kau lihat adalah senja. Dan senja hanya akan mengantarmu kembali ke malam.

Hadapi dengan tenang, ikuti takdir yang telah digariskan, maka seperti niscayanya pagi akan tiba, pemahaman itu pun akan tiba pada waktu yang tepat.

Tak ada gunanya lari dari kenyataan, kau hanya akan membenamkan diri lebih lagi.
 
Ternyata penjelasan untuk ini semua sangat sederhana, ya.
Simon mulai menyiapkan (dalam benaknya), rencana untuk perlahan membangkitkan kembali citranya yang terpuruk hancur akibat kegagalan proyek. Proyek yang telah mati itu pun akan dibangkitkannya kembali.

Malam telah larut, tetapi Simon asik mengamati sekitar dari balkon rumah kostnya, ditemani cerah sinar Bulan dan alunan musik dari ponselnya. Tekadnya sudah siap untuk memulai kembali dari awal. Memulai, dengan mewujudkan akhir sebagai tujuan. Dan Simon yakin, sebuah tindakan tanpa keraguan adalah sebuah kekuatan.
Waktunya memutar haluan.

Sew this up with threads of reason and regret
So I will not forget, I will not forget

sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...