Dalam beberapa saat, aku hanya termangu. Dan kemudian mengangguk pelan.
"Benar-benar ya, Tizar itu," kembali Tiara bersuara. "Dia minta kisahnya sendiri tak diberitahukan ke orang lain, tetapi ia sendiri malah menyebarkan kisah orang lain."
Aku makin bingung. Tetapi, mungkin di balik kabut yang ini akan terbersit cahaya.
"Bardi, kamu bilang si Tizar bicara soal cewek yang merawat abangnya dalam tujuh tahun terakhir. Nah. Tanpa bermaksud menyombong, sebenarnya, saat ini juga, kau sedang berbicara dengannya."
Penjelasan tidak terduga ini hanya membuatku terkesiap. Tetapi lebih karena pikiran menyakitkan dalam kepalaku: Jika Tizar membicarakan Tiara sedemikian rupa, maka aku tak lagi punya peluang.
Duh, kenapa lagi-lagi itu yang kupikirkan? Di saat seperti ini?
Tiara sepertinya bisa membaca apa yang ada dibalik ekspresi terkejut yang menghiasi wajahku untuk beberapa saat.
"Hei, Bardi, hei. Jangan berpikir kemana-mana dulu. Kamu belum tahu keseluruhan ceritanya."
Sepertinya setelah ini semua akan jelas. Aku kini memasang posisi serius, siap mendengarkan.
"Sebelumnya, janji ya, kau nggak akan bilang siapapun tentang ini. Tizar tidak mau ada yang tahu cerita lengkap dari masa lalunya, tetapi aku yakin kamu bisa jaga rahasia." Aku mengangguk. Bersitan yang biasanya akan muncul dalam kondisi semacam ini, kini urung tampil.
"Baiklah kalau begitu. Si Tizar bilang kalau sejak tujuh tahun lalu abangku lumpuh, tetapi ia tidak bilang kan, lumpuh karena apa. Yaah, sebenarnya, dia lumpuh akibat terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil. Di kecelakaan yang sama, di mobil yang sama, kedua orangtua Tizar dipanggil Yang Maha Kuasa."
Kini aku tak sanggup berkata-kata lagi.
"Mungkin kamu tak mengerti, maka akan kujelaskan sedikit. Ayah Tizar adalah kakak dari ibuku. Tizar adalah saudara sepupuku.
"Aku sendiri tak tahu detailnya bagaimana. Tetapi, dari apa yang diberitahukan oleh ibuku, sekitar tiga pekan setelah kejadian itu, Tizar pindah sekolah ke suatu sekolah yang jauh. Kata ibuku, saudara ibu yang paling tua, namanya Paman Dirga, memutuskan untuk mengasuh Tizar dan kedua adiknya yang masih kecil, termasuk membiayai pendidikan Tizar. Tizar dipindahkan ke sekolah yang jauh ini, karena Paman Dirga merasa sekolah tersebut sangat bagus untuk mendidik karakter seorang anak pra-remaja macam Tizar saat itu. Paman Dirga dulu juga disekolahkan di sekolah yang sama. Dan Tizar tinggal bersama kakek dan neneknya–yang juga kakek dan nenekku, sama seperti Paman Dirga dulu.
Sejak itu, semua kembali berjalan seperti biasa. Kemudian, di Lebaran lima tahun yang lalu, terjadi sebuah keributan saat keluarga besar kami berkumpul."
Tiara menghentikan ceritanya sejenak, mmenghela nafas.
"Paman Dirga menemukan setumpuk uang di dalam tas Tizar saat ia membereskan rumah untuk menyambut anggota keluarga yang lain. Kata Tizar, itu uang hasil usahanya, dan Paman Dirga waktu itu sangat waswas, kalau-kalau 'usaha' yang dimaksud Tizar adalah usaha yang tak baik. Tetapi Tizar nggak bilang apa-apa, selain ucapan yang waktu itu kudengar sendiri: 'Ini uang untuk biaya sekolah adik!'.
"Sepertinya, karena Tizar menyebutkan kata 'sekolah', Paman Dirga akhirnya memutuskan untuk menelepon seorang guru di sekolah Tizar. Guru ini guru BK, dan beliau ini adalah guru yang menerima Tizar waktu dipindahkan dulu, begitu cerita ibuku. Menurut cerita beliau, ia mendengar kabar bahwa Tizar selalu menitipkan penganan setiap kali ia datang ke sekolah, dan mengambil hasil penjualannya saat pulang.
"Kabar ini diiyakan Nenek esok harinya, yang menambahkan, jika penganan tersebut sebenarnya dibuat secara rutin oleh Nenek untuk pengajian di masjid RTnya, tetapi Tizar meminta sedikit untuk dijual di kantin sekolah.
Yang kuingat, setelah itu Paman Dirga bertanya kepada Tizar, kenapa dia masih saja mengumpulkan uang untuk sekolah adiknya. Kamu tahu apa kata Tizar? Aku belum ngasih apa-apa ke adek selama ini.
Aku makin terheran-heran. "Dia benar-benar bilang gitu?!"
"Ya. Kamu kaget kan? Begitu juga anggota keluarga yang lain saat itu."
"Tapi... dia bahkan belum..?"
"Iya, aku paham. Begitulah Tizar sejak dulu, tegas, blak-blakan, dan terutama sejak kecelakaan itu, jadi sedikit keras. Tetapi, si Tizar selalu bisa mengejutkan orang–bahkan ketika ia sendiri tak menyadarinya.
"Paman Dirga dan anggota keluarga yang lain khawatir Tizar tercemar pergaulan yang buruk, maka setelah tiga tahun di SMP yang sama denganku, ia diikutkan dalam tes penerimaan siswa baru di SMA kita sekarang ini. Aku sendiri sebenarnya juga disarankan masuk kesini sebelumnya, tetapi aku selalu bisa mengelak dengan alasan merawat abangku. Baik SMPku dulu, dan SMAku sebelum pindah kesini, semuanya dekat dengan rumah, sehingga aku bisa lebih banyak meluangkan waktuku bersama abang. Sekarang, berhubung abangku sudah cukup sehat, aku tak lagi punya alasan untuk mengelak, maka akhirnya aku pindah."
Aku mencoba mereguk isi teh dalam botol yang masih terisi separuh. Seolah dengan itu, cerita yang baru saja dituturkan Tiara akan mampu kucerna lebih mudah.
"Kamu teman baiknya Tizar?" Tiba-tiba Tiara bertanya.
"Mmm, aku sendiri tak yakin apakah bisa disebut 'teman baik', tetapi kau bisa anggap begitu. Ada apa memang?"
Sebenarnya aku sendiri tak yakin, apakah bertanya karena ingin tahu, atau karena ingin memperlama obrolan dengannya.
"Maksudku, Tizar sampai menyebut-nyebut tentang aku di hadapanmu. Setahuku ia tidak melakukan hal semacam itu dengan sengaja. Kalau ia sedang dikuasai emosi saat itu, mungkin seperti orang bilang, kepedulian akan sahabat melebihi logika dan akal sehat."
"Apa mungkin ada hubungannya dengan langit senja? Aku duduk di atas gawang dan memandangi langit senja, saat ia memberitahuku yang tadi itu."
"Ohiya, benar juga, ya. Senja. Tizar kadang suka emosional mengenai yang satu itu. Ingat kejadian beberapa waktu lalu kan? Dulu di SMP dia juga beberapa kali melakukan hal yang sama. Mungkin karena.."
Aku memasukkan botol teh yang masih terisi separuh ke dalam tasku.
"Kurasa aku bisa melihat alasannya, Tiara. Sudahlah, kau sudah terlalu banyak bercerita siang ini."
"Hehe, sepertinya kamu benar-benar teman baiknya Tizar. Baiklah, sampai jumpa, Bardi. Jaga Tizar baik-baik yaa.." Tiara bangkit dan berjalan pergi sembari sedikit tergelak.
Aku masih duduk di tepi jenjang tangga Kedai.
Mungkin aku tahu, ada apa dengan senja. Atau tidak?
***
"Tizar," aku menyahutinya yang beranjak pergi itu. "Ada apa antara kau dan langit senja?"
Tizar menoleh dengan tatapan yang tak biasa kulihat. Kupikir, karena dia sebelumnya bicara dengan blak-blakan, maka tak ada salahnya kucoba juga hal yang sama.
"Sebelumnya, bisa ente ceritakan dulu, kenapa ente menatap langit senja dengan tampang menyedihkan begitu?".
Aku hanya tercenung.
"Dulu, ane juga ngeliat langit senja sebagai simbol dari akhir kejayaan surya. Terang menghilang, malam menerjang. Kedengarannya menyedihkan, ya? Apalagi kita juga kenal dengan istilah 'usia senja'.
"Tapi, coba bayangkan. Mungkin senja itu akhir dari hari. Tetapi orang sampai menamainya dengan nama sendiri. Artinya, hari berakhir dengan akhir yang istimewa. Saking istimewanya, jutaan orang di dunia rela meluangkan waktu sejenak untuk memandangi terbenamnya Matahari. Saking istimewanya, umat Muslim menjadikan waktu terbenamnya matahari sebagai ajang pergantian hari, atau sebagai penanda waktu sholat.
"Dan juga, semu kemerahan senja mungkin saja bisa mengingatkanmu pada akhir hayat. Bahwa siklus kehidupan dan kematian ada analoginya di mana-mana. Jika orang-orang bisa memilih, bukankah mereka akan memilih akhir cerita yang indah? Yang mereka sebut happy ending?"
Tizar kembali melangkahkan kaki ke arah masjid.
"Kalau kau, Bardi? Bagaimana denganmu?"
Terlalu banyak kejutan yang kuterima siang ini. Saking banyaknya, untuk beberapa menit selanjutnya aku hanya bisa duduk di tepian Kedai. Membiarkan apa yang baik Tizar maupun Tiara sampaikan. Meskipun aku berbicara sekian lama dengan Tiara, dan pembicaraan itu sudah selesai beberapa saat lalu, bersitan aneh yang dulu sering muncul dalam kondisi serupa, kini seolah mati.
Aku terlalu jauh dari level mereka. Masih sampah.
Tergelak menertawakan diri sendiri, dan krisis diri yang bisa-bisanya kubiarkan merajalela akhir-akhir ini. Tidak hanya salah prasangka, tetapi juga kesadaran yang muncul menghantamkan diriku lagi, sekali lagi, seolah belum cukup parah, kepada kenyataan.
You left me here, beside myself
Left me with all the reason I was wrong for you
"Woi, napa loe? Galau? Mending ke masjid, udah mau adzan noh." Bambang menepuk pundakku dengan kekuatan yang tak dikira-kira dulu.
Heh. Aku mengambil tasku yang sebelumnya tergeletak, dan berdiri untuk pergi ke masjid. Dan saat itu juga kuputuskan untuk melupakan segala macam cerita cinta yang sempat kucoba tabur-taburi dalam jiwa.
Kuambil kertas yang pernah kucoba kutulisi surat cinta dengan air jeruk. Tadinya, surat itu kuniatkan untuk diberi ke Tiara. Tetapi tidak lagi.
Dengan yakin, kumasukkan kertas itu ke dalam tong sampah.
Sampah memang layaknya ada di tempatnya.
Kalau bertebaran, justru ia malah mengotori, bukan?
*****
Entah sudah berapa lama aku duduk di teras kosan, berselimut cerita lama. Langit senja masih saja menampilkan gemilang cahayanya, meski sang surya kini sudah terhalang rumah di seberang.
Setelah kupikir lagi, bahkan, dengan semua cerita Tiara saat itu, tindakan Tizar menceritakan masa lalu Tiara seara tersirat masih terasa tak wajar bagiku. Seolah Tizar sengaja melakukannya, supaya aku memutuskan bertanya ke Tiara, dan mendengar seluruh isi cerita.
Kalaupun iya, untuk apa?
Sudahlah, lupakan saja.
Suara tilawah mulai bergema dari pengeras suara masjid. Kulirik sebentar pesan yang tadi masuk di hapeku.
"Bar, ane denger ente pulang cepet hari ini? Makan yuk di warung samping masjid RT abis maghrib!"Sepertinya opsi yang diberikan kepadaku hanya satu. Menyegarkan kepala dan melupakan pikiran-pikiran tak jelas.
Lagipula, hari ini harus disyukuri. Pertama kalinya pulang sebelum Maghrib sejak dua bulan lalu.
Kugeletakkan tas di tempat tidurku, dan kukenakan sendal untuk pergi ke masjid.
-Tamat-
P.S.: Tidak membaca dari awal? Sila telusur disini.
sumber gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar