Oke, sebagaimana umum diketahui oleh banyak orang di seluruh Indonesia, 6 Juli kemarin diumumkan hasil senam tulis. (Oke, sebenarnya sebutannya yang benar SNMPTN, tapi super ribet kan. Makanya saya lebih suka menyebutnya senam. Serius deh, kenapa sih si pemerintah nggak bisa bikin istilah yang mudah diucapkan saja?). Syukurlah banyak rekan seperjuangan saya di SMA (oke, MAN) yang mendapat berita bahagia berupa bangku kuliah dari pengumuman tersebut. Buat yang belum dapet berita bahagia tersebut, tetap semangat, akan ada waktunya bagi kalian untuk mendapatkannya..
Kemudian, ada lagi berbagai berita mengenai beberapa anak-anak tukang belajar yang terpilih sebagai delegasi nasional untuk mengikuti olimpiade sains internasional. Dimana-mana di situs jejaring sosial, berseliweran kabar mengenai terpilihnya si dia, si itu, si ia dan lainnya, berupa ucapan selamat, doa, dan lainnya. Ada juga yang berhasil memastikan posisinya dalam kompetisi. Ada yang mendapatkan beasiswa luar negeri, ada yang berhasil berpetualang, dan lain-lain.
Ada berbagai macam keberhasilan yang saya tangkap dan jaring untuk disimpan di memori kepala saya, tetapi yang pertama terlintas di benak adalah: kenapa ya keberhasilan selalu identik dengan mendapatkan sesuatu? Hah, terbalik, saya pikir kemudian. Tentu saja akan begitu, karena kata 'berhasil' memiliki kata dasar 'hasil', yang saya rasa cukup menjelaskan korelasinya. Kemudian, jika seseorang tidak mendapatkan sesuatu, atau tidak 'berhasil', apakah ia pantas disebut 'gagal'? Nyatanya, tidak. Meskipun warga Indonesia bersama-sama paham bahwa kata 'berhasil' memiliki antonim berupa kata 'gagal', dalam pemaknaan linguisitik sehari-hari, orang yang tidak berhasil tidak selalu bisa dibilang gagal. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, saya dapati kebanyakan masalah normatif. Tetapi rupanya ini juga masalah perspektif:
Keberhasilan itu relatif.
Meski mungkin citraan orang mengenai sebuah 'keberhasilan' cenderung sama (yang bisa saja banyak dipengaruhi faktor normatif pula), standar keberhasilan menurut orang seringkali berbeda. Tinjau saja standar keberhasilan tiap siswa untuk kuliahnya: sebagian menganggap diterima di jurusan kedokteran itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di jurusan teknik itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di jurusan ekonomi itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di universitas top regional itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di universitas top nasional itu berhasil, sebagian tidak. Sebagian menganggap diterima di universitas top internasional itu berhasil, sebagian tidak. Dan seterusnya. Ingat, ini baru sekadar menentukan pilihan kuliah. Di luar itu, tentunya, jauh lebih banyak lagi perbedaan standar ini. Ada yang menjadikan bekerja di perusahaan luar negeri sebagai patokan keberhasilan. Ada yang menjadikan berkeluarga dan hidup mapan sebagai patokan keberhasilan. Ada yang menjadikan jabatan sebagai patokan keberhasilan. Bahkan ada yang menjadikan mengubah dunia sebagai sebuah keberhasilan. Perbedaan mereka hanya di penentuan tujuan: yang satu menempatkan tujuannya setinggi mungkin, dan yang lain mungkin telah dikalahkan oleh ketakutannya sendiri akan 'kegagalan' dan kemudian ia 'merendahkan' tingkatan tujuan hidupnya ke taraf yang ia pikir 'realistis'. (Mengenai bagaimana impian seseorang dikalahkan rasa takutnya, lihat di sini).
Sekarang kembali ke masalah sebelumnya, jika mendapatkan sesuatu diidentikkan dengan berhasil, dapatkah 'tidak mendapatkan' disamakan dengan 'gagal'? Terlepas dari sebagian besar yang tidak mau menyebut ketidakberhasilannya mendapatkan sesuatu sebagai sebuah 'kegagalan', ternyata, ketika seseorang tidak berhasil mendapat sesuatu, ada 'pengganti' yang kita dapatkan. Oke, mungkin bukan selalu.. Oke juga, mungkin 'digantinya' tidak langsung. Tetapi, itu ada. Memang ada kalanya kau akan kecewa ketika apa yang kau dapatkan tak selalu sesuai dengan yang kau inginkan, tetapi yang terbaik tidaklah selalu sesuai dengan apa yang kau inginkan. Mungkin sedikit cerita pengalaman saya bakal membantu. (tapi jangan tendang saya ke bulan kalau tidak...)
Sampai beberapa bulan yang lalu, saya masih tercatat sebagai peserta pelatihan nasional untuk seleksi mendapatkan delegasi 5 bocah pesakitan menuju olimpiade internasional. Saya berpartisipasi di bidang astronomi. Dan sampai saat itu pula, saya berharap untuk dapat lolos dan bergabung dalam delegasi timnas menuju ke Brazil. Tetapi, saat itu tetaplah saat itu. Saya selalu berusaha mengikis pikiran saya yang muncul, yang saya anggap sebagai gangguan: Kalau ternyata nggak lulus gimana gi? Saya katakan pada diri sendiri, optimis, pasti bisa. Pasti bisa. Lulus. Seratus. (Jadi ingat kata pengobar semangat dari kepala sekolah saya di masa UN.)
Tetap saja, menjelang akhir dari pelatihan, setelah sekerumunan tes akhir yang memuakkan kepala, pikiran itu makin sering bercokol di kepala saya. Tetapi pertanyaannya, meskipun topiknya serupa, namun kehadirannya di kepala makin meningkat seiring waktu. Saat itu saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika saya tidak terpilih menjadi salah satu anggota delegasi tersebut. Saya coba berpikir jernih, dan ternyata hanya butuh satu pertanyaan sederhana untuk mengusir rasa galau itu perlahan-lahan: Kalau lolos, lalu ikut, lalu selesai, lalu apa? Pertanyaan sederhana memang, tetapi dengannya saya tersentak tanpa sadar. Saya terlalu ambisius. Terlalu fokus akan satu tujuan, yang jangka pendek. Saya nyaris lupa akan rencana jangka panjang saya, termasuk kuliah. Seolah saya hanya perlu hidup untuk mengincar kursi di ruang tes IOAA. Sejak itulah, saya tersadar, dan memutuskan untuk melupakan masalah olimpiade ini. Paling tidak, hingga surat pengumuman diedarkan.
Dan akhirnya saya tidak terpilih sebagai salah satu delegasi tersebut, memang. Tetapi ketika saya tahu informasi tersebut, waktu dan benak saya telah sukses bekerjasama, sehingga ketakutan yang sempat saya rasakan tak muncul lagi, dan hanya menjadi sekadar bumbu di tengah perjalanan hidup. Saya berhasil untuk tidak menyesal, karena meskipun saya tidak jadi mengikuti IOAA, waktu yang tadinya akan terpakai utnuk pelatihan persiapan olimpiade tersebut akhirnya bisa menjadi lebih bermakna. Menilik hal tersebut, sesuai
Dan waktu yang berharga itulah yang saya susun sedikit demi sedikit untuk merancang masa depan, termasuk di halaman-halaman tak jelas di blog ini. Mungkin ada sesuatu yang saya hentikan, tetapi ada lebih banyak yang saya mulai. Dan yakinlah, ketika kau bisa memulai sesuatu setelah bangkit dari kegagalan, kau akan tumbuh lebih bijak dan lebih baik menghadapi kerasnya gilasan roda kehidupan. Lagipula, seperti pernah dituturkan bung Tere Liye, kebahagiaan hidup itu tak pernah tertukar. Jangan takut untuk gagal sekarang, karena gagal sekarang bisa saja membawamu ke berhasil yang nanti.
Kegagalan mungkin tampak sebagai sebuah pemberhentian, namun ia sebenarnya juga sebuah permulaan.
Begitu pula keberhasilan.
Lihatlah bagaimana kedua hal yang amat berlawanan ini bisa memiliki kesamaan yang begitu kuat. Jadi, pembaca, beranikah kalian untuk gagal? Dan beranikah kalian untuk bangkit setelah gagal? Kalianlah yang bisa menjawabnya. (:g)
Enlightening, as always. Way to go, masgi!
BalasHapustetap semangat,,, !!
BalasHapustetap saling menyemangati dan mengingatkan, ya Gian.
Kadang, sekalipun kita mengerti teorinya, rasa kecewa akan kegagalan membuat kita merasa demikian jatuh. Dan kita tetap butuh teman untuk kembali menyadarkan dan menyemangati.
Makasih Gi, nice post^^!
Wokeh makasih... :D
BalasHapusSukses buat semua!
Gila...keren banget ini !! wah...kak gian selain guru Astro juga bisa jadi guru hidup..
BalasHapusAhaha, terserah elu dah, Faqih...
Hapuswih gilak gilak keren amat bang :V makasih pencerahannya (y)
BalasHapusAmpun bang :v
HapusYoi sama sama (y)
bagus bgt ...penuh gleget deh pokoknya hehehehe...
BalasHapus