Jumat, 11 Oktober 2013

Article#218 - Mengejar Ekor


[Perhatian: Nama dan lokasi kejadian tidak diambil dari figur nyata. Jika ada kesamaan intuisi dan merasa dijadikan tokoh, udah baca aja, nggak usah geer.]

Simon melangkah ke luar dari kampus. Pikirannya berkecamuk.
Berkali-kali Simon berdehem dan menggeleng-geleng dalam diam, berusaha untuk mengesampingkan ingatan buruk yang baru saja dipatrikan ke otaknya. Hentikan. Hentikan. Bayangkan nanti malam mau makan apa. Mau tidur jam berapa. Tak perlu dipikir lagi hal yang tadi itu. 
Sayangnya, Simon belum mampu membohongi diri sendiri. Seperti kutipan lama yang tetap bergaung auranya itu, semakin kau berusaha melupakan sesuatu, semakin kuat ia menempel di kepalamu. Ia terus berusaha menggeser otaknya untuk memikirkan cadangan mi instan yang makin menipis di kamar kostnya, atau kemungkinan adanya abang sate yang lewat depan rumah malam nanti. Tetap saja, Simon terus gagal. Otaknya terus kembali ke cerita barusan, cerita yang demikian menyebalkan.

Mungkin Simon terlanjur hafal segala detailnya. Terlepas dari fakta bahwa dia tak berminat menceritakannya pada kalian para pembaca. Sayangnya, diceritakan atau tidak, ia tetap muncul secara perlahan, tenang, mendominasi seisi otaknya.
Proyek ambisius yang gagal.
Guratan kekecewaan para teman.
Kepercayaan yang gagal dipertahankan.

"Hei, hati-hati, Mon."
Simon tak peduli. Ia sudah tidak ingin mendengar kata-kata semacam itu lagi. Ia abaikan saja dan terus melangkah. Mendadak tasnya ditarik seseorang.
"Hei! Kubilang hati-hati, kau mau menyapa bis, hah?!"
Dengan muka gusar, Dimas menghela nafas dan melepaskan tarikannya. Sebuah bus baru saja tiba, dan ban kiri depannya kini berada tepat di tempat Simon hendak menapakkan kaki sebelumnya. Simon hanya menatap kakinya dan ban bus seara bergantian. Kemudian ia melirik Dimas, berniat mengucapkan—
"Apa sih, sudahlah tak perlu pake terima kasih segala."
Dimas lebih cepat merespon. Dan lagi-lagi ia lebih cepat berkata-kata,
"Tapi yang benar saja, kau ini, masa' sampai segitunya sih. Cuma dinasehati begitu."
Cesh! Cukup telak, emosi Simon mulai tersulit.
"Kau tak tahu apapun, Dim. Diamlah."
Dimas terdiam sejenak.
"Hei, Mon, coba jernihkan kepalamu."
"Kubilang, kau diam."
"Yang benar saja."
"Tentu saja aku serius, hoi."
"Tunggu, dengarkan dulu."
Kini Simon yang terdiam sejenak.
"Renungkanlah baik-baik, apa yang terjadi sore tadi."
Daritadi, meskipun Dimas dan Simon sama-sama berbicara dengan nada keras, suara bising klakson dan derum kendaraan di jalan raya berlomba menutupi telinga orang-ornag di pinggir jalan dari apa yang seharusnya bisa ia dengar.
Pun begitu, Dimas justru berkata pelan,
Menurutmu, apa awal mula dari semua ini?"
Bodoh, batin Simon. Sudah jelas kan. Buat apa ditanya lagi.
Sekilas Dimas melihat ekspresi Simon. Sirat mata Simon menggambarkan jawabannya. Tanpa ia perlu berkata-kata.
"Hei, bodoh, tunggu dulu!"
Mendadak Simon menjadi cekatan dan segera melesat ke pintu bus yang baru tiba. Dan sekaligus menghindari Dimas, yang ia yakini akan menguliahinya dengan berbagai macam 'sampah'.

Dimas hanya bisa menghela nafas.

***

Simon melangkah pulang dari halte bus. Pikirannya bergejolak.
Berkali-kali Simon mengumpati Dimas di dalam hati selama perjalanan pulang. Dimas yang selama ini adalah salah satu sohib dekatnya, bersikap seolah sama seperti yang lain. Semua menyudutkanku. Mau kalian apa sih?
Pikiran Simon kembali melayang ke seruan Andre beberapa jam sebelumnya.
...
"Hei Simon. sedemikian kecewanya kau akan proyek yang gagal, tetapi kau hanya menghabiskan waktu merenunginya. Ketika ada yang mengingatkan, kau malah menumpahkan semua kesalahan padanya. Kemudian kau berlari, berlindung di balik tempat yang kau kira menjamin keamanan. Padahal, kesalahan itu tetap mengikuti, menempel.

Kau coba enyahkan ia, tetapi jika dilakukan dengan cara yang salah, ia tak mau lepas. Kau berlagak mengejarnya, dan akhirnya kau hanya berputar di tempat. Kalau begitu terus, akhirnya seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri, buang tenaga. Dan ketika ia merasa berhasil dan menggigit ekornya, saat itulah ia baru sadar, betapa yang rugi hanya diri sendiri.

Sebelum kau keburu menggigit ekormu sendiri, bangunlah."

Kesalahan yang mengikuti....
Perlahan Simon mulai berpikir lebih jernih, dan tersadar bahwa tindakannya mengumpati Dimas di bis sebelumnya tidaklah relevan. Begitu pula tindakannya ketika menyikapi Andre dan yang lainnnya tadi. Pikaran tersebut, bersama pikiran lain yang sebelumnya sempat terbersit di kepalanya, perlahan membentuk sebuah 'kabut kasar'.
Mungkin kalian mengenal kabut ini dengan nama 'pemahaman'.

Eh, tidak, yang ini belum bisa disebut demikian. Ia belum paham. Ya sudahlah.

Dan Simon terus berjalan...

(bersambung)

sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...