Kamis, 26 Juni 2014

Article#310 - Zaman Yang Berubah (2)

....
Melanjutkan penahbisan bulan Juni kali ini bulan bagi tulisan nostalgia, penulis akan kembali menyampaikan berbagai kupas cerita beraroma nostalgia. Semoga pembaca sekalian tidak jenuh, ya.
Cukup sekian prolognya. Selamat menikmati.

NB: Jika berminat, bisa membaca tulisan Zaman Yang Berubah (1) pada tautan yang tersedia.

*****
Zaman berubah. Tentu saja, zaman berubah, siapa pula yang akan membantah?
Kita mungkin tak saksikan, bagaimana generasi kakek-nenek kita dahulu berjuang dalam menempuh pendidikan yang mungkin tak kita rasakan, mengguratkan perjuangan yang mungkin tak kita kuatkan. Kita mungkin juga tak saksikan, bagaimana generasi ayah-ibu kita, berinteraksi dalam keseharian yang tak kita kenali, beranjak dalam keterbatasan yang tak kita rasai. Toh pada kenyataannya kita tetap tak menyangsikan ada perubahan.

Ada perubahan pada pepohonan yang ranting-rantingnya makin bercabang, batang-batangnya makin kokoh, daun-daunnya makin luas. Ada perubahan pada mobil tua yang dibiarkan di parkiran entah sejak kapan, dengan cat yang terus mengelupas, dengan karat yang terus membuas. Ada perubahan pada wajah-wajah lama dalam ingatan, dengan sinar mata yang tak lagi tajam, detail kulit yang tak lagi lembut. Ada perubahan yang menimbulkan perbedaan. Tanpa perlu menilik contoh-contoh ekstrem yang bertebaran kisahnya di sekeliling, ada juga perubahan yang menyelinap masuk dalam citraan paling sederhana. Perlahan menyebar, nyaris tanpa terasa indera. Tanpa disadari, apa yang lazim dikenali di masa lalu, kini menjadi objek yang asing. Perubahan yang hanya terasa kita melihat ke belakang, dan membandingkan.

.....
Jika kau sesekali berkelana di dunia maya, mungkin di beberapa kau akan menemukan situs-situs tempat di mana orang dengan bebas bercengkerama. Mereka berkumpul begitu saja, tanpa peduli sekat negara, usia, atau bahasa — mengingat hampir semua dari mereka berbicara dengan bahasa Inggris. Sesekali muncul sekelompok orang yang berbicara dengan bahasa ibu mereka sendiri, namun biasanya orang-orang tersebut akan diomeli karena "sok ekslusif". Di kesempatan lain, mereka akan mendapat ejekan dari orang lain yang asal mengutip ungkapan dalam bahasa mereka. Sekumpulan orang dipergoki asyik berbahasa Prancis, maka keluarlah kutipan Dexter yang terkenal (walaupun konon salah secara gramatikal), "omelette du fromage". Temukan sekumpulan orang asyik berbahasa Jerman, maka tinggal menunggu waktu saja sampai ada yang mengeluarkan lelucon berbau Hitler dan NAZI. Temukan sekumpulan orang asyik berbahasa Rusia, maka akan keluar lelucon terkait sang presiden, Putin. Juga, tentu saja, tentang vodka. Temukan sekumpulan orang asyik berbahasa Arab, tebak lelucon jenis apa yang akan muncul? Tentu saja, lelucon berbau minyak, bom atau terorisme.

Stereotip-stereotip semacam ini seolah telah menjadi santapan yang lumrah dikonsumsi oleh mereka yang rajin berkelana di belantara dunia maya. Stereotip yang seringkali tak mengenal batas-batas norma, ataupun peduli lelucon seperti apa. Menilik kenyataan yang mengherankan ini, terkadang mereka yang masih hijau demikian cepatnya tersulut emosi dan mengeluarkan alinea demi alinea bantahan tanpa ampun. Bantahan yang seringkali memicu sebuah (atau bahkan lebih!) debat kusir tanpa akhir, yang tetap saja direspon dengan semangat berapi-api oleh para pemula. Mereka yang lebih gaek dalam kancah pertarungan di dunia maya biasanya hanya akan duduk santai, menonton pertarungan, membaca skrip pertarungan, atau yang paling lumrah, menertawakannya.
Sebuah frase yang sering digunakan dalam waktu-waktu sejenis itu, termasuk oleh penulis (yang merasa dirinya sudah cukup gaek berpetualang di belantara internet). Grab some popcorn.

Ketika para pemula, ataupun orang yang tidak terbiasa dengan belantara dunia maya (apa bedanya?) ini melihat komentar yang menertawakan dan menghujat dengan begitu ringannya, mereka mungkin menyangka belantara internet sebagai sebuah dunia maya tanpa tata krama, di mana orang-orang sudah mematikan sentuhan moral dalam masing-masing jiwanya. Mungkin yang ada di pikiran mereka yang berkobar dengan semangat idealismenya itu, "Bagaimana mungkin orang-orang bisa se-tak acuh ini? I have lost faith in humanity,"
Akan tetapi, sekejam-kejamnya belantara internet yang biadab, mereka masih punya tata krama. Tata krama yang sangat terbatas, dan ditentukan oleh mayoritas orang yang beredar.

Tentunya kalian semua akan mafhum, jika orang-orang yang sanggup menghabiskan waktunya sedemikian lama berselancar di belantara dunia maya, adalah orang-orang yang hidupnya terlalu didominasi waktu luang. Entah mereka pelajar yang sedang libur panjang, para karyawan yang memenatkan diri dalam rutinitas hariannya, atau orang-orang "tanpa kehidupan" yang benar-benar menghabiskan sebagian besar isi hidupnya bergumul di dunia maya. (Mungkin penulis termasuk salah satunya? Siapa tahu.) Ohiya, tentu saja, jangan lupakan para jomblo. Bagaimanapun ngenes-nya hidup mereka menurut kaum mayoritas di dunia nyata yang konon mendambakan hidup berpasang-pasangan dalam ikatan cinta, mereka seolah menemukan kebahagiaan tersendiri di dunia maya, dengan segala kebodohan, kegilaan, dan tiadanya norma di dalamnya.
Maka, tata krama pertama dalam menyusuri belantara dunia maya mungkin bisa digambarkan dengan kalimat berikut:
Mayoritas pengguna internet adalah jomblo atau terjebak di friend zone. (Sila cek laman ini kalau kalian masih terlalu hijau untuk tahu apa itu friend zone.) Dan, kedua golongan ini sangat sensitif akan segala post yang berbau relasi dengan lawan jenis. Maka, waspadalah.

Supaya saya tidak melantur terlalu jauh dalam tulisan kali ini, mungkin sudah waktunya bagi saya perkenalkan tata krama kedua.
Jika dilihat dari sudut pandang demografi, akan didapati bahwa mayoritas pengguna internet yang cukup aktif saat ini berkisar pada jangkauan usia produktif awal, katakanlah 15-30 tahun. (Penulis termasuk juga dalam kelompok ini, kalau begitu.) Generasi ini adalah generasi yang tumbuh di era 80an dan 90an, sejak waktu-waktu dimana teknologi macam internet, komputer, atau bahkan telepon, bukan sesuatu yang dengan mudah dimiliki semua orang. Penulis bisa dengan yakin mengatakan, bahwa generasi inilah yang paling merasakan perubahan dalam interaksi sosial di kehidupan mereka, ketika masa kecil dan masa dewasa mereka dibandingkan. Banyak orang dari golongan ini dengan bangga menyebut diri mereka sebagai 90s kids atau 80s kids, bergantung pada dekade yang mana masa kecil mereka banyak dihabiskan.
Penulis mengamati bahwa kelompok usia ini termasuk kelompok usia yang dominan menghuni belantara internet, sehingga tata krama kedua dapat ditelurkan:
Generasi terbaik adalah generasi 80an/90an. Generasi setelah itu adalah generasi yang bodoh.
Kenapa demikian? Karena, menurut pandangan generasi 80an-90an, anak penghuni sekolah menengah saat ini sudah terlalu banyak bersentuhan dengan teknologi mutakhir dalam bentuk layar sentuh, ponsel pintar, sehingga otak mereka menjadi bodoh. Beda dengan generasi 80an-90an yang teknologinya masih sebatas layar tancap, ponsel bodoh, sehingga (seharusnya) otak mereka encer.
Ada sebuah ungkapan yang menyiratkan bahwa otak generasi orangtua adalah otak yang (seharusnya) encer.
Respect your parents. They finished school without Google or Wikipedia.

Satu hal yang cukup menggelitik perhatian penulis, adalah saat mereka yang konon mengaku sebagai generasi 90an, mulai membanggakan betapa era 90an adalah salah satu era terbaik yang pernah ada. (Rasanya wajar kan ya, mereka berpikir begitu?) Kemudian, satu persatu anak 90an mulai bercerita dengan asyiknya tentang berbagai permainan yang dengan indahnya mengisi keseharian hidup mereka dulu. Saat-saat dimana video tutorial pemakaian Internet terlihat sebagai suatu hal yang demikian menakjubkan. Saat orang-orang masih harus membeli CD dan kaset untuk mendengar klip-klip musik favorit mereka. Saat ponsel masih menjadi barang mewah, dan ukurannya masih sebanding dengan telepon rumahan. Daaaan seterusnya.

Mengapa hal-al tersebut menggelitik perhatian penulis? Karena, perhatian penulis peka terhadap rangsang, sehingga mudah tergelitik. (?)
Err lupakan. Penulis memperhatikan, bagaimana detail yang mereka sajikan terhadap era yang mereka sebut sebagai era 90an, masih tergambar dengan baik di benak penulis. Sebagai individu yang terlahir di setengah jalan era 90an, dokumentasi pengamatan penulis akan dunia sekitar kurang lebih tersusun balik ketika waktu melangkahkan kakinya memasuki milenium baru. (Lupakan lelucon Panji si manusia milenium.)
Di tahun-tahun awal 2000an, penulis masih lamat-lamat mengingat tumpukan kaset yang bertumpuk di depan radio keluaran 1991 di tengah rumah. Orangtua penulis pun termasuk ciamik dalam menjaga barang-barang yang dibeli, maka kerap kali penulis diperkenalkan dengan barang-barang tersebut. "Panggil barang ini 'Kak', ya," biasanya begitulah sahutan yang akan muncul.

Memori penulis juga masih merekam dengan baik (syukurlah) saat dimana nternet benar-benar terasa sebagai barang mewah, dan mayoritas penghuni rumah saat itu tidak menganggap internet sebagai sesuatu yang cukup bermakna untuk dihadirkan dalam kehidupan rumah tangga. Alasan pertama, mahal. Juga, koneksi yang menghubungkan komputer ke dunia maya kala itu membutuhkan penjajahan atas slot koneksi yang sama dengan telepon rumah. Alhasil, ketika keingintahuan seseorang di dalam rumah mendorong pada penggunaan internet, sang pengguna akan kerapkali ditunggui oleh ia yang menunggui kabel telepon. "Cepetan dong internetan nya, mau pakai telepon nih!"
Masih ada memori dimana media cetak masih jauh lebih populer dan diminati daripada media elektronik. Dimana teknologi manual masih jauh lebih efektif digunakan daripada teknologi otomatis. Termasuk teknologi yang kini seolah menjerati sendi-sendi kehidupan bermasyarakat kita. Internet.

Sepanjang pengetahuan penulis, sepertinya internet mulai merajalela di seantero Indonesia sejak tahun 2007-2008, ketika warnet-warnet mulai mampu menyediakan layanan internet dengan kecepatan yang cukup (untuk standar Indonesia), dan mulai 'meledak' sejak tahun 2008, seiring makin familiarnya jejaring sosial di kalangan masyarakat menengah Indonesia.
Rasanya tiba-tiba saja, semua di sekitar kita berubah menjadi hal baru yang sekilas asing? Beberapa orang di dunia maya pun dengan senang hati membantu kita menggambarkan perubahan yang telah terjadi.

Berikut penulis suguhkan gambar-gambar yang mewakili beberapa, dari banyak, perubahan yang telah lewat. Terkadang, tanpa kita sempat pergoki.
Merasa gagasan-gagasan yang terkadang dilontarkan kaum cendekiawan terlalu sporadis? Sekarang, bandingkanlah dengan semua di bawah ini.

Selamat menikmati.

sumber

sumber

sumber
sumber
sumber

sumber

sumber

sumber

sumber

sumber (dalam bahasa Portugis)
Ya, tetap saja, zaman senantiasa berubah. Tak peduli apakah manusia-manusia yang berkembang dalam jalannya berjalan mengimbanginya, melampauinya, atau tertinggal di belakangnya.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

~tamat
(:g)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...