Aku baru saja berjalan turun dari angkot, pulang menuju kosan. Beberapa bulan terakhir, aku begitu sibuk dalam berbagai kegiatan di kampus, yang mendorongku untuk terus-terusan pulang selewat jam 7 malam.
Maka, ketika ragaku sudah ingin menjerit menuntut istirahat dari segala macam kesibukan tiada akhir ini, rapat yang selesai lebih cepat dari rencana berhasil membuatku bersorak.
Dan ketika aku turun dari angkot tadi, aku kembali menikmati keindahan pesona alam, yang ditawarkan melalui tirai-tirai awan yang berpendar jingga.
Semburat senja punya banyak cerita, ya.
Seperti cerita yang dulu itu.
Semburat senja punya banyak cerita, ya.
Seperti cerita yang dulu itu.
*****
"Hei, kau lihat dimana Tizar? Dia tidak ada dimanapun!"
Empat tahun lalu lebih sedikit, masa SMA. Jam 5.15 sore.
Empat tahun lalu lebih sedikit, masa SMA. Jam 5.15 sore.
Aku menampakkan muka ngos-ngosan dari sela pintu ruang OSIS. Sudah setengah jam kuhabiskan berkeliling kompleks sekolah mencari Tizar, dengan hasil nihil. Padahal awalnya sederhana; aku ingin menemui Tizar di asrama untuk meminjam novel barunya.
Tetapi ia tidak ada di manapun tempat yang kucari.
Padahal ia tidak dalam izin apapun meninggalkan kampus.
Bersama beberapa orang teman, aku menyisir seisi kompleks sekolah. Memang urusan awalnya tak seberapa, tetapi apa jadinya kalau salah satu siswa sekolah ini hilang begitu saja?
Sayangnya, waktu itu di ruang OSIS hanya ada dua orang. Remi yang sedang berkutat di depan laptop, entah mengerjakan apa. Serta Tiara yang sedang bersantai, sepertinya menemani Remi.
Glek. Ada Tiara pula.
Tiara baru saja pindah ke sekolahku di awal semester tiga. Tetapi ia dengan cepat menjadi gadis populer, terutama di kalangan cowok. Cukup banyak yang naksir dia. Aku pun hanyalah salah satunya.
Huff, tak ada waktu untuk urusan semacam ini. Aku perlu segera menemukan Tizar.
"Hei, kau lihat dimana Tizar?"
Dua gadis dalam ruang OSIS itu hanya menoleh sedikit.
"Aku nggak tau, Bar, dan tolong bisa tinggalkan aku dulu? Proposal ini harus dicetak sebelum maghrib!", keluh Remi sembari membetulkan kacamatanya.
"Tizar ya? Hmm, santai saja, pasti ketemu nanti. Siap-siap terkejut saja kalian," Tiara hanya menjawab santai.
Aku sempat merasa ada yang aneh, tetapi saat itu aku tak begitu peduli.
Sialnya aku masih saja berdiri disana. Kenapa malah jadi kikuk begitu, hei? Tizar harus segera ditemukan!
Kuucapkan terima kasih tanpa berani memandang mereka berdua, dan segera aku bertandang ke dalam gedung sekolah. Kata Bambang, teman sekamar Tizar, Tizar sempat mengatakan padanya dia berada di 'area sekolah'. Masalahnya, Tizar tidak ada di seluruh ruang di gedung sekolah.
"Kira-kira, ia ada dimana? Masa' dia menyelinap ke suatu tempat rahasia di sekolah?" pikirku panik. Namun rupanya, pikiran panikku tak perlu dilanjutkan.
"HEI TIZAR! DARIMANA SAJA KAU?" Teriakan Bambang. Tak salah lagi, Tizar sudah ditemukan. Tetapi aku penasaran, ada dimana ia selama ini.
Aku segera berlari ke lantai tiga, tempat dimana sahutan-sahutan sore itu berasal.
Disana ada Tizar, yang baru saja turun dari atap sekolah. Dengan tampang bingung, Tizar menghadapi gelora kekesalan dan kekhawatiran temannya.
"Apa yang kaulakukan di atas atap begitu, Tizar? Apa kau gila?"
"Maaf, Bardi, maaf, ane hanya lagi merenung."
"Merenung? Tak adakah tempat yang lebih baik untuk merenung?"
"Yah, sejak gedung sebelah didirikan, tidak ada lagi. Pemandangan senja disini paling oke."
Senja? Aku sendiri tak habis pikir.
Syukurlah, paling tidak Tizar sudah ditemukan. Belakangan, diketahui bahwa sebenarnya Tizar sudah memberitahu Bambang bahwa ia akan naik ke atap balkon gedung sekolah. Tetapi, saat itu Bambang mengiranya bercanda, dan melupakan detail kecil itu. Detail kecil yang megantarkan siswa kelas dua saat itu pada kehebohan sore hari.
Satu masalah sore itu selesai dengan hasil di luar dugaan.
Satu masalah sore itu selesai dengan hasil di luar dugaan.
Tetapi, dalam pikiranku, sebuah persoalan pelik baru saja tersemai.
Aku masih ingat betul, saat itu, di tengah kalang kabut pencarian Tizar.
***
Sore itu.
Kami semua, yang mencari Tizar, berkeliling kompleks sekolah dengan panik, khawatir, setengah cemas. Berbagai orang yang kutemui, kucecar pertanyaan demi secercah kemungkinan mereka baru saja melihat sosok Tizar. Tizar cukup terkenal di sekolahku; dia wakil ketua OSIS, siapa lah yang tak kenal ia. Berkat tingginya taraf keterkenalan Tizar ini, setiap orang yang kutanyai tak serta merta menjawab 'Tidak tahu' atau 'Tidak kenal'. Dari orang-orang yang kutanya, hampir semua yang merespon menunjukkan mimik khawatir yang serupa, nada cemas yang senada.
Kecuali.... dia..
Kecuali, dia..
(err, tolong matikan radionya.)
Kuputar ulang rekaman pikiranku dari sore itu, sampai di momen dimana sempat muncul perasaan janggal yang segera kuenyahkan saat itu.
Remi memang tak begitu memperhatikan, dia sedang berkutat dengan proposal acara.
Tetapi bukankah Tiara jelas-jelas memperhatikan apa yang kubicarakan saat itu?
Nah.
Itu dia.
Dari sekian banyak orang yang kutanyai, Tiara-lah satu-satunya orang yang tak menunjukkan tanda-tanda cemas dan khawatir saat kutanyai.
Bagiku, kenyataan itu hanya membawaku pada kedua kesimpulan.
Pertama, ia tak peduli akan nasib Tizar. Suatu hal yang akan menghancurkan citra indahku akan kepribadian Tiara yang dikenal luar biasa.
Tetapi, saat kilas balik momen itu kembali berkelebat di kepalaku, aku sadar skenario itu tidak mungkin.
"Tizar ya? Hmm, santai saja, pasti ketemu nanti. Siap-siap terkejut saja kalian,"Yang mungkin adalah skenario kedua. Skenario yang bahkan lebih tak kuharapkan.
Ia bisa begitu tenang karena ia sudah begitu memahami Tizar.
Entah bagaimana munculnya, yang jelas perutku mendadak terasa seolah Tizar baru saja menonjokku.
Bahkan bersitan konyol yang tadi kerap muncul, kini sungkan untuk terbit lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar