Selasa, 17 Juni 2014

Article#306 - Zaman Yang Berubah (1)

Mungkin tak salah kiranya, jika bulan Juni kali ini penulis nobatkan sebagai bulan bagi tulisan nostalgia. Khususnya bagi apa-apa yang akan diterakan panjang lebar di laman blog ini. Mumpung lagi minat bernostalgia. Semoga pembaca sekalian tidak jenuh, ya.
Tulisan kali ini tercetuskan di benak penulis berkat munculnya dua video yang dipublikasikan beberapa teman saya di kolom media sosial, khususnya grup angkatan penulis selama menempuh pendidikan di masa SMAN dulu. (Wahduh, sudah tua, yah.)
Cukup sekian prolognya. Selamat menikmati.

*****
Zaman berubah. Tentu saja, zaman berubah, siapa pula yang akan membantah?
Kita mungkin tak saksikan, bagaimana generasi kakek-nenek kita dahulu berjuang dalam menempuh pendidikan yang mungkin tak kita rasakan, mengguratkan perjuangan yang mungkin tak kita kuatkan. Kita mungkin juga tak saksikan, bagaimana generasi ayah-ibu kita, berinteraksi dalam keseharian yang tak kita kenali, beranjak dalam keterbatasan yang tak kita rasai. Toh pada kenyataannya kita tetap tak menyangsikan ada perubahan.

Ada perubahan pada pepohonan yang ranting-rantingnya makin bercabang, batang-batangnya makin kokoh, daun-daunnya makin luas. Ada perubahan pada mobil tua yang dibiarkan di parkiran entah sejak kapan, dengan cat yang terus mengelupas, dengan karat yang terus membuas. Ada perubahan pada wajah-wajah lama dalam ingatan, dengan sinar mata yang tak lagi tajam, detail kulit yang tak lagi lembut. Ada perubahan yang menimbulkan perbedaan. Tanpa perlu menilik contoh-contoh ekstrem yang bertebaran kisahnya di sekeliling, ada juga perubahan yang menyelinap masuk dalam citraan paling sederhana. Perlahan menyebar, nyaris tanpa terasa indera. Tanpa disadari, apa yang lazim dikenali di masa lalu, kini menjadi objek yang asing. Perubahan yang hanya terasa kita melihat ke belakang, dan membandingkan.

Mungkin pendekatan semacam inilah yang diusung Jin Lim dan Reuben Kang, ketika meluncurkan salah satu film pendek dalam channel Youtube hasil kolaborasi mereka, JinnyBoyTV. Film pendek yang diberi judul "My GENERASI" ini, secara singkat dapat dideskripsikan sebagai sebuah rekaman tentang, dengan segala tabur kekonyolan, kehidupan generasi mereka di masa sekolah dasar.
Dengan latar berupa sebuah sekolah di kota Kuala Lumpur, Malaysia, "My GENERASI" menyampaikan rekam jejak sederhana akan kehidupan anak SD yang dinamis di era 90an hingga awal 2000an. Sila simak videonya pada jendela di bawah


-o-

Permainan dan pergaulan anak SD masa 90an-00an yang dikupas sedemikian rupa dalam film pendek terkait, seolah mengajak pemirsa (yang cukup umur) untuk mengulang waktu ke masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah dulu. Saya sendiri, sebagai orang yang tergolong "cukup umur" sesuai kriteria di atas, juga ikut bernostalgia. Masih ada dalam ingatan, bagaimana kantin sekolah senantiasa ramai oleh kerumunan anak-anak di masa istirahat, merogoh selembar-dua lembar rupiah demi membeli kemasan makanan ringan. Penuh semangat, para siswa yang masih bocah itu memesan makanan ringan favorit mereka, sembari sesekali menceletukkan kata-kata kasar yang ditujukan pada sang penjual. Betul, terdengar tidak beradab, dan lebih pelik lagi ketika yang memperkenalkan kata-kata kasar terkait ke para siswa adalah sang pedagang sendiri. 

Wajah-wajah sumringah itu memborong berbungkus-bungkus makanan, untuk dihabiskan beramai-ramai di dalam kelas. Sayangnya, waktu istirahat yang sama juga dimanfaatkan oleh para siswi untuk bermain di depan kelas. Entah bermain bekel, atau engklek; dua itu sih yang paling populer dulu. Sesekali kerusuhan kecil muncul ketika para siswa berusaha menerobos kumpulan siswi yang sedang melombat-lompati petak ubin, untuk segera memakan camilan mereka. Jika cukup serius (dan untungnya jarang terjadi), keributan pecah hingga ada yang menangis, dan bubar ketika ada guru yang mendatangi sembari geleng-geleng kepala. Untungnya hal tersebut bukan kejadian lumrah, dulu.

Ya, para siswa yang kelaparan dan kebanyakan duit itu segera menghabiskan camilan yang baru ia beli. Entah makan ramai-ramai, sendiri-sendiri, atau menggagahi jatah camilan teman lain yang kurang beruntung. Satu hal yang relatif kompak dilaksanakan oleh mereka: Ketika pertama kali membuka kemasan, mereka keluarkan suvenir kecil berupa mainan atau strip komik kecil yang terbungkus plastik. Ketika sedang masanya mainan yang ngetren, dengan sigap arena pertandingan disiapkan. Satu-persatu siswa mempertunjukkan keahlian bermain mereka masing-masing, sesekali dibumbui sorak sorai dan gerutuan. Tiga puluh menit waktu istirahat yang menyenangkan, karena para siswa pada malas belajar di kelas yang dengan mudahnya menguap ketika derap langkah kaki guru untuk jam pelajaran selanjutnya datang. Terkadang sang guru mengomentari kekacauan di kelas yang terlanjur tercipta akibat pertandingan yang demikian sengit. Tetapi, yaa namanya anak-anak, esok hari dan esok harinya, kejadian yang sama kembali terulang. Entah guru yang memarahi itu dulu melakukan hal serupa atau tidak. (ups)

Mereka bertumbuh besar, dan permainan mereka meningkat ke level teknologi. Mungkin beberapa dari kalian ada yang masih familiar dengan "N-Gage", merek salah satu ponsel semi-konsol yang menjadi gandrungan berbagai kalangan di paruh awal 2000an. Salah satu produk pamungkas Nokia yang berhasil mempersatukan beberapa anak untuk melakukan kompetisi multi-ponsel. Bagaimana caranya? Ada Bluetooth, suatu teknologi yang memungkinkan terhubungnya dua atau lebih "konsol" demi kepentingan bersama. Sebuah teknologi yang serasa magis, tetapi tak banyak dipedulikan oleh anak-anak zaman itu. Yang penting bermain, bermain. Meskipun sampai lupa waktu, lupa tugas, lupa makan. Semoga sih tidak lupa diri.

Saat ini, dengan teknologi yang makin canggih merambah makin jauh, saya merasa bahwa permainan anak-anak yang akrab di benak kami sekalian dulu, tidak lagi akrab bagi para siswa-siswi yang mengecap pendidikannya saat ini. Entah bagaimana jika mereka membandingkan masa-masa kehidupan generasi 2000an awal dengan mereka saat ini. Saya sudah lama tidak mengunjungi SD saya, lebih lama lagi tidak memperhatikan kegiatan belajar di SD dengan detail. Tetapi sepertinya saya bisa menduga-duga, jika anak-anak SD sekarang bahkan sudah cukup akrab dengan layar sentuh: sesuatu yang istimewa bagi saya dan adik saya ketika pertama kali memergokinya di toko ponsel sekitar 10 tahun yang lalu.

Dan topik layar sentuh, beserta ponsel-ponsel yang mengusungnya, menjadi topik utama dalam video kedua yang disuguhkan dalam tulisan ini. Sedikit mengambil pendekatan yang berbeda dari film pendek sebelumnya, video kali ini lebih menyoroti perbandingan yang ada secara langsung. Tentu saja, topiknya yang lebih terasa nyata dan lebih kekinian juga cukup menggugah, terutama dari sudut pandang generasi lebih tua yang merasakan transisi demikian besar dalam lingkup teknologi berinteraksi.
Berikut, video kedua, "Look Up", dengan fokus utama terletak pada narasi Gary Turk dalam menjelaskan kehidupan rerata generasi masa kini. Mungkin supaya terdengar lebih menarik, Turk menyampaikannya dengan gaya yang sesekali menyusun rima tersendiri.
Selamat menikmati.


-o-

Salah satu ciri utama yang membedakan narasi Gary Turk di dalam videonya dengan film pendek "My GENERASI" sebelumnya adalah citraan pendapat pribadi. Dalam "My GENERASI", yang ditampikan hanya sekumpulan anak muda yang dengan bahagianya menjalani pernak-pernik indah kehidupan sekolah. Tetapi, dalam video "Look Up", video memang dibuat berdasarkan, dan berpusat di, narasi Turk yang terus mengalir sepanjang video bergulir. Gaya penyampaian yang cenderung egosentris tersebut tentunya akan lebih mudah memantik komentar pedas. Contohnya seperti Kaity Hall, yang menuangkannya dalam ulasan mengenai narasai yang dinilainya "sentimental" dan sedikit "hipokrit" dalam pemaknaan tertentu. Lengkapnya sila kunjungi tulisan berikut.

Jujur saja, bagi penulis, bagian paro awal bukan hal baru. Gavin, sang komikus ZenPencils.com, pernah menuangkan ide media sosial dengan mengadaptasi kutipan Marc Maron dalam karyanya. Dalam komiknya, dunia digambarkan dengan gradasi putih-hitam-biru yang monoton, identik dengan warna monoton yang senantiasa menghiasi akun media sosial kita yang paling populer. Secara umum, kutipan terkait menyetarakan mereka yang menggilai promosi diri via media sosial sebagai anak kecil yang merengek meminta perhatian. Kutipan terkait juga menyetarakan mereka yang mencandui perhatian di media sosial dengan pecandu narkoba. Alih-alih jarum suntik di lengan, yang mereka candui adalah notifikasi "like" yang satu demi satu bermunculan dengan rajin dalam ajang promosi dirinya.

Setelah menghadapi paro awal yang familiar, penulis menghadapi nostalgia yang menarik ketika menghadapi paro akhir video. Meskipun bagian tersebut bisa dikatakan sebagai bagian paling klise dari video terkait (sebagaimana diutarakan Kaity Hall dalam ulasannya), bagian terkait adalah bagian yang lebih menyadarkan saya akan kenyataan.
Kenyataan, bahwa terkadang klise paling menjemukan pun datangnya dari dunia nyata pula. Dan bahwa klise tak pernah seindah realita.
.....

Saat itu Jakarta adalah rumah bagi sang Pandita Raja yang telah lebih dari duapuluh tahun berkerak di kursi kepemimpinan Istana Negara. Saya pun lupa detailnya, kira-kira kisah ini terjadi antara 1989-1990. Di saat itu, seorang pemuda di tengah usia 20an sedang sakit. Penyakit langganannya yang kembali menyerang berkat udara sumpek ibukota, sedikit banyak tentu mengganggu kinerjanya dalam mencari rezeki di ibukota. Tak ayal, pemuda ini mencari apotek untuk membeli obat. Yaa, untuk apa lagi memang ke apotek?
Apotek itu ditemukannya. Setelah ia datang, semua berjalan sebagaimana seharusnya. Memesan obat yang diinginkan, menunggu sebentar, menerima obat, lalu membayar. Kecuali satu hal, bukan hanya obat yang didapat sang pemuda selepas keperluannya di apotek terkait. Ada yang terngiang dari keramahan salah satu apoteker yang sedang bertugas saat itu. Yang terngaing, yang seolah mengendalikan kaki pemuda tersebut untuk senantiasa ke apotek terkait untuk membeli obat. Belakangan, tujuannya bahkan bukan untuk membeli obat.

Tak butuh waktu lama bagi kedua insan tersebut untuk merasakan hal yang berbeda. Teristimewa. Dalam beberapa bulan, segeralah mereka meresmikan hubungan mereka, dalam ikatan yang diakui secara sah oleh undang-undang. Momen pertemuan pemuda itu dengan sang apoteker menjadi awal dari sebuah kisah cinta yang terus mengulur setelah lebih dari dua puluh tahun. Kisah yang mewujudkan saya untuk menulis panjang lebar dalam tulisan kali ini.
.....
Boleh jadi saya sendiri juga terlalu banyak menghukumi berbagai cerita manis televisi dengan label klise. Tetapi kisah di atas memberi testamen tak terbantahkan kepada saya, betapa satu momen bisa menentukan garis hidup ke depan. Nyaris serupa dengan penggambaran Gary Turk dalam videonya. Saking samanya, saya kemudian membayangkan, apa jadinya ketika kisah itu terjadi di era media sosial ini. Akankah sang pemuda sibuk mencatut satu persatu notifikasi di ponsel cerdasnya, sementara sang apoteker yang tak lebih peduli hanya bergegas memberikan uang kembalian?

Mungkin saja, tetapi kemudian sedikit penggambaran di atas menjadi pembeda utama antara kondisi di akhir 80an dengan kondisi kini. Tahun 80an, jangankan internet, ponsel saja masih bisa dibilang asing bagi orang-orang saat itu. Sejak telepon yang besar-besar dan berat-berat itu mulai merasuk ke pangsa pasar teknologi negeri, hingga perlahan mengecil dan menipis. Mulai terbentuk dunia kedua yang perlahan menjaring, melengkapi lingkupnya dalam lingkar hidup orang-orang di seluruh penjuru dunia. Sebuah dunia baru yang melingkupi seisi dunia, dimana dimensi yang ada tak lagi mengenal jarak dan ruang. Sampailah kita di era yang dinamai era globalisasi. Dimana satuan jarak tak lagi banyak berarti, berkat adanya dunia baru yang kini kita panggil "dunia maya". Sekali lagi, sebuah bukti bagaimana teknologi berkembang demikian dahsyat hanya dalam rentang satu generasi.

Saya sempat menuliskan tentang bagaimana makna jarak seolah pudar bersama tumbuhnya dunia maya sebagai katalisator utama era globalisasi. Di zaman dulu, boleh beredar banyak kisah pahit, dimana kebahagiaan bersama terhenti di tengah jalan akibat perpisahan. Saat ini, meskipun banyak kepahitan serupa diedarkan, pahitnya mungkin sudah demikian pudar dengan berbagai aplikasi obrolan sebagai obat penawar.
Jika boleh dibilang, salah satu jasa terbesar era globalisasi adalah mendekatkan yang jauh, juga menyambungkan tali silaturahim. Jaringan komunikasi yang sudah sedemikian solid memudahkan kita mengakses berita dari penjuru dunia yang lain, yang mungkin benar-benar baru saja terjadi. Jaringan komunikasi yang solid jugalah yang kemudian mempertemukan wajah-wajah lama yang bahagia meski menua, bernostalgia mengenang masa muda yang telah lama lewat.
Di sisi lain, sebagaimana hampir segala hal lainnya di dunia, sisi era globalisasi yang lain adalah bahayanya. Jika dikaitkan ke pembicaraan sebelumnya, topiknya akan berpisar pada menjauhkan yang dekat, juga memutus tali silaturahim. Dimana keduanya bisa berawal daridiri yang terlalu larut dalam dunia sendiri hingga lupa orang sekitar, dunia sekitar. Saya yakin, banyak dari pembaca sekalian sepakat bahwa tak ada juntrungannya bertemu jika kemudian tangan sibuk menyangga jempol untuk menggeser beranda akun media sosial masing-masing. Meskipun membicarakan suatu hal memang selalu lebih mudah daripada melaksanakannya.

Sebagaimana kita mungkin sadari secara naluriah, manusia selalu membutuhkan interaksi nyata dengan kehidupannya. Di saat interaksi langsung tak memungkinkan, interaksi memanfaatkan kebolehan teknologi yang ada memang mempermudah banyak hal. Yang penting dalam mengelola hal ini, sebagaimana banyak hal lainnya, adalah keseimbangan. Dan keseimbangan memang tidak semudah kedengarannya untuk dicapai, termasuk oleh penulis yang seolah dengan pongahnya menguliahi kalian semua tentang apa yang baik dan apa yang tidak. (Maafkan saya)

Ya, tetap saja, zaman senantiasa berubah. Tak peduli apakah manusia-manusia yang dilewatinya berjalan mengikutinya, melampauinya, atau tertinggal di belakangnya.

~bersambung
(:g)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...