Manusia menerka canda tawa pada kerjap derita.
Manusia memahat nyata dari keping kepalsuan.
Lini masa akhir-akhir ini menghangat seiring dimulainya masa orientasi bagi mahasiswa baru. Mereka yang baru saja menyelesaikan titian masa sekolah dengan melewati serangkaian ujian, kini dihadapkan kepada miniatur dunia nyata, tersaji dalam tiap jengkal kehidupan dunia kuliah.
Kerap kali terdengar, betapa peralihan dari masa sekolah ke masa kuliah adalah penahbisan seseorang menjadi manusia dewasa. Menjadi manusia seutuhnya, yang dituntut dan diharapkan peranannya dalam tiap komunitas di mana saja ia berada. Setelah bertahun-tahun bergulat menjalani masa remaja, seorang anak manusia yang beranjak memasuki dunia kuliah diharapkan telah siap beralih dari manusia remaja menjadi manusia dewasa. Ciri remaja, yang identik dengan masa pencarian jati diri, diharapkan segera meluruh berganti ciri dewasa yang identik dengan partisipasi sosial.
Meski kemudian kita bertanya-tanya, bagaimana seorang remaja kemudian dapat "mencari jati dirinya". Entah di mana hilangnya jati diri itu, jarang pula orang dewasa repot-repot memberi tahu. Seolah pencarian jati diri adalah proses yang pasti dilalui oleh setiap anak manusia, dan tanpa perlu diberi tahu pun, lambat laun ia akan ditemukan jua.
Padahal "jati diri" itu pun kemudian samar pula adanya. Entah apa wujud, rupa, rasa dan perangai jati diri itu. Bukankah tiap orang punya jati diri berbeda? Maka bagaimana seorang tahu dan yakin, jika jati diri yang ia "temukan" adalah jati dirinya? Bukan jati diri orang lain yang tersasar?
Dan kemudian, bagaimana pula seorang anak manusia mencari dan menemukan jati dirinya? Apa ia benar-benar mencarinya, di tiap sela batu karang dunia? Atau ia dijatuhi oleh jati dirinya, bergelimpangan runtuh seperti durian?
Jika ia tidak mencari, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa ia mencari jati dirinya? Dan bagaimana pula kita mengklaim sepihak, kalau itulah jati diri atau bukan?
Usaha memahami makna pencarian jati diri, pada gilirannya jamak bermuara pada ungkapan yang tak lagi asing di telinga kita: menjadi diri sendiri. Pernyataan yang tampak megah, sungguh berkelas ia. Banyak orang asal mengucapkannya dengan wajah sumringah, merasa jadi manusia paling bijak nan berjasa. Sementara makna dalam untai katanya menjadi hampa.
"Menjadi" diri sendiri? Logika sederhana tentu akan memberitahu kita, bahwa kata "menjadi" bermakna beralih dari satu fase ke fase lain. Satu wujud ke wujud lain. Satu sifat ke sifat lain.
Dalam pemahaman ini, makna ungkapan megah "menjadi diri sendiri" justru menyiratkan makna yang demikian berlawanan: "Setelah menjadi orang lain, jadilah diri sendiri". Entah macam apa wujud "orang lain", atau wujudnya "diri sendiri". Yakinkah kita, jika kita sekarang menyifati "diri sendiri"? Atau menyifati "orang lain" yang kita labeli sesuka hati sebagai identitas diri? Belum tentu pula kita mengerti.
Orang bilang, harus menjadi orang lain dahulu sebelum menjadi diri sendiri? Tentu saja. Bagaimana pasalnya seseorang "menjadi" diri sendiri, ketika ia adalah "dirinya sendiri" sejak awal?
Lagipula, apa pula itu "jati diri" atau "diri sendiri"? Siapa yang menentukan kebenaran identitasnya? Siapa pula yang berhak memutuskan bagaimana sebuah paket identitas dapat disebut "jati diri", "diri sendiri", atqu malah bukan keduanya?
Kita yang bodoh berkelana di dunia untuk terus bertanya, dan senarai tulisan bodoh yang tergelar ini pun tidak pula hadir untuk memberi jawabnya.
Tetapi, ketika sanubari mendapati diri lelah menghadapi berbagai definisi yang hanya berputar-putar dan merasa dirinya pintar, barangkali ia akan muak dan membuang semua ketidakjelaaan yang beredar.
Ada orang bilang, solusi senantiasa hadir sebagai wujud yang paling sederhana dalam menjelaskan persoalan, serumit apapun ia tampak terdengar. Maka kemudian, sanubari sebagian kita mungkin saja berontak dan kembali menyelesaikan segala hal dari awal. Dengan cara sederhana: jujur akan apa yang benar diinginkan. Jujur dalam usaha mengakui ketidaktahuan, tanpa perlu melapisi diri dengan waham kebesaran. Jujur akan apa yang benar-benar didambakan, meski wujudnya di awal masih samar. Jujur akan usaha memperjuangkan apa-apa yang dicitakan.
Maka kita terus menelusuri kemungkinan demi kemungkinan, memastikan apa-apa yang benar diinginkan.
Maka kita terus mendalami pengetahuan, dalam usaha menambal ketidaktahuan yang terus memusingkan.
Maka kita terus menetapkan titian demi tujuan, melanggengkan jalan tanpa banyak risau akan ia di hadapan.
Maka kita terus berjalan dalam segala kesempatan, menghidupi impian dalam tiap detik kehidupan.
Kita yang bodoh, barangkali merasa cukup dengan kebebasan dari apa yang tidak kita pahami. Tetapi, sebagian kita yang lebih bodoh lagi, merasa sudah cukuplah ia merasa bebas, dan mengekang diri dalam pencarian. Menjadi pengelana tanpa ketakutan. Menjadi pembelajar tanpa tujuan. Menjadi hingar kehidupan yang tampak tak berkesudahan.
Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains.
Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka.
Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan.
Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang.
Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin.
Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan.
Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!
~ Andrea Hirata, Edensor—sic
Hari 7435, mengembus awan pegunungan.
Senin, 17 Agustus 2015, 10:44 (UT+7)
0°15'48.78"S, 100°14'32.33"E
sumber gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar